Belajar Menjadi “Penonton” Lewat Ocehan Cecilia dan Malaikat Ariel
"Banyak hal aneh terjadi, Bu. Tapi, rasanya aku memahami segala sesuatu jauh lebih baik setelah aku sakit. Seolah-olah dunia ini terlihat lebih jelas ketika kita berada di tepiannya" [h.65]
Sakit. Seringkali orang mengeluh ketika sakit [baca: bed rest] mulai mendera fisik. Padahal jika ditelusuri lebih lanjut, bukankah saat itu merupakan salah satu kesempatan bagi manusia untuk beristirahat? Bahkan tidak dipungkiri bahwa keadaan ini merupakan momen paling pas digunakan untuk sedikit duduk diam, mengajak duet akal dan hati untuk berdialog, melakukan kilas balik atau menekuni gejala kehidupan di sekitar kita.
Seolah-olah dunia ini terlihat lebih jelas ketika kita berada di tepiannya.
Ya, dunia menjadi lebih jelas ketika kita berada pada posisi “penonton”. Maka pada saat sakit itulah, merupakan salah satu posisi “penonton” yang ternyaman untuk melihat segala hal dengan pikiran terbuka dan hati lapang. Itupun jika si penonton bersedia untuk melenyapkan keluhan yang sebenarnya sangat tidak berguna.
Cecilia adalah salah satu “penonton” yang awalnya merasa depresi dengan kondisinya yang hanya terkapar lemas di tempat tidur, di saat seluruh keluarganya merasakan kebahagiaan natal. Nuansa natal hanya bisa dirasakan lewat suara-suara yang terdengar dari lantai bawah, lewat bau masakan khas natal yang melayang melewati pintu kamarnya, lewat salju putih yang tampak dari jendela kamar.
Bahkan Cecilia dapat “melihat” ibu sedang membagikan masakan di meja makan, kakek sedang duduk santai menghisap cerutunya, nenek yang mulai memeluk seluruh keluarga, hanya dengan mengandalkan pendengarannya.
Di sela-sela kejengkelan dan kebosanannya, muncullah Malaikat Ariel. Jika selama ini Cecilia selalu membayangkan sosok malaikat dengan sayap dan rambutnya yang tergerai dengan indah, maka dengan melihat wujud Ariel imajinasinya berhasil runtuh. Jika dua makhluk berbeda dunia bertemu, dengan besarnya rasa ingin tahu yang dimiliki masing-masing, maka terjalinlah obrolan panjang yang diselipi rasa saling tidak percaya dan kagum.
Seperti buku-buku karya Jostein Gaarder yang sebelumnya pernah saya baca, Gadis Jeruk, Putri Sirkus dan Dunia Sophie—yang Dunia Sophie belum selesai, kisah Cecilia pun sarat dengan pemikiran filsafat tentang Tuhan, jiwa, astronomi dan kehidupan. Hal-hal inilah yang memadati dialog “ringan” antara Cecilia dan Malaikat Ariel. Masing-masing ingin tahu tentang "rasa" menjadi malaikat [bagi Cecilia] dan manusia [bagi Ariel]. Mereka saling "menuntut" pihak lain untuk membocorkan rahasia, antara bumi dan surga.
Menekuni obrolan antara Cecilia dan Malaikat Ariel, saya seperti diajak untuk mengungkap teka-teki kehidupan. Menarik, unik, aneh, mengagetkan, sekaligus membingungkan. Terlihat sekali, bagaimana kebebasan imajinasi dan pertanyaan anak-anak pada buku ini. Seperti ketika Cecilia mengemukakan pemikiran tentang mengapa orang tua hanya terdiri dari dua, bukannya tiga. Bukankah dengan tiga orang tua potensi memiliki anak akan menjadi lebih rendah, karena untuk mendapatkan anak harus mendapat persetujuan dari tiga orang. Pemikiran yang aneh kan?
Atau ketika Malaikat Ariel mencoba menerka, dari obrolan panjang mereka, bahwa kemungkinan ruh manusia berjumlah lebih dari satu. Bengong juga membaca buah pikiran dari setiap obrolan mereka. Dan pemikiran semacam itu banyak sekali bertebaran dalam buku, bahkan tidak jarang apa yang mereka ungkapkan sangat bertentangan dengan pemahaman saya. Dari sini, saya sedikit menganjurkan agar pembaca tidak menelan mentah-mentah isi buku dan mungkin cukup belajar dari sudut kekritisan mereka dalam berpikir.
Terlepas dari segala keliaran dan ekspresifnya pemikiran mereka, banyak juga dialog yang mengajak saya untuk merenung, memaknai dan kemudian menjadi sangat bersyukur. Seperti ketika Malaikat Ariel dengan polosnya menanyakan bagaimana rasanya menjadi manusia yang memiliki darah dan daging serta mengalami pertumbuhan, bagaimana rasanya ketika tangan menyentuh salju, bagaimana nikmatnya rasa masam dari buah strawberry, bagaimana rasanya kebahagiaan, bagaimana senangnya mendapat hadiah, dan masih banyak lagi keingin-tahuan Ariel yang berhubungan dengan fisik dan kemampuan manusia untuk merasakan apa-apa yang ada di sekitarnya. Setiap kali membaca bagian tersebut, membuat saya berpikir, betapa menyedihkan sekali menjadi malaikat dengan kedataran 'hidup' dan 'kehidupan'nya.
Tidak hanya itu, saat mereka memperbincangkan komet, matahari dan segala benda luar angkasa, saya diingatkan bahwa bumi hanyalah sesuatu yang kecil—sangat kecil—dari kehidupan alam semesta yang sangat luas. Ya. Dari buku ini saya merasa belajar menjadi “penonton” yang kritis dalam mempelajari sekaligus merenungi segala hal yang terdapat di balik kekuasaan, kehebatan, dan kebesaran-Nya.
Jika dibandingkan dengan Gadis Jeruk dan Putri Sirkus, cerita dalam buku ini terbilang sangat datar. Hampir sebagian besar isi buku ini diisi dengan dialog. tanpa adanya konflik. Sehingga bagi pembaca yang menyukai cerita dengan plot yang naik-turun, sepertinya buku ini akan jadi bacaan membosankan.
Judul : Cecilia dan Malaikat Ariel
Penulis : Jostein Gaarder
Penerbit : Mizan
Terbit : Desember 2008
Tebal : 210 halaman
Harga: Rp. 28.500
Katagori :
artikel resensi,
buku,
buku bagus,
buku resensi,
dewasa,
fantasi,
fiksi,
filsafat,
resensi buku,
review,
spiritual,
terjemahan,
ulasan buku
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar