Buku ini menjadi buku pertamaku di tahun 2011, dan itu berarti sudah 1 tugas yang aku tunaikan di book challenge What's in a Name 4, yaitu untuk kategori buku dengan angka/number di judulnya. Terus terang buku ini kupilih untuk mengikuti book challenge karena aku sudah penasaran dengan ceritanya yang tampak menarik dan covernya yang bagus. Tapi setelah membaca beberapa halaman, aku jadi kecewa. Aku paling tak suka dengan penulis yang menyisipkan banyak sekali kata-kata yang sulit dimengerti (atau mungkin aku memang tak berjodoh dengan buku-buku berbau sastra ya?).
Menurutku pribadi, kata-kata yang "canggih" itu tidak membantu sama sekali bagi kenikmatan membaca. Karena kita sering jadi harus berpikir 2 kali tentang apa makna sesungguhnya kata itu. Mungkin karena itu pula aku lebih menyukai novel terjemahan. Karena di novel terjemahan anda takkan menemukan kata-kata aneh, semuanya dalam bahasa Indonesia yang resmi dipakai mulai aku sekolah hingga kini. Dan karena itu pula (maaf) hanya sedikit karya penulis Indonesia yang menjadi pilihanku. Karena kebanyakan kalau tidak temanya metropop, remaja, roman percintaan, ya novel serius dengan kata-kata "aneh" bertebaran. Kenapa sih dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar??
Ini nih contohnya kata "aneh" itu: mata mencelang, mulut melengah... (apa coba maksudnya?)
Ada juga kalimat "aneh": Havana menyeruput cangkir (padahal yang diseruput kan isi cangkir, bukan cangkirnya!)
Di luar semua itu, Sekar Ayu Asmara menjanjikan asyiknya menikmati "jalan-jalan" ke berbagai belahan dunia karena settingnya memang ada di beberapa negara. Sebut saja Amerika (Manhattan), Indonesia (Bali), Turki (Istambul), hingga Prancis (Paris). Kisah ini dibuka dengan peristiwa bunuh diri tiga orang wanita di tempat berbeda, namun sama-sama dengan cara meloncat dari tempat tinggi: satu dari Statue of Liberty di Manhattan, satu dari jembatan Bhosporous di Istambul, dan satu lagi dari Pura Luhur Uluwatu, Bali-Indonesia. Semuanya tanpa nama dan tanpa keterangan.
Kemudian kisah mulai bergulir di seputar insan-insan manusia dengan berbagai masalahnya di kota-kota dunia itu. Ada Axena si cantik yatim piatu yang akhirnya meretas karir menjadi model nomor satu dunia dan tinggal di New York. Ia pernah mencintai pria bernama Merav dan hampir menikahinya, sebelum Merav tewas saat peristiwa 911 yang meledakkan gedung WTC itu. Lalu ada Havanna, wanita cantik yang berpenampilan dan berkarir eksotis. Kepala plontos, dan bekerja sebagai fotografer khusus kasus bunuh diri. Ia pernah menjalin cinta terlarang dengan pria beristri: Yilmaz. Hingga akhirnya ia memutuskan Yilmaz karena pria itu menipunya.
Di sisi lain ada tiga kembar laki-laki dari keluarga Pusponegoro: Bhara, Bhadra dan Bhajra. Ketiganya hidup dan tumbuh bahagia dalam asuhan ibu mereka, Savitri Pusponegoro yang menjanda setelah kematian ayah mereka. Namun, meski selama ini hidup keluarga mereka sempurna, ketiga kembar itu selalu ingat ucapan terakhir ayahnya sebelum meninggal: Maafkan Bunda... Tak paham apa yang almarhum ayah mereka maksud, karena bagi si kembar tiga, ibunda mereka adalah wanita sekaligus ibu sempurna.
Bhara meniti karir sebagai penyanyi, dan ia diundang untuk audisi di sebuah drama musikal yang mengambil tema Prince of Bali. Masalahnya, audisi itu diadakan di New York, padahal sang Bunda baru saja didiagnosis menderita kanker. Namun akhirnya Bunda pulalah yang mendorong Bhara meninggalkannya seorang diri di Jakarta demi karirnya. Bhadra pun sedang berkompetisi di International Song Festival yang diadakan di Istambul. Lagu ciptaannya diikut sertakan dalam kompetisi itu. Sedang Bhajra sedang menggarap film dokumenter tentang kebudayaan dunia di Bali.
Takdirpun mempertemukan kelima insan itu, namun menurutku dengan cara yang agak kurang wajar. Bhara ternyata bergabung dalam agensi yang sama dengan yang menaungi Axena, membuat mereka bertemu, dan....langsung merasa klop satu sama lain pada pandangan pertama. Di lain pihak, Bhadra bersilang jalan dengan Havana, dan mereka berdua pun langsung merasa berjodoh satu sama lain pada saat pertama bertemu. Lain halnya dengan Bhajra yang tiba-tiba bertatapan mata dengan sesosok gadis Bali nan amat cantik ketika sedang melewati persawahan di daerah Jimbaran, Bali. Dan ia pun...seperti kedua saudara kembarnya... mengalami jatuh cinta pada pandangan pertama meski belum mengenal, atau bahkan berbicara.
Dari sini aku rasanya mulai mengerti sekilas kemana cerita akan bergulir. Bukankah judulnya Kembar Keempat? Sedangkan Bhara, Bhadra dan Bhajra adalah kembar tiga, jadi... pasti akan ada kembaran yang keempat kan, yang kemungkinan besar dari tokoh-tokoh lainnya? Mmm..dan konfliknya pun langsung terbayang di benakku....
Sebenarnya ide ceritanya bagus, sayang Sekar Ayu Asmara sang penulis, mengambil segi mistis untuk menjelaskan sekaligus menutup semua konflik dan misteri. Dan aku juga kurang percaya bahwa anak kembar selalu dibayangi nasib dan takdir yang sama. Misalnya, jatuh cinta pada pandangan pertama pada saat yang sama, jatuh cinta pada wanita-wanita yatim piatu, dan ending yang sama terjadi pada saat bersamaan pula. Akh....mengapa harus ada begitu banyak kebetulan?...
Judul: Kembar Keempat
Pengarang: Sekar Ayu Asmara
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Menurutku pribadi, kata-kata yang "canggih" itu tidak membantu sama sekali bagi kenikmatan membaca. Karena kita sering jadi harus berpikir 2 kali tentang apa makna sesungguhnya kata itu. Mungkin karena itu pula aku lebih menyukai novel terjemahan. Karena di novel terjemahan anda takkan menemukan kata-kata aneh, semuanya dalam bahasa Indonesia yang resmi dipakai mulai aku sekolah hingga kini. Dan karena itu pula (maaf) hanya sedikit karya penulis Indonesia yang menjadi pilihanku. Karena kebanyakan kalau tidak temanya metropop, remaja, roman percintaan, ya novel serius dengan kata-kata "aneh" bertebaran. Kenapa sih dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar??
Ini nih contohnya kata "aneh" itu: mata mencelang, mulut melengah... (apa coba maksudnya?)
Ada juga kalimat "aneh": Havana menyeruput cangkir (padahal yang diseruput kan isi cangkir, bukan cangkirnya!)
Di luar semua itu, Sekar Ayu Asmara menjanjikan asyiknya menikmati "jalan-jalan" ke berbagai belahan dunia karena settingnya memang ada di beberapa negara. Sebut saja Amerika (Manhattan), Indonesia (Bali), Turki (Istambul), hingga Prancis (Paris). Kisah ini dibuka dengan peristiwa bunuh diri tiga orang wanita di tempat berbeda, namun sama-sama dengan cara meloncat dari tempat tinggi: satu dari Statue of Liberty di Manhattan, satu dari jembatan Bhosporous di Istambul, dan satu lagi dari Pura Luhur Uluwatu, Bali-Indonesia. Semuanya tanpa nama dan tanpa keterangan.
Kemudian kisah mulai bergulir di seputar insan-insan manusia dengan berbagai masalahnya di kota-kota dunia itu. Ada Axena si cantik yatim piatu yang akhirnya meretas karir menjadi model nomor satu dunia dan tinggal di New York. Ia pernah mencintai pria bernama Merav dan hampir menikahinya, sebelum Merav tewas saat peristiwa 911 yang meledakkan gedung WTC itu. Lalu ada Havanna, wanita cantik yang berpenampilan dan berkarir eksotis. Kepala plontos, dan bekerja sebagai fotografer khusus kasus bunuh diri. Ia pernah menjalin cinta terlarang dengan pria beristri: Yilmaz. Hingga akhirnya ia memutuskan Yilmaz karena pria itu menipunya.
Di sisi lain ada tiga kembar laki-laki dari keluarga Pusponegoro: Bhara, Bhadra dan Bhajra. Ketiganya hidup dan tumbuh bahagia dalam asuhan ibu mereka, Savitri Pusponegoro yang menjanda setelah kematian ayah mereka. Namun, meski selama ini hidup keluarga mereka sempurna, ketiga kembar itu selalu ingat ucapan terakhir ayahnya sebelum meninggal: Maafkan Bunda... Tak paham apa yang almarhum ayah mereka maksud, karena bagi si kembar tiga, ibunda mereka adalah wanita sekaligus ibu sempurna.
Bhara meniti karir sebagai penyanyi, dan ia diundang untuk audisi di sebuah drama musikal yang mengambil tema Prince of Bali. Masalahnya, audisi itu diadakan di New York, padahal sang Bunda baru saja didiagnosis menderita kanker. Namun akhirnya Bunda pulalah yang mendorong Bhara meninggalkannya seorang diri di Jakarta demi karirnya. Bhadra pun sedang berkompetisi di International Song Festival yang diadakan di Istambul. Lagu ciptaannya diikut sertakan dalam kompetisi itu. Sedang Bhajra sedang menggarap film dokumenter tentang kebudayaan dunia di Bali.
Takdirpun mempertemukan kelima insan itu, namun menurutku dengan cara yang agak kurang wajar. Bhara ternyata bergabung dalam agensi yang sama dengan yang menaungi Axena, membuat mereka bertemu, dan....langsung merasa klop satu sama lain pada pandangan pertama. Di lain pihak, Bhadra bersilang jalan dengan Havana, dan mereka berdua pun langsung merasa berjodoh satu sama lain pada saat pertama bertemu. Lain halnya dengan Bhajra yang tiba-tiba bertatapan mata dengan sesosok gadis Bali nan amat cantik ketika sedang melewati persawahan di daerah Jimbaran, Bali. Dan ia pun...seperti kedua saudara kembarnya... mengalami jatuh cinta pada pandangan pertama meski belum mengenal, atau bahkan berbicara.
Dari sini aku rasanya mulai mengerti sekilas kemana cerita akan bergulir. Bukankah judulnya Kembar Keempat? Sedangkan Bhara, Bhadra dan Bhajra adalah kembar tiga, jadi... pasti akan ada kembaran yang keempat kan, yang kemungkinan besar dari tokoh-tokoh lainnya? Mmm..dan konfliknya pun langsung terbayang di benakku....
Sebenarnya ide ceritanya bagus, sayang Sekar Ayu Asmara sang penulis, mengambil segi mistis untuk menjelaskan sekaligus menutup semua konflik dan misteri. Dan aku juga kurang percaya bahwa anak kembar selalu dibayangi nasib dan takdir yang sama. Misalnya, jatuh cinta pada pandangan pertama pada saat yang sama, jatuh cinta pada wanita-wanita yatim piatu, dan ending yang sama terjadi pada saat bersamaan pula. Akh....mengapa harus ada begitu banyak kebetulan?...
Judul: Kembar Keempat
Pengarang: Sekar Ayu Asmara
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
0 komentar:
Posting Komentar