Buku Jejak Spionase Internasional di Indonesia - ulasan
Judul : Namaku Matahari
Penulis : Remy Sylado
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : I, Oktober 2010
Halaman : 559
Harga : Rp. 79.000
Meskipun sudah banyak sumber yang mengungkap kehidupan Mata Hari, namun sosoknya tetap misterius. Sebut saja fakta seputar kematiannya. Konon hingga kini tidak jelas dimana ia dikuburkan.
Hal yang jelas, ia pernah hadir pada masa Perang Dunia Ke-I. Kala itu ia menjadi agen rahasia untuk dua negara sekaligus (double agent), Jerman dan Perancis.
Dikisahkan, Mata Hari lahir di Leeuwardeng, Belanda pada tahun 1876. Kala itu ia masih memakai naman Margaretha Geertruida. Pada usia 18 tahun ia menikah dengan seorang opsir Belanda bernama Rudolf John MacLeod.
Setelah itu ia pindah ke Jawa, untuk mengikuti suaminya yang bertugas di sana, tepatnya di Ambarawa. Ketika berada di Jawa inilah Mata Hari belajar menari untuk pertama kalinya.
Dari situlah ia kemudian banyak mementasakan tarian Jawa. Bahkan pada periode berikutnya ia juga mulai menarikan tarian-tarian erotik di hadapan banyak orang. Tentu saja hal ini membuat ia semakin dekat dengan banyak kalangan, termasuk petinggi militer. Tidak sedikit petinggi milter yang kemudian tidur bersamanya.
Lewat apa yang dilakukan oleh Mata Hari, novel ini telah melakukan sebuah protes dan sindiran keras atas sikap hipokrit pihak penguasa, termasuk kalangan rohaniawan. Simak saja ketika Mata Hari menyatakan kesetujuanya untuk menarik erotik di hadapan penguasa dan kalangan rohaniawan Katolik maupun Kristen (halaman 183-185).
Dengan tarian erotiknya Mata Hari ingin melakukan sebuah pembalikkan. Artinya, dalam kondisi kultural yang menomorduakan perempuan, ia justru ingin menunjukkan bahwa pria dapat bertekuk-lutut di bawah daya tarik gerakan erotik tariannya, maupun dan gairah seksualitasnya.
Ini adalah sebuah simbol, meskipun secara kultural laki-laki lebih dominan ketimbang perempuan. Namun, di sisi lain--digambarkan melalui hubungan antara Mata Hari dengan pria yang berkencan dengannya--laki-laki adalah pihak yang justru dikuasai oleh perempuan.
Bahkan dengan caranya sendiri, Remy Syaldo, memperlihatkan bagaimana pria menjadi objek pelepas hasrat Mata Hari. Di sini terlihat bagaimana superioritas laki-laki seketika luntur tanpa perlawanan. Kelemahan leki-laki seakan ditelanjangi. Beginilah Remy Sylado mengkritik kultur patriarkal.
Sikap Mata Hari yang seakan membalaskan dendam kepada laki-laki bukan tanpa sebab. Hal itu terjadi karena sejak awal pernikahannya, ia sudah merasa ditindas oleh kekuasaan laki-laki, yakni dari suaminya sendiri. Ia menggambarkan suaminya sebagai sosok yang menakutkan, egois, dan gemar main perempuan.
Di sisi lain, Mata Hari, ditampilkan sebagai perempuan yang "melampaui" jamannya, dalam arti ia sanggup berpikir dan bertindak di luar kebiasaan. Bahkan secara terang-terangan ia menyatakan dirinya sebagai vrijdenker, atau pemikir bebas, yang karenanya ia mempertanyakan keberadaan Tuhan.
Novel ini dapat dikatakan sebuah reinterpretasi kisah Mata Hari di Indonesia. Penulis mengatakan demikian karena, hampir tiga perempat isi buku ini berisi perjalanan Mata Hari selama di Indonesia. Inilah yang membuat buku ini menarik bagi pembaca di Indonesia.***
Katagori :
buku,
buku bagus,
resensi buku,
sinopsis buku,
ulasan buku
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar