Judul Buku: Ironi Negeri Beras
Penulis: Khudori
Penerbit: INSISTPress, Yogyakarta
Tahun: I, Juni 2008
Tebal: xvi + 366 halaman
Harga: Rp 42.500
Beras adalah pangan yang pokok di Indonesia. Saat ini, 96 persen penduduk Indonesia, dari Sabang sampai Papua, tergantung pada pangan beras. Dari sisi gizi dan nutrisi lebih unggul daripada pangan lain. Kandungan energinya 360 kalori per 100 gram, dan kandungan proteinnya 6,8 gram per 100 gram. Hal ini membuat pangsa beras pada konsumsi energi per kapita mencapai 54,3 persen. Karenanya, tak heran jika dilihat dari sisi produsen, Indonesia melibatkan sekitar 25,4 juta rumah tangga petani atau lebih dari separuh penduduk negeri ini. Sementara dari sisi konsumen, beras sebagai makanan pokok bagi sebagian besar penduduk di Asia. Sekitar lebih dari 70 persen kebutuhan kalori dan protein sebagian besar penduduk Asia, khususnya masyarakat yang berpendapatan rendah, dipenuhi dari beras. Dan di Indonesia malah lebih besar lagi, sekitar 97-100 persen.
Sayangnya, bahan pokok ini semakin hari semakin sukar dijangkau oleh mayoritas masyarakat kita. Harganya terlalu tinggi. Sekalipun bisa dibeli, hanya sedikit jumlahnya. Karena itu, hal ini telah menjadi masalah besar bagi bangsa. Masalah pelik yang penyelesaiannya memakan waktu cukup panjang, bahkan sampai hari ini. Padahal jika kita lihat, secara geografis, Indonesia sangat potensial untuk pengembangan pertanian pangan, terutama padi. Lahannya subur dan luas, ditunjang oleh teknologi pertanian yang lumayan bagus, juga sumber daya manusia yang cukup memadai. Namun, jika direnungkan, kita malah menemukan sebuah ironi.
Mengapa demikian? Kita bisa melihat bahwa, pertama, harga beras yang kian melambung mengakibatkan masyarakat kita (yang mayoritas miskin) akan kesulitan pangan. Dan kedua, harga gabah yang turun membuat para petani, produsen padi, kelimpungan menanggung kerugian yang tidak sedikit.
Dua hal di atas menjadi jawaban, mengapa masyarakat dan petani kita miskin. Tak heran jika kita masih mendengar berita di media bahwa banyak anak-anak di beberapa daerah terkena busung lapar. Bahkan, daerah yang jelas-jelas penghasil padi cukup besar. Mereka memang kelaparan, meskipun hidup di lumbung padi. Padahal dalam konteks hak asasi manusia, hak memperoleh pangan termasuk hak yang paling asasi. Hak yang pertama kali harus dipenuhi oleh semua makhluk bernama manusia.
Kita bisa melihat pada tahun 2002, dari 38,4 juta orang miskin di Indonesia, 65,4 persen di antaranya berada di pedesaan dan 53,9 persen adalah petani. Dan pada 2003, dari 24,3 juta rumah tangga petani berbasis lahan 20,1 juta atau sekitar 82,7 persen di antaranya dapat dikategorikan miskin. Data ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani adalah miskin dan sebagian besar orang miskin adalah petani. Singkatnya, para produsen pangan pokok di Indonesia, miskin.
Lantas, apa yang mesti dilakukan? Sudah seharusnya pemerintah menelorkan kebijakan yang mengangkat derajat kaum petani. Nah, kebijakan terpenting di antaranya berupa subsidi harga dasar, subsidi harga asupan (pupuk benih, pestisida), dan subsidi kredit usaha tani. Lalu di tingkat pasar kebijakan yang dilaksanakan berupa manajemen stok dan monopoli impor oleh Bulog, penyediaan Kredit Likuiditas Bank (KLBI) untuk operasionalisasi pengadaan beras oleh Bulog, Kredit Pengadaan Pangan bagi Koperasi (KUD) dan operasi pasar oleh Bulog pada saat harga beras tinggi.
Jika tidak dilakukan kebijakan seperti ini, petani kita akan tetap kesulitan dan sebagian besar masyarakat kita akan kesulitan pangan. Di sisi petani, jelas akan membuat gairah bertani menjadi pudar, bahkan hilang begitu saja. Apabila demikian keadaannya, pangan kita akan sangat tergantung pada impor. Saya tidak tahu, bagaimana kejadiannya jika pangan Indonesia tergantung pada luar negeri? Mungkin kita masih ingat ketika Uni Soviet diembargo pangan. Negara yang perangkat persenjataannya begitu canggih, menjadi lemah hanya gara-gara kurang pangan. Dan, Indonesia mungkin akan menjadi negara yang sepenuhnya bergantung pada luar negeri, bahkan untuk semua hal.
Inilah sebuah buku komprehensif yang mengulas seluk-beluk perberasan. Menurut penulisnya, buku ini diniatkan untuk mengelaborasi sisi-sisi penting beras. Tidak hanya aspek ekonomi dan politik, tapi juga dimensi sosial, budaya, kaitannya dengan perdagangan internasional, dan bahkan sejarah. Dengan mengupas semua itu, buku ini berusaha menyorot seluruh sisik-melik beras. Membaca seluruh isinya, kita akan mendapat gambaran utuh tentang beras. Selain itu, penulis buku ini, memaparkannya dengan bahasa populer sehingga mudah dimengerti oleh banyak kalangan. Karena memang, penulis buku ini berlatar belakang ilmu pertanian dan wartawan.
Akhirnya kita hanya bisa berharap, para petinggi dan pemegang kebijakan bangsa ini bisa merenungkan apa yang dipaparkan Khudori dalam buku ini. Sehingga persoalan pangan bangsa kita ini bisa ditanggulangi, meski dengan langkah yang sangat lamban. Dan, lapar di negeri beras bisa (segera) berakhir.
Sayangnya, bahan pokok ini semakin hari semakin sukar dijangkau oleh mayoritas masyarakat kita. Harganya terlalu tinggi. Sekalipun bisa dibeli, hanya sedikit jumlahnya. Karena itu, hal ini telah menjadi masalah besar bagi bangsa. Masalah pelik yang penyelesaiannya memakan waktu cukup panjang, bahkan sampai hari ini. Padahal jika kita lihat, secara geografis, Indonesia sangat potensial untuk pengembangan pertanian pangan, terutama padi. Lahannya subur dan luas, ditunjang oleh teknologi pertanian yang lumayan bagus, juga sumber daya manusia yang cukup memadai. Namun, jika direnungkan, kita malah menemukan sebuah ironi.
Mengapa demikian? Kita bisa melihat bahwa, pertama, harga beras yang kian melambung mengakibatkan masyarakat kita (yang mayoritas miskin) akan kesulitan pangan. Dan kedua, harga gabah yang turun membuat para petani, produsen padi, kelimpungan menanggung kerugian yang tidak sedikit.
Dua hal di atas menjadi jawaban, mengapa masyarakat dan petani kita miskin. Tak heran jika kita masih mendengar berita di media bahwa banyak anak-anak di beberapa daerah terkena busung lapar. Bahkan, daerah yang jelas-jelas penghasil padi cukup besar. Mereka memang kelaparan, meskipun hidup di lumbung padi. Padahal dalam konteks hak asasi manusia, hak memperoleh pangan termasuk hak yang paling asasi. Hak yang pertama kali harus dipenuhi oleh semua makhluk bernama manusia.
Kita bisa melihat pada tahun 2002, dari 38,4 juta orang miskin di Indonesia, 65,4 persen di antaranya berada di pedesaan dan 53,9 persen adalah petani. Dan pada 2003, dari 24,3 juta rumah tangga petani berbasis lahan 20,1 juta atau sekitar 82,7 persen di antaranya dapat dikategorikan miskin. Data ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani adalah miskin dan sebagian besar orang miskin adalah petani. Singkatnya, para produsen pangan pokok di Indonesia, miskin.
Lantas, apa yang mesti dilakukan? Sudah seharusnya pemerintah menelorkan kebijakan yang mengangkat derajat kaum petani. Nah, kebijakan terpenting di antaranya berupa subsidi harga dasar, subsidi harga asupan (pupuk benih, pestisida), dan subsidi kredit usaha tani. Lalu di tingkat pasar kebijakan yang dilaksanakan berupa manajemen stok dan monopoli impor oleh Bulog, penyediaan Kredit Likuiditas Bank (KLBI) untuk operasionalisasi pengadaan beras oleh Bulog, Kredit Pengadaan Pangan bagi Koperasi (KUD) dan operasi pasar oleh Bulog pada saat harga beras tinggi.
Jika tidak dilakukan kebijakan seperti ini, petani kita akan tetap kesulitan dan sebagian besar masyarakat kita akan kesulitan pangan. Di sisi petani, jelas akan membuat gairah bertani menjadi pudar, bahkan hilang begitu saja. Apabila demikian keadaannya, pangan kita akan sangat tergantung pada impor. Saya tidak tahu, bagaimana kejadiannya jika pangan Indonesia tergantung pada luar negeri? Mungkin kita masih ingat ketika Uni Soviet diembargo pangan. Negara yang perangkat persenjataannya begitu canggih, menjadi lemah hanya gara-gara kurang pangan. Dan, Indonesia mungkin akan menjadi negara yang sepenuhnya bergantung pada luar negeri, bahkan untuk semua hal.
Inilah sebuah buku komprehensif yang mengulas seluk-beluk perberasan. Menurut penulisnya, buku ini diniatkan untuk mengelaborasi sisi-sisi penting beras. Tidak hanya aspek ekonomi dan politik, tapi juga dimensi sosial, budaya, kaitannya dengan perdagangan internasional, dan bahkan sejarah. Dengan mengupas semua itu, buku ini berusaha menyorot seluruh sisik-melik beras. Membaca seluruh isinya, kita akan mendapat gambaran utuh tentang beras. Selain itu, penulis buku ini, memaparkannya dengan bahasa populer sehingga mudah dimengerti oleh banyak kalangan. Karena memang, penulis buku ini berlatar belakang ilmu pertanian dan wartawan.
Akhirnya kita hanya bisa berharap, para petinggi dan pemegang kebijakan bangsa ini bisa merenungkan apa yang dipaparkan Khudori dalam buku ini. Sehingga persoalan pangan bangsa kita ini bisa ditanggulangi, meski dengan langkah yang sangat lamban. Dan, lapar di negeri beras bisa (segera) berakhir.
Dede Sulaeman, Peminat Pertanian dan Pengelola Blog Bahagia Bersama Buku
(Resensi ini sudah dimuat di Koran Jakarta - 22 Juli 2008)
0 komentar:
Posting Komentar