Dapat dikatakan ini adalah ulasan yang tertunda. Yah...amat tertunda. Karena, aku telah tamat membaca seri terakhir Harry Potter sekitar 3 tahun lalu. Itu yang pertama kali. Baru-baru ini aku membaca buku seri ke 7 ini untuk yang kedua kalinya. Dan menulis ulasan ini pada saat ini rasanya pas sekali, karena saat ini sedang heboh-hebohnya film bagian pertama The Deathly Hallows diputar di bioskop-bioskop di Indonesia.
Sebenarnya aku sudah pernah menulis tentang Harry Potter di sini, namun tulisan itu menyoroti Harry Potter secara keseluruhan, dan pesan terbesar yang terkandung dalam kisah fiksi yang digandrungi dari anak-anak hingga orang dewasa ini. Nah, di tulisan kali ini aku ingin menulis khusus tentang bagian terakhir yang penuh ketegangan, yang sudah mulai terasa bahkan pada halaman pertama. Selain itu, pesan tentang kemanusiaan, cinta, persahabatan serta kesetiaan begitu kental terasa di buku ini. Bagi yang belum pernah membaca, semoga akan mulai terpikat membaca buku Harry Potter, dan bagi yang sudah membaca, semoga tersegarkan ingatan anda setelah membaca ulasan ini...
Harry Potter. Menyebutkan nama ini, tak lengkap rasanya kalau tak menyebutkan juga Lord Voldemort, musuh bebuyutannya. Harry dan Voldemort bagaikan dua kutub yang berbeda, meski kalau didekatkan juga akan saling menarik satu sama lain, persis seperti dua kutub magnet. Harry dan Voldemort sama-sama yatim piatu dan sama-sama sekolah di Hogwarts. Harry mewakili sosok manusia yang baik, Voldemort semenjak kecil memang punya sifat jahat. Dalam buku ke-7 ini Harry mengemban tugas dari Profesor Dumbledore untuk mengenyahkan si duri-dalam-daging di jagad sihir ini: Voldemort.
Namun tugas itu tidak gampang karena Voldemort telah membagi dan menyimpan jiwanya ke dalam 7 benda yang disebut Horcrux. Tak ada yang tahu benda apa saja Horcrux-Horcrux itu, dan di mana letak persembunyiannya, selain Voldemort sendiri. Harry Potter bersama kedua sobatnya: Ron dan Hermione harus menemukannya sebelum Voldemort dan pasukan Pelahap Mautnya menguasai dunia sihir dan membawa bencana bagi, bukan saja para penyihir, namun juga para Muggles (manusia biasa yang bukan penyihir).
Aku membayangkan begitu besar dan beratnya beban yang ditanggung oleh seorang remaja berusia 17 tahun. Ia tak punya keluarga, menjadi buronan Kementrian Sihir karena Kementrian itu sudah dikuasai Voldemort yang ingin membunuhnya, sementara ia harus melakukan sebuah tugas maha berat dengan hanya sedikit sekali petunjuk akan apa yang harus ia cari, dan di mana ia harus mulai mencari.
Putus asa tampaknya adalah reaksi yang logis. Pada titik tertentu bahkan Harry sendiri mulai meragukan "kewarasan" Dumbledore. Mengapa ia memberikan tugas tanpa petunjuk yang memadai? Namun tampaknya sang takdir memang membawanya ke berbagai peristiwa dan tempat yang berbahaya, yang berkali-kali membawa Harry, Ron dan Hermione pada petualangan yang mendebarkan tapi sekaligus mencerahkan. Satu persatu Horcrux itu mulai terungkap, dan makin dekatlah mereka pada tujuan akhir. Namun, tentu saja semuanya tak begitu saja dengan mudahnya terungkap.
Yang paling menarik bagiku, terutama saat membaca kedua kalinya ini, bukan lagi pada perburuan Horcrux itu sendiri, tapi lebih pada pergolakan batin Harry, Ron dan Hermione ketika menghadapi segala masalah. Yang paling ekstrim adalah ketika Ron kecewa setelah (ia merasa) mereka tak mengalami kemajuan sedikit pun, lalu pergi meninggalkan Harry dan Hermione. Betapa nampak di situ emosi sekaligus pikiran Harry dan Hermione menjadi kacau. Bagaimana reaksi mereka bertiga saat akhirnya bertemu kembali, dan bagaimana perpisahan sementara itu lebih mengentalkan persahabatan mereka, pantas kita ukir dalam sanubari kita. Sahabat yang baik bukan sahabat yang terus menguntit kita walaupun mereka tak sependapat dengan kita, tapi mereka yang tetap kembali pada kita setelah berselisih paham, karena mereka menyayangi kita.
Harry Potter juga mengajarkan pada kita untuk memperlakukan semua orang, baik yang sama maupun yang berbeda dari kita secara sama dan sejajar. Perhatikan di buku ini, sosok-sosok lain di dunia sihir: peri rumah dan goblin tetap diperlakukan sama oleh Harry, meski secara umum mereka adalah masyarakat kasta rendah di dunia sihir. Bahkan saat salah satu peri rumah itu meninggal, Harry dengan susah payah menggali kubur untuknya, padahal sesama penyihir saja biasa menggunakan mantra sihir untuk menguburkan teman mereka. Harry menunjukkan bahwa ia menghargai sahabatnya bukan karena siapa dia, tetapi karena apa yang telah diperbuatnya.
Kita juga belajar tentang ekses yang ditimbulkan oleh ejekan, pelecehan dan semua bentuk perilaku yang merendahkan sesama. Severus Snape adalah contoh penyihir berdarah campuran yang miskin dan ‘aneh’ sehingga menjadi obyek bullying oleh James Potter & the gang. Lihat bagaimana Snape menjadi demikian benci pada James sehingga kebencian itu akhirnya ditimpakan pada Harry. Lihat pula bagaimana peristiwa masa lalu itu dapat menjadikan kegetiran pada seseorang, yang bahkan akan membuat seorang yang sesungguhnya berhati emas dapat tampak menjadi begitu jahat. Kalau anda bertanya padaku, siapa yang baik dan siapa yang jahat: James Potter atau Severus Snape? Maka aku akan menjawab: James Potter itu si jahat dan Severus Snape itu si baik. Karena mempermainkan orang lain dan menjadikannya tertawaan menurutku adalah perbuatan jahat yang kejam. Sedangkan melakukan perbuatan baik secara diam-diam meski harus disangka jahat, itulah ‘the real golden’ !
Kita juga belajar tentang kekuatan terbesar yang mampu mengalahkan kejahatan yang sejahat apapun: CINTA. Cinta mampu membuat seorang dengan keterbatasan seperti Harry berani menghadapai penyihir paling pandai: Voldemort >> Cinta itu berani. Cinta juga mampu membuat seorang yang dilahirkan dan hidup di lingkungan hitam tetap setia menjalankan tugas demi kebaikan >>Cinta itu setia.
Akhirnya kita belajar, bahwa dalam hidup ini selalu ada yang putih dan yang hitam, yang baik dan yang jahat. Manusia selalu memiliki kesempatan untuk memilih. Seperti juga halnya si kecil Albus Severus yang kebingungan menghadapi The Sorting Hat. Tak ada Sorting Hat manapun yang bisa menjadikan kita baik atau jahat. Hanya kita sendirilah yang memutuskan, apakah kita mau menjadi baik atau menjadi jahat. Severus Snape sudah memilih jalannya, dan pasti begitulah juga yang terjadi dengan si kecil Albus Severus…
*sudah tak sabar untuk menonton filmnya dalam minggu ini…*
Sebenarnya aku sudah pernah menulis tentang Harry Potter di sini, namun tulisan itu menyoroti Harry Potter secara keseluruhan, dan pesan terbesar yang terkandung dalam kisah fiksi yang digandrungi dari anak-anak hingga orang dewasa ini. Nah, di tulisan kali ini aku ingin menulis khusus tentang bagian terakhir yang penuh ketegangan, yang sudah mulai terasa bahkan pada halaman pertama. Selain itu, pesan tentang kemanusiaan, cinta, persahabatan serta kesetiaan begitu kental terasa di buku ini. Bagi yang belum pernah membaca, semoga akan mulai terpikat membaca buku Harry Potter, dan bagi yang sudah membaca, semoga tersegarkan ingatan anda setelah membaca ulasan ini...
Harry Potter. Menyebutkan nama ini, tak lengkap rasanya kalau tak menyebutkan juga Lord Voldemort, musuh bebuyutannya. Harry dan Voldemort bagaikan dua kutub yang berbeda, meski kalau didekatkan juga akan saling menarik satu sama lain, persis seperti dua kutub magnet. Harry dan Voldemort sama-sama yatim piatu dan sama-sama sekolah di Hogwarts. Harry mewakili sosok manusia yang baik, Voldemort semenjak kecil memang punya sifat jahat. Dalam buku ke-7 ini Harry mengemban tugas dari Profesor Dumbledore untuk mengenyahkan si duri-dalam-daging di jagad sihir ini: Voldemort.
Namun tugas itu tidak gampang karena Voldemort telah membagi dan menyimpan jiwanya ke dalam 7 benda yang disebut Horcrux. Tak ada yang tahu benda apa saja Horcrux-Horcrux itu, dan di mana letak persembunyiannya, selain Voldemort sendiri. Harry Potter bersama kedua sobatnya: Ron dan Hermione harus menemukannya sebelum Voldemort dan pasukan Pelahap Mautnya menguasai dunia sihir dan membawa bencana bagi, bukan saja para penyihir, namun juga para Muggles (manusia biasa yang bukan penyihir).
