Beberapa hari yang lalu, saudara saya yang berprofesi sebagai perias pengantin mendapat dua pekerjaan merias pada hari yang sama, dan keduanya calon mempelai wanitanya dalam kondisi sudah hamil. Realita yang ada saat ini, begitu mengetahui putrinya dalam kondisi hamil, sebagian besar orangtua pasti mengambil keputusan untuk segera mencari “pelaku” untuk segera dinikahkan, agar terhindar dari malu.
Fenomena tersebut diangkat oleh Irwan Kelana pada cerpennya yang berjudul Kemboja Terkulai di Pangkuan. Berbeda dengan orangtua yang lain, Haji Abdullah, nama tokoh ayah, tidak bersedia menikahkan putrinya dalam kondisi hamil. Bahkan di saat sang laki-laki bersedia bertanggung jawab, beliau malah mengusirnya.
Bingung, mencibir, memaki, itulah yang menjadi respon masyarakat melihat kekerasan hati Haji Abdullah. Namun, semua itu sama sekali tidak membuat keputusannya berubah, bahkan bujuk rayu dan permohonan sang istri sama sekali tidak dihiraukan. Keputusan tetap bulat: Tidak menikahkan Iffah, putrinya. Keputusannya didasari oleh keyakinannya, bahwa haram menikahkan putra/putri dalam kondisi hamil [penulis mengambil nasab Imam Malikiyah dan Hanafiyah]. Hanya satu yang digenggam oleh Haji Abdullah, ‘lebih baik malu kepada manusia, daripada malu di hadapan Allah’
Luar biasanya, walaupun dalam kondisi sedih dan marah, ternyata tidak melunturkan kasih sayangnya. Haji Abdullah masih tetap memperhatikan kondisi putrinya dan setia mengantarnya memeriksakan kehamilan dari bulan ke bulan.
Kemboja Terkulai di Pangkuan, adalah cerpen pembuka pada buku kumpulan cerpen dengan judul sama. Lembut, itu yang saya rasakan saat membaca tulisan dari Irwan Kelana. Walaupun, sosok pria yang kerap diangkatnya berkarakter keras dan sangar, tetapi sangat melindungi tokoh perempuannya. Bisa jadi sifat pelindung ini muncul pada jiwa setiap tokoh laki-laki karena didasari latar profesi dari si penulis.
Profesi wartawan banyak digunakan sebagai latar tokoh, dikarenakan si penulis sendiri pernah mengalami lika-liku hidup sebagai wartawan Republika. Pekerjaan yang menguras waktu dan menuntut untuk selalu standby di ‘jalanan’ membuat momen bersama keluarga semakin minim. Hal ini membuat sosok perempuan/ istri yang bersedia mendampingi seorang wartawan menjadi sangat spesial.
Menanti suami hingga larut malam, demi untuk sekadar membukakan pintu dan kemudian membuatkan wedang jahe atau rendaman air garam hangat supaya kaki sang suami terasa lebih nyaman, menjadi wujud kesetiaan dan ketelatenan sosok wanita yang tersurat. Kondisi inilah yang mungkin menjadi inspirasi hampir di sebagian besar cerpen, KESETIAAN.
Tidak hanya bercerita tentang kehidupan rumah tangga, tapi kumcer ini juga memaut tentang kebimbangan. Masih dengan profesi yang tidak memiliki jam kerja tetap ini, tertulis juga cerita tentang tentang kehidupan lajang. Di beberapa cerita terlihat usia tokoh utama laki-lakinya yang berkisar mendekati 40-an. Hal ini terjadi karena ketakutan mereka akan ketidak-pastian, resiko pekerjaan yang sangat mungkin menuai kematian, yang nantinya akan berdampak pada sang pasangan.
Dengan gayanya yang romantis, Irwan Kelana menghadirkan banyak cerita yang bernuansa cinta antar laki-laki dan perempuan. Di beberapa cerpen akan ditemui alur cerita yang hampir mirip, walaupun terselip konflik yang berbeda, seperti seorang pria yang jatuh cinta pada pandangan pertama, terpesona, kemudian berusaha mencari tahu dan berusaha meraih perempuannya dengan cara yang sangat ‘hati-hati’.
Walaupun berhamburan cerita cinta laki-laki dan perempuan, terdapat juga cerpen berjudul Kondangan yang sarat makna. Cerpen yang satu ini memiliki tema yang sangat sederhana, yaitu pergi kondangan, di mana seorang ibu selalu meminta anaknya untuk memenuhi undangan apapun yang didapatnya dari warga desa. Bahkan lucunya, walaupun undangan telah lewat 3 bulan, sang ibu masih terus menelepon putranya, demi mengingatkan untuk datang kondangan. “Malu kalau nanti ketemu di jalan, nanti dikira tidak menghormati’ inilah yang selalu dikatakan si Ibu. Tak jarang si Ibu juga menanyakan berapa isi amplop yang akan diberikan putranya. Cerewet? Memang, tapi di balik kecerewetannya ternyata tersimpan sebuah pesan yang mungkin, saat ini sudah mulai terlupakan.
Setelah menekuni kumpulan cerpen ini, jujur saya lebih menikmati cerpen Kemboja, Kondangan, dan Musholla di Halaman Rumah. Tiga cerpen yang sedikit keluar ‘jalur cerita cinta pasangan’ ini, ternyata lebih meninggalkan ‘bekas’. Bisa jadi, karena saya bukan fans dari cerita-cerita yang berbau romantis. Atau bisa juga menjadi salah satu pertanda bahwa sesuatu yang lain-daripada-yang-lain memang selalu menarik?
Selain unsur lain-daripada-yang-lain, ketiga cerpen ini lebih enak dinikmati, karena alurnya yang tidak terburu-buru jika dibanding dengan cerpen yang lain. Kesan terburu-buru ini sering tertangkap dari banyaknya potongan sketsa cerita yang seperti memotong alur supaya lebih cepat sampai pada akhir cerita. Namun, bagi pembaca yang memiliki jiwa penulis dan berkarya pasti akan dapat mengambil peluang atau inspirasi untuk mengembangkan alur hampir di setiap cerita.
Terlepas dari segala kekurangannya, unsur romantisme yang menapak jelas hampir di seluruh cerita ini pasti akan digandrungi para pecinta buku ber-genre romantis. Irwan Kelana selalu berhasil menciptakan suasana romantis dalam cerpen lewat deskripsi suasana atau dialog-dialog guyon, menggoda sang pasangan, namun tidak kelewat batas.
Judul : Kemboja Terkulai di Pangkuan
Penulis : Irwan Kelana
Penerbit : Bening Publishing
Terbit : Mei 2005
Tebal : 215 halaman
ISBN: 9792647791
Harga: Rp. 25.000
Fenomena tersebut diangkat oleh Irwan Kelana pada cerpennya yang berjudul Kemboja Terkulai di Pangkuan. Berbeda dengan orangtua yang lain, Haji Abdullah, nama tokoh ayah, tidak bersedia menikahkan putrinya dalam kondisi hamil. Bahkan di saat sang laki-laki bersedia bertanggung jawab, beliau malah mengusirnya.
Bingung, mencibir, memaki, itulah yang menjadi respon masyarakat melihat kekerasan hati Haji Abdullah. Namun, semua itu sama sekali tidak membuat keputusannya berubah, bahkan bujuk rayu dan permohonan sang istri sama sekali tidak dihiraukan. Keputusan tetap bulat: Tidak menikahkan Iffah, putrinya. Keputusannya didasari oleh keyakinannya, bahwa haram menikahkan putra/putri dalam kondisi hamil [penulis mengambil nasab Imam Malikiyah dan Hanafiyah]. Hanya satu yang digenggam oleh Haji Abdullah, ‘lebih baik malu kepada manusia, daripada malu di hadapan Allah’
Luar biasanya, walaupun dalam kondisi sedih dan marah, ternyata tidak melunturkan kasih sayangnya. Haji Abdullah masih tetap memperhatikan kondisi putrinya dan setia mengantarnya memeriksakan kehamilan dari bulan ke bulan.
Kemboja Terkulai di Pangkuan, adalah cerpen pembuka pada buku kumpulan cerpen dengan judul sama. Lembut, itu yang saya rasakan saat membaca tulisan dari Irwan Kelana. Walaupun, sosok pria yang kerap diangkatnya berkarakter keras dan sangar, tetapi sangat melindungi tokoh perempuannya. Bisa jadi sifat pelindung ini muncul pada jiwa setiap tokoh laki-laki karena didasari latar profesi dari si penulis.
