Judul Buku: Islam dan Negara Sekular; Menegosiasikan Masa Depan Syariah
Penulis: Abdullahi Ahmed An-Na’im
Penerbit: Mizan, 2007
Tebal: 506 halaman
ISLAM sebagai agama yang mengusung universalitas kasih sayang dan rahmat bagi alam semesta, tentu saja, hadir untuk tidak menjadi hal sebaliknya, karenanya, memahami Islam secara mendalam – tidak memahaminya secara tekstual, melainkan kontekstual. Tidak memahami hanya pada kulitnya, tetapi sampai membongkar intinya – menjadi fardhu, terutama umat Muslim yang dianjurkan berijtihad dalam mencari kemaslahatan hidupnya.
Tak bisa dielakkan, begitu banyak tokoh agama kita masuk dalam kategori memahami Islam pada batas kulit saja. Sehingga, tak heran jika agama begitu kaku dan cenderung menyiksa, karena dipaksakan. Dampak dari pemahaman dangkal ini sering kali mengekang pemeluk agama itu sendiri. Bahkan, lucunya, sang agamawan pun terkena dampak yang diciptakannya sendiri.
Sekadar contoh, beberapa ulama yang berjuang dengan pandangan lebih maju, terpaksa harus menyingkir dari tanah kelahirannya, dengan tuduhan penyimpangan terhadap agama. Bahkan, beberapa ulama harus mati di tiang gantungan, hanya gara-gara berbeda pandangan dalam hal menginterpretasikan sumber agama. Kondisi ini berlangsung di berbagai negara dan dalam bentangan waktu yang cukup lama. Sungguh sangat memprihatinkan.
Namun, di balik itu, ternyata masih ada pelopor pembaharu yang tetap konsisten menyerukan kebenaran Islam dengan warna yang lebih populis dan manusiawi. Ya, di tengah-tengah kondisi seperti itu, ulama-ulama semisal Fazlurrahman, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid, dan Abdullahi Ahmed An-Na’im. Yang terakhir, misalnya, tetap konsisten dengan ide pembaharuan Islam yang dulu telah diproklamasikan oleh gurunya, Mahmud Muhammad Thaha. Dan, kini, ia mempublikasikan karya mutakhirnya mengenai Islam, syariah, dan konsep negara modern. Karya ini adalah hasil proyek penelitian seriusnya di beberapa negara, Turki, Mesir, Sudan, Uzbekistan, India, Indonesia, dan Nigeria. Guru besar hukum Emory University, Atlanta, Amerika Serikat ini sedang menyuguhkan formulasi baru syariah sebagai sistem agama dan negara dalam konteks sekarang.
Bagi sarjana yang memperoleh gelar Ph.D-nya di Universitas Edinburgh ini, syariah memiliki masa depan cerah dalam kehidupan publik masyarakat Islam. Sebab, menurutnya, syariah tumbuh dan bersumber pada wahyu Tuhan sebagai pencipta manusia dan agama. Tetapi, bukan berarti ia akan diterapkan secara formal dalam institusi negara. Melainkan diperas sari patinya, sehingga dihasilkan prinsip-prinsip universal Islam untuk kemaslahatan manusia di muka bumi. Sebab, jika secara konyol, syariah diterapkan secara formal pada lembaga negara, dia akan menjadi tangan besi yang memaksa untuk ditaati. Padahal, syariah yang dogmatis itu, bersifat sakral dan tidak bisa diganggugugat.
Karnanya, An-Na’im dalam karya terbarunya, Islam dan Negara Sekular; Menegosiasikan Masa Depan Syariah, menolak mentah-mentah penerapan syariah yang dipaksakan oleh Negara. Sebab, tujuan utama ditulisnya buku ini adalah untuk meyakinkan bahwa pemisahan institusi negara dan Islam dengan tetap menjaga keterhubungan antara Islam dan politik merupakan hal yang perlu dan penting.
Dalam bayangannya, jika syariah diterapkan secara formal dalam Negara, ia akan berubah bentuk menjadi buaya pemangsa yang mematikan. Siapa bertentangan dengannya, bersiaplah menjadi korban keganasannya, untuk tidak menyebut kejam. Bahkan, gurunya menjadi korban kekejaman syariah bentuk ini. Karenanya, ide substantif ini menjadi begitu penting untuk didiskusikan dan dicarikan formulasi penerapannya.
