Bonsai: Hikayat Satu Keluarga Cina Benteng
Pralampita Lembahmata
GPU – Maret 2011
520 hal.
Sebuah pohon kate alias bonsai menjadi saksi bisu perjalanan sebuah keluarga. Berawal dari sebuah kunjungan ke rumah seorang teman, Boenarman, warga Indonesia keturunan Tionghoa, tertarik dengan sebuah pohon yang dibuat jadi kecil, tapi ternyata memiliki sebuah pemahaman, filosofi yang sangat dalam. Dari situlah, ia bercita-cita, memiliki satu bonsai yang akan menjadi sebuah prasasti, pusaka, warisan bagi keluarganya kelak.
Boenarman yang menjadi pengusaha ternak babi merawat bonsai itu dengan penuh perhatian. Dibesarkan di jaman serba susah oleh ibunya, Boenarman tumbuh jadi orang yang sukses, sederhana dan bijak. Di kala itu, tahun 1900an, penggemar bonsai masih langka. Orang yang tak paham dengan apa yang jadi tujuan Boenarman, mungkin akan melihat ia berlebihan. Boenarman memperlakukan bonsai bagai ‘anggota keluarga’. Manakala hatinya galau, ia duduk di depan bonsai, merenung, seolah bercakap-cakap dengan bonsai dan hatinya pun jadi lebih tentram.
Ketika tentara Jepang datang ke Indonesia dan merampas semua harta benda rakyat, bonsai ini disimpan di antara pohon-pohon lain sehingga tidak seperti tanaman yang berharga. Pengentahuan tentang bonsai pula yang jadi penyelamat nyawa Boenadi, anaknya.
Bonsai ini tetap hidup, melintas berbagai jaman, menjadi saksi berbagai peristiwa bersejarah – tak hanya sejarah keluarga itu sendiri, tapi juga sejarah bangsa Indonesia. Tak hanya saat-saat bahagia, tapi juga ketika satu keluarga ini dirundung masalah, bonsai ini tampak menjadi penenang dan pelindung bagi keluarga besar Boenarman. Seperti yang diharapkan oleh Boenarman, bonsai ini dimiliki secara turun-temurun di dalam keluarganya. Mencari penerus untuk memelihara bonsai ini, juga bukan perkara mudah. Harus ada kemauan dan minat yang tumbuh secara alamiah, tak boleh ada rasa terpaksa dalam diri sipewaris.
Cara bertutur para tokoh juga bergulir seiring dengan jaman yang berubah. Misalnya cara bicara Boenarman dengan sahabat-sahabatnya lebih ‘berbunga-bunga’ atau lebih banyak kata-kata yang halus dibanding ketika Boenadi bertutur, berubah lagi ketika Meily, anak Boenadi berbicara. Gak berasa kalau ternyata jamannya udah berubah. Surat-suratan Boenarman juga ditulis dengan bahasa Indonesia berejaan lama.
Cerita bonsai berlatar belakang keluarga keturunan Tionghoa, yang sudah turun-temurun ada di Indonsia,
sehingga sudah berbaur dengan bangsa pribumi. Pembaca diajak menelusuri sejarah Indonesia, sejak masih ada yang namanya Festival Perahu Naga di Tangerang, hingga kerusuhan Mei 1998. Dari jaman ketika para warga keturunan dan pribumi bersatu, hidup damai tanpa ada prasangka dan curiga, hingga akhirnya warga keturunan Cina dicaci-maki, difitnah, dan akhirnya terjadi berbagai peristiwa yang berujung pada perbedaan yang semakin meruncing.
Pralampita Lembahmata
GPU – Maret 2011
520 hal.
Sebuah pohon kate alias bonsai menjadi saksi bisu perjalanan sebuah keluarga. Berawal dari sebuah kunjungan ke rumah seorang teman, Boenarman, warga Indonesia keturunan Tionghoa, tertarik dengan sebuah pohon yang dibuat jadi kecil, tapi ternyata memiliki sebuah pemahaman, filosofi yang sangat dalam. Dari situlah, ia bercita-cita, memiliki satu bonsai yang akan menjadi sebuah prasasti, pusaka, warisan bagi keluarganya kelak.
Boenarman yang menjadi pengusaha ternak babi merawat bonsai itu dengan penuh perhatian. Dibesarkan di jaman serba susah oleh ibunya, Boenarman tumbuh jadi orang yang sukses, sederhana dan bijak. Di kala itu, tahun 1900an, penggemar bonsai masih langka. Orang yang tak paham dengan apa yang jadi tujuan Boenarman, mungkin akan melihat ia berlebihan. Boenarman memperlakukan bonsai bagai ‘anggota keluarga’. Manakala hatinya galau, ia duduk di depan bonsai, merenung, seolah bercakap-cakap dengan bonsai dan hatinya pun jadi lebih tentram.
Ketika tentara Jepang datang ke Indonesia dan merampas semua harta benda rakyat, bonsai ini disimpan di antara pohon-pohon lain sehingga tidak seperti tanaman yang berharga. Pengentahuan tentang bonsai pula yang jadi penyelamat nyawa Boenadi, anaknya.
Bonsai ini tetap hidup, melintas berbagai jaman, menjadi saksi berbagai peristiwa bersejarah – tak hanya sejarah keluarga itu sendiri, tapi juga sejarah bangsa Indonesia. Tak hanya saat-saat bahagia, tapi juga ketika satu keluarga ini dirundung masalah, bonsai ini tampak menjadi penenang dan pelindung bagi keluarga besar Boenarman. Seperti yang diharapkan oleh Boenarman, bonsai ini dimiliki secara turun-temurun di dalam keluarganya. Mencari penerus untuk memelihara bonsai ini, juga bukan perkara mudah. Harus ada kemauan dan minat yang tumbuh secara alamiah, tak boleh ada rasa terpaksa dalam diri sipewaris.
Cara bertutur para tokoh juga bergulir seiring dengan jaman yang berubah. Misalnya cara bicara Boenarman dengan sahabat-sahabatnya lebih ‘berbunga-bunga’ atau lebih banyak kata-kata yang halus dibanding ketika Boenadi bertutur, berubah lagi ketika Meily, anak Boenadi berbicara. Gak berasa kalau ternyata jamannya udah berubah. Surat-suratan Boenarman juga ditulis dengan bahasa Indonesia berejaan lama.
Cerita bonsai berlatar belakang keluarga keturunan Tionghoa, yang sudah turun-temurun ada di Indonsia,
sehingga sudah berbaur dengan bangsa pribumi. Pembaca diajak menelusuri sejarah Indonesia, sejak masih ada yang namanya Festival Perahu Naga di Tangerang, hingga kerusuhan Mei 1998. Dari jaman ketika para warga keturunan dan pribumi bersatu, hidup damai tanpa ada prasangka dan curiga, hingga akhirnya warga keturunan Cina dicaci-maki, difitnah, dan akhirnya terjadi berbagai peristiwa yang berujung pada perbedaan yang semakin meruncing.
0 komentar:
Posting Komentar