Judul Buku: The Forest of Hands and Teeth
Penulis: Carrie Ryan
Penerbit: Kubika
Cetakan: Pertama, 2010
Tebal: 392 Halaman
Timur dan Barat, nampaknya bukan sekedar merujuk pada perbedaan geografis, demografis, kultur, maupun paradigma berpikir, namun juga berpengaruh dan merembet terhadap pembentukan cerita yang selama ini dianggap wilayah supra rasional.
Betapa tidak? Jika di Timur, cerita mengenai makhluk dari dunia supernatural selama ini dijejali dengan hal-hal yang sifatnya immaterial-spiritual, seperti hantu, dedemit maupun spesimen lainnya yang mampu menembus dinding atau masuk ke dalam botol, tidak bisa dilihat dan disentuh oleh indera sembarang manusia.
Sedangkan pemahaman Barat terhadap kosmologi ini sangat kentara terpengaruh empirisme. Hantu dalam konteks masyarakat Barat pada umumnya muncul dalam wujud fisik dan nyata, mampu disentuh dan dibunuh, seperti vampir, manusia serigala dan zombie. Maka tidak mengherankan jika cerita-cerita bergenre ini dijejali sosok-sosok tersebut yang berperang melawan manusia.
Contoh yang paling sederhana adalah zombie. Dipahami sebagai mayat berjalan, yang telah terinfeksi sejenis virus yang diperoleh dari zombie yang sebelumnya pernah menggigitnya. Dalam kasus zombie, orang yang terkena dianggap telah mati, lalu entitas apa yang membuat sosoknya masih bisa “hidup“ dan berjalan? Entahlah. Di Timur, terutama Indonesia, fenomena orang hilang kesadaran dikenal dengan istilah kesurupan, tetapi itupun sifatnya hanya temporer.
Keberadaan zombie itu pula yang menjadi ide utama buku berjudul The Forest of Hands and Teeth ini, mengisahkan kehidupan di sebuah perkampungan yang terisolir dikelilingi kawanan zombie yang mengancam dan mengincar keselamatan penduduknya. Termasuk seorang gadis bernama Mary.
Dikisahkan, Mary merupakan sosok perempuan yang beranjak dewasa. Ia bukan hanya “terjebak” dalam sebuah desa yang terisolir dikelilingi pagar yang melindunginya dari “Ternoda”, istilah bagi zombie dalam buku ini. Namun, ia juga terjerat asmara segi tiga yang sangat pelik. Di sisi lain, psikologinya nyaris teracuni pesimisme yang dihembuskan para Biarawati dan aparat desa ihwal keberadaan Laut, sebuah dunia impian yang diyakini ia dan almarhumah ibunya.
Sebagai pemangku kekuasaan tertinggi di Desa, para Biarawati memberlakukan aturan yang sangat ketat, disiplin yang tinggi dan hukuman yang berat bagi siapa pun yang melanggarnya. Namun semuanya diyakini memiliki kemaslahatan bagi seluruh komunitas desa. Otoritasnya sangat mutlak hingga menerabas wilayah-wilayah privat warganya, mulai dari membaca buku hingga menikah. Hal inilah yang mulai menimbulkan masalah bagi Mary.
Betapa tidak? Ketua biarawati bernama Suster Tabitha, menyuruhnya untuk menikah dengan lelaki bernama Harry, padahal Mary telah jatuh cinta dan menjalin asmara dengan Travis yang merupakan adik kandung Harry. Terlebih kakak lelaki satu-satunya Jed mendukung keputusan sang biarawati tersebut, dan celakanya Cash sahabat Mary sejak kecil mencintai Harry, sehingga hal ini menimbulkan api cemburu di dadanya.
Masalah sepertinya tidak bosan mengejar Mary, di tengah kemelut cinta yang melanda, ancaman yang sesungguhnya datang dari kawanan Ternoda yang mulai mampu melakukan penerobosan terhadap pagar dan menara pengawas. Keberadaan Ternoda sendiri pada awalnya dapat diatasi dengan pagar tinggi yang menjadi pembatas antara desa dengan Belantara Tangan dan Gigi, tempat para Ternoda tinggal.
Terlebih, di Desa terdapat para Pengawas, satuan pengaman yang sering melakukan patroli. Nahas, ketenangan itu pada akhirnya terusik dengan jebolnya pagar desa sehingga Ternoda secara leluasa melakukan agresi. Pilihan bagi yang terkena gigitan ternoda hanyalah dua: terinfeksi sehingga menjadi zombie atau mati terkoyak menjadi santapan mereka.
Maka bencana pun terjadi, kalah jumlah membuat penduduk Desa terbantai habis. Hanya menyisakan Mary, Jed, Beth, Harry, Travis, Cash serta si kecil Yakob. Mereka harus melakukan perjalanan panjang untuk menyelamatkan diri dan memelihara sepercik asa dari kepungan Ternoda, sekaligus menemukan Laut, sebuah tanjung harapan yang pada awalnya keberadaannya hanya diyakini Mary.
Membaca buku setebal tiga ratus sembilan puluh dua halaman ini, membuat kita merasa terlibat di dalam cerita yang dibangun oleh Carrie Ryan tersebut. Ketegangan yang dirasakan oleh para tokohnya dikejar Ternoda, akan dapat dirasakan oleh adrenalin pembaca mengingat cara penuturannya menggunakan penuturan sudut pandang Mary (aku). Sehingga pembaca seolah berada pada posisi yang sama dengan tokoh “aku”.
Meski demikian, buku ini bukan melulu menceritakan tentang sekelompok orang yang diburu oleh Ternoda, melalui para tokoh di dalamnya kita akan temukan kisah cinta, perjuangan dalam mempertahankan hidup, bagaimana memelihara asa serta optimisme seorang gadis yang bukan hanya berhadapan dengan lingkungan sosialnya yang kolot, ancaman kematian, namun juga pergulatan batin yang keras.
Tidak mengherankan jika dikemudian hari, cerita dalam buku ini mendapat kehormatan diangkat ke layar lebar menjadi sebuah film. Sungguh merupakan sebuah keberuntungan bagi anda yang membacanya terlebih dahulu dalam buku ini. selamat membaca dan berpetualang di dunia Mary!
0 komentar:
Posting Komentar