Sebagian besar kita terobsesi dengan kemapanan. Karena itu jika ada orang yang meninggalkan kemapanan untuk sesuatu yang belum jelas, tentu menarik untuk disimak. Mark Boyle, adalah salah satunya.
Boyle adalah seorang pengelola perusahaan makanan organik di Inggris. Pengetahuannya di bidang ekonomi membuka matanya bahwa apa yang terjadi di dunia saat ini merupakan kesalahan yang akan mempercepat kehancuran peradaban manusia. Manusia saat ini begitu konsumtifnya sehingga segala sesuatu pasti akan diukur dengan uang. Dan karena uang itulah manusia saling bersaing.
Boyle mengawali bukunya dengan dongeng – persis dengan yang saya terima dalam pelajaran ekonomi waktu SMP – tentang ditemukannya uang.
Awalnya manusia melakukan barter. Tapi barter bukannya tanpa masalah. Ketika pembuat gerabah ingin menukar gerabahnya dengan sebutir telur, belum tentu si pemilik telur menginginkan gerabah. Karena itulah ada yang kemudian mengusulkan dipakainya alat tukar berupa kerang. Namun, dalam perjalanannya, kepemilikan alat tukar ini kemudian menentukan status sosial masyarakat. Saat kita masih menggunakan sistem barter, gotong royong diantara anggota masyarakat masih sangat baik. Orang – orang akan saling berkunjung dan menciptakan lingkungan sosial yang sehat. Namun, ketika status sosial mulai muncul, gotong royong mulai luntur. Tidak ada lagi orang yang mau berbuat sesuatu bagi orang lain tanpa bayaran. Orang yang awalnya memiliki kehidupan sosial yang sehat mulai bersikap individualistis.
Ketika masyarakat primitif menggunakan alat tukar untuk kebutuhan – kebutuhan primer, dunia moderen kita menggunakan uang untuk kenyamanan hidup. Pemimpin – pemimpin dunia berlomba untuk menyejahterakan rakyatnya. Mereka berutang untuk mendapatkan modal dan mereka mulai mengeksploitasi alam. Eksploitasi alam tanpa perhitungan inilah yang akan menyebabkan perubahan iklim dan habisnya sumber daya alam. Dua hal inilah yang akan memusnahkan manusia. Perubahan iklim akan merusak bumi yang kita tinggali, dan habisnya sumber daya alam akan membuat manusia saling berperang demi memperebutkannya.
Bencana dahsyat kehidupan manusia ini disebabkan oleh uang. Inilah yang meresahkan Boyle. Karena itulah ia membuat sebuah komunitas yang tidak bergantung kepada uang melainkan kepada kepada ketrampilan masing – masing anggotanya. Komunitas yang diberi nama “Freeconomy Community” ini berisi individu – individu dengan ketrampilan yang berbeda – beda. Anggota dari komunitas yang memiliki ketrampilan tertentu akan membantu seseorang yang membutuhkan ketrampilannya tersebut tanpa imbalan uang. Semakin banyak anggota komunitas, akan semakin banyak ketrampilan yang terkumpul. Anggota komunitas akan merasa aman karena kebutuhannya pasti akan terpenuhi oleh ketrampilan orang lain. Berbeda dengan uang yang hanya akan menimbulkan kesenjangan, saling berbagi ketrampilan ini akan menimbulkan keterikatan. Keterikatan dari sesama anggota komunitas inilah yang diyakini Boyle dapat menjadi solusi dari masalah – masalah dunia di masa – masa mendatang.
Sebagaimana teori – teori yang ada, teori tentang kesalingtergantungan atas dasar ketrampilan – bukan uang – ini tentu tidak akan lepas dari kritik. Karena itulah Boyle ingin bereksperimen. Ia akan mencoba hidup selama satu tahun tanpa uang dan hanya bergantung kepada ketrampilannya. Pada november tahun 2008, ia memulai eksperimennya. Ia tidak membelanjakan uang. Tidak menggunakan listrik. Ia menggunakan telepon genggam. Tapi telepon genggam itu hanya digunakan untuk menerima panggilan saja. Ia menggunakan laptop, tetapi laptop yang menggunakan tenaga surya.
Mark Boyle (Foto:www.justfortheloveofit.org) |
Ia menggunakan skype untuk berkomunikasi dengan orang – orang yang jauh. Dan, ini yang menarik perhatian saya, ia juga menyarankan agar menggunakan free software untuk komputer. Menurutnya, free software seperti Linux dan OpenOffice, selain menawarkan keamanan, juga dikembangkan oleh komunitas yang bergantung kepada ketrampilan – mirip dengan gagasannya tentang freeconomy.
Boyle adalah seorang dengan tekad yang kuat. Ia tipe orang yang sangat yakin dengan gagasannya. Seorang yang sangat berani. Karena itulah, menurut saya, tulisannya dalam buku ini juga memuat emosi dan semangatnya yang memungkinkan kita tertular virus freeconomy.
Buku ini ditulis bukan dalam bentuk diary. Menurut saya, akan sangat memikat jika buku ini ditulis dalam bentuk catatan harian lengkap dengan hari, jam dan tanggalnya. Boyle juga menuliskan kelelahan mentalnya dalam menjalani eksperimen ini. Jika dibuat dalam bentuk diary, atau gabungan dari keduanya seperti dalam novel Robinson Crusoe, naik turunnya emosi Boyle dalam menjalankan eksperimen ini tentu lebih dramatis. Namun, saya rasa Boyle melakukan ini karena ia ingin agar buku ini tidak terlalu tebal dan bertele – tele.
Banyak yang mengkritik Boyle. Ia disebut – sebut sebagai orang yang hanya mencari popularitas saja. Lagipula dengan menulis buku ini, bukankah ia menerima royaltinya? Begitu juga dengan pemberitaan dan wawancara dari media massa yang mungkin juga mendatangkan uang baginya?
Akan tetapi, menurut saya, kita tidak perlu melihat apa motif Boyle sebenarnya. Akan lebih baik jika mempertimbangkan solusi Boyle bagi dunia yang semakin tidak menentu ini.
Informasi Buku:
Buku 2
Judul: The Moneyless Man
Penulis: Mark Boyle
Penerjemah: Rahmani Astuti
Penyunting: Moh. Sidik Nugraha
Penulis: Mark Boyle
Penerjemah: Rahmani Astuti
Penyunting: Moh. Sidik Nugraha
Penerbit: Serambi
Tebal: 352 halaman
Cetakan: I, Mei 2011
Tebal: 352 halaman
Cetakan: I, Mei 2011
NB: Review ini baru saya posting jam 20.20 WIB, Karena seharian ini listrik mati.
0 komentar:
Posting Komentar