Aku membayangkan begitu besar dan beratnya beban yang ditanggung oleh seorang remaja berusia 17 tahun. Ia tak punya keluarga, menjadi buronan Kementrian Sihir karena Kementrian itu sudah dikuasai Voldemort yang ingin membunuhnya, sementara ia harus melakukan sebuah tugas maha berat dengan hanya sedikit sekali petunjuk akan apa yang harus ia cari, dan di mana ia harus mulai mencari.
Putus asa tampaknya adalah reaksi yang logis. Pada titik tertentu bahkan Harry sendiri mulai meragukan "kewarasan" Dumbledore. Mengapa ia memberikan tugas tanpa petunjuk yang memadai? Namun tampaknya sang takdir memang membawanya ke berbagai peristiwa dan tempat yang berbahaya, yang berkali-kali membawa Harry, Ron dan Hermione pada petualangan yang mendebarkan tapi sekaligus mencerahkan. Satu persatu Horcrux itu mulai terungkap, dan makin dekatlah mereka pada tujuan akhir. Namun, tentu saja semuanya tak begitu saja dengan mudahnya terungkap.
Yang paling menarik bagiku, terutama saat membaca kedua kalinya ini, bukan lagi pada perburuan Horcrux itu sendiri, tapi lebih pada pergolakan batin Harry, Ron dan Hermione ketika menghadapi segala masalah. Yang paling ekstrim adalah ketika Ron kecewa setelah (ia merasa) mereka tak mengalami kemajuan sedikit pun, lalu pergi meninggalkan Harry dan Hermione. Betapa nampak di situ emosi sekaligus pikiran Harry dan Hermione menjadi kacau. Bagaimana reaksi mereka bertiga saat akhirnya bertemu kembali, dan bagaimana perpisahan sementara itu lebih mengentalkan persahabatan mereka, pantas kita ukir dalam sanubari kita. Sahabat yang baik bukan sahabat yang terus menguntit kita walaupun mereka tak sependapat dengan kita, tapi mereka yang tetap kembali pada kita setelah berselisih paham, karena mereka menyayangi kita.
Harry Potter juga mengajarkan pada kita untuk memperlakukan semua orang, baik yang sama maupun yang berbeda dari kita secara sama dan sejajar. Perhatikan di buku ini, sosok-sosok lain di dunia sihir: peri rumah dan goblin tetap diperlakukan sama oleh Harry, meski secara umum mereka adalah masyarakat kasta rendah di dunia sihir. Bahkan saat salah satu peri rumah itu meninggal, Harry dengan susah payah menggali kubur untuknya, padahal sesama penyihir saja biasa menggunakan mantra sihir untuk menguburkan teman mereka. Harry menunjukkan bahwa ia menghargai sahabatnya bukan karena siapa dia, tetapi karena apa yang telah diperbuatnya.
Kita juga belajar tentang ekses yang ditimbulkan oleh ejekan, pelecehan dan semua bentuk perilaku yang merendahkan sesama. Severus Snape adalah contoh penyihir berdarah campuran yang miskin dan ‘aneh’ sehingga menjadi obyek bullying oleh James Potter & the gang. Lihat bagaimana Snape menjadi demikian benci pada James sehingga kebencian itu akhirnya ditimpakan pada Harry. Lihat pula bagaimana peristiwa masa lalu itu dapat menjadikan kegetiran pada seseorang, yang bahkan akan membuat seorang yang sesungguhnya berhati emas dapat tampak menjadi begitu jahat. Kalau anda bertanya padaku, siapa yang baik dan siapa yang jahat: James Potter atau Severus Snape? Maka aku akan menjawab: James Potter itu si jahat dan Severus Snape itu si baik. Karena mempermainkan orang lain dan menjadikannya tertawaan menurutku adalah perbuatan jahat yang kejam. Sedangkan melakukan perbuatan baik secara diam-diam meski harus disangka jahat, itulah ‘the real golden’ !
Kita juga belajar tentang kekuatan terbesar yang mampu mengalahkan kejahatan yang sejahat apapun: CINTA. Cinta mampu membuat seorang dengan keterbatasan seperti Harry berani menghadapai penyihir paling pandai: Voldemort >> Cinta itu berani. Cinta juga mampu membuat seorang yang dilahirkan dan hidup di lingkungan hitam tetap setia menjalankan tugas demi kebaikan >>Cinta itu setia.
Akhirnya kita belajar, bahwa dalam hidup ini selalu ada yang putih dan yang hitam, yang baik dan yang jahat. Manusia selalu memiliki kesempatan untuk memilih. Seperti juga halnya si kecil Albus Severus yang kebingungan menghadapi The Sorting Hat. Tak ada Sorting Hat manapun yang bisa menjadikan kita baik atau jahat. Hanya kita sendirilah yang memutuskan, apakah kita mau menjadi baik atau menjadi jahat. Severus Snape sudah memilih jalannya, dan pasti begitulah juga yang terjadi dengan si kecil Albus Severus…
*sudah tak sabar untuk menonton filmnya dalam minggu ini…*
0 komentar:
Posting Komentar