Incest by I. Wayan Artika
My rating: 3 of 5 stars
Mengapa bisa terjadi? Apa dan siapa penyebabnya? Siapa yang harus bertanggung jawab bila incest terjadi? Siapa orang tuanya?
Novel karya I Wayan Artika, yang menceritakan bagaimana adat istiadat dan kebudayaan memiliki kekuatan yang sangat berpengaruh di Tanah Dewata, Bali.
Cerita terjadi di sebuah desa yang bernama Jelungkap. Sepasang suami-istri sedang berbahagia. Nama Sang Suami adalah Nyoman Sika dan istrinya, Ketut Artini. Mereka berbahagia karena dikaruniai sepasang bayi kembar yang manis. Namun Nyoman Sika tidak lama tersenyum, karena hal itu adalah aib bagi desanya, Jelungkap. Orang-orang Desa Jelungkap berbisik dan menyampaikan dan sekaligus menyimpan kabar buruk itu. Mengapa? Bayi kembar itu adalah bayi kembar berlainan jenis kelamin dan jika (pada zaman dahuku, hingga akhir kekuasaan raja-raja di Bali) kelahiran ini terjadi di kalangan masyarakat kebanyakan maka hal itu adalah aib desa. Keluarga bersangkutan menerima sanksi adat seperti upacara penyucian, pembuangan, dan pemisahan si kembar dari pasangannya (Hlm 47).
Nyoman Sika dan Ketut Artini menerima sanksi dari keputusan adat tersebut. Ia membesarkan hati istrinya dengan mengatakan bahwa mereka tidak bersalah karena tidak pernah meminta kelahiran bayi kembar itu. Lagi, bayi itu sehat dan tidak bersalah.
Sanksi adat pertama, mereka harus dikucilkan selama 42 hari di Langking Langkau, yaitu sebuah gubuk bambu sederhana yang dibuat oleh masyarakat setempat bagi mereka selama pengucilan itu. Hari-hari selama di Langking Langkau sangat membuat sedih Ketut Artini, ia menangisi anaknya. Di kala dingin menusuk tulang dan kala ia menyusui anaknya, ia bercita-cita untuk membesarkannya dengan kasih sayang dan menyekolahkannya ke tempat yang bagus. Impian-impian itu yang menyertai ia dan suaminya selama masa pengucilan. Empat puluh dua hari berlalu. Mereka kembali. Masih ada lagi yang harus ditebus dari 'dosa' mereka itu.
Sanksi adat kedua, mereka harus melakukan upacara malik sumpah, yaitu suatu ritual upacara yang harus dilakukan oleh keluarga yang melahirkan kembar buncing (berbeda jenis kelamin-satu lakilaki satu perempuan). Upacara malik sumpah dilaksanakan dengan satu pernyataan yang mengejutkan oleh Nyoman Sika di tengah-tengah upacara, "...Di Jelungkap, adat hanyalah cara untuk mencampur antara air dan minyak, persalinan dan aib. Masa lalu yang konyol dan malik sumpah ini saya pilih untuk mengajukan satu yang lain, yaitu masa depan."
Sanksi adat yang ketiga, yaitu memisahkan bayi buncing. Inilah hal yang sangat berat. Namun dengan patuh Nyoman Sika menjalankannya. Mereka akhirnya memberi nama bagi anak mereka, yaitu Geo Antara bagi si bayi laki-laki, dan Gek Bulan bagi bayi perempuan. Gek Antara diserahkan kepada Gus Eka, sahabat Nyoman Sika untuk diangkat sebagai anak, sedangkan Gek Bulan tetap dalam asuhan Nyoman Sika dan Ketut Artini.
Waktupun berjalan. Geo Antara menempuh pendidikan di Kota Denpasar, sementara Gek Bulan menempuh sekolahnya di kampung halaman. Keduanya walau tak kenal, melanjutkan pendidikan tingginya di Gajah Mada. Geo Antara melanjutkan ke Antropolgi, sementara Gek Bulan melanjutkan ke Hubungan Internasional.
Jelngkap pun terkena arus modernisasi. Industri dan permodalan besar pun masuk kesana. Sebuah perusahaan agropolitan masuk ke wilayah Jelungkap. Akibat keserakahan, tanah-tanah adat dijual untuk perusahaan baru tersebut. Pemuda Jelungkap direkrut sebagai pekerja disana, walau kebanyakan sebagai buruh kasar. Terjadi gap antara pemuda di sana, golongan pekerja dan pengangguran. Selain itu, perusahaan mengambil hati penduduk dengan memberi sumbangan dan bantuan kala ada acara adat dan ritual upacara.
Saatnya kembali ke kampung halaman dan memberi karya. Geo Antara pulang kembali ke desanya. Ia membuka perpustakaan buat anak-anak desa dan memberi pelajaran tambahan gratis. Ia juga berkenalan dengan Cok Dodi, manajer Humas perusahaan agropolitan tersebut seraya mengingatkan pada Cok Dodi agar berhati-hati memberi sumbangan pada orang yang mengatasnamakan desa. Bagaimana dengan Gek Bulan? Ia kembali ke desa Jelungkap bersama Komang Wiarsa untuk membuat pertanian organik. Sebuah konsep baru yang tidak menggunakan pupuk kimia dalam mengolah lahan pertanian.
Orang-orang Jelungkap masih menyimpan rahasia bayi buncing. Dan orang semakin resah ketika mengetahui kedekatan antara Geo Antara dan Gek Bulan di desa Jelungkap. Salahkan mereka saling mencintai? Salahkah mereka saling mengasihi karena pernah bertemu dalam satu rahim?
......
Novel ini adalah novel yang ditulis dengan teknik etnografi yang menceritakan secara detil tentang kehidupan budaya di Bali, walau dalam novel ini diceritakan hanya di desa Jelungkap. Novel ini telah ditulis dalam cerita bersambung pada Harian Bali Post, namun, cerita bersambung itu harus berhenti di tengah jalan, I Wayan Artika mengalami pengadilan adat karena cerita ini awalnya menggunakan nama desa yang menjadi desa I Wayan Artika. Novel ini menjadi 'bernilai tambah ' karena pengarangnya sendiri mengalami pahitnya keputusan adat yang menyebabkan ia harus diusir dari desanya selama tiga tahun (dari sejak 2003).
Tak heran, Raudal Tanjung Banua, penyunting novel ini menyatakan bahwa "Bali adalah paradoks globalisasi dan tradisi, antara membuka diri seluas-luasnya di satu sisi, tapi juga menutupnya rapat-rapat di sisi yag lain."
Buku Incest - ulasan
Katagori :
Bali,
buku,
buku bagus,
Fiksi Dewasa,
resensi buku,
sinopsis buku,
ulasan buku
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar