Buku Totto-chan's Children - ulasan


Remember Totto chan? The Little Girl at the Window? I am sure this book is in everybody's heart. Now other book written by Totto chan aka Tetsuko Kuroyanagi, it's her story as the goodwill ambassador for UNICEF. Yes, Toto now is a famous actress. She's also the founder of Totto Foundation that trains deaf actors. This is to implement Totto's vision of bringing theater to the deaf.

In 1984 Totto was appointed as the Goodwill ambassador for UNICEF, she was the first person from Asia to hold this position. During the late 1980s until the late 1990s, she visited many developing countries in Asia and Africa for charitable works and helping children who had suffered from disasters and wars.

The book was written down in a simple way but quite touching. From her stories, we learn the consequences of the wars, nothing is good. Nothing at all. All is left only sadness. Feeling totally blue to see the pictures of these poor kids. Totto was also a great ambassador. From the dialogue among Totto and the children, it's obvious that she really has a big heart. No wonder she could do such an amazing works.

The book's already translated in Bahasa Indonesia by PT Gramedia Pustaka Utama on February 2010 and reprinted on July 2010.

lintasberita

Lanjut Baca

Buku The Christmas Bus - ulasan

"Ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku. Aku berkata kepadamu, “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”. ~Mat 25:35-36, 40

Mungkin saja ayat Injil di ataslah yang dipakai Melody Carlson sebagai dasar untuk menulis cerita yang sederhana namun penuh kehangatan ini: The Christmas Bus.

Pada saat Natal, ada satu adegan dalam sandiwara/operet Natal yang dipentaskan yang pasti selalu kita ingat: dua orang pengelana yang kelelahan bersama keledainya, seorang pria muda dan istrinya yang hamil tua, tertatih-tatih memasuki kota Betlehem pada waktu malam. Mengetuk setiap pintu penginapan yang mereka temukan, namun tak satupun yang memberi tumpangan. Mereka ditolak. Mungkin bukan hanya karena penginapan sedang penuh, tapi lebih pada penampilan orang asing yang lusuh dan kemungkinan besar tak mampu membayar sewa kamar. Penampilan mereka saja bisa membuat tamu lainnya menyingkir, dan itu buruk bagi bisnis penginapan. Adegan itu mirip dengan yang kita temukan di buku ini. Bedanya, Yosef dan Maria datang menunggang keledai di Betlehem pada 2000 tahun lalu, sedang cerita The Christmas Bus ini mengisahkan pasangan muda Collin dan Amy di masa sekarang, naik bus tua bobrok dan terdampar di kota kecil Christmas Valley di benua Amerika. Yang jelas, ada satu benang merah yang menghubungkan kedua cerita: Natal!

Christmas Valley adalah sebuah kota kecil yang hanya berpenduduk 2.142 jiwa. Sadar akan namanya yang unik, penduduknya membuat desa itu bertema Natal untuk menarik pengunjung. Penginapan, toko-toko maupun restorannya semuanya menggunakan tema Natal. Bahkan detil-detil kecil seperti serbet di restoran pun menggunakan tema Natal. Dan suasana di desa ini akan makin meriah pada masa Natal yang sesungguhnya. Ke kota inilah sebuah bus bobrok berwarna-warni cerah menggelindingkan roda-roda dengan ban ausnya sebelum mesinnya akhirnya mogok di depan sebua penginapan. Bus ini membawa pasangan muda yang uangnya hampir habis, tak memiliki apapun selain cinta satu sama lain, dan seorang jabang bayi di kandungan sang istri yang sudah hampir mencapai masa persalinan. Dalam keadaan inilah, mereka tertarik untuk singgah di Christmas Valley, di malam yang dingin beberapa hari menjelang Natal.

