Tampilkan postingan dengan label Novel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Novel. Tampilkan semua postingan

Buku The Innocent Man - ulasan

Muak-ngeri-geram di awal. Bosan menggantikannya di pertengahan. Tapi mendekati akhir, trenyuh dan prihatin berganti menyeruak di dada. Akhirnya aku sampai pada pertanyaan: Masihkah ada keadilan di dunia ini? Semua kesan itu aku dapatkan ketika membaca karya John Grisham yang merupakan sebuah kisah nyata: The Innocent Man.

Jika kau percaya bahwa orang (di Amerika) tak bersalah, sampai dinyatakan bersalah, buku ini akan mengejutkanmu.
Jika kau percaya hukuman mati, buku ini akan mengusikmu.
Jika kau percaya sistem peradilan pidana itu adil, buku ini akan menyulut kemarahanmu.

Malam itu, 7 Desember 1982, sebuah pembunuhan terjadi di Ada, sebuah kota kecil di negara bagian Oklahoma, Amerika. Korbannya gadis bernama Debbie Carter, seorang waitress di bar bernama Coachlight. Keesokan harinya Debbie ditemukan tak bernyawa setelah diperkosa di apartemennya sendiri. Seperti biasa, proses penyidikan segera digelar, barang bukti diamankan, saksi-saksi (para pria tentunya) diwawancarai dan diminta menyerahkan sampel cairan tubuh, seperti layaknya prosedur tindak kriminal yang sering kita baca/tonton. Bedanya, dalam kasus ini polisi segera menjadi depresi karena setelah semua prosedur yang makan waktu lama itu dilalui, tak kunjung ditemukan seorang tersangka pun.

Maka mulailah mereka mengeluarkan "kreativitas" mereka dengan menyeret seorang pria yang sudah terkenal sebagai “troublemaker” karena suka mabuk-mabukan dan membuat keributan di bar. Alasannya gampang saja: Ron Williamson, nama pria itu, adalah tersangka yang besar kemungkinannya melakukan kejahatan itu. Pasti malam itu ia mabuk berat, lalu menginap di apartemen Debbie. Sesuatu yang seharusnya hanya dugaan, tiba-tiba berkembang menjadi obsesi polisi untuk secepatnya menetapkan tersangka. Apakah ada saksi yang melihat Ron pulang bersama Debbie malam itu? Tidak ada. Adakah yang melihatnya mendekati Debbie di bar? Tidak ada. Atau setidaknya adakah yang melihat Ron di Coachlight malam itu? Tak ada yang ingat. Lalu? Tak masalah. Ron tersangka yang sangat bagus, sekarang tinggal mendapatkan pengakuan darinya. Bagaimana kalau ia tak mengakui bahwa ia membunuh Debbie? Tak masalah. Polisi akan menerornya dengan bentakan dan ancaman yang persuasif hingga pada suatu titik, bahkan orang yang teguh pendiriannya pun akan menyerah dan membuat pengakuan yang lemah. Tak masalah. Pasti ada napi-napi lain yang bisa diancam untuk membual di pengadilan bahwa mereka mendengar Ron mengaku telah membunuh Debbie. Semua itu bisa direkayasa. Yang penting polisi telah menunaikan tugas.

Muak. Ngeri. Geram. Muak melihat kemalasan dan kebodohan polisi dalam melakukan tugas. Ngeri menyadari begitu gampangnya aparat hukum menjadikan seseorang yang tak berdosa tersangka pembunuhan. Geram membaca bahwa kebodohan dan ketidakadilan itu dilakukan hampir terang-terangan dan diketahui hampir semua orang, namun hanya didiamkan saja. Sementara polisi, yang menyimpulkan bahwa kejahatan itu pasti dilakukan 2 orang, berhasil pula menyeret seorang teman Ron: Dennis Fritz. Klop sudah.

Sementara itu, cerita kemudian bergulir pada kehidupan Ron yang ironis. Sepanjang hidupnya Ron hanya memiliki satu impian, ambisi sekaligus obsesi, yaitu pada bisbol. Ditunjang tubuhnya yang setinggi 180 cm dan atletis, Ron yang egois karena selalu dimanja sejak kecil, tak kesulitan merintis jalan menuju seorang pemain bisbol profesional di liga besar. Ketika nampaknya pengorbanan keluarga Williamson terhadap si bungsu nan manja itu bakal berbuah kebahagiaan, datanglah kabar yang menyakitkan. Ron mengalami cedera bahu yang memaksanya untuk berhenti main bisbol selamanya. Ron yang tak pernah dewasa tak mampu menerima kenyataan impiannya harus pupus, justru ketika ia nyaris berhasil menembus liga besar dan menjadi pemain bisbol terkenal seperti para idola yang ada di kartu-kartu bisbol koleksi keramatnya. Ron lalu jatuh ke jurang minuman keras, dan menderita penyakit mental. Dan dalam keadaan demikianlah, Ron menapakkan kaki ke penjara Pontotoc County sebagai pembunuh…

Meski tak sedramatis perjalanan hidup Ron, Dennis Fritz harus merelakan kehidupan sebagai suami dan ayah yang bahagia, hanya karena fakta ia merupakan teman Ron dan pernah mabuk-mabukan bersamanya. Dengan teknik yang sama, polisi akhirnya berhasil menjerat Dennis ke penjara juga. Hanya butuh sebuah sidang dengan selusin saksi-saksi penipu, para pengadu, jaksa penuntut arogan dan hakim yang kurang teliti, maka Ron dan Dennis pun resmi menjadi narapidana. Dennis dengan hukuman seumur hidup, dan Ron dengan hukuman mati!

Di bagian ini, cerita menjadi datar. Aku sempat bosan membaca naik-turunnya kondisi Ron yang begitu cepat, namun dengan kepastian grafik itu menuju ke bawah. Pemenjaraan memang siksaan bagi semua yang mengalaminya, namun bagi seorang sakit mental seperti Ron, itu berarti merenggut hidup seorang manusia secara perlahan. Dan itu bukan saja karena penjara itu sendiri namun juga keacuhan semua pihak yang terlibat di dalamnya terhadap kesehatan mental dan fisik Ron. Dan itu terjadi selama dua belas tahun. Bayangkan, dua belas tahun menghabiskan hidup di penjara padahal anda tak melakukan apapun! Untunglah ada orang-orang seperti Barry Schenck dan Mark Barrett yang aktif di yayasan yang peduli terhadap orang-orang tak mampu yang mengalami peradilan yang buruk. Mereka bekerja sama dengan para pekerja medis yang tergerak oleh nurani memperjuangkan nasib Ron yang dijauhkan dari perawatan kesehatan. Berkat rasa keadilan mereka, Ron bersama Dennis akhirnya berhak mendapatkan sidang peradilan yang baru, yang (diharapkan) lebih bersih.

Di bagian-bagian akhir inilah cerita kembali memanas. Aku bisa membayangkan bagaimana perasaan Ron dan Dennis menghadapi berita yang memberikan harapan besar ini. Setelah belasan tahun terpenjara dan pengajuan banding mereka ditolak di mana-mana, nyaris tak ada lagi harapan barang secuil pun bahwa mereka akan dapat kembali menghirup udara bebas. Kini secercah harapan nampak di ujung lorong panjang penantian itu. Apakah cahaya itu nyata? Bagaimana kalau ternyata sidang itu penuh kebohongan seperti pada sidang yang lalu? Di sinilah emosiku turut diaduk-aduk antara harapan dan kekhawatiran. Harapan bahwa akhirnya, keadilan akan ditegakkan. Sekaligus kekhawatiran bahwa harapan yang terlambung untuk kedua kalinya akan semakain membuat Ron dan Dennis makin terpuruk. Untunglah, Hakim Seay memiliki cukup keberanian untuk mendobrak sistem yang salah.

Dan akhirnya sidang pun dimulai. Sidang kedua pembunuhan Debbie Carter yang telah berlangsung 14 tahun lalu! Bahagiakah Ron dan Dennis setelah mereka dinyatakan bebas? Tentu saja! Namun yang membuatku trenyuh adalah perjuangan mereka untuk dapat kembali ke masyarakat, mengenyam hidup yang normal. Melewatkan dua belas tahun di penjara adalah satu hal, namun harus memulai hidup kembali setelah tertinggal dua belas tahun adalah hal lain yang bisa jadi lebih mengkhawatirkan. Bagi sedikit orang yang berkarakter kuat seperti Dennis, mereka akan berhasil melewatinya. Namun bagi orang-orang yang tak pernah bisa mandiri dan sepenuhnya dewasa seperti Ron, kebebasan itu terasa semu. Itulah menurutku dosa paling besar proses peradilan yang tidak jujur. Bukan hanya waktu yang tersia-sia di penjara, namun pemenjaraan itu bisa merusak hidup seseorang sepenuhnya hingga akhir hayatnya. Kalau anda tak percaya bacalah kata-kata terakhir Ron sebelum ia meninggal dunia, yang membuatku menangis...

"...Aku pernah bertanya pada diri sendiri apa alasan aku dilahirkan, saat aku dipenjara terpidana mati, jika aku harus melalui semua itu? Apa alasan kelahiranku? Aku hampir mengutuk ayah dan ibuku--jahat sekali--karena membuat aku lahir ke dunia ini. Bila aku harus melakukan semuanya itu lagi, aku tak ingin dilahirkan."

Sangat miris kalau orang sudah menyesalkan kelahirannya sendiri ke dunia ini. Dan itu gara-gara segerombolan aparat hukum sembrono yang tak mampu menegakkan hukum dengan adil. Jadi...apakah keadilan itu masih ada? Tentu saja! Hakim Seay, Mark Barrett dan Barry Scheck adalah contoh-contoh nyata. Kasus Ron itu mungkin saja menjadi titik balik dimulainya proses hukum yang lebih baik. Dan kalau demikian, mungkin saja pengorbanan Ron tak sia-sia, kelahiran Ron ke dunia bukannya tanpa tujuan. Ia memang harus mengalami semuanya itu, agar makin banyak orang yang boleh merasakan keadilan. Mungkin saja...

Yang membuat buku ini terasa spesial adalah foto-foto mereka yang tersangkut dalam cerita ini. Ada foto Debbie Carter yang manis, dan banyak foto-foto Ron. Di foto itu anda bisa membandingkan ketika Ron baru saja didakwa, dan ketika Ron keluar dari penjara. Anda takkan percaya bahwa tenggang waktunya hanya 12 tahun! Salut pada John Grisham yang keluar dari kebiasannya menulis fiksi. Meski mungkin saja fiksinya lebih "heboh", namun bukankah itu hanya fiksi? Ketidak adilan yang dialami orang-orang yang nyata, justru akan menjungkir balikkan emosi anda, dan akhirnya membuat buku ini semakin melekat di hati anda. Empat bintang untukmu John!

Judul: Tak Bersalah (The Innocent Man)
Penulis: John Grisham
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Mei 2011
Tebal: 537 hlm

lintasberita

Lanjut Baca

Buku Lady Dan Unicorn - ulasan

Bagaimana proses pembuatan permadani bisa dibingkai menjadi sebuah kisah yang menarik? Tracy Chevalier telah berhasil melakukannya melalui buku Lady dan Unicorn ini. Pembuatan permadani hiasan dinding (tapestry) pada abad pertengahan sangat rumit karena semuanya dilakukan secara manual dibantu alat tenun. Sama sekali tak dapat dibandingkan dengan pembuatan karpet jaman modern yang menggunakan mesin. Selain itu, motif permadani jaman itu dirancang dengan memasukkan simbol-simbol tertentu, yang menceritakan banyak hal sekaligus pada penikmatnya, tentang visi maupun impian keluarga itu. Itulah sebabnya, pembuatan permadani bisa memakan waktu bertahun-tahun, terutama apabila desainnya rumit dan eksklusif, seperti Lady dan Unicorn yang menjadi judul buku ini.

Kisah ini mengambil tokoh keluarga le Viste, sebuah keluarga yang, meski tidak berdarah bangsawan murni namun karena memiliki pengaruh besar pada kerajaan selama beberapa generasi, memiliki reputasi yang baik di kalangan bangsawan dan raja Prancis pada akhir abad 15: Charles VII. Dan setelah Jean le Viste memperistri Genevieve de Nanterre yang putri bangsawan, maka darah kebangsawananpun mengalir ke keluarga itu. Untuk merayakan kenaikan status yang dianugerahkan oleh Raja itu, le Viste memesan permadani untuk dipamerkan di rumahnya saat pesta.

Nicolas des Innocents adalah pelukis yang tampan, angkuh dan perayu wanita kelas kakap, yang sangat ironis mengingat ia menyandang nama Innocents (innocent). Selama ini reputasinya sebagai pelukis gambar diri miniatur wanita-wanita bangsawan, pelukis kaca patri kapel dan pelukis pintu kereta sudah tersebar di antara para bangsawan. Suatu hari Nicolas dipanggil ke kediaman Jean le Viste dengan tugas baru yang belum pernah ia kerjakan sebelumnya: melukis permadani.

Jean le Viste awalnya meminta Nicolas mendesain gambar pertempuran untuk permadaninya. Tentu saja dengan tak lupa memasukkan lambang keluarganya (tiap keluarga bangsawan memiliki lambang masing-masing). Namun Genevieve, istri Jean yang merasa gagal karena "hanya" dapat memberikan 3 orang anak perempuan, meminta Nicolas membujuk suaminya untuk mengubah gambar pertempuran menjadi gambar unicorn. Tepatnya, Lady dan Unicorn. Mengapa lady dan unicorn?

Lady dan Unicorn

Dalam sejarah, permadani Lady dan Unicorn ini memang benar-benar ada (sekarang tersimpan di Museé de Cluny di Paris, Prancis), dan dahulu dibuat atas pesanan salah seorang anggota keluarga Le Viste, yang diduga adalah Jean le Viste.

Unicorn sendiri merupakan sebuah dongeng atau mitos yang unik. Dalam mitos itu unicorn (yang bertubuh seperti kuda dan memiliki tanduk panjang di hidungnya) hanya dapat ditaklukkan oleh seorang perawan. Maka jadilah 6 buah desain permadani yang menggambarkan proses penaklukan seorang lady terhadap unicorn. Begitu menakjubkan bagaimana sebuah gambar dapat menginterpretasikan banyak hal. Nicolas sendiri menggambar 2 lady di antara desain itu yang merupakan perwujudan Genevieve dan Claude (anak gadis Jean le Viste yang cantik, pemberontak dan agak liar). Agak ironis, mengingat Nicolas yang jago menaklukkan wanita harus melukis wanita yang menaklukkan unicorn. Kitapun harus mereka-reka alasan Genevieve meminta Nicolas melukis Lady & Unicorn. Apakah itu karena dongeng ngawur tanduk unicorn yang dapat memurnikan wanita yang dikisahkan Nicolas untuk merayu Claude di luar pintu kamar ibunya? Entahlah…

Ada 6 permadani yang akhirnya dilukis Nicolas. 5 di antaranya melambangkan panca indra manusia, dan dalam makna lain menggambarkan perjalanan sang lady dalam usahanya menggoda dan menaklukkan unicorn.

Permadani yang bergambar lady sedang menoleh sedikit ke samping sambil memegang tanduk unicorn mewakili (indra) Peraba.


Di lukisan lainnya, lady sedang memainkan kecapi yang dibawa oleh dayangnya. Tentu saja lukisan ini melambangkan Pendengaran.


Indra Perasa berwujud dalam lady yang sedang memberi makan burung betetnya. Tangan kanannya mengambil buah di wadah yang dibawa dayangnya, sedang si betet bertengger di tangan kirinya. Sementara singa dan unicorn mengapit di kanan-kiri sang lady dengan jubah berkibar ditiup angin. Konon permadani yang nampak paling “hidup” ini menggambarkan sosok Claude, gadis yang selalu berada di hati Nicolas, meski tak kunjung dapat dimilikinya.


Sementara lady yang sedang menganyam bunga anyelir menjadi sebuah mahkota, meski tak terlalu jelas, dianggap mewakili Penciuman. Makna di baliknya adalah sang lady yakin telah dapat menaklukkan unicorn sehingga ia menganyam mahkota bunga anyelir untuk pernikahannya.


Indra terakhir, Penglihatan, mewujud dalam gambar unicorn yang meletakkan kaki depannya di pangkuan lady, sementara sang lady yang berwajah sedih membawa sebuah cermin yang merefleksikan si unicorn. Gambar ini boleh jadi adalah simbol unicorn yang akhirnya takluk pada rayuan lady.


Permadani terakhir, yang merupakan kesimpulan dari ke 5 kisah lady dan unicorn tadi berjudul A Mon Seul Desir (bisa diartikan “satu-satunya keinginanku”). Bergambar lady sedang memegang perhiasan (entah mengambil dari atau hendak meletakkan ke) kotak perhiasan yang dipegang dayangnya. Di belakangnya tampak tenda anggun berwarna biru tua, perlambang kenaikan status keluarga le Viste di kerajaan. Kata-kata "a mon seul desir" adalah ungkapan yang didengar Claude saat ibunya mengaku dosa pada pastur dan mengatakan bahwa "mon seul desir" adalah menjadi biarawati. Mungkin saja Claude mengusulkan judul itu pada Nicolas karena pria itulah "mon seul desir" bagi Claude? Entahlah...



Pembuatan Permadani

Sebelum melangkah ke jantung cerita, aku akan mengajak anda sejenak mengintip proses pembuatan permadani di abad pertengahan yang harus dilalui untuk mendapatkan kualitas yang sempurna. Pada saat itu, kota Brussels di Belgia dianggap sebagai salah satu penghasil permadani terbaik di dunia. Inilah beberapa tahap dalam pembuatan permadani:

1. Pelukis mendesain dan melukis gambar sesuai tema yang diminta pemesan.

2. Lukisan itu dibawa kepada kartunis, yang akan memperbesar dan membagi lukisan itu menjadi bagian-bagian sesuai ukuran permadani. Singkatnya, tugas kartunis adalah mengubah media lukisan menjadi media gambar yang siap ditenun menjadi permadani.

3. Karena ukuran permadani jauh lebih besar daripada lukisan, pada saat lukisan itu diperbesar, akan tampak banyak bagian yang kosong. Disinilah peran pelukis millefleurs berperan. Perannya adalah mengisi kekosongan itu dengan gambar elemen-elemen kecil tokoh penunjang, misalnya dayang-dayang atau hewan kecil seperti anjing dan monyet, dan yang terpenting bunga-bunga kecil yang bertebaran di seluruh bidang yang kosong. Tampaknya sederhana, namun millefleurs haruslah mampu menghidupkan keseluruhan desain permadani itu sehingga antara desain asli dan millefleursnya tampak menyatu.

4. Dan yang terpenting tentunya, adalah peran penenun (lissier) itu sendiri. Hasil akhir coretan kartunis lah yang akan ditenun menjadi permadani. Selain menenun, seorang lissier juga harus menangani aspek bisnis dengan pemesan atau perantara (broker)nya. Ia harus memperkirakan beratnya pekerjaan, lamanya waktu yang dibutuhkan, jumlah tenaga kerja dan bahan-bahan yang akan digunakan, dan akhirnya harga yang ia minta. Ia juga harus mengawasi dan mensupervisi pekerjaan semua orang.

Brussels memiliki serikat pekerja penenun yang mengawasi bahwa penenun tidak memperkerjakan orang melebihi jam kerja atau mempekerjakan orang yang tidak dilaporkan sebelumnya hanya agar pesanan permadani lebih cepat jadi dari pesaing. Setelah permadani jadi pun, lissier harus membawanya ke serikat pekerja untuk dinilai hasilnya. Semua ini bertujuan untuk menjaga kualitas permadani yang dihasilkan Brussels sebagai penghasil permadani terbaik dunia.

Hal unik dalam pembuatan permadani ini adalah bahwa sepanjang proses penenunan, yang makan waktu sekitar 2-3 tahun, seluruh pekerja tak dapat melihat hasil kerja mereka. Barulah setelah bagian terakhir selesai ditenun, dilakukan pengguntingan benang-benang yang membentuk tenunan itu dari alat tenun dan dilepaskan dari gulungan. Setelah itu barulah permadani itu dibalik, dan...voila...saat itulah hasil jerih payah selama bertahun-tahun itu terbayar lunas ketika tokoh-tokoh yang hidup dalam dekorasi warna-warna yang indah seolah menyapa mereka untuk pertama kalinya.


Menenun Permadani, Merajut Cinta

Setelah seluruh desain Lady dan Unicorn disetujui Jean le Viste, akhirnya berangkatlah Nicolas ke kota Brussels, Belgia untuk membawa desain itu ke seorang penenun bernama Georges de la Chapelle. Maka dimulailah tahap terpenting dalam pembuatan permadani, yaitu membuat kartun yang lalu dilanjutkan dengan penenunan. Makin banyak tokoh yang terlibat dalam fase ini. Ada Philippe sang kartunis dan ahli millefleurs, seorang pria muda pendiam yang diam-diam mencintai Aliénor, putri Georges yang buta. Meski buta, Aliénor tetap membuat dirinya berguna bagi keluarganya. Ia suka berkebun, dan tanaman bebungaannya dapat mengilhami ayahnya ketika akan menenun gambar bunga. Selain itu, ia juga dapat menjahit dengan halus, bahkan saat gelap karena ia tak menggunakan matanya. Rupanya Tuhan menganugerahinya indra penciuman dan peraba yang sangat sensitif sebagai ganti indra penglihatannya. Sedangkan ibunya, Christine, sebenarnya ingin sekali ikut menenun, hanya saja suaminya tak pernah mempercayakan tugas itu kepadanya. Maka selama ini ia hanya melakukan tugas menjahit, menggulung benang atau mengelim seperti halnya Aliénor. Putra Georges dan Christine, Georges le Jeune juga memiliki bakat menenun seperti ayahnya, dan ia kebagian gambar-gambar yang tak terlalu penting, sementara ayahnya menangani bagian-bagian yang paling krusial.

Awalnya Nicolas yang angkuh dan merendahkan semua yang “berbau” Brussels tidak diterima dengan baik di rumah keluarga de la Chapelle, namun lama-kelamaan kedua pihak dapat menerima satu sama lain. Di tengah tuntutan kerja keras menyelesaikan permadani-permadani itu dalam waktu yang sangat singkat dengan upah yang minim, Nicolas pun menemukan cinta yang lain di tengah keluarga de la Chapelle. Mungkin ia menyerah pada harapannya untuk mendapatkan Claude, mengingat putri bangsawan tak mungkin bergaul apalagi bersanding dengan pelukis. Tapi lebih mungkin Nicolas mengagumi Alienor yang tenang dengan keunikan dan kecantikannya yang seolah terpisah dari dunia. Sementara itu, persoalan lain menghinggapi keluarga de la Chapelle. Seorang pencelup wol bernama Jacques le Boeuf ingin mengambil Alienor menjadi istrinya. Masalahnya, bahan pewarna yang dipakainya mencelup begitu busuk baunya sehingga orang tak tahan berdekatan dengannya, apalagi harus menjadi istrinya. Namun Georges terpaksa menjanjikan putrinya pada Jacques karena kebutuhan bisnis mereka. Dalam kemelut ini, Nicolas menawarkan solusi bagi Alienor secara diam-diam...

Di saat-saat terakhir sebelum semua permadani ditenun, Nicolas mengubah 2 desainnya. Lady dalam Peraba dilukis mirip dengan ekspresi Christine saat ia bersemangat setelah diijinkan menenun. Sedangkan lady dalam Penglihatan berubah menjadi serupa Alienor. Rupanya begitulah cara Nicolas mengekspresikan perasaannya pada wanita-wanita itu. Dan aku berpikir, jangan-jangan sebenarnya unicorn itu merefleksikan Nicolas sendiri? Yang telah berhasil ditaklukkan oleh wanita-wanita itu dengan caranya masing-masing?...

Lady dan Unicorn ini merupakan kombinasi fiksi, sejarah dan seni yang telah berhasil dirangkai dengan apik oleh Tracy Chevalier, dan membuat anda takkan pernah lagi memandang sebuah permadani buatan tangan dengan cara yang sama. Meski merupakan drama beralur datar, namun tak sedetikpun aku tergoda untuk meletakkan buku ini sebelum tamat. Lady dan Unicorn memotret empat orang wanita yang sama-sama merasa terkungkung karena hal yang berbeda. Namun di sisi lain, empat orang wanita itu pula yang telah menghidupkan desain permadani dinding yang paling terkenal di dunia ini: The Lady and The Unicorn.

Judul: Lady dan Unicorn
Judul asli: The Lady and The Unicorn
Penulis: Tracy Chevalier
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Februari 2007
Tebal: 296 hlm

lintasberita

Lanjut Baca

Buku Quo Vadis? - ulasan

Apakah pengertian anda tentang “kemenangan”? Ketika dua orang samurai bertarung misalnya, pemenangnya pastilah samurai yang masih hidup, dan pecundangnya adalah samurai yang mati karena kalah oleh lawannya. Kisah klasik karya Henryk Sienkiewicz akan menjungkar balikkan pengertian kita tentang kemenangan sekaligus kematian. Quo Vadis adalah sebuah roman yang dibingkai latar belakang sejarah pada tahun 60-an, saat Nero menjadi kaisar kerajaan terbesar yang memimpin dunia : kerajaan Romawi. Adalah seorang bangsawan yang menjadi pejabat militer di kerajaan bernama Marcus Vinicius. Pamannya merupakan salah satu orang terdekat Nero yang sangat mencintai keindahan dan seni bernama Petronius. Segalanya berawal dari keinginan Vinicius untuk mendapatkan seorang gadis yang berasal dari kerajaan kecil bernama Lygia, untuk dijadikan selir di rumahnya. Lygia saat itu tinggal di rumah Aulus, maka Vinicius minta bantuan Petronius untuk merayu Aulus agar mau melepas Lygia.

Lygia adalah seorang gadis saleh yang telah menjadi Kristen. Tahun 60-70 itu memang diperkirakan dalam sejarah sebagai tahun mulai berkembang pesatnya agama Kristen, berkat pengajaran Rasul Petrus dan Paulus, setelah Kristus disalibkan dan bangkit. Roma sendiri pada saat itu sedang dalam kebobrokan moral yang amat parah. Sebagian besar karena kebiasaan Nero yang dipenuhi pesta-pora, kecabulan, dan sadisme menular pada pengikut dan rakyatnya. Petronius seorang pengapresiasi seni, maka sarannya sering didengarkan oleh Nero, terlebih karena gaya bicara Petronius yang “manis” sering melambungkan puji-pujian selangit yang disukai Nero. Karena itu Petronius akhirnya berhasil “memaksa” Lygia keluar dari rumah Aulus. Namun sebelum Vinicius yang berhasrat memiliki Lygia berhasil membawa pulang si gadis, Lygia melarikan diri karena takut kesuciannya ternoda dengan menjadi selir Vinicius. Dalam pengejaran Lygia inilah, kehidupan Vinicius tiba-tiba berbalik 180 derajat.

Ternyata Lygia berlindung pada teman-teman sesama pemeluk Kristen. Di sinilah Vinicius mengalami sendiri hal-hal aneh yang sangat berbeda dengan kebiasaan masyarakat pada saat itu. Salah satunya adalah sikap mengasihi dan mengampuni musuh yang diperlihatkan pelindung Lygia: Ursus dan seorang tabib bernama Glaucus. Alih-alih membunuh atau mencelakainya karena ingin merebut Lygia, mereka justru memperlakukan Vinicius dengan penuh kasih. Namun yang paling mengesan pada Vinicius barangkali adalah kotbah Rasul Petrus pada sebuah pertemuan para orang Kristen. Ini sebuah ajaran baru, dan tiba-tiba hati Vinicius bak dipenuhi oleh gelombang kedamaian. Di hati Vinicius benih baru saja tertabur…

Salah satu bukti nyata perubahan pada diri Vinicius adalah cintanya pada Lygia yang tulus dan murni, menggantikan cinta penuh nafsu yang dulu ia pendam dalam hatinya. Sementara itu kesintingan Nero semakin parah. Nero yang terobsesi menjadi penyair agar disanjung rakyatnya, tiba-tiba muak pada Roma. Keangkuhannya sebagai penguasa dunia mendorongnya untuk membakar habis Roma untuk dibangun kembali sesuai keinginannya. Sejarah memang mencatat kota Roma yang sengaja dibakar atas perintah Nero ini. Dan lihatlah…sang Kaisar naik dan berdiri di atas bukit, bukan untuk menangisi kemalangan rakyatnya, namun justru untuk mengarang sebuah puisi. Sinting!

Rakyat pun mengamuk karena banyak saudara mereka yang meninggal, dan mereka kehilangan rumah serta mata pencarian. Nero yang telah bertindak ceroboh itu pun sadar bahwa kedudukannya akan terancam kalau desas-desus bahwa ia sengaja membakar Roma tersebar luas. Maka ia pun cepat-cepat menimpakan kesalahan kepada orang-orang Kristen, memfitnah bahwa merekalah yang telah membakar kota Roma. Semua orang Kristen lalu ditangkap dan dipenjara, termasuk Lygia, Ursus dan teman-temannya. Berkali-kali Vinicius dibantu oleh Petronius merencanakan pembebasan Lygia dari penjara, namun tanpa hasil. Sementara itu, untuk memuasakan nafsu sadisme dirinya sendiri dan demi menyenangkan hati rakyatnya, Nero merancang pertunjukan penyiksaan orang-orang Kristen di amphitheater. Orang-orang Kristen, laki-laki, perempuan dan bahkan anak-anak digiring ke tengah stadion bak hewan tontonan pada pertunjukan sirkus. Ada yang dibantai oleh para gladiator, ada yang disalibkan, ada yang dibuat obor hidup di taman dengan membakar mereka sementara mereka diikat pada tiang. Ada juga yang dimangsa oleh singa, harimau, serigala dsb yang sengaja dibuat kelaparan selama 2 hari sebelumnya. Herannya, bukannya ngeri dan jijik pada pemusnahan berdarah-darah itu, para penguasa dan rakyat justru bertepuk tangan penuh semangat, seolah pertunjukan itu hanyalah pertunjukan tari-tarian biasa.

