Dunia perbukuan Indonesia patut berbangga hati karena akhir-akhir ini para penerbit mulai berlomba-lomba menerjemahkan dan menerbitkan karya-karya sastra klasik dunia. Bahkan sebuah karya mungkin saja diterbitkan oleh dua penerbit yang berbeda dalam waktu yang hampir bersamaan. Suatu usaha yang patut diacungi jempol. Ini akan memberi sebuah tantangan bagi penerbit untuk menyuguhkan karya yang terbaik, karena pembaca akan memiliki pilihan. Di sisi lain, ini kabar baik bagi pembaca karena mereka sekarang punya pilihan karya yang terbaik. Masalahnya, agak sulit menilai buku hanya sekedar dari sampul dan sinopsis kan? Karena itu kali ini aku akan mencoba melakukan studi perbandingan 2 novel klasik keren: The Phantom Of The Opera. Penerbit Serambi telah menerbitkannya sejak Februari 2011 lalu, sedang Gramedia baru menerbitkan versinya April 2011. Kebetulan, aku sudah pernah mereview terbitan Serambi (karena waktu itu belum ada pilihan lain) di sini. Dan hanya untuk mengobati penasaran, dan berkat sebuah voucher belanja, aku pun memutuskan untuk memiliki juga versi dari Gramedia. Dan inilah tinjauanku mengenai kedua versi. Ini adalah tinjauan pribadi, tidak ada pengaruh dari kedua penerbit, dan tidak ada tendensi untuk mempengaruhi anda untuk memilih salah satu versi. Ini hanya pendapatku secara jujur dan tidak berpihak. Terserah anda pada akhirnya untuk menentukan pilihan… Yang jelas, buku ini layak dibaca!
Yang paling jelas berbeda dari kedua versi tentu saja covernya…
Cover dof milik Gramedia bergambar tokoh si hantu opera dan penyanyi Christine Daae dengan background interior gedung opera bernuansa emas dan merah. Cover ini berkesan mewah, elegan, dan romantis yang tentu saja cocok dengan penggambaran sebuah opera. Cover milik Serambi lebih berkesan “kelam” dengan dasar hitam dari bahan dof, namun anggun lewat sekilas warna ungu tua pada jas milik si hantu. Sedang warna putih berpernis kilap di bagian judul menampilkan kesan “murni”, dan setangkai mawar merah menambahkan aura keromantisan cinta. Secara keseluruhan, cover Serambi lebih mewakili kisah The Phantom Of The Opera yang cenderung gothic. Perpaduan mencolok hitam pekat dan putih cemerlang itu seolah mewakili ironi keberadaan hantu opera yang kelam di suatu tempat di bawah opera yang gemerlapan, atau sifat kejam si hantu di balik kejeniusan dan keromantisannya.
2 cover versi bahasa Inggris terbitan Harper Perennial; New edition thn. 1987, dan Tribeca Books, April 2, 2011:
Di sisi lain, simbol “stempel lilin warna merah” di novel-novel klasik versi Gramedia akan membuat para kolektor tergiur memiliki versi ini. Masih bingung, pasti? Mari lanjut ke isi bukunya…
Perbedaan mencolok kedua (yang juga membuatku penasaran) adalah jumlah halaman. Versi Serambi terdiri dari 485 halaman, sedangkan versi Gramedia hanya 376 halaman. Dan akupun penasaran, di mana letak perbedaannya sehingga selisihnya bisa berkisar 100 halaman? Maka mulailah aku membaca sambil membandingkan. Ditilik dari kualitas penerjemahannya, kedua versi memiliki kualitas yang sebanding, meski tetap ada plus dan minusnya…
Terjemahan dari Serambi ternyata memang cenderung lebih panjang sehingga tidaklah heran, jumlah halamannya lebih banyak ketimbang versi Gramedia. Aku sendiri merasa lebih cocok dengan versi panjang karena lebih mencerminkan sastra klasik yang memang cenderung bahasanya tidak ringkas. Bagi pembaca klasik pemula yang mementingkan alur cerita yang ringkas, mungkin akan lebih menyukai versi lebih singkatnya. Akan aku kutipkan sebuah bagian dari buku ini, berupa surat yang ditulis oleh Christine Daae kepada Viscount/Vicomte Raoul de Chagny. Tentu saja aku akan kutipkan 2 versi, versi yang lebih singkat dan versi yang panjang.
