Judul : Kuantar ke Gerbang, kisah cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno
Penulis : Ramadhan K.H.
Penerbit : Bentang Pustaka
Cetakan : I, Maret 2011
Tebal : 431 hlm
"Ini tentang pengalamanku dengannya, dengan seseorang yang mementingkan segi membangkitkan semangat dan solidaritas bangsa untuk mencapai apa yang dicita-citakannya, apa yang sebenarnya kita cita-citakan bersama, yakni kemerdekaan bagi bangsa kita. Dibalik itu, ia pun adalah seorang yang sangat penuh romantika. Aku mengikutinya, melayaninya, mengemongnya, berusaha keras menyenangkannya , meluluhkan keinginan-keinginannya,.
Namun, pada suatu saat, setelah aku mengantarkannya sampai di gerbang apa yang jadii cita-citanya, berpisahlah kami, karena aku berpegang pada sesuatu yang berbenturan dengan keinginannya. Ia pun melanjutkan perjuangannya seperti yang tetap aku doakan. Aku tidak pernah berhenti mendoakannya"
(Inggit Ganarsih, Kuantar ke Gerbang hlm 2)
Dibanding istri-istri Soekarno, Inggit Ganarsih termasuk istri yang kurang dikenal. Masyarakat umumnya lebih mengenal Fatmawati, atau Dewi Soekarno dibanding Inggit Ganarsih. Tak banyak memang yang menulis tentang Inggit Ganarsih, dalam buku teks sejarah-sejarah resmi namanya ditulis selewat saja. Karenanya kita patut bersyukur karena penggalan kehidupan Inggit Ganarsih ketika masih bersama Bung Karno sempat dituliskan oleh Ramadhan KH dalam novel “Kuantar ke Gerbang” (Kisah cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno)
Dalam novel ini kita akan mendapatkan kisah kehidupan seorang wanita Sunda yang menjadi pendamping Bung Karno saat ia menimba ilmu di ITB Bandung sambil merintis jalannya di bidang politik, masa-masa sulit ketika Bung Karno dipenjara dan diasingkan, hingga kepindahannya ke jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta beberapa bulan sebelum Proklamasi Kemerdekaan dibacakan oleh bung Karno.
Dalam hal menjalin kehidupan rumah tangga, walau usia Inggit lebih tua 13 tahun ketika menikah dengan Bung Karno namun Inggit mampu menjadi seorang pendamping yang sepadan bagi Bung Karno. Perbedaan usia yang mencolok ini malah menjadi keuntungan bagi Bung Karno karena baginya Inggit bukan hanya sekedar kekasih dan istri, namun sekaligus ibu yang mengemong dan membimbingnya.
Inggit adalah wanita sederhana, ia tak bisa membaca dan menulis, namun dalam kesederhanaan dan keterbatasannya itulah Inggit mampu membuat Soekarno muda bertumbuh menjadi seorang pejuang yang tangguh. Ketika bersama Inggitlah Bung Karno merintis jalan politiknya, di Bandung ia mendirikan Partai Nasional Indonesia dan menjadi singa podium yang berjuang untuk kemerdekan Indonesia. Di masa ini Inggit memang tidak menjadi partnernya yang bisa diajak berdiskusi masalah pergerakan namun dengan ketulusan cintanya Inggit memberikan kasih sayang dan dorongan moril baginya, sesuatu yang tidak bisa diperoleh Bung Karno di arena gelanggang politiknya.
Jika Bung Karno diibaratkan nyala api, maka Inggit Ganarsih adalah kayu bakarnya. Inggit menghapus keringat ketika Soekarno kelelahan, Inggit menghibur ketika Soekarno kesepian atau membutuhkan dorongan darinya.
“Setiap kelelahan, ia memerlukan hati yang lembut, tetapi sekaligus memerlukan dorongan lagi yang besar yang mencambuknya, membesarkan hatinya. Istirahat, dielus, dipuaskan, diberi semangat lagi, dipuji dan didorong lagi”
"Waktu sampai rumah aku harus menyediakan minuman asam untuk mengembalikan suara Kusno (Bung Karno) yang sudah parau itu. Aku seduh air jeruk atau asam kawak. Aku sendiri yang harus menidurkan kesayanganku yang besar ini, singa panggung ini. Tak ubahnya ia dengan anak kecil yang ingin dimanja" (hal 99)
Ketika akhirnya Bung Karno ditangkap dan dipenjara di Banceuy Bandung, Inggit tetap setia, Ia rajin mengunjungi dan mengirim makanan untuk suaminya di penjara. Untuk mendapatkan uang ia membuat bedak, manjadi agen sabun cuci, membuat dan menjual rokok hingga menjahit pakaian dan kutang.
Kegigihan Inggit untuk menafkahi keluarganya saat bung Karno dalam penjara, membuat Bung Karno sedih karena telah melalaikan tugasnya sebagai kepala rumah tangga, ketika hal itu disampaikan pada istrinya, Inggit memberinya semangat.
“Tidak, Kasep, jangan berpikir begitu. Mengapa mesti berkecil hati. Di rumah segala berjalan beres….Tegakkan dirimu, Kus, tegakkan! Teruskan perjuanganmu! Jangan luntur karena cobaan semacam ini!” (hal 159)Saat Bung Karno sedang menyusun naskah pembelaannya Inggit membantu mencari dan mengirim data serta dokumen untuk referensi suaminya menyusun pembelaan (pledoi). Inggit dengan berani menyelundupkan data dan dokumen yang diperlukan Bung Karno ke Penjara Banceuy. Agar tak ketahuan sipir penjara ia menyembunyikan naskah tersebut dibalik kebayanya.Jerih payah Inggit ini membuat Bung Karno berhasil menyusun pembelaannya yang sangat terkenal, Indonesia Menggugat, yang dibacakan di Landraad Bandung, 18 Agustus 1930.
Dengan cerdas Inggit juga memberikan kode-kode rahasia tentang situasi diluar penjara baik melalui telur yang dibawanya atau melalui Al Quran yang telah diberi kode rahasia kepada suaminya, dengan demikian walau setiap kunjungan selalu diawasi oleh sipir penjara, bung Karno tetap dapat mengetahui baik buruknya situasi perjuangan saat itu.
Pengorbanan dan kesetiaan cinta Inggit tidak hanya terlihat ketika Soekarno di Penjara. Masa-masa pembuangan di Ended an Bengkulu menjadi saksi bagi ketabahan dan kesetiaannya pada Bung Karno . Sebetulnya Inggit adalah manusia bebas yang memiliki hak untuk tidak ikut bersama suaminya dalam pembuangan, namun cinta dan kesetiaannya pada Bung Karno membuatnya bertekad menyertai suaminya dalam suka dan duka
Niatnya untuk mendampingi suaminya selama di pengasingan benar-benar diwujudkannya , di masa-masa sulit inilah Inggit menjadi peredam dan tempat berteduh bagi jiwa Bung Karno yang kesepian dan tertekan karena perjuangannya untuk memerdekakan bangsanya harus terhenti entah sampai kapan.
“Aku lalu mengajaknya keluar dari kesepian. Aku harus pandai mencumbunya supaya ia bebas dari dari tekanan –tekanan yang menimpa batinnya.” (hal 300)Malangnya usaha Inggit untuk menghibur dan mendampingi Bung Karno selama di pengasingan ternyata tak cukup bagi Bung Karno. Soekarno yang saat itu berada di usia yang sedang bergelora tak kuasa meilhat kecantikan Fatmawati, anak angkatnya sendiri yang diasuhnya bersama Inggit di Bengkulu. Bung Karno akhirnya meminta izin pada Inggit untuk diizinkan menikah dengan Fatmawati dengan alasan ingin memiliki keturunan. Satu-satunya yang tak bisa diberikan Inggit pada suaminya. Bung Karno tak berniat menceraikan Inggit, ia hanya meminta restu Inggit untuk menikah lagi dan status Inggit menjadi istri pertamanya.