Selama hari-hari penyiksaan beradab yang di luar batas kemanusiaan itu, Vinicius tetap berikhtiar untuk dapat membebaskan Lygia. Ia bahkan memohon Rasul Petrus untuk memohonkan keselamatan bagi Lygia dari Tuhan. Anda dapat membayangkan bagaimana perasaan Rasul Petrus pada saat itu. Dengan susah payah ia mengumpulkan satu-persatu jiwa untuk diselamatkan dengan percaya kepada Kristus, namun kini setelah jemaat telah mulai berkembang, saat ia menyangka tugasnya telah usai, mereka semua dimusnahkan dengan cara yang mengenaskan hanya dalam sekejap. Padahal Petrus melakukan semuanya karena amanat dari Kristus sendiri. Bagaimana mungkin kini Ia membiarkan mereka semua musnah? Maka tak heran kalau pada suatu titik tertentu, karena bujukan terus menerus pengikutnya, Rasul Petrus pun setuju untuk melarikan diri dari Roma menuju tempat yang aman. Lalu, dalam perjalanan itu ia tiba-tiba melihat sebuah cahaya menyilaukan menghampirinya di jalan itu. Itu Kristus! Maka bertanyalah Petrus kepadaNya: “Quo Vadis, Domine?” (ke mana Engkau hendak pergi, Tuhan? = where are you going, Lord?). Pertanyaan yang biasa saja mungkin, kalau saja Kristus tidak menjawabnya: “Karena kini kau meninggalkan umatKu, Aku akan pergi ke Roma, untuk disalibkan yang kedua kalinya” (hlm. 513). Sebuah tamparan bagi Petrus yang langsung membalikkan langkahnya kembali ke Roma….

Kita semua seperti Petrus juga. Saat kesulitan datang bertubi-tubi, dan nampaknya tak ada lagi yang dapat kita lakukan, apalagi kalau kengerian tampak mendatangi kita, kita ingin melarikan diri saja. Itu memang kodrat manusia untuk menjauh dari sengsara, mengelakkan diri dari kehancuran. Padahal kematian, apalagi kematian demi Dia, bukanlah kekalahan. Lewat pertanyaan sederhana Quo Vadis?, Petrus mengingatkan kita untuk tetap tegar dalam iman meski semua di sekitar kita telah musnah, kalau itu memang kehendakNya. Bukankah benih itu memang harus jatuh ke tanah dahulu, baru ia akan dapat tumbuh dan berbuah? Kalau memang penderitaan yang menanti kita, kita harus menghadapinya dengan penuh iman, seperti halnya orang-orang Kristen pada saat penyiksaan. Alih-alih menangis ketakutan dan memohon-mohon, pancaran kebahagiaan malah keluar dari sorot mata mereka, karena mereka yakin bahwa kebahagiaan yang sejati, kebahagiaan kekal telah disediakan bagi mereka di RumahNya. Sikap orang-orang Kristen yang pasrah dan berani itulah yang justru membuat rakyat takjub, dan akhirnya semakin banyak yang menjadi Kristen. Kerajaan Romawi akhirnya jatuh (yang kita ketahui juga dalam sejarah), Nero pun akhirnya binasa, namun kerajaan Kristus justru tumbuh makin subur dan bergaung hingga kini. Meski itu harus ditebus dengan kematian banyak orang, termasuk Petrus dan Paulus. Kematian duniawi memang menandakan kekalahan, namun kematian dalam Kristus bukanlah kekalahan, tapi kemenangan. Aku jadi teringat pada cuplikan syair dalam sebuah nyanyian yang setiap tahun dinyanyikan saat Malam Paskah:

“..Ajari pula kami tekun dan tak gentar, bersamaMu berjuang, dan kami pun menang!
Terpuji Kristus Pemenang, lenyaplah maut yang kejam…

Pada akhirnya, benih yang ditaburkan oleh Petrus, Paulus dan semua orang Kristen yang dibantai maupun yang masih hidup akhirnya berbuah, jauh lebih banyak daripada yang disangka-sangka semua orang, seperti halnya benih di dalam hati Vinicius yang akhirnya berbuah iman. Lalu bagaimana dengan cinta Vinicius dan Lygia? Akankah cinta mereka berbuah juga? Dan apakah Kristus mengabulkan doa Vinicius yang telah memberikan hati padaNya, untuk menyelamatkan Lygia? Rasul Petrus telah menyuruhnya tetap memiliki iman dan terus berdoa. Akankah Vinicius melakukannya, atau malah menyerah di tengah jalan? Jawabnya hanya bisa anda temukan di buku ini. Tak banyak dalam hidup kita ada buku yang mampu menggugah hati sekaligus iman kita, buku ini salah satunya!

Judul: Quo Vadis?
Penulis: Henryk Sienkiewicz
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: November 2009
Tebal: 552 hlm

lintasberita

Lanjut Baca

Buku Midnight For Charlie Bone - ulasan

Charlie Bone sama hebatnya dengan Harry Potter? Hmm...tunggu dulu! Biarpun endorsement dari Goodreads mengatakan begitu, aku tak setuju. Midnight For Charlie Bone ini memang jelas terinspirasi oleh dan mirip dengan Harry Potter, namun cara bertutur Jenny Nimmo di buku ini jelas-jelas sangat jauh bila dibandingkan dengan J.K. Rowling. Yang membuat kisah petualangan fantasi itu bagus, adalah bila pembaca bisa dibuat (sejenak) percaya bahwa apa yang terjadi di kisah itu adalah apa yang ia alami/lihat sendiri. Itu artinya, walau kisah itu fantasi, pembaca merasa seolah-olah kisah itu wajar, sewajar apa yang terjadi di sekitar kita. Lalu, mengapa Charlie Bone ini dibilang mirip dengan Harry Potter? Mari kita intip cerita singkatnya...

Keluarga Bone jelas bukan keluarga yang normal. Charlie, si bocah lelaki, dan ibunya tinggal seatap bersama kedua nenek Charlie yang hampir sama nyentriknya. Maisie adalah nenek dari pihak ibu yang periang dan pintar memasak. Sebaliknya Nenek Bone, nenek dari pihak ayah Charlie, adalah wanita tua yang cemberut, suka memerintah dan suka mengeluh. Si Nenek punya 3 orang saudara perempuan yang sama nyentrik dengannya. Suatu hari Charlie menemukan keanehan pada dirinya. Ketika memandang sebuah foto milik orang lain (yang tertukar dengan foto Runner Bean -- anjing milik sahabatnya, Benjamin), Charlie tiba-tiba dapat mendengar suara dalam otaknya. Suara itu adalah suara orang-orang di foto saat foto itu diambil. Keanehan ini tercium oleh Nenek Bone yang juga anggota keluarga Yewbeam yang "diberkahi". Dari kemampuan khusus Charlie itu, nenek Bone akhirnya memaksa Charlie untuk keluar dari sekolahnya saat itu, dan pindah ke Bloor's Academy, akademi untuk mereka yang "diberkahi".

Benjamin, sahabat sekaligus tetangga Charlie yang sering kesepian karena tak punya teman dan sering ditinggal pergi orang tuanya, sedang berulang tahun. Charlie, satu-satunya sahabatnya, ingin memberikan hadiah berupa foto Runner Bean yang akan ia jadikan kartu ucapan. Sayangnya, ketika ibunya mengambil foto itu dari tempat cuci cetak di toko buku Ingelsdew, foto itu tertukar dengan foto orang lain, dari mana Charlie menyadari kemampuan khususnya. Ingin menukar foto tersebut, Charlie pergi ke Ingledew, dan disambut oleh pemiliknya: Julia Ingledew, yang menceritakan kisah yang menarik. Kisah keponakan perempuannya yang anak seorang ilmuwan bernama Dr. Tolly, dan terpaksa ditukar ayahnya dengan sebuah “kotak misterius”. Ketika Charlie pulang, ia tak hanya membawa foto Runner Bean miliknya, tetapi juga kotak misterius itu, yang lantas disembunyikannya bersama Benjamin dengan rapi.

Tak sedetikpun Charlie menyadari bahwa kotak itu akan membawanya pada petualangan yang seru, tegang dan berbahaya. Untungnya ia tak sendirian. Selain Benjamin, ia memiliki Fidelio, seniornya di Bloor’s Academy yang mengajarinya musik, sekaligus membantunya menyembunyikan kotak misteriusnya. Lalu ada Paman Paton, satu-satunya keluarga Yewbeam yang berada di pihak Charlie. Oh ya, keluarga Ingledew termasuk Nenek Bone ternyata mengincar kotak misterius Charlie. Bukan dia saja, Manfred Bloor –putra Dr. Bloor pemilik Bloor’s Academy yang punya keahlian menghipnotis, juga meminatinya. Charlie tahu, bahwa tugas untuk menemukan kembali putri Dr. Tolly terletak di tangannya. Dan dari pertemuannya dengan Mr. Onimous yang nyentrik bersama tiga kucing apinya, Charlie pun tahu bahwa yang dicarinya kini berada di Bloor’s Academy.

Di Bloor’s Academy inilah satu persatu jawaban misteri yang dibawa Charlie muncul. Salah satunya bahwa ayahnya masih hidup entah di mana, dan bahwa sang ayah dulu telah berjuang menyelamatkan putri Dr. Tolly. Dibantu oleh Olivia dan Fidelio, teman-temannya di academy, Charlie pun memulai misi untuk menyelamatkan putri Dr. Tolly, dan “menyadarkannya” dari pengaruh hipnotis Manfred Bloor lewat kotak misterius yang didapatnya dari Julia Ingledew.

Misi penyelamatan ini dan segala pengalaman baru berada di sebuah sekolah khusus seperti Bloor’s Academy ini yang membuat buku ini dapat dinikmati dan cukup menghibur. Dibantu oleh penempatan huruf-huruf yang cukup besar dan berspasi agak renggang oleh penerbit Ufuk, membuat buku ini enak dibaca. Dan kalau anda adalah seorang pembaca yang menganut "judge a book from its cover", anda jelas akan meminati buku bercover nuansa kilap dan bernuansa misterius ini. Hanya sayangnya, kurasa kehidupan sehari-hari di Bloor’s Academy kurang dieksplor oleh Jenny Nimmo. Tak seperti Hogwarts yang membuat kita sangat mengenal suasana sekolah seolah kita sendiri pernah bersekolah di sana, Bloor’s Academy masih terasa asing bagiku meski telah menamatkan bagian pertama ini. Namun, bagaimana pun kisah Charlie Bone memang ingin menyuguhkan sesuatu yang lain. Mungkin saja kekuatan cerita akan semakin mengental di seri-seri berikutnya, karena si Raja Merah yang misterius dan sepertinya menjadi benang merah serial ini masih harus terungkap, dan ayah Charlie pun masih menunggu entah di mana untuk diselamatkan oleh putranya yang juga “diberkahi”.

