Sufi Pinggiran, Menembus Batas-batas | Buku Bagus

Sufi Pinggiran, Menembus Batas-batas


Judul Buku:
Sufi Pinggiran, Menembus Batas-batas

Penulis:
Abdul Munir Mulkhan

Penerbit:
Kanisius, Yogyakarta

Cetakan:
Pertama, 2007

Tebal:
204 halaman

Banyak di sekeliling kita orang-orang pinggiran yang tersisih oleh congkaknya sistem ekonomi yang tak memihak. Sementara itu, kaum kaya semakin menumpuk harta dan menimbun pahala dengan memperbanyak ibadah tanpa memerhatikan nasib kaum pinggiran itu. Padahal, Tuhan mengecam orang berharta yang emoh menolong kaum susah.

Kita patut mempertanyakan keberagamaan yang selama ini dijalani dengan tekun sekalipun. Sebabnya? Buku ini mengupasnya secara utuh. Kesalehan individualistis ternyata, bukanlah hakikat ajaran agama. Kita akan tersentak saat membaca tulisan apik ini, melakukan evaluasi terhadap perjalanan keberagamaan selama ini, dan merenungkan seperti apa selama ini mengabdi kepada Tuhan.

Dr St Sunardi, dalam pengantarnya mengungkapkan bahwa salah satu pengalaman membaca buku ini adalah pengalaman bertanya-tanya bercampur kagum yang bisa diungkapkan dengan “Oh ternyata…”. Menurutnya tulisan dalam buku ini sarat dengan energi untuk keluar dari berbagai banalisme dalam beragama dan sarat dengan usaha untuk keluar dari pembahasan tentang agama secara positivistik.

Tanpa disadari, kebanyakan penganut agama terjebak ke dalam kompetisi kesalehan. Mereka berlomba-lomba mengumpulkan pahala dengan memperbanyak ibadah dengan tujuan memperoleh surga Tuhan secara sendiri-sendiri. Mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk naik haji berulang-ulang. Para pejabat sibuk dengan urusannya masing-masing. Seperti apa yang dilontarkan penulis buku ini, para pejabat kita itu repot dengan haji, umroh, dan ibadah-ibadah plus lainnya. Semua itu mereka lakukan untuk menghindari diri dari ancaman neraka di akherat kelak.

Di sisi lain, kaum miskin terus saja diterpa kesusahan. Kebijakan pemerintah yang tidak memihak sering membuat mereka tercekik dan hanya mampu berharap esok ada makanan pengganjal perut turun dari langit. Harga-harga bahan makanan sudah sangat sulit dijangkau. Karenanya kita perlu membangun kesadaran spiritual secara revolusioner.

Kesadaran spiritual apa maksudnya? Abdul Munir Mulkhan menegaskan bahwa kesadaran itu terwujud dalam kesalehan, yaitu tindakan yang selalu ditujukan bagi kepentingan publik, bukan hanya bagi dirinya sendiri, juga bukan hanya bagi penumpukkan pahala sebagai bekal memasuki surga Tuhan. Kesalehan yang ditransformasikan pada pembebasan kaum tertindas. Kesalehan yang dipersembahkan untuk kemanusiaan dan alam semesta sebagai ciptaan-Nya.

Makna Sufi Pinggiran

Kemudian dalam istilah penulis buku ini, sufi pun memiliki makna lain. Sufi ini bukan sembarang sufi. Ia akan menghancurkan kemunafikan spiritual yang individualistis. Ia disebut Sufi Pinggiran. Makna Sufi Pinggiran adalah sebuah afirmasi atau pengakuan bahwa semua orang memiliki kesadaran ilahiah atau kearifan ilahiah paling autentik, tak peduli apakah orang itu buta huruf atau guru besar teologi; sebuah pengakuan bahwa kita sama-sama mencari kebenaran ketuhanan yang paling jujur; sebuah usaha untuk jujur dalam beragama dan bertuhan.

Manusia, kata Munir Mulkhan, bisa menjadi makhluk lebih baik daripada malaikat melainkan juga bisa menjadi lebih jahat daripada setan. Kejujuran manusia, dengan kata lain, adalah kejujuran sebagai makhluk yang senantiasa mudah jatuh. Kejujuran sufistik sangat dekat dengan rendah hati. Oleh karenanya, jika manusia ingin seperti pilihan Tuhan, ia harus mendedikasikan hidupnya untuk Tuhan dan semua ciptaan-Nya.

Kembali menyinggung tren keberagamaan kaum pejabat dan kaya raya yang lebih mengedepankan simbol daripada isi, maka kita bisa melihat, setiap orang seperti bersaing merebut simpati Tuhan hingga tak ada peluang bagi orang lain memperoleh keridaan Tuhan. Yang penting baginya, keuntungan terbanyak untuk sendiri. Tak mau memikirkan nasib orang lain. Kita bisa melihatnya dalam realitas sosial yang sangat timpang. Yang kaya semakin kaya, yang miskin menjadi ‘mampus’.

Karena itu penting dicermati nasehat sufi bahwa ibadah dan ketundukkan pada Tuhan bukan untuk meraup sebanyak mungkin pahala, rejeki, dan hadiah surga dari-Nya, tapi sebuah pengabdian tulus tanpa kepentingan. Seorang sufi akan menerima dengan penuh kerelaan jika di hari akhir nanti Tuhan memasukkan dirinya ke dalam neraka. Yang terpenting baginya adalah keridaan Tuhan dengan segala keberkahan-Nya. Tuhan tak akan rugi jika manusia tak menyembah-Nya. Ibadah adalah untuk manusia itu sendiri. Begitupun agama lahir untuk kesejahteraan manusia. Bohong jika ada orang mengaku paling agamis, sementara ia tak peduli dengan orang-orang miskin di sekelilingnya.

Cara hidup sufi, perilaku sufi, merupakan teknik pembebasan manusia dari perangkap materil ketika melakukan tindakan sosial, ekonomi, politik, juga dalam kegiatan ritual keagamaan. Praksis sufi bukan menjauhi kehidupan sosial, ekonomi, dan politik, tapi melakukan semua tindakan itu sebagai wahana pencapaian taraf kehidupan lebih luhur dan manusiawi dalam tataran spiritual dan ilahiah. Ia bergerak dari aksi sosial menuju kesucian Tuhan. Perilaku sufi ini akan menepis hipokritisme spiritual yang tengah menjamur di masyarakat kita.

Dede Sulaeman, Penikmat Buku dan Pengelola Blog Bahagia Bersama Buku
lintasberita

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright (c) 2010 Buku Bagus by Dunia Belajar