Dengan tegas Inggit menolak untuk dimadu, ia memilih bercerai daripada harus dimadu.
“Aku orang Banjaran dari keluarga yang pantangannya adalah dimadu dalam keadaan bagaimanapun…Sudah aku jelaskan, kalau mau mengambil dia, ceraikanlah aku! Aku pantang dimadu!” (hal 405)Ditengah kegalauan hatinya ini Inggit tetap melayani Bung Karno dengan cintanya. Ketika sekutu kalah perang dan Jepang memasuki Sumatera Inggit dan Bung Karno harus menghadapi tantangan baru. Walau mereka diizinkan meninggalkan Bengkulu dan diperintahkan untuk menuju Jakarta, mereka harus melakukan perjalanan darat menuju Padang melalui hutan belantara agar terhindar dari pasukan Jepang .
Akhirnya selepas dari pembuangan di Bengkulu, pada tahun 1942 Bung Karno dan Inggit resmi bercerai di Jakarta. Perceraiannya ini disertai juga dengan sejumlah persayaratan yang dibuat dihadapan 4 Serangkai (Hatta, Ki Hajar Dewantara, KH Mas Mansur, dan Soekarno) . Bagi Inggit yang telah menjalani bahtera rumah tangganya bersama Bung Karno selama hampir 20 tahun lamanya ini adalah suatu peristiwa yang paling menyedihkan dalam hidupnya, namun ia tak mau larut dalam kesedihan. Cintanya yang tulus pada Bung Karno dan kepasrahannya pada jalan hidup yang telah digariskanNYA membuat ia kuat dan mensyukuri apa yang telah dialaminya.
“..sesungguhnya aku harus senang pula karena dengan menempuh jalan yang bukan bertabur bunga, aku telah menghantarkan seseorang sampai di gerbang yang amat berharga” (hal 415)
Demikianlah novel ini menggambarkan dengan menarik bagaimana suka duka dan pasang surut kisah cinta Inggit dengan Bung Karno. Novel ini ditulis dengan menggunakan kata ganti ‘aku’ sehingga kita yang membacanya seakan langsung mendengar penuturan langsung dari bu Inggit. Dengan demikian penulis juga bisa secara dalam mengeksplorasi semua isi hati Inggit selama ia mendampingi Bung Karno baik dalam suka maupun duka. Semua perasaan dan pergolakan batin yang dirasakan Inggit terdeskripsikan dengan blak-blakan dan apa adanya sehingga semua ungkapan cinta romantis, kemarahan, dan kegalauan hati Inggit benar-benar dapat dirasakan pembacanya
Selain kisah cinta Inggit dan Soekarno, novel ini juga memaparkan berbagai peristiwa, isu-siu sejarah, dan kisah-kisah keseharian Bung Karno dari sudut pandang Ibu Inggit antara lain soal isu bahwa Bung Karno telah berbalik haluan dan meminta maaf serta ampun kepada pemerintah Hindia Belanda.
Di buku ini terungkap bagaimana isu ini begitu menganggunya sampai-sampai Inggit harus meminta konfirmasi langsung pada suaminya, sayangnya seperti yang dikisahkan dalam novel ini Bung Karno hanya diam dan tidak memberi reaksi apa-apa, sebagai istri yang taat dan memahami perasaaan suaminya Inggit tidak mendesak Bung Karno untuk menjawabnya sehingga isu tersebut tetap menjadi misteri dan pedebatan di kalangan sejarahwan hingga kini.
Selain itu ada banyak hal-hal menarik tentang Bung Karno, baik itu pemikiran dan strategi perjuangannya, pembelaannya di pengadilan Landraad Bandung, pandangannya terhadap dunia Islam, kegemarannya melukis, melatih Ratna Juami, anak angkatnya berpidato di pantai, hingga hewan peliharaannya, akan terkisahkan di novel ini.