Memosisikan Syariah Sesuai Tempatnya
An-Na’im percaya bahwa syariah akan terus memainkan peran penting dalam membentuk dan mengembangkan norma-norma dan nilai-nilai etika yang dapat direfleksikan dalam perundang-undangan dan kebijakan publik melalui proses politik yang demokratis. Tetapi, ia juga berpendapat bahwa prinsip-prinsip syariah, tidak dapat diberlakukan dan diterapkan secara formal oleh negara secara hukum dan kebijakan publik hanya karena alasan bahwa prinsip-prinsip dan aturan-aturan itu merupakan bagian dari syariah. Jika pemberlakuan syariah itu diusahakan, hal itu merupakan kehendak politik negara, bukan hukum Islam.
Gagasan yang ditawarkan An-Na’im, terkait dengan peranan syariah di ruang publik, bukanlah persoalan doktrin serta praktik keagamaan di ruang privat. Sebab, persoalan tersebut, sudah selesai dengan sendirinya. Di sinilah pentingnya ide-ide An-Na’im terkait dengan penempatan anak panah (syariah) pada posisi medan tuju (negara) yang tepat. Dengan harapan syariah bisa hidup dan bermanfaat dengan tidak mengembalikan negara pada bentuknya yang masa lampau. Berawal dari premis bahwa syariah akan memiliki peran penting dalam kehidupan publik di masyarakat Muslim, An-Na’im mencoba untuk mengklasifikasi dan membantu mewujudkan peran masa depan syariah tersebut dengan menggunakan perspektif teoritik tertentu.
Sedini mungkin An-Nai’im telah menghubungkan analisisnya dengan kebijakan publik dan praktik-praktik yang sedang hangat. Maka, dia selalu mengaitkan konsep teoritisnya dengan realitas sosial-politik hari ini. Tak heran jika teorinya sangat relevan dengan kondisi zaman di mana umat Islam sedang berada dalam konteks dunia yang menglobal. Gagasannya tentang syariah yang harus diposisikan sebagai bukan nash yang qot’i, tetapi sebagaimana fikih, ia diperoleh dari hasil interpretasi terhadap Al-Quran dan Sunnah. Maka, dengan sendirinya syariah bakal menjadi solusi bagi pemecahan masalah umat manusia saat ini.
Adanya klaim elit penguasa yang kadang melegitimasi kekuasaan negara atas nama syariah tidak lantas berarti bahwa klaim itu benar atau mungkin terus dilaksanakan. Mengingat prinsip-prinsip syariah ditinjau dari watak dan fungsinya memang menolak kemungkinan penerapan syariah oleh negara, klaim untuk melakukan hal itu bertentangan dengan logika, sekalipun berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi pertentangan itu. Jika, belum percaya, sejarah menjawabnya, yang membuat kita akan percaya.
Sebagaimana dalam karyanya terdahulu, Toward an Islamic Reformation Civil Liberties, Human Rights, and International Law – yang diindonesiakan menjadi, Dekonstuksi Syariah – An-Na’im membantah pengidentikkan antara syariah dan Islam. Baginya prinsip-prinsip syariah selalu merupakan interpretasi manusia atas Al-Quran dan Sunnah Nabi. Katanya lagi, kita harus membedakan antara Islam sebagai agama dan syariah sebagai formulasi hukum Islam yang bersifat historis. Menurutnya, syariah bukanlah keseluruhan Islam itu sendiri, melainkan interpretasi terhadap nash. Dalam hal ini, prinsip syariah merupakan sesuatu yang dapat dipahami dan coba diamalkan oleh umat manusia dalam konteks sejarah tertentu. Karenanya Islam tidak hanya syariah, meskipun mengetahui dan mengamalkan syariah adalah cara untuk mewujudkan Islam sebagai prinsip tauhid dalam kehidupan sehari-hari umat Islam.
An-Na’im mendukung sekularisme, pluralisme, konstitualisme, dan hak-hak asasi manusia dalam perspektif Islam. Sebab ia percaya, pendekatan terhadap prinsip-prinsip dan pranata-pranata ini sangat diperlukan untuk melindungi kebebasan setiap orang. Inilah pendekatan-pendekatan kontemporer yang dijadikan bagian dari rujukan mengimplementasikan syariah dalam ruang publik dengan realitas nation-state sekarang ini.
Menjadi jelas bahwa langkah yang mesti ditempuh adalah memperlakukan syariah sebagai sesuatu yang masih profan dan bisa diinterpretasi ulang, karena ia bukanlah sumber hukum, melainkan buah dari ijtihad terhadap wahyu.
Negara Modern dan Peluang Masuknya Syariah
Semua umat Islam saat ini tinggal di sebuah teritori yang disebut sebagai negara-bangsa (the nation state). Berdasarkan model Eropa telah menjadi model yang dimapankan melalui penjajahan, bahkan di negara yang secara formal tidak pernah dijajah. Menurut sarjana Barat, model negara seperti ini ditandai dengan adanya administrasi dan tata hukum yang terpusat dan terorganisasi secara birokratis dan dijalankan oleh sekelompok administratur, serta mempunyai otoritas atas apa yang terjadi di wilayah kekuasaannya, basis teritorial dan monopoli untuk menggunakan kekuasaannya. Dalam hal ini negara berdaulat atas kekuasaannya.
Karena itu, negara modern dipahami sebagai representasi institusional sebuah kekuasaan politik, yang tidak lagi diperoleh dari otoritas personal seorang penguasa atau dari mereka yang mendapatkan otoritas dari penguasa. Kekuasaan politik negara yang terpusat dan terlembaga, tercermin dalam struktur birokrasi dan organisasinya. Negara, bahkan, bisa memformalisasikan penggunaan kekuasaan itu melalui standar dan prosedur hukum serta mempromosikan integrasi kekuasaan politik melalui legitimasi demokrasi dan peningkatan pentingnya konsep kewarganegaraan sebagai prinsip yang mengatur hubungan negara dan masyarakat.
Oleh sebab itu, prinsip-prinsip syariah harus diformulasikan supaya bisa masuk ke dalam kebijakan-kebijakan negara. Bukan malah menerapkannya secara formal dalam negara, sebagaimana dahulu. Sistem dzimmah yang dulu diterapkan dalam kekuasaan kaum muslim, itu tidak mungkin bisa menerima non-Muslim menjadi warga negara yang setara. Karena, ide dasar dari sistem ini adalah bahwa setelah penaklukan dan penyatuan wilayah-wilayah baru melalui jihad, Ahli Kitab, terutama Kristen dan Yahudi, harus diperbolehkan tinggal di sana sebagai komunitas yang dilindung karena mereka tunduk kepada kedaulatan Islam. Tetapi, mereka tidak bisa menikmati persamaan dengan umat Islam.
Maka, siapa yang dianggap kafir oleh standar-standar syariah, sama sekali tidak diizinkan hidup di dalam wilayah negara tersebut kecuali di bawah pengawasan yang menjamin keamanannya yang sifatnya sementara. Bagi An-Na’im, gagasan-gagasan demikian sekarang tidak bisa dipertahankan secara moral dan politis, bahkan pendukung-pendukung negara Islam yang paling bersemangat pun tidak mendiskusikan penerapan gagasan itu dalam realitas-realitas negara-negara teritorial yang pluralistik, yang secara total terintegrasi ke dalam sistem ekonomi, politik, dan hukum internasional.
Negara teritorial modern seharusnya tidak mencoba menjalankan syariah sebagai hukum positif dan kebijakan publik. Dan, tak mengklaim penafsiran doktrin-doktrin dan prinsip-prinsipnya bagi warga negara Muslim. Prinsip-prinsip syariah dapat dan seharusnya menjadi sumber kebijakan dan perundang-undangan publik serta tunduk pada hak-hak konstitusional dan hak-hak asasi manusia bagi seluruh warga negara, perempuan dan laki-laki, Muslim dan non Muslim tanpa diskriminasi.
Mediasi ini, karenanya, menuntut pembaharuan aspek-aspek syariah tertentu. Dengan demikian, prinsip-prinsip syariah tidak bisa menjadi hak istimewa atau dipaksakan begitu saja, tidak juga ditolak sebagai sumber hukum dan kebijakan negara.
An-Na’im melihat pandangan ini tidak hanya sebagai perkara prinsipil, tetapi pandangan ini juga sangat membantu meyakinkan umat Islam bahwa sekularisme bukan berarti membuang Islam dari kehidupan publik, tetapi memerankan Islam yang sesungguhnya dalam ruang itu.
Menurut An-Na’im, sebagai ajaran suci, syariah haruslah dilaksanakan oleh setiap Muslim secara suka rela, sebab penerapannya oleh negara secara formal dan paksa, bisa menyebabkan prinsip-prinsip syariah kehilangan otoritas dan nilai kesuciannya. Oleh sebab itu, negara secara kelembagaan haruslah dipisahkan dari Islam agar syariah bisa berperan positif dan mencerahkan bagi kehidupan umat Islam.
