Judul : Anti Partai
Penulis : Bima Arya Sugiarto
Tebal : x + 188 halaman
Penerbit : Gramata
Terbit : 2010
Penulis : Bima Arya Sugiarto
Tebal : x + 188 halaman
Penerbit : Gramata
Terbit : 2010
Keberadaan partai sebagai salah satu bentuk partisipasi rakyat dalam kegiatan politik ternyata sarat dengan persoalan. Persoalan yang dapat bersifat internal maupun eksternal itu, berujung kepada dua hal yakni, terganggunya dinamika kepartaian yang sehat, serta kecenderungan rakyat untuk tidak berpartisipasi dalam kegiatan politik..
Jika kondisi di atas dibiarkan, maka bukan tidak mungkin muncul penolakan terhadap partai. Akibatnya, partai tidak lagi dipandang sebagai saluran aspirasi rakyat, tetapi hanya menjadi medium bagi segelintir orang untuk memegang kekuasaan. Akhirnya partisipasi rakyat menjadi minim sehingga kekuasaan tidak memiliki legitimasi. Hal yang sama terjadi juga di Indonesia yang kini memiliki puluhan partai politik.
Buku yang merupakan kumpulan tulisan Bima Arya Sugiarto ini tampaknya ingin menguliti persoalan tersebut. Ia mencoba untuk mengidentifikasi persoalan-persoalan umum dinamika kepartaian di Indonesia, dan memberikan analisa kritis terhadap persoalan yang tersebut.
Dari hasil pengamatan Arya, ada sejumlah persoalan yang muncul dalam sistem kepartaian di Indonesia. Misalnya saja masalah partai Islam. Dalam temuan Arya, partai Islam di Indonesia cenderung kalah pamor dengan partai sekuler. Hal ini tampak dari jumlah pemilih partai Islam yang terus menurun dari satu pemilu ke pemilu lainnya.
Dari hasil pengamatan Arya, ada sejumlah persoalan yang muncul dalam sistem kepartaian di Indonesia. Misalnya saja masalah partai Islam. Dalam temuan Arya, partai Islam di Indonesia cenderung kalah pamor dengan partai sekuler. Hal ini tampak dari jumlah pemilih partai Islam yang terus menurun dari satu pemilu ke pemilu lainnya.
Menurut Arya hal tersebut disebabkan oleh gagalnya partai Islam untuk merekontestualisasikan diri di tengah realitas psikis dan fisik bangsa Indonesia. Dengan kata lain partai Islam harus mengedepankan agenda-agenda konkret yang bersinggungan langsung dengan kepentingan publik ketimbang mengusung isu syariat yang diformalkan (hal. 35).
Persoalan ini sebenarnya tidak hanya terjadi dengan partai-partai islam. Tetapi juga partai-partai agama di luar partai Islam. Ketika isu yang diangkat hanya berkutat pada persoalan ideologi atau kepentingan pemeluk agama minoritas, maka partai tersebut tidak akan menjadi primadona dari golongan yang dicoba untuk disasar sebagai pemilih.
Persoalan ini sebenarnya tidak hanya terjadi dengan partai-partai islam. Tetapi juga partai-partai agama di luar partai Islam. Ketika isu yang diangkat hanya berkutat pada persoalan ideologi atau kepentingan pemeluk agama minoritas, maka partai tersebut tidak akan menjadi primadona dari golongan yang dicoba untuk disasar sebagai pemilih.
Meskipun ada kondisi yang berbeda antara partai Islam dan partai di luar partai Islam, namun persoalannya tidak jauh berbeda, yakni partai berbasis agama tidak menawarkan isu yang kontekstual. Hal ini menunjukkan bahwa partai berbasis agama belum berhasil memberikan tawaran yang berkenan di hati calon pemilih.
Selain itu, masalah penting yang juga diulas oleh Arya adalah kepemimpin politik. Masalah ini menjadi strategis karena kepemimpinan yang baik akan terus mendorong peran partai yang lebih besar dalam proses demokrasi. Sebaliknya kepemimpinan yang buruk akan mempertinggi faksionalitas dalam arti negatif.
Salah satu problem kepemimpinan politik yang dipotret oleh Arya adalah hadirnya para pemimpin yang berprofesi sebagai pengusaha, atau yang dalam istilah Arya adalah "saudagar". Menurut Arya keberadaan pemimpin politik dengan profesi pengusaha tidak dapat membawa perbaikan secara signifikan pada terwujudnya partai politik yang modern.