Satu hal yang kutangkap dari kisah ini, bahwa menjadi berbeda [baca: memiliki kelebihan atau kekurangan] memang dapat membuat seseorang menderita. Namun semuanya kembali kepada kita, bagaimana kita memandang keunikan kita itu. Karena Sang Pencipta kita pasti menambahkan keunikan itu agar kita dapat memanfaatkannya untuk hal-hal yang baik. Keunikan menjadi kekurangan kalau kita menjadi minder, namun ia menjadi kelebihan kalau kita menggunakannya untuk menolong sesama. Seperti halnya Charlie Bone!

Judul: Midnight for Charlie Bone
Penulis: Jenny Nimmo
Penerbit: Ufuk Press
Cetakan: November 2010
Tebal: 412 hlm

lintasberita

Lanjut Baca

Buku The Accidental Billionaires - ulasan

Di balik ketenaran facebook, terdapat persengketaan yang cukup serius. Saya rasa inilah yang ingin ditunjukkan oleh buku ini. Buku ini ditulis oleh Ben Mezrich, penulis yang juga alumnus Universitas Harvard. Mezrich menulis riwayat dibuatnya facebook dalam bentuk novel. Namun, novel ini ditulis berdasarkan data – data asli yang berjumlah ribuan, termasuk wawancara dan juga catatan – catatan pengadilan. Menceritakan kisah dibuatnya facebook dengan gaya naratif khas novel membuat buku ini menarik untuk dibaca berlama – lama.
Ketika majalah Time menobatkan Mark Zuckerberg sebagai Person of the Year 2010, saya merasa bahwa ia memang pantas menerimanya. Mark adalah seorang muda pembuat situs jejaring social paling  mencorong pada saat ini. Sebuah situs pertemanan yang memiliki pengguna paling banyak di seluruh dunia. Bahkan di Indonesia, di desa terpencil yang belum terjamah jaringan internet sekalipun, banyak orang – orang muda yang biasa mengakses akun facebook mereka melalui telepon genggam.
Namun, ketika saya selesai membaca buku ini, saya rasa Mark Zuckerberg tidak sepenuhnya pantas menerimanya.
Mark Zuckerberg dan Eduardo Saverin menjadi mahasiswa Harvard di tahun yang sama. Siapa Eduardo Saverin? Ia adalah penyandang dana facebook ketika situs ini baru pertama kalinya muncul di dunia maya. Saverin sangat berminat menjadi anggota dari salah satu klub yang ada Harvard. Bagi Saverin, menjadi anggota klub saat ini akan membuka jalan kesuksesannya di masa mendatang. Klub – klub itu telah terbukti melahirkan beberapa anggotanya menjadi pemimpin - pemimpin penting. Konon, Roosevelt dan Rockefeller dulunya adalah anggota klub Porcellian, klub tertua di Harvard.
Saverin sadar bahwa untuk menjadi seorang yang sukses di masa mendatang, dia harus terhubung dengan banyak orang yang sukses. Dengan tergabung pada sebuah klub, terbuka kesempatan baginya untuk  terhubung dengan orang – orang yang sukses. Jadi, kata kunci agar sukses adalah “terhubung”. Namun, untuk menjadi anggota dari sebuah klub – klub terkenal di Harvard bukanlah perkara yang mudah. Terdapat seleksi ketat yang harus dilalui oleh mahasiswa yang diundang untuk bergabung dengan klub. “Terhubung” yang eksklusif ala klub ini nantinya akan diganti dengan “terhubung” ala facebook yang terbuka.
Awalnya, Mark Zuckerberg membuat sebuah situs yang bernama facemash.com. Situs ini berisi foto – foto mahasiswi yang ia dapatkan dengan cara meretas jaringan computer Universitas Harvard. Pengunjung situs ini bisa membandingkan dua foto gadis dan memilih mana yang lebih cantik. Dan dari pilihan – pilihan pengunjung itulah nantinya akan dapat diketahui siapa gadis paling cantik se-kampus.
Mark Zuckerberg mengirim e-mail kepada beberapa temannya untuk mendapatkan umpan balik mengenai situs yang baru saja dibuatnya itu. Namun, ternyata teman – temannya tadi meneruskan e-mailnya hingga dalam waktu yang singkat, situs itu telah tersebar luas di seluruh kampus. Dalam waktu tiga puluh menit, empat ratus mahasiswa sudah mengakses situs baru ini. Tetapi, kepopuleran Zuckerberg karena situs ini harus dibayar dengan ancaman dikeluarkan dari Universitas karena telah meretas jaringan computer kampus.
Meski mendapatkan ancaman, berita tentang seorang anak yang membuat situs popular dalam waktu singkat ini menarik Tyler dan Cameron Winklevoss. Si kembar Tyler dan Cameron dan temannya yang bernama Divya Narendra berencana untuk membuat sebuah situs yang memungkinkan semua mahasiswa Harvard bisa terhubung secara online. Namun, mereka kesulitan untuk mendapatkan programmer yang akan menggarap situs itu. Berita tentang Mark Zuckerberg dan Facemash-nya membuka mata mereka bahwa mereka telah menemukan orang yang tepat.
Tyler dan Cameron pun menghubungi Mark dan menyampaikan hal ini. Mark Zuckerberg begitu tertarik dengan ide ini dan langsung mengiyakannya. Namun, setelah itu Mark begitu sulit dihubungi. Ia bagai hilang ditelan bumi. E-mail – e-mail yang dikirimkan Tyler dan Cameron yang menanyakan tentang perkembangan situs itu dijawab oleh Mark dengan mengatakan bahwa ia begitu sibuk dengan tugas – tugas kuliahnya. Tyler dan Cameron Winklevoss belum sadar bahwa saat itu Mark tengah mencuri ide mereka untuk membuat situs pertemanannya sendiri; thefacebook.com.
Ketika akhirnya mengetahui hal ini, Tyler dan Cameron tentu sangat berang. Dan inilah persengketaan pertama dalam sejarah dibuatnya facebook. Tyler dan Cameron pun mengadukan kecurangan ini kepada pihak universitas. Namun sayang, Universitas tidak memihak mereka. Thefacebook.com pun beroperasi dan menjadi terkenal di Harvard dengan dana operasional dari Eduardo Saverin, yang saat itu memiliki cukup uang dari bermain saham.
Setelah Harvard, thefacebook pun mulai merambah, universitas lain seperti Stanford dan Yale. Dalam perjalanannya, Mark dan Eduardo bertemu dengan Sean Parker, seorang programmer brilian pembuat Napster, sebuah situs berbagi file yang cukup populer, sebelum akhirnya hancur. Sean Parker adalah orang yang turut andil membesarkan facebook hingga seperti sekarang. Namun, facebook yang semakin besarlah yang kemudian membuat Eduardo Saverin dan Sean Parker, orang – orang yang sangat berjasa di facebook, terdepak keluar darinya. 

Informasi Buku:
Buku 1
Judul : The Accidental Billionaires, Uang, Kejeniusan, dan Pengkhianatan dalam Perang Memperebutkan Facebook
Penulis : Ben Mezrich
Penerjemah : Widati Utami
Penerbit : Penerbit Qanita
Cetakan : I, Nopember 2010
Tebal : 337 hlm

lintasberita

Lanjut Baca

Buku The Beach House - ulasan

Walau tetap tak bisa disandingkan dengan sang maestro thriller-hukum: John Grisham, tetap saja James Patterson patut diacungi jempol untuk terobosannya di novel The Beach House ini. Sejak awal, narasi Patterson sudah terasa nikmat untuk dibaca. Sepertinya misteri sudah mulai dibangun sejak saat si tokoh “aku” datang terlambat ke sebuah pesta musim panas kaum elite di beach house mewah milik keluarga Neubauer. Menunggangi motor sport BMW, tentulah kita mengira si “aku” adalah salah satu bocah kaya yang gemar pesta. Namun, kejutan pertama telah dipasang Patterson di akhir prolog: si “aku” ternyata hanyalah seorang petugas valet di pesta itu! Petugas valet tunggangannya motor BMW??

Kejutan kedua. Si “aku” yang ternyata bernama Peter dan berjuluk “Rabbit” punya “pekerjaan” sampingan yang berhubungan dengan orang-orang kaya dan berpengaruh. Pekerjaan sampingannya tidak hanya membuat Peter kaya dari bayaran atas “jasa”nya, namun juga celaka. Pada malam pesta itu, mayatnya ditemukan di pantai dalam keadaan babak belur…

Cerita kini berpindah ke tokoh “aku” lainnya, yang bernama keluarga sama: Mullen. Kali ini si “aku” adalah Jack, kakak kandung Peter. Jack sedang magang di sebuah biro hukum besar. Saat pulang ke rumahnya di Montauk, East Hampton, Jack disambut dengan kabar buruk kematian Peter. Seolah kehilangan kakak masih kurang buruk, kepolisian tampaknya mengabaikan fakta-fakta yang menunjukkan keganjilan pada mayat Peter. Malahan kasus kematian Peter dianggap sebagai kecelakaan atau bunuh diri, dengan modus Peter nekat berenang di laut berombak keras, lalu tenggelam dan mayatnya terhempas ke pantai dalam keadaan babak belur.

Sadar bahwa pengaruh kekayaan sedang berusaha menutup-nutupi fakta bahwa Peter dibunuh, membuat Jack bersama Mack kakeknya, dan beberapa sahabatnya berusaha mencari keadilan. Sepak terjang mereka tercium oleh si pembunuh, dan beberapa ancamanpun ditebarkan. Yang terparah adalah ketika saksi kunci bagi kubu Mullen dalam persidangan tiba-tiba mengubah kesaksiannya. Jack pun menyadari peliknya situasi mereka. Keadilan telah dibeli dan melacurkan diri. Apakah yang mungkin dilakukan oleh orang-orang lemah seperti keluarga Mullen? Haruskah mereka menyerah kalah, padahal perlahan-lahan bukti demi bukti telah mereka dapatkan?

Membaca The Beach House sedikit menggelorakan emosi kita akan ketidak adilan hukum bagi orang lemah. Ketidak adilan itu selain diwakili oleh pembunuhan Peter, juga oleh vonis hukuman mati bagi “Mudman”, yang kasusnya ditangani oleh Jack sebagai kasus pro-bono sewaktu magang di biro hukum. Orang lemah dan kecil sering kali diremehkan oleh sistem. Mungkin karena keberadaan atau ketidakberadaan mereka dianggap tak punya pengaruh apapun pada dunia. Di sinilah Jack Mullen mencoba untuk menjadi pahlawan, meski untuk itu ia harus mempertaruhkan segalanya.

