Judul: Rendra, Ia tidak Pernah Pergi
Tebal: xv + 388 halaman
Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Tahun: September 2009
Tebal: xv + 388 halaman
Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Tahun: September 2009
Karya-karyanya Rendra tidak hanya respon terhadap kondisi di sekitarnya, namun juga menunjukkan berbagai gagasan mengenai kebudayan yang luas dan menembus waktu.
Itulah yang dapat ditangkap dari buku ini. Dari buku ini pertama-tama pembaca dapat melihat bagaimana "ketegangan" antara Rendra dengan realitas yang terjadi di sekitarnya. Ketegangan disebabkan Rendra melihat ada yang keliru dalam arah kebudayaan.
Itulah yang dapat ditangkap dari buku ini. Dari buku ini pertama-tama pembaca dapat melihat bagaimana "ketegangan" antara Rendra dengan realitas yang terjadi di sekitarnya. Ketegangan disebabkan Rendra melihat ada yang keliru dalam arah kebudayaan.
Rendra mencium bahwa kebudayaan Indonesia tengah berada dalam posisi yang tersingkirkan. Artinya, tidak banyak orang yang memikirkannya secara serius untuk memperbaiki keadaan, sebaliknya atas nama perkembangan ataupun pembangunan, perlahan-lahan kebudayaan masyarakat kian disisihkan, dan akar hal ini telah terjadi sejak masa kolonial.
Rendra mencontohkan bagaimana Herman Willem Daendels yang membangun jalan berdasarkan kepentingan perdagangan, pertahanan militer dan kekuasaan. Implikasi dari itu semua itu adalah tumbuhnya sebuah ruang metropolitan. Orang-orang desa yang sebelumnya melakukan perdagangan dengan pembagian waktu berdasarakan hari pasaran dan penghayatan kosmis, kini berebut mendirikan rumah tepat di tepi jalan yang dibangun oleh Daendels (hal. 216). Akibatnya, ketidakseimbangan kosmis terjadi.
Tentu saja hal semacam itu tidak hanya terjadi di masa lalu, tetapi juga pada masa kini. Ambil saja contoh pembangunan hipermarket di kota-kota besar. Keberadaan hipermarket tersebut tidak hanya menggeser pedagang kecil, tetapi juga telah mengancam keberadaan pasar tradisional.
Pada masa lampau pasar adalah tempat terjadinya pertemuan berbagai kebudayaan. Tetapi kini interaksi tersebut terancam. Proses tawar-menawar yang menjadi pemandangan lumrah di pasar tradisional kini digantikan dengan belanja yang menghilangkan hak pembeli untuk melakukan penawaran.
Itu sebabnya Rendra secara tegas mengungkapkan bahwa sesuatu yang bersifat tradisional layak untuk dipertimbangkan kembali. Sebab bagaimanapun, tradisi lama dan kearifan tradisional dapat diolah kembali untuk memperkuat kohesi masyarakat, sekaligus sebagai modal untuk membangun bangsa dengan lebih baik dan manusiawi.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah hal yang dilakukan oleh Rendra merupakan sesuatau yang sia-sia? Bukankah pementasan teater maupun pembacaan sajak yang dibawakan oleh Rendra tidak banyak membawa perubahaan secara signifikan?
Ternyata Rendra memiliki idealisme tersendiri dalam hal tersebut.. Bagi Rendra. Seperti dikutipkan oleh Mudji Sutrisno dalam tulisan dalam buku ini, Fenomena Koko dan Rendra Secara Budaya (Hal. 53), bahwa bagi Rendra seseorang boleh saja merasa lelah dan merasa sia-sia memikirkan gambaran keadaan manusia masa kini, namun ia tidak boleh berhenti berjuang dan bersuara memperjuangkan tegaknya martabat manusia Indonesia.
Rasanya, ungkapan Rendra tersebut bukan tanpa alasan. Rendra sendiri yakin bahwa Indonesia masih memiliki masa depan. Ini dapat ditangkap lewat ucapannya dalam sebuah wawancara. Menurut Rendra Indonesia masih punya masa depan selama masih ada pengusaha menengah dan orang-orang muda.
Menurutnya, pengusaha menengah telah terbukti kekenyalannya sejak masa tanam paksa di jaman Belanda. Kini pengusaha menengah telah dapat menyerap tenaga kerja hingga 30 juta orang. Sedangkan anak muda, dalam pengamatan Rendra, kini semakin banyak melahap buku-buku humaniora, dan semakin kritis dalam menggugat masalah-masalah kebangsaan. Bagi Rendra, fenomena ini merupakan investasi budaya.
Selain itu, Rendra juga ternyata bukan sosok yang hanya memikirkan masalah kesenian. Ia pun memikirkan bagaimana orang-orang yang hidup dari kesenian. Rendra paham benar, di Indonesia orang tidak dapat hidup melulu dari kesenian. Bahkan ia dan anggota Bengkel Teater pernah mengalami kesulitan keuangan pada tahun 1970-an.
Menurut Rendra, sulitnya menggantungkan hidup dari teater disebabkan di Indonesia belum ada infrastruktur yang memungkinkan para pemain teater bisa berkarya secara total. Di sejumlah negara maju infrastruktur semacam itu sudah dibangun. Di negara-negara semacam ini para penggiat teater tidak hanya didukung oleh agen yang profesional, tetapi juga lembaga lain, sebutlah bank, yang siap mendukung kegiatan teater. Kenyataan ini menunjukkan bahwa seluruh pihak memang memiliki keperdulian terhadap kebudayaan,
Itu sebabnya Rendra bertekad untuk membuat orang-orang dalam Begkel Teater menjadi lebih sejahtera. Hal ini terungkap dalam wawancara dengan Rendra berkaitan dengan Bengkel Teater dan para anggotanya. Dalam wawancara yang dilakukan pada tahun 1989 tersebut, Rendra mengungkapkan keinginnya untuk mendirikan sebuah padepokan (hal.149)yang dapat memenuhi kebutuhan dasar dan kesejahteraan ekonomi anggota Bengkel Teater dapat terpenuhi.
Buku yang terdiri dari sejumlah tulisan yang ditulis oleh budayawan, sastrawan, sampai wartwan ini memang tidak dapat dikatakan mewakili secara keseluruhan gagasan kebudayaan seorang Rendra. Namun, paling tidak, terbitnya buku ini telah membantu terkumpulnya berbagai gagasan kebudayaan Rendra yang masih tercecer di berbagai media.****
Dimuat di Koran Jakarta, 8 Oktober 2009
0 komentar:
Posting Komentar