Sebaliknya, keberadaan saudagar dalam partai politik hanya terbatas pada pendanaan operasional partai dalam jangkan panjang, atau bahkan membiayai kepentingan faksi-faksi dalam partai politik (hal.29).
Sebaliknya, keberadaan saudagar dalam partai politik hanya terbatas pada pendanaan operasional partai dalam jangkan panjang, atau bahkan membiayai kepentingan faksi-faksi dalam partai politik (hal.29).
Inilah yang menurut Arya akan menghasilkan kepemimpinan bercorak transaksional. Kepemimpinan transaksional terjadi ketika hubungan antara pemimpin maupun elit politik lainnya dengan konstiutuen hanya bersifat pertukaran kepentingan ekonomi maupun politik saja belaka. Pola kepemimpinan seperti ini harus direformasi menjadi pola kepemimpinan yang transformasional (hal.74).
Kepemimpinan tranformasional ini berciri mampu menggerakkan setiap individu untuk menjadi aktor utama perubahan. Di sini ikatan yang dibangun dengan publik lebih merupakan kesamaan sistem nilai ketimbang loyalitas personal. Oleh sebab itu, pemilihan pemimpin partai harus didasarkan pada visi ke depan calon pemimpin, bukan kepada calon-calon karismatis tanpa visi ataupun gagasan.
Hal yang juga sempat disinggung oleh Arya dalam buku ini adalah mentalitas calon legislatif. Dalam tulisannya yang berjudul Demokrasi di Republlik Baliho, Arya menilai, dari pernak-pernik serta atribut-atribut kampanye yang tersebar di ruang publik sebenarnya dapat dilihat mentalitas dan kesiapan si calon anggota legilatif. Pesan-pesan komunikasi politik yang tidak konseptual, ketidakpahaman soal pencitraan yang sebenarnya strategis, hingga kekurangmampuan dalam menentukan basis konstituen akibat lemahnya data, memperlihatkan bahwa para calon anggota legislatif memang belum mampu membuat manajemen yang baik dalam kampanyenya.
Padahal, kondisi sebaliknya terjadi di negara-negara yang telah memiliki "kedewasaan" dalam berdemokrasi di negara-negara maju. Di negara-negara yang telah matang dalam berdemokrasi, kampanye dilakukan dengan pencitraan yang memikat, pidato yang inpirasional, serta pertarungan ide yang mencerdaskan. Dengan mengatakan demikian, seolah-olah Arya ingin mengatakan bahwa kampanye-kampanye seperti itu belum tumbuh di Indonesia.
Arya mensinyalir bahwa hal itu disebabkan oleh mandulnya mesin partai. Mesin-mesin ini hanya aktif ketika musim pemilu mendekat. Di luar musim pemilu, hubungan antara rakyat dengan partai politik tidak terjadi. Akibatnya pada musim pemilu, calon anggita legislatif harus "tancap gas" untuk membangkitkan kembali memori publik. Padahal cara ini sangat tidak efektif. Ujungnya adalah penolakan publik terhadap partai.
Banyak hal menarik yang dibahas secara tajam oleh Arya seputar keberadaan partai dalam buku ini. Kesemuanya memperlihatkan seperti apa sesungguhnya wajah sistem multipartai di Indonesia dewasa ini. Selain teori, contoh konkret yang diberikan oleh Arya membuat wajah tersebut semakin jelas, bahwa kedewasaan partai-partai tersebut belum dapat diharapkan.
Catatan lain tentang buku ini adalah, tidak semua tulisan disertai daftar pustaka. Padahal hal ini akan sangat membantu para mahsiswa dan peminat politik untuk menelusuri lebih jauh pemikiran yang dikutip tersebut, seperti halnya dibisakan dalam tradisi akademis. Jika saja penulis sudi sedikit bersusah payah untuk mencantumkan daftar pustaka, tulisan-tulisan ini akan jauh lebih bernas dan menyenangkan untuk dibaca.(*)
Catatan lain tentang buku ini adalah, tidak semua tulisan disertai daftar pustaka. Padahal hal ini akan sangat membantu para mahsiswa dan peminat politik untuk menelusuri lebih jauh pemikiran yang dikutip tersebut, seperti halnya dibisakan dalam tradisi akademis. Jika saja penulis sudi sedikit bersusah payah untuk mencantumkan daftar pustaka, tulisan-tulisan ini akan jauh lebih bernas dan menyenangkan untuk dibaca.(*)
0 komentar:
Posting Komentar