Judul Buku: Habibie: Kecil tapi Otak Semua
Penulis: A. Makmur Makka
Penerbit: Edelweiss
Cetakan: I, Februari 2011
Tebal: 355 Halaman
Sejarah industri pesawat terbang di Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari nama Bacharuddin Jusuf Habibie (BJH). Ya, mantan Chief Methods and Technologies Research and Developments pabrik pesawat terbang Messerchmitt Bolkow Blohm di Hamburg, Jerman ini memang merupakan penggerak utama Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN).
Sayang, badai krisis moneter membuat Indonesia jatuh ke dalam jeratan International Monetary Fund (IMF), yang salah satu syaratnya adalah Indonesia (IPTN) tidak diperbolehkan “berjualan”. Hakl ini mengakibatkan perusahaan dirgantara kebanggaan rakyat Indonesia tersebut terpuruk. Pesawat unggulan CN-235 dan CN-250 yang seharusnya menembus pasar internasional, ambruk dan mati suri hingga kini. Imbas dari jeratan IMF tersebut.
Namun meski sosok BJH identik dengan kecanggihan teknologi dan pesawat terbang, keliru jika memahami sosok nan bersahaja dan selalu mengenakan peci hitam ini melulu berkutat dengan soal tersebut. Bagaimanakah BJH secara lebih manusia dalam kesehariannya? Buku karya A. Makmur Makka ini berusaha mengupas serba-serbi yang bisa jadi hanya sedikit orang mengetahui.
Dilahirkan di Parepare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936, BJH lahir dengan bantuan dukun beranak yang disebut Sandro, bernama Indo Melo, hanya dengan menggunakan sebilah kulit bambu yang tajam. Beranjak masa kanak-kanak, Rudy, panggilan akrab BJH semasa kecil, berhasil merebut piala dalam lomba menyanyi keroncong. Hingga dewasa kegemaran menyanyi ini masih terbawa dengan lagu-lagu favoritnya antara lain; Sepasang Mata Bola, Hampir Malam di Jogja, dan Widuri. (Halaman. 31-36)
Saat menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi, BJH terkenal dengan ketelitiannya. Ini mungkin karena prinsipnya the devil is in details. Wajar jika para kader baik peneliti maupun pejabat struktural di lembaga nondepartemen atau industri strategis selalu berhati-hati saat melaporkan data. BJH memang dikenal memiliki daya memori yang sangat kuat. Data yang dilaporkan seminggu atau sebulan lalu, harus konsisten dengan data yang dilaporkan hari ini.
Daya ingat BJH yang sangat kuat juga diakui oleh Wardiman Djojonegoro, teman sekamar BJH di Aachen semasa mahasiswa. Wardiman yang belajar bahasa Prancis melalui kaset di kamar sebelah tidak bisa cepat hafal pelajaran itu, sementara BJH yang tidak langsung ikut mendengar kaset pelajaran itu di kamar yang lain malah lebih cepat menghafalnya. (Halaman. 154).
Kekuatan daya ingat dan kecerdasan nampaknya menjadi stereotip kebanyakan orang terhadap BJH, demikian pula persepsi dari seorang Jaya Suprana. Budayawan yang juga kelirumolog ini, dalam sebuah acara di depan civitas akademika Universitas Indonesia tahun 2010, dengan lantang setengah berkelakar menyatakan: “Walaupun BJH berpostur kecil, namun di seluruh tubuhnya terdiri dari otak. Berbeda dengan saya yang walaupun gempal, tetapi “isinya” dengkul semua”.
Saking cerdasnya dalam bidang teknologi, seorang teman BJH di Jerman mengatakan bahwa sebenarnya ia bukan lagi seorang teknokrat, melainkan sudah technosof, orang yang mendalami filsafat teknologi. Tidak mengherankan jika pada 10 Januari 2010, Universitas Indonesia memberikan gelar Doktor Honoris Causa kepada BJH dalam ilmu Filsafat Teknologi.
Meski demikian hal itu bukan berarti BJH mengabaikan kebugaran fisiknya. BJH bisa berjam-jam menghabiskan waktunya untuk berolah raga renang. Bahkan pada hari-hari berduka setelah Ibu Ainun, sang istri, tidak ada lagi, BJH makin rajin berenang untuk memulihkan kesehatan yang dalam beberapa bulan terakhir siklus tidur malamnya banyak terganggu. (Halaman. 332).
Berjudul lengkap Habibie: Kecil tapi Otak Semua, buku ini berbeda dengan buku sejenis dalam hal setting dan nuansanya. Hal ini disebabkan rentang waktu kejadian yang cukup panjang, maka urutan kejadian disusun tidak berdasarkan kronologis waktu dan aktualitas, tetapi berdasarkan sekat-sekat tema yang sesuai setiap kejadian dan kisah.
Sejumlah kisah yang disajikan dalam buku setebal tiga ratus lima puluh lima halaman ini merupakan kisah yang dialami penulisnya, maupun dikutip dari berbagai narasumber. Banyak kemungkinan yang bisa tergali dalam buku ini yang disuguhkan secara manusiawi; penderitaan, kesedihan, keluguan, pengorbanan, dan lain-lain. Semuanya menghadirkan serba-serbi kehidupan sang technosof. Kendati ada kesan buku ini semacam anekdot karena sejumlah kisah yang dimuat di dalamnya bisa membuat pembaca tersenyum dan tertawa ketika membacanya.
0 komentar:
Posting Komentar