Menjelang Natal kali ini, Edith—istri pendeta sekaligus pemilik Penginapan Gembala sangat gundah karena anak-anak dan cucu-cucunya tak bisa pulang untuk merayakan Natal. Merasa kesepian, dan tersentuh oleh khotbah suaminya mengenai “menunjukkan keramahan dan berbuat baik pada orang asing, karena itu berarti kita melakukannya bagi Dia”, Edith memiliki ide untuk menyewakan kamar-kamarnya untuk siapapun yang ingin merayakan Natal jauh dari rumah. Edith membuka pintu rumahnya bagi orang-orang asing. Hal itu tidak sulit karena toh ia mengelola penginapan. Yang paling sulit ternyata, adalah membuka hatinya untuk orang-orang asing itu. Berhasilkah ia?

Lima orang penyewa kamar-kamar di Penginapan Gembala ternyata datang dengan keunikan dan masalah masing-masing. Ada nyonya tua keras kepala yang suka memaksakan kehendak, ada pasangan muda yang selalu bertengkar, ada pria sinis yang baru ditinggal mati istrinya, ada ibu dan anak yang baru ditinggal suami dan ayah. Pendek kata, jenis orang-orang yang kesepian dan merasa tak diterima dalam keluarganya. Di sini Edith dengan sepenuh hati menyiapkan segala sesuatu di penginapannya untuk menyambut mereka dengan tangan terbuka, dan membantu mereka mengalami Natal yang berkesan. Belum cukup dengan itu semua, di malam bersalju yang dingin itu, pintu rumahnya diketuk oleh pasangan asing yang lusuh dan mengendarai bus norak nan bobrok… Collin dan Amy.

Collin dan Amy tak memiliki cukup uang untuk memperbaiki mobil mereka sehingga tak dapat melanjutkan perjalanan. Kehadiran bus jelek dan orang-orang asing ini disambut dengan sinis oleh hampir semua orang di Christmas Valley. Mereka menganggap kehadiran Collin dan Amy (dengan bus bobroknya) akan membuat pemandangan desa menjadi jelek untuk pariwisata. Belum lagi kecurigaan mereka bahwa pasangan ini adalah hippie pecandu narkoba. Untunglah tak semuanya bersikap demikian. Pendeta Charles dan Edith tetap menerima pasangan itu di rumah mereka. Meski tak ada kamar tersisa, mereka dipersilakan untuk ikut makan dan mencuci pakaian di rumah itu kapan saja. Edith dan Charles menawarkan kehangatan, keramah-tamahan dan penerimaan yang tulus. Masalahnya, Natal makin mendekat. Warga tak menyukai Collin dan Amy, tapi bus mereka perlu waktu untuk perbaikan, sementara Amy tak memiliki waktu banyak sebelum persalinan tiba....

Mungkin ini adalah kisah sederhana yang pasti dapat kita tebak akhir ceritanya. Namun di dalamnya kental terkandung nilai-nilai kasih yang hakiki yang Tuhan ajarkan dan teladankan pada kita. Aku sangat tersentuh pada sikap Edith yang mau bersusah payah dan berlelah-lelah demi orang asing yang tak ada kaitannya dengan dirinya. Meski sempat terbersit pikiran: untuk apa aku melakukan ini semua, toh tak ada manfaatnya bagiku—namun Edith tetap melakukannya, semata-mata karena kasih, dan dengan kesadaran bahwa ia melakukan semuanya itu untuk Tuhan yang menjelma dalam diri-diri para orang asing yang malang itu.

Selain menyentuh dengan hal-hal kecilnya, buku ini juga menghibur dengan suasana natalnya yang bahkan amat terasa meski hanya lewat penuturan Melody Carlson. Aku membayangkan diriku seperti Megan kecil, yang sampai berteriak antusias begitu masuk ke Penginapan Gembala ini. Takjub melihat pohon cemara setinggi 3,6 meter dengan lampu-lampunya yang kemerlip, dekorasi khas Natal di sana-sini, juga kamar yang didesain khusus dan memiliki nama yang ada hubungannya dengan ayat Mazmur: Kamar Gembala Yang Baik, Kamar Air Yang Tenang, Kamar Padang Rumput Yang Hijau, bahkan ada juga Kamar Gada Dan Tongkat (aku jadi penasaran, seperti apa dekorasi untuk ruangan ini ya!). Belum lagi penataan meja makan yang diatur dengan gaya yang hangat dan kekeluargaan, sehingga para tamu merasa berada di rumah sendiri. Dan yang lebih membuatku kerasan membaca buku ini adalah penjabaran tentang hidangan-hidangan yang dimasak Edith, yang dikisahkan pintar sekali masak. Coba saja, bisakah anda terus membaca tanpa menelan ludah ketika tiba di bagian ini: roti kacang cranberry, roti dari labu kuning yang baru dipanggang, atau roti gulung aroma kayu manis?

Aku juga merasakan kehangatan yang terpancar dari pribadi Edith sendiri, yang bisa membuat kegiatan semacam menghias kue kering dengan gula menjadi kegiatan yang mengasyikkan dan menciptakan keakraban tamu-tamu di penginapan itu. Ah...tak cukup rasanya menuliskan review buku ini untuk menggambarkan sensasi ketika membaca bukunya. Yang jelas, setelah menutup buku ini, tak bisa tidak, aku merasa tersentuh sekaligus tertampar. Tersentuh oleh bagaimana kasih dapat mengubah banyak hal dalam hidup ini dan seringkali Tuhan bekerja dengan caraNya yang unik dan terduga, lewat tangan orang yang bahkan paling tak terduga. Tertampar oleh pesan mendalam dari buku ini yang sering kita lupakan di antara kesibukan kita: menyambut orang lain dengan keramahan dan ketulusan hati. Alih-alih takut merasa repot, takut rugi, dan takut-takut lainnya, kita semua seharusnya lebih membuka hati kita pada sesama meskipun itu orang asing. Ketika kita membuka hati kita, Tuhan pasti akan menjaga kita dan melakukan karyaNya melalui kita. Pertanyaannya sekarang, seperti yang disinggung Pendeta Charles pada kebaktian yang menginspirasi Edith itu: "Apakah anda siap? Apakah hati anda siap menyapa Tuhan (ketika siapapun yang diutusNya itu datang)?...."

Judul: The Christmas Bus
Pengarang: Melody Carlson
Penerbit: Gloria Graffa
Cetakan: Oktober 2007
Tebal: 191 hlm

lintasberita

Lanjut Baca

Buku Kiamat (Memang) Sudah Dekat - ulasan

Judul Buku: Ensiklopedi Kiamat
Penulis: Umar Sulaiman al-Asyqar
Penerjemah: Irfan Salim, dkk.
Penerbit: Zaman
Cetakan: I, 2011
Tebal: 710 Halaman
Geger kiamat 2012 sempat menjadi perbincangan sengit di kalangan masyarakat. Isu yang berawal dari ramalan suku Maya ini tak urung sempat menimbulkan kepanikan pada beberapa komunitas kecil di Barat dan menjadi perdebatan, bahkan menghiasi berita di beberapa media massa baik cetak maupun elektronik.
Kiamat, atau berakhirnya sebuah kehidupan di semesta pada dasarnya memang sebuah keniscayaan. Bukan hanya dogma agama yang berbicara demikian, namun juga berbagai disiplin keilmuan lain, seperti fisika. Jangankan jagat raya, bukankah manusia sendiri pun mengalami siklus datang dan pergi meninggalkan dunia. Terlebih dalam Fisika sendiri, terciptanya semesta akibat dari peristiwa ledakan besar (Big Bang), maka seperti itulah dunia ini diprediksi akan berakhir.
Sebagai sebuah peristiwa besar, terjadinya kiamat dipastikan menjadi salah satu dogma yang terkandung dalam agama. Terlebih, kiamat merupakan jembatan menuju dunia eskatologis, demikian pula dalam (agama) Islam. Risalah yang diturunkan oleh Tuhan melalui utusan (rasul)-Nya berupa informasi yang terkandung dalam wahyu Tuhan (al-Qur’an) jelas melampaui segala pengetahuan manusia. Sehingga bagi yang mengimani, segala sesuatu yang terkandung di dalamnya adalah kebenaran.