Karena itu, negara harus bersikap netral terhadap doktrin atau prinsip-prinsip agama mana pun. Netralitas yang dimaksud tidak berarti negara secara sengaja memojokkan peran agama ke bilik-bilik sempit kehidupan privat. Namun, semata-mata demi menjamin kebebasan setiap individu untuk mendukung, berkeberatan, atau memodifikasi setiap penafsiran manusia atas doktrin atau prinsip-prinsip agama. Maka, ruang dialog yang sehat akan menjadi arena yang membuahkan sesuatu yang ideal.
An-Na’im dalam karya penting ini, merumuskan prinsip pemisahan kelembagaan antara Islam dan negara, namun enggan tetap mempertahankan hubungan antara Islam dan negara, dan tetap mempertahankan hubungan antara Islam dengan politik, melalui apa yang yang disebut sebagai public reason. Prinsip ini memungkinkan penerapan prinsip-prinsip Islam dalam kebijakan publik secara legitimate, namun tetap tunduk pada prinsip-prinsip ketatanegaraan yang berlaku, serta menjamin kesetaraan hak setiap warga negara tanpa membedakan agama, ras, suku, gender, dan ideologi politik.
Di sinilah peluang masuknya syariah dalam menyampaikan pesan-pesan luhur Tuhan melalui lembaga negara yang sudah tumbuh, berkembang, dan sudah mapan itu. Tinggal bagaimana melakukan pengemasannya yang baik, maka agama, Islam, bisa benar-benar menebarkan rahmat bagi semesta.
Publik Reason sebagai Mediator Pemecahan Konflik Kebijakan
Dalam sistem negara modern, aktor non-negara membutuhkan ruang yang aman untuk bersaing secara bebas dan sehat untuk memengaruhi proses pengambilan kebijakan melalui peran negara. Lalu, ruang yang tersedia tersebut harus dapat menjamin terbukanya kesempatan bagi sebanyak-banyaknya kelompok untuk berkompetisi. Semakin banyak dan beragam kelompok yang dapat bersaing secara bebas dan sehat untuk mengamankan kepentingan dan urusannya dalam sebuah kebijakan, semakin kecil pula kemungkinan mereka untuk mengontrol negara atau institusinya. Sebab, pesan dan keinginan mereka telah tersampaikan dengan baik.
Hal tersebut mengindikasikan apa yang diistilahkan An-Na’im sebagai public reason yang di dalamnya para aktor sosial dapat memengaruhi negara dengan tetap menjaga independesi dan otoritas negara sebagai lembaga formal. Konsep ini berisi beberapa elemen, misalnya, prosedur efektif untuk menjamin partisipasi bebas dan sehat, pedoman mengenai isi dan etika debat publik, bahkan perangkat pendidikan dan perangkat lain yang digunakan untuk meningkatkan legitimasi dan efektivitas persyaratan tersebut. Inilah prosedur logic yang harus diterapkan, mengingat pluralnya kepentingan orang sebagai anggota masyarakat, kini.
Menurut anggapan luas, Islam dan hukum Islam bersifat universal, sehingga analisis dan kesimpulan yang dikedepankan di sini pun harus sesuai dan dapat diterapkan di negara Muslim mana pun di dunia. Benar, bahwa penafsiran dan praktik semua agama, termasuk Islam, sangat dipengaruhi oleh kondisi sosiologis, ekonomi, dan politik masyarakat tertentu. Demikian juga dengan sistem hukum agama, seperti syariah. Tetapi dalam hubungannya dengan agama tertentu, atau sistem hukum tertentu, ada variasi dan kekhasan lokalnya masing-masing. Kekhasan lokal itu akan tetap lestari dengan perawatan public reason.
Pada detik ini, secara teoritis, An-Na’im sudah bekerja dan menghasilkan sesuatu yang luar biasa bagi perkembangan pemikiran Islam dan solusi kemaslahatan umat. Namun, saya masih melihat, pemikiran An-Na’im ini belum tuntas. Dalam hal ini syariah sebagaimana fikih yang harus diijtihadi, akan diambil spirit universalnya dan disesuaikan dengan konteks zaman kini, untuk mendapatkan kemaslahatan umat manusia. Hasilnya adalah sesuatu yang sangat ideal.