Meski greget pengadilan dan hukum kurang terasa di sini, namun The Beach House tetap menawarkan sesuatu yang lain. Gabungan antara intrik-intrik hukum, ketidak adilan, romansa, juga percikan misteri di sana sini mampu menyuguhkan bacaan yang tak terlalu berat namun tetap membuat penasaran hingga lembar terakhir!

Judul: The Beach House (Rumah Pantai)
Penulis: James Patterson, Peter De Jonge
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Oktober 2009
Tebal: 416 hlm

lintasberita

Lanjut Baca

Buku Lomba Resensi Buku Serambi 2011: Di Mana Ada Cinta, Di Sana Tuhan Ada - ulasan

Judul: Di Mana Ada Cinta, Di Sana Tuhan Ada
Penulis: Leo Tolstoy
Penerbit: Serambi
Penerjemah: Atta Verin
Cetakan: Februari 2011
Tebal: 197 hlm

“Ketika Aku lapar, kamu memberi aku makan. Ketika Aku haus, kamu memberi aku minum. Ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan….” --Mat 25:35

“Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” –Mat 25:40

Kedua ayat Kitab Suci itu langsung memenuhi pikiranku saat aku selesai membaca kisah pertama dalam buku kumpulan cerita bertema cinta spiritual karya sastrawan besar Rusia Leo Tolstoy ini. Sebenarnya ayat itu bahkan tidak dicantumkan dalam cerita itu, namun aku langsung menemukan kesamaan dengan esensi ceritanya. Di Mana Ada Cinta, Di Sana Tuhan Ada. Demikianlah judul kisah pertama di buku ini, yang sekaligus menjadi judul buku ini sendiri. Berkisah tentang seorang perajin sepatu bernama Martin, yang merasa kesepian setelah ditinggal mati istri dan putra semata wayangnya. Ia lalu mengalami kehampaan dalam hidupnya, berhenti pergi ke Gereja dan malah mengomel pada Tuhan karena mengambil putranya terlebih dahulu alih-alih mengambil dirinya. Hingga suatu hari ia kedatangan tamu dari biara yang menasihatinya untuk mulai membaca Kitab Suci. Dan kedamaian pun perlahan-lahan mulai bersemi dalam hati Martin tiap kali ia membaca sabda Tuhan.

Hingga suatu hari ia berandai-andai, apakah yang akan dilakukannya bila Tuhan sendiri bertamu ke rumahnya? Lalu dalam tidur, ia memimpikan Tuhan memanggil namanya, dan mengatakan bahwa Ia akan datang keesokan harinya. Maka begitu pagi menjelang, Martin pun mulai menanti-nantikan “Tamu Istimewa”nya itu. Ia yang biasa mengenali warga dengan mengintip sepatu mereka dari ambang jendela, terus menerus menunggu. Banyak orang yang melewati rumahnya, namun tak seorang pun yang berhenti, apalagi singgah. Orang pertama yang berdiri di luar di depan jendelanya adalah seorang pembantu rumah yang kedinginan saat menyekop salju. Merasa iba, Martin mengajak si pembantu rumah itu masuk dan menyuguhkan teh untuk memberinya kehangatan. Dan sambil si pembantu menikmati bercangkir-cangkir teh hangat, Martin juga menghangatkan jiwanya dengan kata-katanya tentang Tuhan yang ia ambil dari kitab suci. Si pembantu pun kembali ke dinginnya salju untuk bekerja, namun kini dengan tubuh maupun hati yang lebih hangat…

Sepanjang hari Martin menunggu, namun tak satupun tamu yang datang, apalagi yang bisa disebut “Istimewa”. Yang ada malah seorang wanita dengan bayi di gendongannya yang tampak kedinginan di balik pakaiannya yang tipis, sedang berdiri di luar rumah Martin. Maka Martin pun mengundang wanita itu masuk untuk menghangatkan diri. Bersama roti dan sup hangat yang dihidangkan Martin, wanita itu bertutur tentang kemalangan dirinya yang ditinggal suaminya perang, dan kini jatuh miskin, bahkan selendang untuk menghangatkan diripun harus ia gadaikan sehingga kini mereka berdua harus kedinginan di jalanan. Martin memberinya uang sekadarnya untuk bisa menebus kembali selendangnya, dan membekalinya mantel usang untuk dapat melindunginya dan si bayi dari kedinginan.

Dan begitulah, ternyata hari itu berlalu tanpa ada yang istimewa sama sekali. Hanya kejadian-kejadian kecil semacam itu yang membuat Martin berinteraksi dengan orang-orang asing yang ditolongnya. Entah itu untuk memberikan kehangatan raga, kehangatan jiwa, maupun untuk belajar mengampuni dan berdamai dengan orang lain. Lalu bagaimana dengan “Tamu Istimewa” yang berjanji akan mengunjunginya? Maka akupun teringat kembali pada ayat Kitab Suci yang aku kutip di awal tulisan ini. Dan kembali aku serasa diingatkan (lagi)… bahwa Tuhan tak perlu dicari-cari, ia hadir dalam diri setiap orang yang membutuhkan kita. Setiap hari. Setiap saat. Hanya tinggal kitalah yang peka untuk menyadarinya, dan bertindak. Sebuah kisah yang sederhana namun sangat berkesan bagiku.

Itu barulah kisah pertama dalam buku kumpulan cerita ini. Dalam 4 cerita selanjutnya pun, anda akan diajak untuk melihat indahnya kasih. Kasih bisa berwujud maaf, seperti terungkap dalam kisah kedua: Tuhan Tahu, Tapi Menunggu, yang bercerita tentang seorang saudagar bernama Aksionov yang ditangkap dan dipenjara dengan tuduhan membunuh teman sepenginapannya saat ia sedang bepergian. Cinta juga menampakkan wajahnya kepada seorang saudagar kaya bernama Vasili, yang pikirannya selalu dipenuhi dengan bisnisnya dan kebanggaan dirinya yang sukses berbisnis. Suatu hari ia harus bepergian di tengah badai salju yang membekukan, bersama dengan pembantunya, Nikita. Di saat itulah Tuhan “memanggilnya” lewat kejadian yang tak masuk akal. Vasili yang berkereta kuda bersama Nikita tak pernah dapat menemukan jalan sehingga harus tersesat di tengah badai salju dan terancam mati membeku. Saat itulah Vasili harus memilih. Apakah ia akan tetap memikirkan dirinya sendiri, atau membiarkan Tuhan mengambil alih? Sekali lagi kita menyadari, bahwa di mana ada cinta, di sana Tuhan ada. Keseluruhan kisahnya bisa anda baca di kisah no. 4: Majikan dan Pelayan.

Kisah penutup atau kisah kelima mungkin yang paling tegas menjelaskan pada kita, bagaimana Tuhan menginginkan kita untuk menjalani hidup ini dan mengisinya. Di kisah Dua Lelaki Tua ini, adalah Efim dan Elisha, dua pria tua yang ingin pergi berziarah ke Yerusalem bersama-sama. Efim adalah pria yang selalu mengkhawatirkan segalanya, dan menginginkan semuanya sempurna. Kalau saja bukan karena desakan Elisha yang lebih santai, Efim mungkin takkan pernah berangkat ziarah karena sibuk dengan ini-itu yang tak habis-habisnya. Sayangnya, walaupun berangkat bersama-sama, kedua lelaki tua ini harus berpisah jalan tanpa sengaja ketika Elisha singgah di sebuah rumah untuk sejenak memuaskan dahaganya dengan meminta segelas air. Di titik ini Leo Tolstoy ingin menunjukkan pada kita ziarah seperti apa yang sebenarnya lebih berkenan bagi Tuhan, dan bahwa ziarah itu sejatinya terjadi di sepanjang hidup kita tanpa terkecuali. Hidup kita ini adalah sebuah peziarahan. Apakah kita ingin mendapat hasil yang baik dari ziarah ini, itu adalah pilihan kita. Yang jelas, Tuhan telah menyediakan “sarana”nya, yakni lewat sesama kita, tinggal kitalah yang mau memilih memanfaatkannya sebaik mungkin, atau melewatkannya…

Buku yang diterbitkan oleh Serambi ini, bagiku merupakan salah satu buku yang isinya sederhana, namun isinya akan selalu meresap hingga ke relung-relung jiwa yang paling dalam. Cara bercerita Leo Tolstoy telah membuat kisah-kisah sederhana itu menjadi hidup berkat kemampuannya merangkai detail-detail yang sangat cermat menjadi sebuah cerita yang mengalir, sehingga kita seolah merasa mengalami atau melihat sendiri semua kejadian di kisah itu. Bravo Leo Tolstoy! Dan untuk itu aku memberikan 5 bintang untuk karya ini!

lintasberita

Lanjut Baca

Buku Persekutuan Misterius Benedict - ulasan

Siapa di dunia ini yang paling mengerti tentang makna "kesepian"? Pastilah para anak yatim piatu yang tak sempat mengecap kasih orang tua, entah karena ketiadaan orang tua, atau karena pengabaian orang tua akan anaknya. Kesepian macam inilah yang dirasakan Reynard Muldoon alias Reynie, bocah lelaki jenius yang tinggal di sebuah panti asuhan di kota Stonetown, yang gemar berdiskusi sambil minum teh bersama pembimbingnya: Miss Perumal. Suatu hari mereka berdua menemukan iklan aneh mengenai sebuah tes di surat kabar yang bunyinya begini: 'Apakah kau seorang anak berbakat yang mencari kesempatan istimewa?'. Berbekal iklan itu, berangkatlah Reynie ke tempat tes itu dilaksanakan, tanpa menyadari bahwa tes itu akan mengubah hidupnya yang membosankan selama ini.

Dari beberapa tes yang diadakan, Reynie berhasil lolos bersama dengan 2 anak lainnya: Kate Wetheral dan George "Sticky" Washington. Mereka bertiga, seperti semua anak yang mengikuti tes, memiliki tingkat kepandaian di atas rata-rata. Sticky misalnya, adalah pembaca cepat. Ia bisa membaca dan menghafal isinya luar kepala dalam waktu amat cepat. Kate lebih pandai dalam hal fisik dan banyak akal karena ia pernah bergabung bersama rombongan sirkus. Reynie sendiri memiliki kemampuan analisa yang bagus dan wawasan luas karena senang membaca koran dan berdiskusi. Bagaimana pun juga, mereka bertiga memang anak-anak yang unik. Mereka sama-sama memiliki bakat unik, dapat dikategorikan jenius, dan memiliki karakter jujur (dibuktikan lewat tawaran "menyontek" yang ternyata ditampik oleh ketiga anak yang mengikuti tes). Belakangan, ada seorang anak lagi yang bergabung dengan mereka, yaitu Constance Contraire. Hmm...sulit mengatakan dengan pasti bakat anak kecil (memang bertubuh amat kecil) yang bandel dan keras kepala ini. Namun kenyataannya, keempat anak ini direkrut oleh seorang ilmuwan nyentrik dan baik hati bernama Mr. Benedict, yang mengadakan tes itu.

Mr. Benedict memiliki sebuah misi menyelamatkan dunia dari pengaruh "pesan-pesan rahasia" yang dikirimkan oleh sebuah institut lewat gelombang televisi. Tujuannya untuk mengacaukan otak manusia, sehingga si pemilik institut yang serakah dan jahat itu akan mampu menguasai dunia. Menurut Mr. Benedict hanya anak-anaklah yang mampu menghentikan pengiriman pesan itu, karena anak-anak jugalah yang dipakai sebagai pengirim pesan. Tentu saja, untuk menggagalkan misi institut itu, dibutuhkan lebih dari sekedar anak-anak, melainkan anak-anak yang sangat berbakat. Reynie, Sticky, Kate dan Constance adalah empat anak berbakat yang dipilih Mr. Benedict. Misi mereka adalah untuk menyelusup ke Institut LIVE (Learning Institute of the Very Enlightened) untuk menjadi murid di sana, sekaligus mata-mata bagi Mr. Benedict.

Di LIVE, ternyata ada strata bagi para murid. Para murid yang mendapat nilai paling baik di kelas berpeluang diangkat penjadi Penyampai Pesan. Dan suatu saat para Penyampai Pesan ini bisa juga menjadi Eksekutif. Apa yang harus dilakukan Penyampai Pesan maupun Eksekutif? Tentu saja membantu Mr. Curtain, pendiri sekaligus pemimpin LIVE, yang berambisi mengubah wajah dunia dengan keahliannya. Untuk menghentikan misi jahat itu, anak-anak Persekutuan Misterius Benedict harus pasang mata dan telinga mengamati semua yang terjadi di sekeliling mereka. Mereka mengadakan rapat di kamar anak-anak lelaki setiap malam. Dan bila mereka mengalami kesulitan, mereka bisa mengirim pesan ke Mr. Benedict dengan menggunakan kode Morse. Tentu saja semua ini tidak berlangsung dengan mulus. Ada kalanya rapat mereka nyaris ketahuan oleh para Eksekutif, atau pesan jawaban yang mereka terima dari Mr. Benedict begitu sulit dipecahkan. Sepanjang waktu itu, anak-anak tanpa sadar selalu menggantungkan pada keputusan dan pemikiran Reynie, yang terbukti mampu menjadi sosok pemimpin, sekaligus merupakan sosok yang paling aku sukai. Reynie adalah sosok pahlawan yang sejati menurutku, bukan pahlawan yang selalu percaya diri, mampu bekerja sendiri, selalu berani dan selalu menang. Namun justru pahlawan yang juga merasa sama takutnya dengan yang lain, dan mengakui ketakutan itu dan kebutuhannya akan teman-teman yang lain. Sikap Reynie yang membesarkan hati Sticky si penakut, dengan mengatakan bahwa Reynie sangat membutuhkan Sticky. Tak banyak pemimpin yang mau mengakui hal semacam ini karena takut dianggap lemah dan khawatir direndahkan oleh anak buahnya. Padahal, justru sikap semacam itulah yang membuat anak buah menaruh respek pada pemimpinnya. Sebuah contoh yang baik bagi anak-anak yang membaca buku ini.

Banyak kejadian lucu sekaligus tegang selama geng pahlawan kita ini menyamar di institut. Anda pasti paling tidak tersenyum waktu membaca saat Constance yang kemana-mana harus digendong di punggung Kate dengan mengomel, atau tiap kali Mr. Benedict tiba-tiba tertidur setelah tertawa karena ia menderita Narcolepsy (serangan tidur lelap yang tiba-tiba dan tak dapat dikendalikan, salah satu penyebabnya adalah adanya emosi yang kuat). Anda juga akan ikutan terkekeh puas saat teman sekelas mereka yang bernama Martina jatuh terjerembab saat dikerjai dengan sukses oleh Kate. Tapi yang jelas, anda pasti akan ikut merasa tegang saat petualangan anak-anak ini telah berada di tahap akhir dan mereka harus menyerempet bahaya sungguhan, bukan hanya bahaya kecil macam ketahuan menyontek. Apalagi saat dua dari mereka harus berhadapan dengan “Sang Pembisik”. Siapa atau apa itu Pembisik? Dan bahaya apa tengah mengintai ke empat pahlawan cilik kita? Berhasilkah mereka dalam misi yang mereka emban? Lebih baik (dan pasti lebih seru) kalau anda menuntaskan sendiri kisahnya. Karena bagaimanapun, kisah petualangan hanya bisa dinikmati secara langsung kan? Tapi moga-moga saja sekilas reviewku ini bisa menerbitkan setitik air liur anda untuk membaca buku petualangan setebal 574 halaman ini…

Judul: Persekutuan Misterius Benedict (The Mysterious Benedict Society)
Pengarang: Treton Lee Stewart
Penerbit: Matahati
Cetakan: Februari 2009
Tebal: 574 hlm

lintasberita

Lanjut Baca

Buku [Bukan Review] Dua Versi The Phantom Of The Opera - ulasan

Dunia perbukuan Indonesia patut berbangga hati karena akhir-akhir ini para penerbit mulai berlomba-lomba menerjemahkan dan menerbitkan karya-karya sastra klasik dunia. Bahkan sebuah karya mungkin saja diterbitkan oleh dua penerbit yang berbeda dalam waktu yang hampir bersamaan. Suatu usaha yang patut diacungi jempol. Ini akan memberi sebuah tantangan bagi penerbit untuk menyuguhkan karya yang terbaik, karena pembaca akan memiliki pilihan. Di sisi lain, ini kabar baik bagi pembaca karena mereka sekarang punya pilihan karya yang terbaik. Masalahnya, agak sulit menilai buku hanya sekedar dari sampul dan sinopsis kan? Karena itu kali ini aku akan mencoba melakukan studi perbandingan 2 novel klasik keren: The Phantom Of The Opera. Penerbit Serambi telah menerbitkannya sejak Februari 2011 lalu, sedang Gramedia baru menerbitkan versinya April 2011. Kebetulan, aku sudah pernah mereview terbitan Serambi (karena waktu itu belum ada pilihan lain) di sini. Dan hanya untuk mengobati penasaran, dan berkat sebuah voucher belanja, aku pun memutuskan untuk memiliki juga versi dari Gramedia. Dan inilah tinjauanku mengenai kedua versi. Ini adalah tinjauan pribadi, tidak ada pengaruh dari kedua penerbit, dan tidak ada tendensi untuk mempengaruhi anda untuk memilih salah satu versi. Ini hanya pendapatku secara jujur dan tidak berpihak. Terserah anda pada akhirnya untuk menentukan pilihan… Yang jelas, buku ini layak dibaca!

Yang paling jelas berbeda dari kedua versi tentu saja covernya…


Cover dof milik Gramedia bergambar tokoh si hantu opera dan penyanyi Christine Daae dengan background interior gedung opera bernuansa emas dan merah. Cover ini berkesan mewah, elegan, dan romantis yang tentu saja cocok dengan penggambaran sebuah opera. Cover milik Serambi lebih berkesan “kelam” dengan dasar hitam dari bahan dof, namun anggun lewat sekilas warna ungu tua pada jas milik si hantu. Sedang warna putih berpernis kilap di bagian judul menampilkan kesan “murni”, dan setangkai mawar merah menambahkan aura keromantisan cinta. Secara keseluruhan, cover Serambi lebih mewakili kisah The Phantom Of The Opera yang cenderung gothic. Perpaduan mencolok hitam pekat dan putih cemerlang itu seolah mewakili ironi keberadaan hantu opera yang kelam di suatu tempat di bawah opera yang gemerlapan, atau sifat kejam si hantu di balik kejeniusan dan keromantisannya.


2 cover versi bahasa Inggris terbitan Harper Perennial; New edition thn. 1987, dan Tribeca Books, April 2, 2011:


Di sisi lain, simbol “stempel lilin warna merah” di novel-novel klasik versi Gramedia akan membuat para kolektor tergiur memiliki versi ini. Masih bingung, pasti? Mari lanjut ke isi bukunya…

Perbedaan mencolok kedua (yang juga membuatku penasaran) adalah jumlah halaman. Versi Serambi terdiri dari 485 halaman, sedangkan versi Gramedia hanya 376 halaman. Dan akupun penasaran, di mana letak perbedaannya sehingga selisihnya bisa berkisar 100 halaman? Maka mulailah aku membaca sambil membandingkan. Ditilik dari kualitas penerjemahannya, kedua versi memiliki kualitas yang sebanding, meski tetap ada plus dan minusnya…

Terjemahan dari Serambi ternyata memang cenderung lebih panjang sehingga tidaklah heran, jumlah halamannya lebih banyak ketimbang versi Gramedia. Aku sendiri merasa lebih cocok dengan versi panjang karena lebih mencerminkan sastra klasik yang memang cenderung bahasanya tidak ringkas. Bagi pembaca klasik pemula yang mementingkan alur cerita yang ringkas, mungkin akan lebih menyukai versi lebih singkatnya. Akan aku kutipkan sebuah bagian dari buku ini, berupa surat yang ditulis oleh Christine Daae kepada Viscount/Vicomte Raoul de Chagny. Tentu saja aku akan kutipkan 2 versi, versi yang lebih singkat dan versi yang panjang.

“Aku tidak lupa pada anak laki-laki yang masuk ke laut untuk mengambil syalku. Aku merasa harus menulis surat ini kepadamu hari ini, ketika aku pergi ke Perros demi menggenapi tugas penting. Besok hari peringatan kematian ayahku, orang yang kaukenal dan yang sangat menyukaimu. Ia dimakamkan di sana bersama dengan biolanya, di pemakaman gereja kecil di dasar tanah melandai tempat kita sering bermain ketika kecil, di samping jalan tempat kita mengucapkan salam perpisahan terakhir kali ketika kita telah sedikit lebih besar.” (hal. 75)

“Aku belum melupakan anak laki-laki yang menceburkan diri ke laut untuk mengambilkan selendangku. Aku tidak tahan untuk tidak menuliskan kejadian tersebut kepadamu, mengingat saat ini aku sedang bersiap-siap menuju Perros-Guirec untuk melaksanakan tugas mulia. Besok merupakan hari peringatan meninggalnya ayahku. Kau mengenalnya, dan dia menyukaimu. Ayah dikuburkan di Perros-Guirec bersama biolanya, di sebuah tempat pemakaman yang mengelilingi gereja kecil, di kaki bukit tempat kita sering bermain ketika masih kecil, dan di ujung jalan itu, usia kita sedikit lebih tua saat itu, kita saling mengucapkan salam perpisahan untuk terakhir kalinya.” (hal. 90)

Entah bagaimana dengan anda, tapi aku menemukan versi kedua lebih mirip dengan isi sebuah surat yang akan ditulis seorang wanita pada sahabat kecilnya pada masa itu. Ada sebuah kehangatan dan keakraban yang terungkap di sana. Atau mungkin bagi anda sama saja? Mari kita lanjutkan ke perbandingan yang lain…

Di samping versi singkat dan panjang, aku menemukan pula beberapa kutipan yang dicantumkan di versi Serambi, tidak kutemukan di versi Gramedia. Hal ini mungkin saja terjadi kalau kedua penerbit mengambil naskah yang berbeda untuk diterjemahkan. Memang, ketidak hadiran kutipan itu tidak sampai mempengaruhi jalan cerita, namun aku merasa justru kutipan-kutipan itu makin menguatkan imajinasi kita pada kisahnya sendiri. Lagipula, kalau anda belum tahu, kisah ini bukan murni fiksi rekaan, melainkan merupakan sebuah laporan yang ditulis Gaston Leroux dari hasil investigasi terhadap hantu opera. Jadi wajarlah menurutku kalau ia menyertakan kutipan-kutipan yang entah dia ambil dari tulisan seorang wartawan di koran atau dari sumber lainnya, demi memperkuat laporannya. Sekali lagi, kutipan-kutipan itu mungkin akan memperlambat alur cerita, namun di sisi lain juga tetap memberikan nuansa tersendiri saat kita membaca.

Selain itu, menurutku The Phantom Of The Opera ini seharusnya secara kental menampilkan ke-Prancis-annya. Salah satunya lewat istilah atau nama-nama dalam bahasa Prancis. Misalnya saja judul pertunjukan (opera) Romeo et Juliette seharusnya tetap ditulis demikian, alih-alih menjadi Romeo and Juliet (hal. 32) yang kutemukan di versi Gramedia. Atau Funeral March of a Marionette (hal. 32) seharusnya tetap saja ditulis sebagai La marche funebre d’une marionette karena toh kita sebagai pembaca tak butuh memahami arti judul sebuah pertunjukan opera, justru judul dalam bahasa Prancis (yang tak kita mengerti) itu lebih mengesankan sebagai judul sebuah pertunjukan opera di Prancis. Apalagi pada bagian “Le Roi de Lahore” harusnya kata “Le” tidak dihilangkan sehingga menjadi “Roi de Lahore” (hal. 50), karena dalam bahasa Prancis selalu ada kata sandang (le) di depan kata benda (roi). Le Roi adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan begitu saja.

Bagaimana pun juga, kita harus berterima kasih kepada kedua penerbit yang telah mempersembahkan yang terbaik demi menyuguhkan sebuah bacaan klasik sepanjang masa The Phantom Of The Opera ini. Mana yang terbaik? Tak ada menurutku. Pilihan tentu saja ada di tangan anda masing-masing. Apakah anda menginginkan edisi yang enak dibaca dan bagus untuk dikoleksi dengan cover yang elegan dan jenis kertas serta cetakan yang ekslusif? Atau anda lebih mementingkan keutuhan isi buku aslinya yang lebih klasik daripada jenis kertas dan cetakan biasa-biasa, tapi toh dikemas dalam cover yang sangat pas mewakili isinya? Kalau anda masih saja bingung, itu bukan salahku. Aku telah berusaha menjelaskannya selengkap mungkin. Sekarang giliran anda memilih, namun pastikan anda memilih untuk membaca The Phantom Of The Opera ini! Selamat membaca...

lintasberita

Lanjut Baca

Buku Remember When - ulasan

Kalau kisah percintaan itu hanya soal apakah 2 orang insan saling mencintai atau salah satunya bertepuk sebelah tangan, mengapa begitu baaanyaak kisah roman yang dibuat selama berabad-abad? Jawabnya, karena ada begitu baanyaak juga konflik yang dapat terjadi di dalamnya. Love is often complicated, right? Tapi ada alasan lain selain masalah konflik itu (karena meski banyak macam konflik yang bisa terjadi, kalau karya roman sudah mencapai jutaan, pasti kisah-kisahnya akan jadi klise kan lama-lama?). Alasan lain itu adalah gaya bertutur dan cara penulisan seorang pengarang. Buku Remember When ini sebenarnya juga salah satu buku yang menyajikan cerita percintaan yang biasa-biasa saja menurutku, apalagi tokoh-tokohnya adalah anak-anak SMU. Awalnya aku agak skeptis apakah aku tak akan berhenti di tengah jalan sebelum menamatkan membaca buku hasil buntelan dari Gagas Media ini? Namun, ternyata buku ini memiliki kekuatan lain yang mampu mengimbangi kisah roman yang itu-itu saja, yaitu dari segi penulisannya.

Winna Efendi adalah salah seorang penulis Indonesia yang namanya mulai menanjak karena cara penulisannya. Kisah cinta ABG yang biasanya terkesan picisan, bisa menjadi indah lewat tangan Winna. Remember When ini ditulis dari sudut pandang tokoh-tokohnya. Sehingga saat anda membacanya, anda akan seolah-olah mengintip beberapa diary anak-anak SMU dalam urutan kronologis, sehingga akhirnya anda akan mendapatkan keseluruhan ceritanya lengkap dengan perasaan masing-masing individu yang terlibat di dalamnya.

Tokoh utama di buku ini adalah Freya, Gia, Andrian, Moses dan Erik. Semuanya siswa SMU di sekolah yang sama, namun dengan karakter yang berbeda-beda. Untuk mengenal karakter masing-masing tokoh, anda tinggal membaca saja lembar demi lembar buku ini, karena lewat penuturan masing-masing tokoh, anda akan mengenal mereka sekaligus mengikuti alur ceritanya. Freya telah kehilangan ibu semenjak kecil dan yang menjadikannya introvert. Namun ia berotak cemerlang meski berpenampilan amat sederhana. Freya pacaran dengan Moses, sang ketua OSIS yang juga murid paling bersinar dan doyan belajar. Cara berpacaran Freya dan Moses yang kaku meliputi: belajar bersama, hunting buku di toko buku bekas, nongkrong di perpustakaan. Sedangkan Gia dan Andrian yang juga berpacaran adalah pasangan “selebriti” sekolah mereka. Andrian tampan, atletis dan jago basket. Sementara Gia adalah kembang sekolah yang paling banyak penggemarnya dan punya hobi melukis. Erik adalah sahabat sejati Freya yang paling mengerti cewek ini, dan yang sesungguhnya diam-diam naksir Gia.

Begitulah mulanya… Sampai suatu saat salah satu dari mereka mendapat musibah, kehilangan orang tua yang dikasihi. Sejak saat itu, atau mungkin memang sudah berbenih sebelumnya, ia merasakan cinta yang lain. Dan ternyata cinta itu tak bertepuk sebelah tangan. Karena ternyata cinta itu memang bisa berubah, tatkala si manusianya juga berubah. Dan sebuah musibah cukup dapat membuat seorang manusia berubah. Cinta ternyata bukan hanya tumbuh karena kecocokan hobi dan bahan obrolan saja, tapi lebih jauh lagi, cinta mampu terbit karena ada pemahaman yang sama. Dan celakanya, cinta juga bisa datang kapan saja, tak peduli ketika kita sedang merajut cinta dengan orang lain. Bahkan ketika cinta itu berpotensi meluluhlantakkan sebuah persahabatan dengan kejamnya.

Kedewasaan Freya, Andrian, Moses dan Gia akan teruji saat hati mereka semua sakit. Apakah kebahagiaan diri sendiri layak untuk diperjuangkan kalau untuk mendapatnya mereka harus mengorbankan kebahagiaan yang lain? Apakah cinta layak diperjuangkan kalau harus mengorbankan persahabatan? Keempat sahabat itu akhirnya harus menentukan pilihan masing-masing. Apapun pilihan mereka pada akhirnya, perjalanan yang telah mereka lalui semasa SMU layak menjadi kenangan, baik yang manis maupun yang pahit. Sehingga suatu saat nanti ketika mereka telah dewasa, mereka dapat menatap foto mereka bersama sambil mengingat saat itu, remember when…

Winna Efendi telah berhasil merangkum kisah cinta yang biasa-biasa saja menjadi enak untuk dinikmati. Bahkan sinopsis buku ini pun tertulis dengan begitu indahnya:

“Apa pun yang kau katakan, bagaimanapun kau menolaknya, cinta akan tetap berada di sana, menunggumu mengakui keberadaannya.

Bagi kita, senja selalu sempurna; bukankah sia-sia jika menggenapkan warnanya? Seperti kisahmu, kau dan dia, juga kisahku, aku dan lelakiku. Tak ada bagian yang perlu kita ubah. Tak ada sela yang harus kita isi. Bukankah takdir kita sudah jelas?

Lalu, saat kau berkata, “Aku mencintaimu”, aku merasa senja tak lagi membawa cerita bahagia. Mungkinkah kata-katamu itu ambigu? Atau, aku saja yang menganggapnya terlalu saru?

“Aku mencintaimu,” katamu. Mengertikah kau apa artinya? Mengertikah kau kalau kita tak pernah bisa berada dalam cerita yang sama, dengan senja yang sewarna?

Takdir kita sudah jelas. Kau, aku, tahu itu.”


Judul: Remember When
Penulis: Winna Efendi
Penerbit: Gagas Media
Cetakan: 2011
Tebal: 248 hlm

lintasberita

Lanjut Baca
 
Copyright (c) 2010 Buku Bagus by Dunia Belajar