Profesi wartawan banyak digunakan sebagai latar tokoh, dikarenakan si penulis sendiri pernah mengalami lika-liku hidup sebagai wartawan Republika. Pekerjaan yang menguras waktu dan menuntut untuk selalu standby di ‘jalanan’ membuat momen bersama keluarga semakin minim. Hal ini membuat sosok perempuan/ istri yang bersedia mendampingi seorang wartawan menjadi sangat spesial.
Menanti suami hingga larut malam, demi untuk sekadar membukakan pintu dan kemudian membuatkan wedang jahe atau rendaman air garam hangat supaya kaki sang suami terasa lebih nyaman, menjadi wujud kesetiaan dan ketelatenan sosok wanita yang tersurat. Kondisi inilah yang mungkin menjadi inspirasi hampir di sebagian besar cerpen, KESETIAAN.
Tidak hanya bercerita tentang kehidupan rumah tangga, tapi kumcer ini juga memaut tentang kebimbangan. Masih dengan profesi yang tidak memiliki jam kerja tetap ini, tertulis juga cerita tentang tentang kehidupan lajang. Di beberapa cerita terlihat usia tokoh utama laki-lakinya yang berkisar mendekati 40-an. Hal ini terjadi karena ketakutan mereka akan ketidak-pastian, resiko pekerjaan yang sangat mungkin menuai kematian, yang nantinya akan berdampak pada sang pasangan.
Dengan gayanya yang romantis, Irwan Kelana menghadirkan banyak cerita yang bernuansa cinta antar laki-laki dan perempuan. Di beberapa cerpen akan ditemui alur cerita yang hampir mirip, walaupun terselip konflik yang berbeda, seperti seorang pria yang jatuh cinta pada pandangan pertama, terpesona, kemudian berusaha mencari tahu dan berusaha meraih perempuannya dengan cara yang sangat ‘hati-hati’.
Walaupun berhamburan cerita cinta laki-laki dan perempuan, terdapat juga cerpen berjudul Kondangan yang sarat makna. Cerpen yang satu ini memiliki tema yang sangat sederhana, yaitu pergi kondangan, di mana seorang ibu selalu meminta anaknya untuk memenuhi undangan apapun yang didapatnya dari warga desa. Bahkan lucunya, walaupun undangan telah lewat 3 bulan, sang ibu masih terus menelepon putranya, demi mengingatkan untuk datang kondangan. “Malu kalau nanti ketemu di jalan, nanti dikira tidak menghormati’ inilah yang selalu dikatakan si Ibu. Tak jarang si Ibu juga menanyakan berapa isi amplop yang akan diberikan putranya. Cerewet? Memang, tapi di balik kecerewetannya ternyata tersimpan sebuah pesan yang mungkin, saat ini sudah mulai terlupakan.
Setelah menekuni kumpulan cerpen ini, jujur saya lebih menikmati cerpen Kemboja, Kondangan, dan Musholla di Halaman Rumah. Tiga cerpen yang sedikit keluar ‘jalur cerita cinta pasangan’ ini, ternyata lebih meninggalkan ‘bekas’. Bisa jadi, karena saya bukan fans dari cerita-cerita yang berbau romantis. Atau bisa juga menjadi salah satu pertanda bahwa sesuatu yang lain-daripada-yang-lain memang selalu menarik?
Selain unsur lain-daripada-yang-lain, ketiga cerpen ini lebih enak dinikmati, karena alurnya yang tidak terburu-buru jika dibanding dengan cerpen yang lain. Kesan terburu-buru ini sering tertangkap dari banyaknya potongan sketsa cerita yang seperti memotong alur supaya lebih cepat sampai pada akhir cerita. Namun, bagi pembaca yang memiliki jiwa penulis dan berkarya pasti akan dapat mengambil peluang atau inspirasi untuk mengembangkan alur hampir di setiap cerita.
Terlepas dari segala kekurangannya, unsur romantisme yang menapak jelas hampir di seluruh cerita ini pasti akan digandrungi para pecinta buku ber-genre romantis. Irwan Kelana selalu berhasil menciptakan suasana romantis dalam cerpen lewat deskripsi suasana atau dialog-dialog guyon, menggoda sang pasangan, namun tidak kelewat batas.
Judul : Kemboja Terkulai di Pangkuan
Penulis : Irwan Kelana
Penerbit : Bening Publishing
Terbit : Mei 2005
Tebal : 215 halaman
ISBN: 9792647791
Harga: Rp. 25.000
0 komentar:
Posting Komentar