Judul Buku: Six Suspects: Pembunuhan pun Mengenal Kasta
Penulis: Vikas Swarup
Penerjemah: Reni Indardini
Penerbit: Bentang
Cetakan: Pertama, Mei 2010
Tebal: 659 Halaman
Harga: Rp. 73.000.
Lazimnya novel yang mengisahkan misteri pembunuhan, pembaca akan tersugesti ikut menebak siapa pelaku dibelakangnya. Namun, ibarat menebak skor pertandingan sepak bola, suatu saat tebakan tersebut tepat, tetapi yang lebih sering melesat.
Salah satu resep umum kenapa novel bergenre seperti ini banyak disukai pembaca adalah kengototan penulisnya untuk menampilkan sosok pembunuh berikut motif yang melatarinya pada akhir cerita, sehingga mati-matian memperjuangkan agar kuriositas pembaca dapat bertahan hingga akhir cerita.
Demi kepentingan hal tersebut kemudian tersajilah jalinan cerita para tokohnya yang kompleks dan berliku, dibumbui dengan aneka informasi tetek-bengek mengenai kebudayaan maupun setting sosial kisah tersebut dilakonkan.
Berbeda dengan novel horor yang hanya menawarkan ketakutan, atau novel roman yang sekedar mengajak pembacanya untuk “mabuk” dalam kisah cinta maupun berurai air mata, sebuah novel investigatif dituntut untuk lebih “serius” dalam menyusun argumentasi, mengingat dalam setiap pembunuhan mesti ada “motif” dan “modus operandi”, dua hal yang harus diangkat si penulis sepresisi mungkin.
Semua kriteria tersebut akan kita temukan dalam novel kedua Vikas Swarup ini. Sehingga tidak mengherankan bila Six Suspects telah diterjemahkan ke dalam 24 bahasa dan, sebagaimana novel pertamanya Q & A yang difilmkan dengan judul Slumdog Millionaire yang diganjar Piala Oscar pada 2009 lalu, novel ini pun akan segera diangkat ke layar lebar.
Enam Tersangka
Vivek “Vicky” Rai, pria tiga puluh dua tahun pemiik Rai Group of Industries dan putra Menteri Dalam Negeri Uttar Pradesh, terbunuh pukul 00.05, dalam sebuah pesta yang diadakan di rumah peternakannya di Mehrauli, pinggiran Delhi. Menurut forensik meninggal karena ditembak dari jarak dekat, pelurunya menembus dada dan jantung, kemudian keluar dari punggungnya.
Semasa hidupnya Vicky dikenal sebagai penjahat yang selalu lolos dari jerat hukum. Terakhir ia membunuh seorang bartender perempuan bernama Ruby Gill di depan lima puluh orang saksi mata, hanya karena sang bartender menolak melayani karena sudah jam tutup. Berkat kekuasaan ayahnya pengadilan, seperti biasa, memvonis bebas. Namun, berbeda dengan pembunuhan lain yang dilakukannya tanpa sepengetahuan publik, kasus ini bahkan memicu kerusuhan yang mengancam kursi sang ayah.
Arun Advani, seorang jurnalis investigasi, melaporkan bahwa di tempat kejadian perkara (TKP) polisi menemukan enam orang yang diduga sebagai pelaku, karena membawa senjata api. Keenam orang tersebut memiliki latar belakang sosial dan kepentingan yang beragam.
Pertama, seorang birokrat, mantan Sekretaris Kepala Negara Bagian, bernama Mohan Kumar. Tipe pria brengsek yang mengalami post power syndrome setelah pensiunnya. Hidupnya berubah drastis setelah ia kerasukan, yang di klaim sebagai arwah Mahatma Gandhi. Ia menjadi seorang vegetarian, berhenti mabuk-mabukan, menjauhi wanita simpanannya bahkan menjadi penganjur nilai-nilai luhur Gandhi paling mumpuni, ketika mengalami trance.
Kedua, seorang pesohor top Bollywood bernama Sabham Saxena, yang mendadak jatuh miskin karena ditipu asisten pribadi dan adik angkatnya sendiri. Ia tersandung kasus pembunuhan seorang lelaki yang mencoba memperkosa adik kandungnya. Dihantui ketakutan atas tindakannya tersebut ia kemudian mendatangi Vicky Rai untuk minta pertolongan.
Ketiga, Eketi, seorang anak suku Onge di Kepulauan Andaman, yang ditugaskan mencari ingetayi, sebuah batu laut yang dikeramatkan berusia ribuan tahun dan dipercaya sebagai dewa pelindung suku tersebut. Atas perintah Nokai, sang dukun suku, Eketi melakukan perjalanan ke daratan India untuk mencari batu tersebut. Pencarian tersebut menuntunnya ke TKP.
Keempat, seorang pencuri spesialis telepon genggam bernama Munna. Ia berada di TKP dengan cara menyelundup, dicurigai sebagai pelaku dengan motif dendam mengingat pujaan hatinya, Ritu Rai, merupakan adik Vicky, yang kerap disiksa karena hubungan percintaannya dengan Munna yang miskin.
Kelima, seorang warga negara Amerika bernama Larry Page. Ia “tersesat” ke India demi pernikahan palsu dengan seorang perempuan India yang dikenalnya lewat surat dan foto melalui sebuah biro jodoh, bernama Sapna. Belakangan foto tersebut diketahui milik artis Sabham Saxena, salah satu tersangka.
Keenam, seorang politisi terkenal bernama Jaganath Rai, juga ayah Vicky Rai. Sebagai ayah dari korban seharusnya ia dapat melenggang bebas, namun bukti rekaman dari sadapan telepon, ia diketahui menyuruh seorang pembunuh andalannya untuk menghabisi sang anak, terlebih ia kedapatan membawa senjata api ke TKP.
Alur Memukau
Motif seseorang melakukan pembunuhan bisa saja beragam. Tapi, yang membuat novel ini menarik adalah keaneka-ragaman tersebut terpusat pada satu kasus pembunuhan. Tak dapat disangkal, kemampuan penulisnya dalam membuat alur cerita yang memukau dan penuh kejutan terbukti disini.
Di luar itu, novel karya diplomat India yang ditugaskan di Osaka-Kobe Jepang ini, juga memiliki beberapa nilai tambah. Pertama, pengetahuan penulisnya atas segala tetek bengek India, membuat Six Suspects bukan sekedar novel biasa. Penulisnya mampu menampilkan India lebih beragam dan eksotis, relatif berbeda dengan yang kita kenal dalam film-film Bollywood yang glamour, persis sinetron Indonesia yang jauh dari gambaran umum masyarakatnya. Kedua, karakter tokoh-tokoh di dalamnya begitu kuat, sehingga seolah-olah kita membaca novel yang berbeda-beda. Ketiga, pelaku pembunuhan yang diungkap akhir cerita, dijamin diluar dugaan pembaca manapun, sehingga membuat kita berdecak kagum akan kelihaian penulisnya dalam memainkan fakta.
Pada dasarnya sebuah novel memang merupakan karya fiksi yang disusun sedemikian rupa berdasarkan kekuatan imajinasi penulisnya. Namun ketika sampai ke tangan pembaca, maka ekslufisitas penulis tersebut akan menjadi “cair”, ketika harus berdialektika dengan pembaca maka terlihatlah sedikit “lubang” di dalamnya. Demikian pula dengan novel ini, bagaimana mungkin dalam sebuah pesta terbatas yang dijaga ketat aparat, ternyata masih terdapat enam orang yang membawa senjata api ke dalamnya. Meski Swarup berapologi dengan menyatakan bahwa para tamu yang membawa kartu undangan bebas masuk tanpa melalui pemeriksaan metal detector, disinilah kerancuan semakin menjadi-jadi, bukankah semua tamu yang hadir merupakan tamu undangan? Lalu kenapa harus diadakan pemeriksaan menggunakan metal detector?
Kendati demikian, ending dari novel ini dijamin akan mengejutkan pembacanya. Yang mampu menutupi sedikit “lubang” tersebut. Bahkan, Swarup mungkin mampu memporakporandakan semua asumsi pembaca yang sedari awal diarahkannya secara rapi. Membaca novel ini layaknya mengikuti kompetisi sepak bola yang diikuti enam tim berbeda, dan predikat pembunuh putra menteri sebagai “tropi” yang diperebutkan.
0 komentar:
Posting Komentar