Tetapi, tentunya, kita masih akan mendapatkan gagasan-gagasan segar An-Na’im di kemudian hari. Solusi-solusi hukum, sosial, politik, dan agama, tentu akan tercipta melalui pergulatan tokoh ini, berdasarkan pergumulannya dengan sistem kehidupan dunia yang selalu tak statis. Hal ini meniscayakan adanya ijtihad baru dan baru lagi untuk memenuhi tuntutan umat Islam yang haus keadilan, kemaslahatan, dan keselamatan dunia dan akhirat.
Tak bisa dielakkan, begitu banyak tokoh agama kita masuk dalam kategori memahami Islam pada batas kulit saja. Sehingga, tak heran jika agama begitu kaku dan cenderung menyiksa, karena dipaksakan. Dampak dari pemahaman dangkal ini sering kali mengekang pemeluk agama itu sendiri. Bahkan, lucunya, sang agamawan pun terkena dampak yang diciptakannya sendiri.
Sekadar contoh, beberapa ulama yang berjuang dengan pandangan lebih maju, terpaksa harus menyingkir dari tanah kelahirannya, dengan tuduhan penyimpangan terhadap agama. Bahkan, beberapa ulama harus mati di tiang gantungan, hanya gara-gara berbeda pandangan dalam hal menginterpretasikan sumber agama. Kondisi ini berlangsung di berbagai negara dan dalam bentangan waktu yang cukup lama. Sungguh sangat memprihatinkan.
Namun, di balik itu, ternyata masih ada pelopor pembaharu yang tetap konsisten menyerukan kebenaran Islam dengan warna yang lebih populis dan manusiawi. Ya, di tengah-tengah kondisi seperti itu, ulama-ulama semisal Fazlurrahman, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid, dan Abdullahi Ahmed An-Na’im. Yang terakhir, misalnya, tetap konsisten dengan ide pembaharuan Islam yang dulu telah diproklamasikan oleh gurunya, Mahmud Muhammad Thaha. Dan, kini, ia mempublikasikan karya mutakhirnya mengenai Islam, syariah, dan konsep negara modern. Karya ini adalah hasil proyek penelitian seriusnya di beberapa negara, Turki, Mesir, Sudan, Uzbekistan, India, Indonesia, dan Nigeria. Guru besar hukum Emory University, Atlanta, Amerika Serikat ini sedang menyuguhkan formulasi baru syariah sebagai sistem agama dan negara dalam konteks sekarang.
Bagi sarjana yang memperoleh gelar Ph.D-nya di Universitas Edinburgh ini, syariah memiliki masa depan cerah dalam kehidupan publik masyarakat Islam. Sebab, menurutnya, syariah tumbuh dan bersumber pada wahyu Tuhan sebagai pencipta manusia dan agama. Tetapi, bukan berarti ia akan diterapkan secara formal dalam institusi negara. Melainkan diperas sari patinya, sehingga dihasilkan prinsip-prinsip universal Islam untuk kemaslahatan manusia di muka bumi. Sebab, jika secara konyol, syariah diterapkan secara formal pada lembaga negara, dia akan menjadi tangan besi yang memaksa untuk ditaati. Padahal, syariah yang dogmatis itu, bersifat sakral dan tidak bisa diganggugugat.
Karnanya, An-Na’im dalam karya terbarunya, Islam dan Negara Sekular; Menegosiasikan Masa Depan Syariah, menolak mentah-mentah penerapan syariah yang dipaksakan oleh Negara. Sebab, tujuan utama ditulisnya buku ini adalah untuk meyakinkan bahwa pemisahan institusi negara dan Islam dengan tetap menjaga keterhubungan antara Islam dan politik merupakan hal yang perlu dan penting.
Dalam bayangannya, jika syariah diterapkan secara formal dalam Negara, ia akan berubah bentuk menjadi buaya pemangsa yang mematikan. Siapa bertentangan dengannya, bersiaplah menjadi korban keganasannya, untuk tidak menyebut kejam. Bahkan, gurunya menjadi korban kekejaman syariah bentuk ini. Karenanya, ide substantif ini menjadi begitu penting untuk didiskusikan dan dicarikan formulasi penerapannya.
Memosisikan Syariah Sesuai Tempatnya
An-Na’im percaya bahwa syariah akan terus memainkan peran penting dalam membentuk dan mengembangkan norma-norma dan nilai-nilai etika yang dapat direfleksikan dalam perundang-undangan dan kebijakan publik melalui proses politik yang demokratis. Tetapi, ia juga berpendapat bahwa prinsip-prinsip syariah, tidak dapat diberlakukan dan diterapkan secara formal oleh negara secara hukum dan kebijakan publik hanya karena alasan bahwa prinsip-prinsip dan aturan-aturan itu merupakan bagian dari syariah. Jika pemberlakuan syariah itu diusahakan, hal itu merupakan kehendak politik negara, bukan hukum Islam.
Gagasan yang ditawarkan An-Na’im, terkait dengan peranan syariah di ruang publik, bukanlah persoalan doktrin serta praktik keagamaan di ruang privat. Sebab, persoalan tersebut, sudah selesai dengan sendirinya. Di sinilah pentingnya ide-ide An-Na’im terkait dengan penempatan anak panah (syariah) pada posisi medan tuju (negara) yang tepat. Dengan harapan syariah bisa hidup dan bermanfaat dengan tidak mengembalikan negara pada bentuknya yang masa lampau. Berawal dari premis bahwa syariah akan memiliki peran penting dalam kehidupan publik di masyarakat Muslim, An-Na’im mencoba untuk mengklasifikasi dan membantu mewujudkan peran masa depan syariah tersebut dengan menggunakan perspektif teoritik tertentu.
Sedini mungkin An-Nai’im telah menghubungkan analisisnya dengan kebijakan publik dan praktik-praktik yang sedang hangat. Maka, dia selalu mengaitkan konsep teoritisnya dengan realitas sosial-politik hari ini. Tak heran jika teorinya sangat relevan dengan kondisi zaman di mana umat Islam sedang berada dalam konteks dunia yang menglobal. Gagasannya tentang syariah yang harus diposisikan sebagai bukan nash yang qot’i, tetapi sebagaimana fikih, ia diperoleh dari hasil interpretasi terhadap Al-Quran dan Sunnah. Maka, dengan sendirinya syariah bakal menjadi solusi bagi pemecahan masalah umat manusia saat ini.
Adanya klaim elit penguasa yang kadang melegitimasi kekuasaan negara atas nama syariah tidak lantas berarti bahwa klaim itu benar atau mungkin terus dilaksanakan. Mengingat prinsip-prinsip syariah ditinjau dari watak dan fungsinya memang menolak kemungkinan penerapan syariah oleh negara, klaim untuk melakukan hal itu bertentangan dengan logika, sekalipun berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi pertentangan itu. Jika, belum percaya, sejarah menjawabnya, yang membuat kita akan percaya.
Sebagaimana dalam karyanya terdahulu, Toward an Islamic Reformation Civil Liberties, Human Rights, and International Law – yang diindonesiakan menjadi, Dekonstuksi Syariah – An-Na’im membantah pengidentikkan antara syariah dan Islam. Baginya prinsip-prinsip syariah selalu merupakan interpretasi manusia atas Al-Quran dan Sunnah Nabi. Katanya lagi, kita harus membedakan antara Islam sebagai agama dan syariah sebagai formulasi hukum Islam yang bersifat historis. Menurutnya, syariah bukanlah keseluruhan Islam itu sendiri, melainkan interpretasi terhadap nash. Dalam hal ini, prinsip syariah merupakan sesuatu yang dapat dipahami dan coba diamalkan oleh umat manusia dalam konteks sejarah tertentu. Karenanya Islam tidak hanya syariah, meskipun mengetahui dan mengamalkan syariah adalah cara untuk mewujudkan Islam sebagai prinsip tauhid dalam kehidupan sehari-hari umat Islam.
An-Na’im mendukung sekularisme, pluralisme, konstitualisme, dan hak-hak asasi manusia dalam perspektif Islam. Sebab ia percaya, pendekatan terhadap prinsip-prinsip dan pranata-pranata ini sangat diperlukan untuk melindungi kebebasan setiap orang. Inilah pendekatan-pendekatan kontemporer yang dijadikan bagian dari rujukan mengimplementasikan syariah dalam ruang publik dengan realitas nation-state sekarang ini.
Menjadi jelas bahwa langkah yang mesti ditempuh adalah memperlakukan syariah sebagai sesuatu yang masih profan dan bisa diinterpretasi ulang, karena ia bukanlah sumber hukum, melainkan buah dari ijtihad terhadap wahyu.
Negara Modern dan Peluang Masuknya Syariah
Semua umat Islam saat ini tinggal di sebuah teritori yang disebut sebagai negara-bangsa (the nation state). Berdasarkan model Eropa telah menjadi model yang dimapankan melalui penjajahan, bahkan di negara yang secara formal tidak pernah dijajah. Menurut sarjana Barat, model negara seperti ini ditandai dengan adanya administrasi dan tata hukum yang terpusat dan terorganisasi secara birokratis dan dijalankan oleh sekelompok administratur, serta mempunyai otoritas atas apa yang terjadi di wilayah kekuasaannya, basis teritorial dan monopoli untuk menggunakan kekuasaannya. Dalam hal ini negara berdaulat atas kekuasaannya.
Karena itu, negara modern dipahami sebagai representasi institusional sebuah kekuasaan politik, yang tidak lagi diperoleh dari otoritas personal seorang penguasa atau dari mereka yang mendapatkan otoritas dari penguasa. Kekuasaan politik negara yang terpusat dan terlembaga, tercermin dalam struktur birokrasi dan organisasinya. Negara, bahkan, bisa memformalisasikan penggunaan kekuasaan itu melalui standar dan prosedur hukum serta mempromosikan integrasi kekuasaan politik melalui legitimasi demokrasi dan peningkatan pentingnya konsep kewarganegaraan sebagai prinsip yang mengatur hubungan negara dan masyarakat.
Oleh sebab itu, prinsip-prinsip syariah harus diformulasikan supaya bisa masuk ke dalam kebijakan-kebijakan negara. Bukan malah menerapkannya secara formal dalam negara, sebagaimana dahulu. Sistem dzimmah yang dulu diterapkan dalam kekuasaan kaum muslim, itu tidak mungkin bisa menerima non-Muslim menjadi warga negara yang setara. Karena, ide dasar dari sistem ini adalah bahwa setelah penaklukan dan penyatuan wilayah-wilayah baru melalui jihad, Ahli Kitab, terutama Kristen dan Yahudi, harus diperbolehkan tinggal di sana sebagai komunitas yang dilindung karena mereka tunduk kepada kedaulatan Islam. Tetapi, mereka tidak bisa menikmati persamaan dengan umat Islam.
Maka, siapa yang dianggap kafir oleh standar-standar syariah, sama sekali tidak diizinkan hidup di dalam wilayah negara tersebut kecuali di bawah pengawasan yang menjamin keamanannya yang sifatnya sementara. Bagi An-Na’im, gagasan-gagasan demikian sekarang tidak bisa dipertahankan secara moral dan politis, bahkan pendukung-pendukung negara Islam yang paling bersemangat pun tidak mendiskusikan penerapan gagasan itu dalam realitas-realitas negara-negara teritorial yang pluralistik, yang secara total terintegrasi ke dalam sistem ekonomi, politik, dan hukum internasional.
Negara teritorial modern seharusnya tidak mencoba menjalankan syariah sebagai hukum positif dan kebijakan publik. Dan, tak mengklaim penafsiran doktrin-doktrin dan prinsip-prinsipnya bagi warga negara Muslim. Prinsip-prinsip syariah dapat dan seharusnya menjadi sumber kebijakan dan perundang-undangan publik serta tunduk pada hak-hak konstitusional dan hak-hak asasi manusia bagi seluruh warga negara, perempuan dan laki-laki, Muslim dan non Muslim tanpa diskriminasi.
Mediasi ini, karenanya, menuntut pembaharuan aspek-aspek syariah tertentu. Dengan demikian, prinsip-prinsip syariah tidak bisa menjadi hak istimewa atau dipaksakan begitu saja, tidak juga ditolak sebagai sumber hukum dan kebijakan negara.
An-Na’im melihat pandangan ini tidak hanya sebagai perkara prinsipil, tetapi pandangan ini juga sangat membantu meyakinkan umat Islam bahwa sekularisme bukan berarti membuang Islam dari kehidupan publik, tetapi memerankan Islam yang sesungguhnya dalam ruang itu.
Menurut An-Na’im, sebagai ajaran suci, syariah haruslah dilaksanakan oleh setiap Muslim secara suka rela, sebab penerapannya oleh negara secara formal dan paksa, bisa menyebabkan prinsip-prinsip syariah kehilangan otoritas dan nilai kesuciannya. Oleh sebab itu, negara secara kelembagaan haruslah dipisahkan dari Islam agar syariah bisa berperan positif dan mencerahkan bagi kehidupan umat Islam.
Karena itu, negara harus bersikap netral terhadap doktrin atau prinsip-prinsip agama mana pun. Netralitas yang dimaksud tidak berarti negara secara sengaja memojokkan peran agama ke bilik-bilik sempit kehidupan privat. Namun, semata-mata demi menjamin kebebasan setiap individu untuk mendukung, berkeberatan, atau memodifikasi setiap penafsiran manusia atas doktrin atau prinsip-prinsip agama. Maka, ruang dialog yang sehat akan menjadi arena yang membuahkan sesuatu yang ideal.