“Aku tidak lupa pada anak laki-laki yang masuk ke laut untuk mengambil syalku. Aku merasa harus menulis surat ini kepadamu hari ini, ketika aku pergi ke Perros demi menggenapi tugas penting. Besok hari peringatan kematian ayahku, orang yang kaukenal dan yang sangat menyukaimu. Ia dimakamkan di sana bersama dengan biolanya, di pemakaman gereja kecil di dasar tanah melandai tempat kita sering bermain ketika kecil, di samping jalan tempat kita mengucapkan salam perpisahan terakhir kali ketika kita telah sedikit lebih besar.” (hal. 75)
“Aku belum melupakan anak laki-laki yang menceburkan diri ke laut untuk mengambilkan selendangku. Aku tidak tahan untuk tidak menuliskan kejadian tersebut kepadamu, mengingat saat ini aku sedang bersiap-siap menuju Perros-Guirec untuk melaksanakan tugas mulia. Besok merupakan hari peringatan meninggalnya ayahku. Kau mengenalnya, dan dia menyukaimu. Ayah dikuburkan di Perros-Guirec bersama biolanya, di sebuah tempat pemakaman yang mengelilingi gereja kecil, di kaki bukit tempat kita sering bermain ketika masih kecil, dan di ujung jalan itu, usia kita sedikit lebih tua saat itu, kita saling mengucapkan salam perpisahan untuk terakhir kalinya.” (hal. 90)
Entah bagaimana dengan anda, tapi aku menemukan versi kedua lebih mirip dengan isi sebuah surat yang akan ditulis seorang wanita pada sahabat kecilnya pada masa itu. Ada sebuah kehangatan dan keakraban yang terungkap di sana. Atau mungkin bagi anda sama saja? Mari kita lanjutkan ke perbandingan yang lain…
Di samping versi singkat dan panjang, aku menemukan pula beberapa kutipan yang dicantumkan di versi Serambi, tidak kutemukan di versi Gramedia. Hal ini mungkin saja terjadi kalau kedua penerbit mengambil naskah yang berbeda untuk diterjemahkan. Memang, ketidak hadiran kutipan itu tidak sampai mempengaruhi jalan cerita, namun aku merasa justru kutipan-kutipan itu makin menguatkan imajinasi kita pada kisahnya sendiri. Lagipula, kalau anda belum tahu, kisah ini bukan murni fiksi rekaan, melainkan merupakan sebuah laporan yang ditulis Gaston Leroux dari hasil investigasi terhadap hantu opera. Jadi wajarlah menurutku kalau ia menyertakan kutipan-kutipan yang entah dia ambil dari tulisan seorang wartawan di koran atau dari sumber lainnya, demi memperkuat laporannya. Sekali lagi, kutipan-kutipan itu mungkin akan memperlambat alur cerita, namun di sisi lain juga tetap memberikan nuansa tersendiri saat kita membaca.
Selain itu, menurutku The Phantom Of The Opera ini seharusnya secara kental menampilkan ke-Prancis-annya. Salah satunya lewat istilah atau nama-nama dalam bahasa Prancis. Misalnya saja judul pertunjukan (opera) Romeo et Juliette seharusnya tetap ditulis demikian, alih-alih menjadi Romeo and Juliet (hal. 32) yang kutemukan di versi Gramedia. Atau Funeral March of a Marionette (hal. 32) seharusnya tetap saja ditulis sebagai La marche funebre d’une marionette karena toh kita sebagai pembaca tak butuh memahami arti judul sebuah pertunjukan opera, justru judul dalam bahasa Prancis (yang tak kita mengerti) itu lebih mengesankan sebagai judul sebuah pertunjukan opera di Prancis. Apalagi pada bagian “Le Roi de Lahore” harusnya kata “Le” tidak dihilangkan sehingga menjadi “Roi de Lahore” (hal. 50), karena dalam bahasa Prancis selalu ada kata sandang (le) di depan kata benda (roi). Le Roi adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan begitu saja.
Bagaimana pun juga, kita harus berterima kasih kepada kedua penerbit yang telah mempersembahkan yang terbaik demi menyuguhkan sebuah bacaan klasik sepanjang masa The Phantom Of The Opera ini. Mana yang terbaik? Tak ada menurutku. Pilihan tentu saja ada di tangan anda masing-masing. Apakah anda menginginkan edisi yang enak dibaca dan bagus untuk dikoleksi dengan cover yang elegan dan jenis kertas serta cetakan yang ekslusif? Atau anda lebih mementingkan keutuhan isi buku aslinya yang lebih klasik daripada jenis kertas dan cetakan biasa-biasa, tapi toh dikemas dalam cover yang sangat pas mewakili isinya? Kalau anda masih saja bingung, itu bukan salahku. Aku telah berusaha menjelaskannya selengkap mungkin. Sekarang giliran anda memilih, namun pastikan anda memilih untuk membaca The Phantom Of The Opera ini! Selamat membaca...
0 komentar:
Posting Komentar