Buku Entrok - Okky Madasari - ulasan | Buku Bagus

Buku Entrok - Okky Madasari - ulasan

  • Senin, 24 Oktober 2011
  • Katagori : , , , ,
  • 236.

    Judul : Entrok
    Penulis : Okky Madasari
    Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
    Cetakan : I, April 2010
    Tebal : 282 hlm

    Novel ini memiliki judul yang unik “Entrok” , hal ini membuat banyak orang penasaran apa itu Entrok?. Covernya yang unik dengan ilustrasi punggung seorang wanita yang sedang membuka pakaian dalammya sebenarnya sudah merupakan petunjuk yang diberikan oleh penulis dan penerbitnya. Ya, Entrok adalah pakaian dalam wanita, atau kutang, atau bra yang dikenakan para wanita di masa lampau. Sebutan Entrok ini sendiri sepertinya saat ini sudah jarang dipergunakan Lalu kisah apa yang akan dituturkan penulisnya dengan judul Entrok ini ?

    Novel Entrok merupakan kisah kehidupan dua orang perempuan Sumarni, yang biasa dipanggil Marni dan anaknya, Rahayu. Marni adalah seorang perempuan pemuja leluhur (animisme) yang ulet untuk meraih apa yang diinginkannya, karakternya ini mulai terbentuk sejak ia beranjak remaja. Ketika payudaranya mulai menyembul timbullah keinginan untuk memiliki Entrok (pakaian dalam perempuan) seperti yang dimiliki oleh teman sebayanya.

    Keinginannya yang sederhana ini menjadi tak masuk akal karena sebagai keluarga miskin yang tinggal bersama ibunya yang hanya seorang buruh pengupas singkong membuat Entrok menjadi barang yang mewah dan tak terbeli. Namun Marni tak menyerah dengan keadaannya. Ia rela menjadi kuli angkut di pasar agar bisa mendapat uang untuk membeli Entrok.

    Akhirnya Marni berhasil membeli sebuah Entrok, pengalamannya ini membentuk persepsi pada dirinya bahwa sebuah mimpi bisa diraihnya asal mau berusaha dan bekerja keras. Hal inilah yang membentuknya menjadi wanita ulet yang tak menyerah bergitu saja pada segala keterbatasannya. Kisah Marni terus bergulir, ia menikah dan mempunyai seorang anak. Sayangnya suaminya seorang pemalas, dan doyan bermain perempuan, dengan demikian Marnilah yang mencari nafkah dan menjadi tulang punggung keluarga. Ia terus bekerja, mulai dari buruh pengupas singkong, kuli angkut, penjual panci hingga akhirnya menjadi seorang rentenir yang kaya.

    Profesi Marni sebagai seorang rentenir memang membuatnya menjadi kaya namun ia harus menanggung cemoohan orang yang mencapnya sebagai lintah darat. Namun Marni tetap bergeming, ia terus menjalankan usahanya karena menurutnya apa yang dilakukannya tidaklah bersalah malah justru menolong orang-orang yang membutuhkan uang. Selain itu kepercayaan Marni yang masih memuja leluhurnya dengan sesajen-sesajen membuat ia dicurigai bersekutu dengan iblis, melakukan pesugihan, memelihara tuyul agar bisa memperoleh kekayaan.

    Adapun Rahayu dikisahkan sebagai wanita yang cerdas, berpendidikan dan taat dalam menjalankan ibadah agamanya. Semakin dewasa ketika menyadari bahwa ibunya seorang rentenir dan pemujaan terhadap leluhur yang dianggapnya musrik membuat ia memberontak terhadap ibunya sendiri. Puncaknya adalah ketika ia memutuskan untuk menikah dengan seorang pria beristri dan pergi meninggalkan ibunya. Semenjak menikah hubungan dengan Rahayu dan ibunya menjadi terputus karena ia tak pernah memberi kabar pada kedua orang tuanya. Rahayu dan suaminya kemudian bergabung dalam kelompok dakwah yang membela penduduk yang tanahnya hendak tergusur oleh proyek bendungan.

