"..karena memangnya apa yang tidak mengaitkan Catherine dengan diriku? Dan apa yang tidak membuatku teringat akan dirinya? Aku tak bisa menatap lantai ini tanpa melihat wajahnya terbentuk dalam batu-batu ini! Di setiap awan, di setiap pohon - memenuhi udara malam, dan mewujud dalam pemandangan setiap benda sepanjang siang - aku dikelilingi sosoknya! Wajah-wajah pria dan wanita yang paling biasa - wajahku sendiri - mengolokku dengan suatu kemiripan"
Di masa lalu, saya pernah mengalami masa dimana seseorang mengaku bahwa dia sedang sangat rindu, namun tak bisa melakukan apapun untuk menemui belahan jiwanya, karena belahan jiwanya ini lebih bahagia bersama orang lain. Mau tak mau, Heathcliff mengingatkan saya pada orang itu. Pengakuan-pengakuan yang dibuatnya di akhir buku, tentang betapa sakit dan menyiksanya rasa rindunya pada Catherine, ternyata mampu membuat saya sedikit maklum pada kekerasan hati dan tingkah lakunya.
Membaca novel ini sama saja membiarkan emosi terburai, membuncah, kacau, dan meluap. Dari awal hingga pertengahan, saya sangat gemas dengan perlakuan tidak masuk akal tokoh-tokoh di dalamnya. Catherine yang tidak dewasa, Heathcliff yang pendendam, Hindley yang rapuh, dan lainnya. Saya tak habis pikir, sepertinya keluarga Earnshaw dan Linton berisi orang-orang yang kegembiraannya telah direnggut oleh kutukan. Nuansa abu-abu, mendung dan gelap, membayangi novel ini dari awal hingga akhir.
Bagi saya, Edgar Linton adalah satu-satunya tokoh yang berakal sehat. Seperti ucapan salah satu tokoh di dalamnya, Edgar adalah satu sosok yang terlihat lemah di luar, namun menunjukkan kewarasan dan kekuatan di dalam. Mau tak mau, tokoh ini menjadi salah satu favorit saya. Saya juga ingin membuat pengakuan, entah mengapa, Heathcliff juga ternyata menjadi tokoh yang tak mudah terlupakan. Terlepas apakah dia bisa dibilang favorit atau tidak, si tokoh ini membekas cukup dalam di kenangan saya.
Satu-satunya hal yang membuat novel ini menjadi kurang menarik dan membosankan adalah sang narator. Diceritakan dari sudut pandang seorang pelayan keluarga, membuat unsur ketegangan dan kengeriannya berkurang. Selain itu, kalimat-kalimat nan njelimet (saya tentu saja kagum dengan penerjemahnya) khas novel klasik mungkin akan membuat beberapa orang cepat bosan. Secara pribadi, saya lebih suka novel milik saudara perempuan Emily, yaitu Jane Eyre karangan Charlotte Brontë .
Seperti dua sisi mata pisau, bagi sebagian orang, Wuthering Heights adalah kisah keegoisan cinta yang tak mudah dimengerti. Namun bagi sebagian yang lain, pasti novel ini merupakan warisan literatur lama yang pantas untuk dijadikan koleksi, meskipun sekali lagi, bersiaplah dengan kegelapan dan aura mistis sejak halaman pertama!
Judul: Wuthering Heights
Penulis: Emily Brontë
Penerhemah: Lulu Wijaya
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Detail: 488 halaman, April 2011
ISBN: 978-979-22-6978-9
p.s Review ini dibuat dalam rangka Posting Bersama Blogger Buku Indonesia :)
0 komentar:
Posting Komentar