Entah mengapa buku ini harus diberi judul Si Cantik dari Notre Dame, bukannya Si Bungkuk dari Notre Dame sesuai judul buku aslinya karangan Victor Hugo: The Hunchback of Notre Dame. Mungkinkah karena alasan komersiil? Karena "cantik" lebih bernilai jual daripada "bungkuk"? Entahlah, tapi nyatanya buku ini adalah versi terjemahan dari kisah legenda yang terkenal tentang sebuah gereja di Paris, Notre Dame.
Di akhir abad ke 15 terdapat 2 golongan yang berseberangan di Paris. Kaum penguasa, gereja dan borjuis di satu sisi, dan golongan masyarakat bawah termasuk gelandangan dan kaum gipsi. Di jaman itulah Claude Frollo yang pandai, suka belajar, dan ambisius hidup sebagai yatim piatu sambil membesarkan adik yang sangat dikasihinya, Jehan Frollo. Suatu hari ia melewati seorang bocah yang diletakkan di depan gereja untuk dipungut siapapun yang berminat. Sayangnya penampilan anak itu sangat mengerikan. Wajahnya seperti monster yang sangat buruk dan tubuhnya berbonggol-bonggol dengan tulang punggung bengkok. Semua orang ngeri dan menganggap bocah itu jelmaan setan. Semua, kecuali Claude Frollo. Tanpa pikir panjang, dipungutnya bocah itu lalu dipelihara dan dididik.
Tak ada orang yang tahan memandang Quasimodo, begitulah si monster dinamai sesuai dengan hari saat ia dipungut, apalagi bergaul dengannya. Semua orang bahkan membencinya. Hanya Claude Frollo yang menganggapnya manusia. Tak heran, ia begitu mengasihi, memuja ayah angkatnya itu begitu intens. Saat Claude Frollo menjadi wakil uskup, Quasimodo menjadi pemukul lonceng di gereja Notre Dame serta tinggal di gereja itu bersama ayah angkatnya. Gereja itu menjadi surganya, dan lonceng-lonceng gereja menjadi pusat hidup dan kebahagiaannya. Meskipun belakangan, justru lonceng-lonceng itu pula yang merenggut hal yang sangat berharga baginya, yakni pendengarannya. Ya, ia menjadi tuli karena terlalu sering mendengar dentangan lonceng yang sangat keras...
Sedangkan di luar dinding-dinding gereja yang tinggi itu, hiduplah seorang gadis gipsi yang sangat cantik, pandai menyanyi dan menari dengan rebananya, serta berpembawaan riang. Dialah La Esmeralda yang selalu didampingi kambing cerdik bernama Djali. Kecantikannya yang segar dan alami membuat kaum pria dari berbagai golongan terpesona padanya. Ada Gringoire sang filsuf dan penyair yang ditolong Esmeralda dari tiang gantungan dengan menjadikannya suami platonis. Ada juga seorang perwira kerajaan yang tampan dan playboy, yang seharusnya sudah bertunangan namun masih saja melirik gadis lain, bernama Phoebus. Bahkan Quasimodo si buruk rupa nan tuli itu juga terpesona pada kesegaran Esmeralda. Namun yang paling mengherankan justru pengagumnya yang datang dari dalam gereja! Sang wakil uskup, yang seharusnya hidup selibat, malah memiliki hasrat yang besar terhadap Esmeralda....
Bagaimana dengan Esmeralda sendiri? Seperti layaknya kisah-kisah romantis lainnya, ia justru jatuh cinta pada pria yang tak sungguh-sungguh mencintainya, Phoebus. Betapa ironisnya cinta itu ya? Cerita lalu berpusar-pusar pada tokoh Esmeralda ini. Esmeralda yang selalu membawa kantung kecil bermanik di sekeliling lehernya, Esmeralda yang selalu menjaga kesuciannya karena bila ia ternoda, ia diramal takkan bisa bertemu dengan ibunya yang tak pernah ia temui. Esmeralda yang rela menikahi Gringoire karena iba, meski harus memaksa Gringoire berjanji untuk tak menyentuhnya. Esmeralda yang ditangkap dan akan dihukum gantung. Esmeralda yang diselamatkan. Esmeralda yang dituduh melakukan pembunuhan, dan seterusnya. Bahkan Esmeralda juga membuat kaum gipsi dan gelandangan menyerbu gereja di tengah malam buta. (mungkin saja pemilihan judul versi terjemahan ini justru lebih tepat ya, karena jelas pusat kisah ini adalah si cantik Esmeralda).