An-Na’im dalam karya penting ini, merumuskan prinsip pemisahan kelembagaan antara Islam dan negara, namun enggan tetap mempertahankan hubungan antara Islam dan negara, dan tetap mempertahankan hubungan antara Islam dengan politik, melalui apa yang yang disebut sebagai public reason. Prinsip ini memungkinkan penerapan prinsip-prinsip Islam dalam kebijakan publik secara legitimate, namun tetap tunduk pada prinsip-prinsip ketatanegaraan yang berlaku, serta menjamin kesetaraan hak setiap warga negara tanpa membedakan agama, ras, suku, gender, dan ideologi politik.
Di sinilah peluang masuknya syariah dalam menyampaikan pesan-pesan luhur Tuhan melalui lembaga negara yang sudah tumbuh, berkembang, dan sudah mapan itu. Tinggal bagaimana melakukan pengemasannya yang baik, maka agama, Islam, bisa benar-benar menebarkan rahmat bagi semesta.
Publik Reason sebagai Mediator Pemecahan Konflik Kebijakan
Dalam sistem negara modern, aktor non-negara membutuhkan ruang yang aman untuk bersaing secara bebas dan sehat untuk memengaruhi proses pengambilan kebijakan melalui peran negara. Lalu, ruang yang tersedia tersebut harus dapat menjamin terbukanya kesempatan bagi sebanyak-banyaknya kelompok untuk berkompetisi. Semakin banyak dan beragam kelompok yang dapat bersaing secara bebas dan sehat untuk mengamankan kepentingan dan urusannya dalam sebuah kebijakan, semakin kecil pula kemungkinan mereka untuk mengontrol negara atau institusinya. Sebab, pesan dan keinginan mereka telah tersampaikan dengan baik.
Hal tersebut mengindikasikan apa yang diistilahkan An-Na’im sebagai public reason yang di dalamnya para aktor sosial dapat memengaruhi negara dengan tetap menjaga independesi dan otoritas negara sebagai lembaga formal. Konsep ini berisi beberapa elemen, misalnya, prosedur efektif untuk menjamin partisipasi bebas dan sehat, pedoman mengenai isi dan etika debat publik, bahkan perangkat pendidikan dan perangkat lain yang digunakan untuk meningkatkan legitimasi dan efektivitas persyaratan tersebut. Inilah prosedur logic yang harus diterapkan, mengingat pluralnya kepentingan orang sebagai anggota masyarakat, kini.
Menurut anggapan luas, Islam dan hukum Islam bersifat universal, sehingga analisis dan kesimpulan yang dikedepankan di sini pun harus sesuai dan dapat diterapkan di negara Muslim mana pun di dunia. Benar, bahwa penafsiran dan praktik semua agama, termasuk Islam, sangat dipengaruhi oleh kondisi sosiologis, ekonomi, dan politik masyarakat tertentu. Demikian juga dengan sistem hukum agama, seperti syariah. Tetapi dalam hubungannya dengan agama tertentu, atau sistem hukum tertentu, ada variasi dan kekhasan lokalnya masing-masing. Kekhasan lokal itu akan tetap lestari dengan perawatan public reason.
Pada detik ini, secara teoritis, An-Na’im sudah bekerja dan menghasilkan sesuatu yang luar biasa bagi perkembangan pemikiran Islam dan solusi kemaslahatan umat. Namun, saya masih melihat, pemikiran An-Na’im ini belum tuntas. Dalam hal ini syariah sebagaimana fikih yang harus diijtihadi, akan diambil spirit universalnya dan disesuaikan dengan konteks zaman kini, untuk mendapatkan kemaslahatan umat manusia. Hasilnya adalah sesuatu yang sangat ideal.
Tetapi, tentunya, kita masih akan mendapatkan gagasan-gagasan segar An-Na’im di kemudian hari. Solusi-solusi hukum, sosial, politik, dan agama, tentu akan tercipta melalui pergulatan tokoh ini, berdasarkan pergumulannya dengan sistem kehidupan dunia yang selalu tak statis. Hal ini meniscayakan adanya ijtihad baru dan baru lagi untuk memenuhi tuntutan umat Islam yang haus keadilan, kemaslahatan, dan keselamatan dunia dan akhirat.
Dede Sulaeman, Pengelola Blog Bahagia Bersama Buku
Lanjut Baca