Kesemua itu ditulis oleh Ramadhan KH dengan kalimat-kalimat yang sederhana namun sarat makna seakan mampu mewakili gambaran sosok bu Inggit yang sederhana dan cerdas. Intinya lewat novel ini kita semua akan diajak menyelami penggalan kehidupan Ibu Inggit dan Bung Karno semenjak kuliah di Bandung hingga beberapa saat sebelum memasuki gerbang kemerdeakaan yang dicita-citakannya.
Melalui novel ini kita juga akan tahu bahwa Inggit yang namanya dan bukti pengabdiannya hanya tersisa lewat seonggok bangunan yang terkepung di tengah-tengah debu dan hiruk pikuk kaki lima serta lalu lalang kendaraan di Jalan Inggit Ganarasih (dulu Ciateul) Nomor 18 Bandung Itu ternyata memiliki kontribusi yang besar baik terhadap bangsa ini maupun terhadap pembentukan pribadi Bung Karno untuk menjadi seorang pejuang yang tangguh.
Tak berlebihan jika Prof. S.I Poeradisastra dalam kata Pengantarnya edisi pertama novel ini yang diterbitkan oleh Penerbit Sinar Harapan (1981) menulis demikian :
“Separuh dari semua prestasi Soekarno dapat didepositokan atas rekening Inggit Garnasih di dalam Bank Jasa Nasional Indonesia”. Inggit telah menjalankan tugasnya dengan sempurna, lebih dari seorang istri.”“Saya mohon maaf sebesar-besarnya kepada semua janda Sukarno dengan segala jasa dan segala segi positifnya masing-masing, tetapi saya harus mengatakan, bahwa hanya Inggit Garnasihlah yang merupakan tiga dalam satu diri. Ibu, kekasih, dan kawan yang memberi tanpa menerima. Kekurangan Inggit hanyalah karena ia tak mampu melahirkan anak bagi Sukarno”
Rumah Ibu Inggit
Jln Inggit Ganarsih No. 8 - Bandung
Sejarah Penerbitan
Novel ini diulis oleh sastrawan senior Ramadhan KH (1927-2006) pada tahun 1979-180 berdasarkan wawancara langsung dengan Ibu Inggit yang saat itu telah berusia 91 tahun dengan dibantu oleh Ratna Djuami dan Kartika Uteh yang adalah anak Soekarno-Inggit. Selain itu penulis juga mengadakan wawancara dengan sejumlah tokoh yang pernah aktif dalam pergerakan pada tahun 1920-1943. Berdasarkan wawancara dan studi literatur yang bersangkutan dengan kejadian-kejadian pada masa itu.
Pada tahun 1981 novel ini untuk pertama kalinya diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan. Kemudian di tahun 2000-an penerbit Kiblat Buku Utama – Bandung menerbitkan lagi novel ini dan sempat mencetak ulang novel ini sebanyak 3 kali sebelum akhirnya di tahun 2011 ini diterbitkan oleh Bentang Pustaka dengan cover yang lebih menarik dan tambahan foto-foto dokumentasi yang relevan dengan isi bukunya.
Cetakan I, Pustaka Sinar Harapan, 1981
Terbitan Kiblat Buku Utama, thn 2000-an
Selain menerbitkan ulang novel ini, Mizan Group dibawah bendera Mizan Production juga akan mengangkat kisah cinta Ibu Inggit dan Bung Karno ini kedalam versi layar lebar. Rencanaya film ini akan mulai diproduksi pada juli 2011 nanti dan baru tayang pada 2012 mendatan. Maudy Koesnaedi yang terpillih menjadi Ibu Inggit. Sedangkan sosok proklamator di film ini kabarnya masih sedang dicari.
@htanzil
0 komentar:
Posting Komentar