Lewat kisah ini, Victor Hugo mengajak kita untuk memahami berbagai makna cinta. Cinta platonis milik Gringoire, yang puas hanya dengan memandang keceriaan istrinya (dan malah lebih cinta pada kambingnya, Djali...). Cinta palsu milik Phoebus yang hanya terpikat pada kecantikan lahiriah semata, dan secepat cinta itu datang, secepat itu pula ia tergantikan. Cinta penuh napsu dan obsesif milik Claude Frollo sehingga ia rela melakukan apa saja yang berpotensi mencoreng namanya dan gereja, demi menghalangi pria manapun menyentuh Esmeralda-nya. Atau cinta murni milik seorang Quasimodo. Cinta yang tak ingin memiliki, hanya ingin melindungi. Cinta yang membuatnya cukup hanya memandang dari jauh, dan tak pernah menuntut balasan apapun.
Victor Hugo juga membukakan mata kita terhadap cinta terhadap sesama manusia. Betapa mudahnya orang mengkotak-kotakkan manusia lain hanya karena derajat. Bagaimana orang gipsi dianggap jahat dan mistis, bagaimana orang yang penampilannya berbeda dengan kebanyakan yang lain dianggap bukan manusia, jelmaan setan, jahat, kejam seperti binatang. Betapa mengerikan akibat yang ditimbulkan manusia kala ia tak mau melihat ke kedalaman hati, melainkan hanya pada penampilan luar. Kisah di buku ini membuktikannya.
Akhirnya, aku juga sadar bahwa jatuh ke dalam dosa itu begitu gampangnya. Bahkan Claude Frollo yang pemikir dan logis, yang sejak kecil religius, yang dulu mengasihi adiknya dan memungut Quasimodo karena kasih, mampu menjadi pribadi yang berbeda saat ia membiarkan hasrat menguasai dirinya. Maka dosa itu bukan soal 'siapa', namun lebih pada 'bagaimana'. Bagaimana kita menyikapi suatu keadaan. Bagaimana kita menentukan pilihan. Bagaimanapun, hidup ini selalu mengenai pilihan kan? Sama seperti anda yang bebas memilih, cukup puas dengan membaca resensiku, atau mau membaca buku yang indah ini sendiri....
NB:
1. Kalau anda memilih yang terakhir, Vixxio bisa membantu anda mendapatkan buku ini dengan diskon 20% di: Si Cantik Dari Notre Dame.
2. Kalau anda merasa bosan dan bingung di bab-bab awal, jangan menyerah! Karena makin ke belakang, anda akan menemukan keindahan yang sesungguhnya kisah ini. Aku hampir saja melewatkannya, jangan sampai anda juga!
3. Salut pada penerbit Serambi yang mampu menyajikan terjemahan apik pada karya sastra seindah milik Victor Hugo. Namun sayang, ada beberapa halaman yang tak tertata dengan baik. Ada paragraf yang terulang, ada halaman yang tak menyambung (meloncat) dengan halaman berikutnya, dan ini lumayan mengganggu keasyikan membaca. Semoga itu hanya terjadi di eksemplar yang aku beli saja ya...
Di akhir abad ke 15 terdapat 2 golongan yang berseberangan di Paris. Kaum penguasa, gereja dan borjuis di satu sisi, dan golongan masyarakat bawah termasuk gelandangan dan kaum gipsi. Di jaman itulah Claude Frollo yang pandai, suka belajar, dan ambisius hidup sebagai yatim piatu sambil membesarkan adik yang sangat dikasihinya, Jehan Frollo. Suatu hari ia melewati seorang bocah yang diletakkan di depan gereja untuk dipungut siapapun yang berminat. Sayangnya penampilan anak itu sangat mengerikan. Wajahnya seperti monster yang sangat buruk dan tubuhnya berbonggol-bonggol dengan tulang punggung bengkok. Semua orang ngeri dan menganggap bocah itu jelmaan setan. Semua, kecuali Claude Frollo. Tanpa pikir panjang, dipungutnya bocah itu lalu dipelihara dan dididik.
Tak ada orang yang tahan memandang Quasimodo, begitulah si monster dinamai sesuai dengan hari saat ia dipungut, apalagi bergaul dengannya. Semua orang bahkan membencinya. Hanya Claude Frollo yang menganggapnya manusia. Tak heran, ia begitu mengasihi, memuja ayah angkatnya itu begitu intens. Saat Claude Frollo menjadi wakil uskup, Quasimodo menjadi pemukul lonceng di gereja Notre Dame serta tinggal di gereja itu bersama ayah angkatnya. Gereja itu menjadi surganya, dan lonceng-lonceng gereja menjadi pusat hidup dan kebahagiaannya. Meskipun belakangan, justru lonceng-lonceng itu pula yang merenggut hal yang sangat berharga baginya, yakni pendengarannya. Ya, ia menjadi tuli karena terlalu sering mendengar dentangan lonceng yang sangat keras...
