Judul: Di Mana Ada Cinta, Di Sana Tuhan Ada
Penulis: Leo Tolstoy
Penerbit: Serambi
Penerjemah: Atta Verin
Cetakan: Februari 2011
Tebal: 197 hlm
“Ketika Aku lapar, kamu memberi aku makan. Ketika Aku haus, kamu memberi aku minum. Ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan….” --Mat 25:35“Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” –Mat 25:40
Kedua ayat Kitab Suci itu langsung memenuhi pikiranku saat aku selesai membaca kisah pertama dalam buku kumpulan cerita bertema cinta spiritual karya sastrawan besar Rusia Leo Tolstoy ini. Sebenarnya ayat itu bahkan tidak dicantumkan dalam cerita itu, namun aku langsung menemukan kesamaan dengan esensi ceritanya. Di Mana Ada Cinta, Di Sana Tuhan Ada. Demikianlah judul kisah pertama di buku ini, yang sekaligus menjadi judul buku ini sendiri. Berkisah tentang seorang perajin sepatu bernama Martin, yang merasa kesepian setelah ditinggal mati istri dan putra semata wayangnya. Ia lalu mengalami kehampaan dalam hidupnya, berhenti pergi ke Gereja dan malah mengomel pada Tuhan karena mengambil putranya terlebih dahulu alih-alih mengambil dirinya. Hingga suatu hari ia kedatangan tamu dari biara yang menasihatinya untuk mulai membaca Kitab Suci. Dan kedamaian pun perlahan-lahan mulai bersemi dalam hati Martin tiap kali ia membaca sabda Tuhan.
Hingga suatu hari ia berandai-andai, apakah yang akan dilakukannya bila Tuhan sendiri bertamu ke rumahnya? Lalu dalam tidur, ia memimpikan Tuhan memanggil namanya, dan mengatakan bahwa Ia akan datang keesokan harinya. Maka begitu pagi menjelang, Martin pun mulai menanti-nantikan “Tamu Istimewa”nya itu. Ia yang biasa mengenali warga dengan mengintip sepatu mereka dari ambang jendela, terus menerus menunggu. Banyak orang yang melewati rumahnya, namun tak seorang pun yang berhenti, apalagi singgah. Orang pertama yang berdiri di luar di depan jendelanya adalah seorang pembantu rumah yang kedinginan saat menyekop salju. Merasa iba, Martin mengajak si pembantu rumah itu masuk dan menyuguhkan teh untuk memberinya kehangatan. Dan sambil si pembantu menikmati bercangkir-cangkir teh hangat, Martin juga menghangatkan jiwanya dengan kata-katanya tentang Tuhan yang ia ambil dari kitab suci. Si pembantu pun kembali ke dinginnya salju untuk bekerja, namun kini dengan tubuh maupun hati yang lebih hangat…
Sepanjang hari Martin menunggu, namun tak satupun tamu yang datang, apalagi yang bisa disebut “Istimewa”. Yang ada malah seorang wanita dengan bayi di gendongannya yang tampak kedinginan di balik pakaiannya yang tipis, sedang berdiri di luar rumah Martin. Maka Martin pun mengundang wanita itu masuk untuk menghangatkan diri. Bersama roti dan sup hangat yang dihidangkan Martin, wanita itu bertutur tentang kemalangan dirinya yang ditinggal suaminya perang, dan kini jatuh miskin, bahkan selendang untuk menghangatkan diripun harus ia gadaikan sehingga kini mereka berdua harus kedinginan di jalanan. Martin memberinya uang sekadarnya untuk bisa menebus kembali selendangnya, dan membekalinya mantel usang untuk dapat melindunginya dan si bayi dari kedinginan.
Dan begitulah, ternyata hari itu berlalu tanpa ada yang istimewa sama sekali. Hanya kejadian-kejadian kecil semacam itu yang membuat Martin berinteraksi dengan orang-orang asing yang ditolongnya. Entah itu untuk memberikan kehangatan raga, kehangatan jiwa, maupun untuk belajar mengampuni dan berdamai dengan orang lain. Lalu bagaimana dengan “Tamu Istimewa” yang berjanji akan mengunjunginya? Maka akupun teringat kembali pada ayat Kitab Suci yang aku kutip di awal tulisan ini. Dan kembali aku serasa diingatkan (lagi)… bahwa Tuhan tak perlu dicari-cari, ia hadir dalam diri setiap orang yang membutuhkan kita. Setiap hari. Setiap saat. Hanya tinggal kitalah yang peka untuk menyadarinya, dan bertindak. Sebuah kisah yang sederhana namun sangat berkesan bagiku.
Itu barulah kisah pertama dalam buku kumpulan cerita ini. Dalam 4 cerita selanjutnya pun, anda akan diajak untuk melihat indahnya kasih. Kasih bisa berwujud maaf, seperti terungkap dalam kisah kedua: Tuhan Tahu, Tapi Menunggu, yang bercerita tentang seorang saudagar bernama Aksionov yang ditangkap dan dipenjara dengan tuduhan membunuh teman sepenginapannya saat ia sedang bepergian. Cinta juga menampakkan wajahnya kepada seorang saudagar kaya bernama Vasili, yang pikirannya selalu dipenuhi dengan bisnisnya dan kebanggaan dirinya yang sukses berbisnis. Suatu hari ia harus bepergian di tengah badai salju yang membekukan, bersama dengan pembantunya, Nikita. Di saat itulah Tuhan “memanggilnya” lewat kejadian yang tak masuk akal. Vasili yang berkereta kuda bersama Nikita tak pernah dapat menemukan jalan sehingga harus tersesat di tengah badai salju dan terancam mati membeku. Saat itulah Vasili harus memilih. Apakah ia akan tetap memikirkan dirinya sendiri, atau membiarkan Tuhan mengambil alih? Sekali lagi kita menyadari, bahwa di mana ada cinta, di sana Tuhan ada. Keseluruhan kisahnya bisa anda baca di kisah no. 4: Majikan dan Pelayan.
Kisah penutup atau kisah kelima mungkin yang paling tegas menjelaskan pada kita, bagaimana Tuhan menginginkan kita untuk menjalani hidup ini dan mengisinya. Di kisah Dua Lelaki Tua ini, adalah Efim dan Elisha, dua pria tua yang ingin pergi berziarah ke Yerusalem bersama-sama. Efim adalah pria yang selalu mengkhawatirkan segalanya, dan menginginkan semuanya sempurna. Kalau saja bukan karena desakan Elisha yang lebih santai, Efim mungkin takkan pernah berangkat ziarah karena sibuk dengan ini-itu yang tak habis-habisnya. Sayangnya, walaupun berangkat bersama-sama, kedua lelaki tua ini harus berpisah jalan tanpa sengaja ketika Elisha singgah di sebuah rumah untuk sejenak memuaskan dahaganya dengan meminta segelas air. Di titik ini Leo Tolstoy ingin menunjukkan pada kita ziarah seperti apa yang sebenarnya lebih berkenan bagi Tuhan, dan bahwa ziarah itu sejatinya terjadi di sepanjang hidup kita tanpa terkecuali. Hidup kita ini adalah sebuah peziarahan. Apakah kita ingin mendapat hasil yang baik dari ziarah ini, itu adalah pilihan kita. Yang jelas, Tuhan telah menyediakan “sarana”nya, yakni lewat sesama kita, tinggal kitalah yang mau memilih memanfaatkannya sebaik mungkin, atau melewatkannya…
Buku yang diterbitkan oleh Serambi ini, bagiku merupakan salah satu buku yang isinya sederhana, namun isinya akan selalu meresap hingga ke relung-relung jiwa yang paling dalam. Cara bercerita Leo Tolstoy telah membuat kisah-kisah sederhana itu menjadi hidup berkat kemampuannya merangkai detail-detail yang sangat cermat menjadi sebuah cerita yang mengalir, sehingga kita seolah merasa mengalami atau melihat sendiri semua kejadian di kisah itu. Bravo Leo Tolstoy! Dan untuk itu aku memberikan 5 bintang untuk karya ini!
0 komentar:
Posting Komentar