    Dari narasi dua perempuan, Marni dan Rahayu lah kisah Entrok terbangun dimana kedua tokoh ini menjadi naratornya secara bergantian. Sebenarnya kisah dalam novel ini sederhana yaitu perjalanan hidup dua wanita yang penuh perjuangan melawan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Yang membuat novel ini menarik adalah munculnya beberapa tema besar yang mewarnai novel ini. yaitu tema feminisme, pluralisme, politik, profesi, kepercayaan, serta agama. Menariknya walau memiliki beberapa tema namun semua tema itu terawi secara baik sehingga menghasilkan kisah yang utuh dan mengalir.

    Nuansa feminisme merebak di lembar-lembar awal novel ini dimana akan telihat dengan jelas bahwa berbeda dengan buruh pria yang mendapat upah berupa uang buruh-buruh perempuan di pasar tidak diupahi dengan uang melainkan dengan bahan makanan, hal ini menyiratkan bahwa tenaga pria lebih dihargai dibanding tenaga wanita. Suka atau tidak suka hal ini masih banyak terjadi di pabrik-pabrik kita dimana buruh wanita dibayar lebih rendah dibanding buruh pria.

    Selain tema feminisme, tema sosial politik dan pluralisme tampaknya merupakan tema yang paling dominan mewarnai kisah Marni dan Rahayu. Dalam novel ini situasi sosial dan politik dilihat dari sudut pandang rakyat kecil yang diwakili oleh Marni dan Rahayu. Ketika Marni sukses saat itu merupakan masa keemasan bagi pemerintahan yang didominasi oleh militer dimana dengan wewenang teritorialnya militer menjadi penguasa, menyusup masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Dengan dalih sebagai penjaga kemanan, para oknum tentara meminta ‘upeti’ pada mereka yang berduit. Demikian pula dengan Marni, demi kelangsungan usahanya, dua minggu sekali ia harus membayar upeti pada orang-orang berseragam dan hal ini terus berlangsung seumur hidupnya. Inilah masa dimana segala masalah bisa diselesaikan dengan uang dan koneksi dengan militer.

    Tak hanya menangkut soal keamanan, kebebasan masyarakat untuk meyakini kepercayaannyapun dicampuri oleh negara. Tentara lagi-lagi menjadi alat yang efektif untuk mengendalikan apa agama yang harus dianut rakyatnya. Pasca pemberontakan PKI sesuatu yang berbau China dilarang, hal ini terwakili oleh tokoh Koh Cahyadi yang harus mencantumkan agama Kristen dalam KTP nya padahal ia adalah penganut Konghucu. Barongsai yang merupakan warisan tradisi leluhurnya dilarang karena dianggap simbol PKI, Koh Cahyadi yang kedapatan bermain barongsai otomatis menjadi incaran militer hingga ia harus menyembunyikan dirinya dari kejaran para tentara.

    Jika kita mencermati berbagai peristiwa yang dialami oleh para tokohnya akan terlihat bahwa novel ini memang memiliki nilai dokumenter khususnya dalam ranah politik. Dengan mudah ketika membaca Entrok kita akan menemukan kronik dari berbagai peristiwa politik yang terjadi di tahun 1950-1999 misalnya soal Pemilu yang mengharuskan pemilih untuk memilih lambang tertentu, peristiwa peledakan candi Borobudur, petrus (pembunuhan misterius), polemik waduk kedungombo, dll. Hal yang menarik karena melalui novel ini kita akan diingatkan akan sejarah dan peristiwa sosial dan politik masa lampau yang mungkin nyaris kita lupakan.

    Karakter tokoh Marni dan Rahayu tampak tereksplorasi dengan baik. Satu hal yang menarik adalah walau bertutur tentang tokoh perempuan dan ditulis oleh seorang perempuan, penulisnya tak lantas menjadikan kedua tokoh ini sebagai ‘hero’. Marni dan Rahayu hanyalah perempuan biasa. Mereka digambarkan apa adanya termasuk kebaikan dan keburukannya. Marni walau perempuan yang mandiri, ulet dan tegar namun ia menyerah juga terhadap keadaan yang membuatnya menyuap tentara untuk menyelamatkan hartanya. Ia mengutuk kebisaan suap yang dilakukan para tentara namun ia tak melawan karena tak punya kuasa dan keberanian untuk melawannya. Secara moral ia bahkan jatuh dalam pelukan pria lain yang belum dinikahinya.

    Novel ini secara keseluruhan memang menarik, namun ada dua hal yang menjadi catatan saya. Pertama ada satu bagian kisah yang bagi saya agak terlalu mengada-ada dan sedikit berlebihan, yaitu pada bab “Kentut Kali Manggis” dimana ketika seorang penduduk desa kedapatan buang angin saat diinterogasi oleh tentara karena kedapatan bermain kartu akhirnya harus dihukum berendam di sungai semalaman. Kejadian ini diketahui oleh Rahayu dan kawan-kawan sehingga mereka berniat untuk mengungkapkan tindakan semena-mena yang dilakukan oleh oknum tentara itu ke dalam koran. Akibatnya sungguh tak terduga karena menyebabkan kematian bagi si penduduk desa yang kedapatan buang angin tersebut

    Kasus yang berawal dari main kartu dan buang angin yang menyebabkan kematian ini saya rasa terlalu mengada-ngada. Mungkin penulis bermaksud untuk mendeskripsikan kesewenang-wenangan tentara tapi saya rasa hal ini terlalu berlebihan, andai saja kasusnya diganti dengan yang sedikit lebih kompleks maka akan terkesan lebih realistis.

    Kemudian dalam hal judul, judul novel ini memang menarik sekali “Entrok” mudah diingat dan membuat penasaran pembacanya akan arti dari Entrok. Entrok atau pakaian dalam wanita memang menjadi dasar dari Marni untuk meraih mimpinya tapi sayangnya kisah Entrok ini hanya terdapat di bab pertama, setelah itu Entrok tak lagi disebut-sebut. Padahal penulis bisa saja menyelipkan Entrok dalam kisah perjalanan Marni, misalnya melalui kenangan Marni akan entrok yg tiba-tiba muncul lagi ketika kesulitan menderanya, atau bisa saja dimunculkan ketika Marni memberi wejangan kepada anaknya, dll. Entrok tidak menjadi simbol dari kehidupan Marni dan Rahayu, ia hanya sebuah benda kenangan yang pernah diimpikan Marni. Karenanya maka Entrok itu sendiri seakan kurang menjiwai novel ini secara keseluruhan.

    Terlepas dari hal di atas, novel ini menarik untuk dibaca, penulis menuturkan kisah Marni dan Rahayu dengan lancar, beberapa kalimat lokal disisipkan dalam dialog-dialognya sehingga kisahnya terasa membumi. Melalui novel ini kita akan melihat sebuah kisah bagaimana Marni dan Rahayu sama-sama tak berdaya dan menjadi korban dari orang-orang yang memiliki kuasa dan senjata. Berbagai tema sosial seperti yang telah diungkap di atas membuat novel ini memiliki keunggulan sendiri dalam merekam situasi sosial dan politik di era 50-an hingga 90-an.

    Dalam novel ini kita juga akan melihat bahwa walau setting novel ini terjadi berpuluh tahun yang lalu namun beberapa situasi sosial yang terungk masih terjadi dimasa kini sehingga masih relevan dengan situasi sekarang. Sedemikian lambatkah perubahan yang terjadi di Indonesia khususnya mengenai isu pluralisme dan kesewenangan penguasa? Silahkan pembaca menyimpulkannya sendiri.


    @htanzil

    lintasberita

    0 komentar:

    Posting Komentar

     
    Copyright (c) 2010 Buku Bagus by Dunia Belajar