Sedangkan di luar dinding-dinding gereja yang tinggi itu, hiduplah seorang gadis gipsi yang sangat cantik, pandai menyanyi dan menari dengan rebananya, serta berpembawaan riang. Dialah La Esmeralda yang selalu didampingi kambing cerdik bernama Djali. Kecantikannya yang segar dan alami membuat kaum pria dari berbagai golongan terpesona padanya. Ada Gringoire sang filsuf dan penyair yang ditolong Esmeralda dari tiang gantungan dengan menjadikannya suami platonis. Ada juga seorang perwira kerajaan yang tampan dan playboy, yang seharusnya sudah bertunangan namun masih saja melirik gadis lain, bernama Phoebus. Bahkan Quasimodo si buruk rupa nan tuli itu juga terpesona pada kesegaran Esmeralda. Namun yang paling mengherankan justru pengagumnya yang datang dari dalam gereja! Sang wakil uskup, yang seharusnya hidup selibat, malah memiliki hasrat yang besar terhadap Esmeralda....
Bagaimana dengan Esmeralda sendiri? Seperti layaknya kisah-kisah romantis lainnya, ia justru jatuh cinta pada pria yang tak sungguh-sungguh mencintainya, Phoebus. Betapa ironisnya cinta itu ya? Cerita lalu berpusar-pusar pada tokoh Esmeralda ini. Esmeralda yang selalu membawa kantung kecil bermanik di sekeliling lehernya, Esmeralda yang selalu menjaga kesuciannya karena bila ia ternoda, ia diramal takkan bisa bertemu dengan ibunya yang tak pernah ia temui. Esmeralda yang rela menikahi Gringoire karena iba, meski harus memaksa Gringoire berjanji untuk tak menyentuhnya. Esmeralda yang ditangkap dan akan dihukum gantung. Esmeralda yang diselamatkan. Esmeralda yang dituduh melakukan pembunuhan, dan seterusnya. Bahkan Esmeralda juga membuat kaum gipsi dan gelandangan menyerbu gereja di tengah malam buta. (mungkin saja pemilihan judul versi terjemahan ini justru lebih tepat ya, karena jelas pusat kisah ini adalah si cantik Esmeralda).
Lewat kisah ini, Victor Hugo mengajak kita untuk memahami berbagai makna cinta. Cinta platonis milik Gringoire, yang puas hanya dengan memandang keceriaan istrinya (dan malah lebih cinta pada kambingnya, Djali...). Cinta palsu milik Phoebus yang hanya terpikat pada kecantikan lahiriah semata, dan secepat cinta itu datang, secepat itu pula ia tergantikan. Cinta penuh napsu dan obsesif milik Claude Frollo sehingga ia rela melakukan apa saja yang berpotensi mencoreng namanya dan gereja, demi menghalangi pria manapun menyentuh Esmeralda-nya. Atau cinta murni milik seorang Quasimodo. Cinta yang tak ingin memiliki, hanya ingin melindungi. Cinta yang membuatnya cukup hanya memandang dari jauh, dan tak pernah menuntut balasan apapun.
Victor Hugo juga membukakan mata kita terhadap cinta terhadap sesama manusia. Betapa mudahnya orang mengkotak-kotakkan manusia lain hanya karena derajat. Bagaimana orang gipsi dianggap jahat dan mistis, bagaimana orang yang penampilannya berbeda dengan kebanyakan yang lain dianggap bukan manusia, jelmaan setan, jahat, kejam seperti binatang. Betapa mengerikan akibat yang ditimbulkan manusia kala ia tak mau melihat ke kedalaman hati, melainkan hanya pada penampilan luar. Kisah di buku ini membuktikannya.
Akhirnya, aku juga sadar bahwa jatuh ke dalam dosa itu begitu gampangnya. Bahkan Claude Frollo yang pemikir dan logis, yang sejak kecil religius, yang dulu mengasihi adiknya dan memungut Quasimodo karena kasih, mampu menjadi pribadi yang berbeda saat ia membiarkan hasrat menguasai dirinya. Maka dosa itu bukan soal 'siapa', namun lebih pada 'bagaimana'. Bagaimana kita menyikapi suatu keadaan. Bagaimana kita menentukan pilihan. Bagaimanapun, hidup ini selalu mengenai pilihan kan? Sama seperti anda yang bebas memilih, cukup puas dengan membaca resensiku, atau mau membaca buku yang indah ini sendiri....
NB:
1. Kalau anda memilih yang terakhir, Vixxio bisa membantu anda mendapatkan buku ini dengan diskon 20% di: Si Cantik Dari Notre Dame.
2. Kalau anda merasa bosan dan bingung di bab-bab awal, jangan menyerah! Karena makin ke belakang, anda akan menemukan keindahan yang sesungguhnya kisah ini. Aku hampir saja melewatkannya, jangan sampai anda juga!
3. Salut pada penerbit Serambi yang mampu menyajikan terjemahan apik pada karya sastra seindah milik Victor Hugo. Namun sayang, ada beberapa halaman yang tak tertata dengan baik. Ada paragraf yang terulang, ada halaman yang tak menyambung (meloncat) dengan halaman berikutnya, dan ini lumayan mengganggu keasyikan membaca. Semoga itu hanya terjadi di eksemplar yang aku beli saja ya...
0 komentar:
Posting Komentar