Judul Buku: Ranah 3 Warna
Penulis: A. Fuadi
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, Januari 2011
Tebal: 473 Halaman
Nampaknya, cerita yang mampu memotivasi pembaca sedang gandrung belakangan ini. Setelah Andrea Hirata sukses besar dengan Tetralogi Laskar Pelangi-nya, kini bak déjà vu kesuksesan serupa dialami oleh Ahmad Fuadi dengan trilogi Negeri 5 Menara-nya yang menjadi best seller. Genre ini bahkan diyakini akan booming dan menjadi trend kesusasteraan Tanah Air.
Namun keliru jika menganggap karya sejenis ini hanya menjual tema yang mengharu biru, nyatanya beragam penghargaan telah diraih oleh A. Fuadi atas novel pertamanya, Negeri 5 Menara, antara lain Nominasi Khatulistiwa Literary Award 2010 dan Penulis dan Fiksi Terfavorit, Anugerah pembaca Indonesia 2010. Gambaran sebuah pengakuan atas karya tulis yang dihasilkannya.
Kini sekuel dari Negeri 5 Menara telah lahir. Buku yang diberi judul Ranah 3 Warna ini, layaknya sebuah sekuel, kembali mengangkat cerita sosok Alif, sang tokoh utama dalam novel sebelumnya. Namun jika dalam buku pertama dihadirkan pengalaman Alif selama menimba ilmu di Pondok Pesantren Madani, dalam buku kedua ini A. Fuadi mengisahkan perjuangan Alif dalam menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi.
Diceritakan, sebagai alumni Pesantren yang hanya dijejali ilmu agama, Alif dihadapkan pada tantangan berat; harus lulus dalam UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) agar diterima sebagai mahasiswa. Dengan kondisi keuangan keluarganya yang minim, maka hanya Perguruan Tinggi Negeri-lah satu-satunya yang paling realistis agar ia bisa kuliah, yang saat itu dikenal murah.
Tidak sedikit orang kampung halamannya yang meragukan kemampuannya, termasuk Randai sahabat karibnya sedari kecil. Namun tempaan di Pondok Madani rupanya membekas kuat dalam sanubarinya, ia selalu terngiang “mantra” sakti yang selalu didengungkan Kiai Rais, gurunya di pesantren berbunyi man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh maka akan berhasil.
Teringat dengan mantra tersebut, Alif belajar keras melahap semua materi yang hendak diujikan kelak, yang sialnya tidak dikenal di Pondok Madani. Bak orang kesetanan, siang malam ia mengurung diri di kamar, segala cemoohan orang-orang yang meragukan kemampuannya menjadi cambuk penyemangat. Targetnya adalah agar diterima sebagai mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran Bandung.
Berkat kegigihannya serta doa yang selalu dipanjatkan, Alif akhirnya mampu menjungkir-balikan prediksi semua yang meragukannya. Ia lulus, berhasil mengalahkan ratusan peserta lain. Maka mulailah pengalamannya sebagai seorang mahasiswa. Namun malang tak dapat ditolak, baru beberapa bulan mengenyam pendidikan di Bandung, kabar duka datang dari kampung, sang Ayah sakit keras. Bahkan, akhirnya meninggal dalam pangkuan Alif.
Kehilangan sosok ayah yang menjadi tulang punggung keluarga membuatnya goyah. Jangankan untuk meneruskan kuliah, untuk hidup pun terasa susah. Padahal adiknya sendiri membutuhkan biaya. Rupanya mantra man jadda wajada tidak cukup ampuh untuk memenangkan pertarungan kali ini. Alif sempat mengibarkan bendera putih tanda menyerah dan bermaksud berhenti kuliah, namun gagal ketika diutarakan ke sang Ibu yang menyemangatinya agar jangan mudah menyerah.
Sekali lagi, pengalamannya menimba ilmu pada Kiai Rais di Pondok Madani mampu menyelamatkan hidupnya dan meletupkan kembali semangatnya yang nyaris padam. Pengalaman pahit hidupnya membuat ia teringat kembali pada mantra penguat hati yang pernah diajarkan di sana berbunyi man shabara zhafira, barangsiapa yang bersabar akan beruntung.
Maka dengan tekad dan semangat baru, Alif berusaha keras melanjutkan kuliahnya. Beragam cara ia lakukan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, mulai dari mengajar privat hingga berbisnis, semuanya mengalami kegagalan. Namun mantra penguat hati nampaknya benar-benar telah terpatri dalam jiwanya, sehingga tak kenal menyerah. Alif akhirnya banting stir mencoba menjadi seorang penulis. Ia bahkan memiliki seorang guru bernama Togar, seorang penulis opini diberbagai media cetak, baik lokal maupun nasional.
Novel setebal empat ratus tujuh puluh tiga halaman ini, bertebaran muatan hikmah kehidupan. Akan saya petikkan salah satu petuah Kiai Rais di dalamnya: otak yang biasa-biasa saja selalu bisa diperkuat dengan ilmu dan pengalaman. Usaha yang sungguh-sungguh dan sabar akan mengalahkan usaha yang biasa-biasa saja. Kalau bersungguh-sungguh akan berhasil, kalau tidak serius akan gagal. Kombinasi sungguh-sungguh dan sabar adalah keberhasilan. Kombinasi man jadda wajada dan man shabara zhafira adalah kesuksesan. (Halaman. 195)
Petuah bijak sang kiai di atas, bisa jadi pada dasarnya merupakan inti dari buku karya mantan wartawan Tempo ini, bahkan tidak menutup kemungkinan menjadi ruh dari trilogi Negeri 5 Menara itu sendiri. Kisah sosok Alif, patut dicurigai merupakan pengalaman pribadi penulisnya, mengingat begitu banyak persamaannya. Namun, tentu saja ditambahi bumbu-bumbu yang menarik sebagai sebuah cerita dan tak lupa dilengkapi menggunakan gaya bahasa yang enak untuk dibaca.
0 komentar:
Posting Komentar