Lalu, benarkah kiamat akan terjadi tahun 2012 sebagaimana diributkan orang berdasarkan kalender suku Maya? Pada dasarnya, iman terhadap kiamat merupakan salah satu dasar dalam Islam dan tidak ada keraguan sedikitpun tentangnya. Bahkan Allah sendiri dalam al-Qur’an bersumpah bahwa kiamat pasti datang. Demikian dikatakan Umar Sulaiman dalam buku ini yang berjudul lengkap Ensiklopedi Kiamat: Dari Sakratul Maut hingga Syurga-Neraka
Kata kiamat berasal dari bahasa Arab qiyamah, merupakan bentuk masdar dari kata kerja qama-yaqumu, yang difeminakan (dimasukkan huruf ta’ marbuthah di akhir kata) untuk menunjukkan mubalaghah (kebesaran, kedahsyatan, kehebatan). Dinamakan demikian karena pada hari itu terjadi peristiwa peristiwa besar yang telah dijelaskan oleh nas-nas. Di antara peristiwa itu adalah bangkitnya (qiyam) manusia dari kematian untuk menghadap Tuhan semsesta alam. (hlm. 244)  
Meski demikian, berbeda dengan geger kiamat 2012, kapan tepatnya kiamat itu terjadi tidak seorangpun mengetahuinya, bahkan seorang Rasulullah kekasih-Nya. Al-Qur’an menjelaskan bahwa pengetahuan tentang waktu kiamat merupakan ilmu khas Allah yang tidak diberitahukan kepada siapapun baik malaikat maupun nabi. Hal ini bertujuan agar membuat manusia selalu waspada dan menantinya terus menerus. Sehingga tidak putus untuk terus beribadah kepada Allah. (Halaman 116).  
Namun dikarenakan Cinta-Nya kepada hamba-hamba-Nya, Allah memberikan “bocoran” berupa tanda-tanda yang muncul menjelang terjadinya kiamat melalui rasulullah. Sehingga yang mengabarkan kepada kita mengenai tanda-tanda tersebut adalah rasulullah dalam hadis-hadis beliau. Secara garis besar tanda-tanda tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian: tanda-tanda kecil dan tanda-tanda besar. Sebagaian tanda tersebut ada yang telah terjadi, dan sebagaian lagi masih menunggu.
Diutus dan wafatnya Rasulullah saw., terbelahnya bulan, api Hijaz menerangi punuk unta di Basrah, dan terhapusnya jizyah merupakan tanda-tanda dekatnya kiamat yang telah terjadi. Sedangkan tanda-tanda yang masih berlangsung dan mungkin terulang lagi adalah terjadinya penaklukan dan peperangan, munculnya dajal-dajal yang mengaku nabi, munculnya banyak fitnah di intern umat Islam, menyerahkan urusan bukan kepada ahlinya, rusaknya moral kaum muslim, hamba sahaya melahirkan tuannya, konspirasi bangsa-bangsa untuk menghancurkan umat Islam, munculnya berbagai bencana, melimpahnya harta, putusnya silaturahmi, guncangnya nilai-nilai dan kejamnya aparat.      
Adapun tanda-tanda kiamat yang belum terjadi adalah; jazirah Arab kembali sarat dengan kebun dan sungai-sungai, Bulan terlihat membesar, binatang buas dan benda mati dapat bicara, sungai Efrat menyingkap gunung emas, keluarnya kekayaan alam yang terpendam di perut Bumi, kaum muslim terkepung di Madinah, Jahjah menjadi raja, munculnya beragam fitnah, dan munculnya al-Mahdi.
Kendati demikian, yang paling nyata atas dekatnya waktu kiamat adalah munculnya tanda-tanda besar yaitu; turunnya kabut dari langit, munculnya fitnah Dajal, turunnya Isa al-Masih, keluarnya Ya’juj dan Ma’juj, hapusnya Islam hilangnya al-Qur’an serta musnahnya orang-orang shaleh, manusia kembali kepada masa jahiliah dan menyembah berhala, penghancuran Ka’bah, Matahari terbit dari Barat, keluarnya binatang melata, serta munculnya api yang menggiring manusia ke Mahsyar.      
Namun yang perlu digarisbawahi adalah bagi orang-orang yang beriman bahwa kiamat bukan merupakan akhir segalanya, begitu pula halnya dengan kematian. Bahkan kehidupan panjang manusia justru baru dimulai, yang terpilah menjadi dua: Surga dan Neraka. Keduanya bahkan telah diciptakan dan telah ada. (hlm. 479) Keduanya merupakan dua kesatuan yang diciptakan terpisah, eksistensi keduanya tidak akan pernah berakhir. (hlm. 501) 
Lazimnya sebuah ensiklopedi, buku setebal tujuh ratus sepuluh halaman ini memuat beragam hal yang meliputi keberadaan kiamat. Namun yang paling menarik adalah ketekunan penulisnya untuk menghimpun sumber-sumber dari al-Qur’an dan hadis secara tematik. Selain itu, buku ini juga dilengkapi berbagai pendapat ulama salaf dan khalaf mengenai kiamat, tidak lupa pula dengan interpretasi penulisnya sendiri. Meski demikian masih terbuka bagi penafsiran lain atas tanda-tanda terjadinya kiamat tersebut. Yang jelas dengan diutusnya Rasulullah saw. sebagai nabi terakhir merupakan tanda kuat bahwa kiamat memang sudah dekat.

lintasberita

Lanjut Baca

Buku Mediator #3: reunion - ulasan

The RLS Angels are out for blood, and only Suze can stop them--since she's the only one who can see them. The four ghostly teenagers died in a terrible car accident, for which they blame Suze's classmate Michael... and they'll stop at nothing until he's joined them in the realm of the dead. As Suze desperately fends off each attempt on Michael's life, she finds she can relate to the Angels' fury. Because their deaths turn out not to have been accidental at all. And their killer is only too willing to strike again.
I am happy to know that this book has already published by my local publisher, since I have been waiting for it. And yeah, Meg Cabot got me, again. She is a great author, she can mix mystery, love, mistycal upon complete and interesting book. I have already been caught in the story of Suze-Jesse, and their likely-romantical-story will be reveal in the following books. 

Finally, Suze has confessed her feeling to Jesse although it not really obvious. At least Suze realize that her feeling is unusual, special, and unexplanable. She always want to be with Jesse. And maybe Jesse too. I always imagine that someday there is a miracle which could reborn Jesse into a humanbeing, or maybe Suze to be  ghost. This last option sounds not really good, though. Hahaha.

Anyway, I am now waiting for the fourth of the series of this book(In Indonesia, they just publihsed the fourth book). Of course, I hope the next cover will be better than this series.

lintasberita

Lanjut Baca

Buku Five Quarters of the Orange - ulasan

Five Quarters of the Orange
Joanne Harris @ 2001
Perenial - 2002
304 pages

Satu lagi buku dengan latar belakang pendudukan Jerman di Perancis. Kali ini gue ‘berjalan’ ke sebuah kota kecil di daerah Loire. Bercerita tentang sebuah keluarga, yang terpaksa kehilangan kepala keluarga nya karena tewas di medan perang. Sang anak, Framboise Dartingen – atau kini dikenal dengan Framboise Simon, bertutur tentang tragedi yang menyebabkan keluarga mereka dibenci dan terasing.

Framboise, adalah anak bungsu dari 3 bersaudara. Cassis, kakak laki-lakinya dan Reine-Claude, kakak perempuannya. Mereka tinggal di sebuah pondok bersama ibu mereka yang ‘aneh’. Selalu penuh rahasia dan sangat membenci buah jeruk. Setiap kali mereka membawa jeruk pulang, mereka akan selalu dipaksa untuk menyikat tangan mereka sampai bersih, sampai bau jeruk itu hilang.

Cerita berawal dari sebuah scrapbook yang diwariskan Mirabelle kepada Framboise. Di dalam scrapbook itu berisi tulisan-tulisan rahasia ibu mereka bersama dengan resep-resep keluarga. Framboise memberanikan diri kembali ke kampung halamannya, membuka sebuah restoran kecil yang menyajikan resep-resep peninggalan ibunya.

Framboise pun mengisahkan dari masa kecilnya bersama kakak-kakaknya, bermain di danau, sampai akhirnya berteman dengan tentara Jerman yang menyebabkan mereka menjadi sangat dibenci. Sementara itu, ibu mereka selalu bersikap aneh dan selalu menutup diri. Hubungan Framboise dengan tentara Jerman bernama Tomas diawali oleh Cassis dan Reine-Claude yang ternyata sudah sering memberikan informasi kepada tentara Jerman lain, informasi itu ditukar dengan barang-barang yang mereka inginkan seperti majalah, cokelat, rokok atau lipstik. Tapi, Framboise tidak tertarik dengan hal-hal seperti itu, ia lebih tertarik pada Tomas itu sendiri. Jiwa petualang dan pemberontak dalam diri Framboise membuatnya berbeda dari kedua saudaranya. Karena Framboise masih dianggap terlalu kecil untuk bergaul, maka ia merancang sebuah ‘jebakan’ untuk ibunya, agar ia bisa menyelinap pergi bersama Cassis dan Reine-Claude.

Di masa tuanya, Framboise masih sering merasa ketakutan kalau-kalau ada penduduk kota itu yang masih mengenalinya sebagai anak dari Mirabelle Dartingen. Meskipun restoran kecilnya banyak pengunjung, tapi hanya satu orang yang berhasil mengenali dirinya. Sahabat masa kecilnya sendiri, Paul.

Gangguan justru datang dari keluarganya sendiri, anak Cassis yang bernama Yanick beserta Laure, istri Yannick. Mereka meminta Framboise untuk memberikan resep rahasia milik nenek mereka, agar bisa mereka sajikan sendiri di resto milik mereka. Bahkan mereka mengancam akan membeberkan rahasia Framboise kepada publik jika mereka tidak mendapatkan resep itu.

Cara bertutur Joanne Harris yang perlahan, membuat kita terus menanti apa rahasia keluarga itu. Dari awal, cara berceritanya penuh rahasia. Dibuka sedikit-sedikit, sampai akhirnya kita mengerti dan tahu rahasia keluarga itu. Gue jadi tertarik pengen bikin scrapbook… tapi hahaha.. seperti biasa, baru sekedar tertarik, belum tau deh, kapan mau ngerjainnya…

Novel ini, adalah salah satu bagian dari ‘food trilogy’, selain Chocolat dan Blackberry Wine (yang mudah-mudahan bisa segera gue baca)

lintasberita

Lanjut Baca

Buku Daya Gugat Sebuah Sajak - ulasan

Judul Buku: Kepada Presiden yang Ter…..
Penulis: Bambang Oeban
Penerbit: Ufuk Press
Cetakan: I, Februari 2011
Tebal: 180 Halaman

Siapa bilang karya sastra hanya jerit manja para pujangga yang jauh dari realita? Karya sastra memang kerap dituduh demikian. Bukan hanya karena gaya hidup para penulisnya yang cenderung ekslusif, kebanyakan tema yang dihasilkannya pun berkutat pada wilayah abstrak. Sedikit yang bersinggungan dengan hajat orang banyak.

Satu di antara yang sedikit itulah nama Bambang Oeban mencuat. Dia berani menyuarakan sajak yang menghentak, bukan hanya menyuarakan jerit hati kebanyakan masyarakat, namun juga memerahkan telinga penguasa. Dengan kata lain, Bambang bukan hanya mempertegas sosok sastrawan sebagai penghasil keindahan kata an sich, namun juga sarat akan suara kegetiran atas realita yang ada.

Buku berjudul lengkap Kepada Presiden yang Ter… ini –yang notabene merupakan kumpulan sajak-sajaknya- tidak melulu mempertontonkan keindahan berbahasa atau mementaskan kemampuan bersastra-ria penulisnya, tetapi di dalamnya juga berisi kritikan keras terhadap sosok pemimpin negeri ini, Presiden. Sebuah pembuktian tegas akan kepedulian sosok penulisnya atas kondisi riil bangsa, sekaligus membuktikan kecintaanya pada rakyat dan negara.


Sajak-sajaknya menebar aura semesta jiwa. Kejujuran yang mumpuni. Kuat mencengkeram batin pembaca. Ada semacam kerinduan panjang akan lahirnya sebuah kebudayaan yang utuh tanpa cacat. Bergulir mengalir seperti anak sungai yang mengalir jernih, menembus samudera penuh cahaya. Namun di sisi lain, Oeban sangat mahir mengeksplorasi kegetiran yang menimpa bangsanya. Perhatikan petikan berikut ini yang diambil dari salah satu sajaknya berjudul Bagaimana Indonesia?:

Apa jadinya kita,/bila negeri ini belum merdeka? / kekayaan alam yang berlimpah ruah,/ dirampok, diungsikan ke luar negeri./ keringat rakyat dijadikan kuli tanpa gaji./ beribu tubuh membelulang oleh kemiskinan./ para centeng petentang petenteng,/ menghisap darah saudara satu warna/ sambil tersenyum, berlindung/ di pantat penjajah, tak peduli kualat/ yang penting hidup sehat. (halaman 27-28)   

Perhatikan baik-baik potongan sajaknya di atas, di dalamnya kita temukan nasionalisme seorang penyair sekaligus kegeramannya terhadap para penguasa. Di dalam karyanya tersebut, juga bisa kita temukan betapa seorang Bambang Oeban begitu dekat dengan persoalan hidup rakyat kebanyakan yang menjadi kuli baik di negeri sendiri, terlebih negeri orang lain.

Selain itu, aura religiusitas tak luput menguar dalam karya-karyanya. Seolah merepresentasikan kedalaman spiritual dari sosok si penulis. Aroma ini akan tercium kuat menyeruak dalam salah satu sajaknya berjudul Shalawat Indonesia, lagi-lagi spiritualitas seorang Bambang Oeban pun berada dalam garis nasionalisme-nya yang melangit. Berikut saya petikan potongan sajak tersebut:

Allah memberi kemerdekaan pada negeri ini/ bukan untuk dijadikan lading kesombongan/ Pancasila bukan hanya perhiasan/ namun meruang dalam jiwa yang membening/ para pahlawan bukan dijadikan barang dagangan/ Negeri merdeka masih terjajah kemiskinan?/ oh, mengapa keserakahan tak juga hilang?/ bagaimana kehidupan menjadi nyaman?       

Namun keliru jika memahami sajak-sajaknya yang bersinggungan dengan kondisi sosial, politik, ekonomi maupun budaya hanya diartikan sebagai bentuk perlawanan pada kekuasaan yang resmi, melainkan sebagai mitra kerja dalam membangun kesadaran bersama, lebih mirip parlemen jalanan barangkali ketika parlemen yang sebenarnya tidak menyuarakan nurani. 

Karena sebagaimana dikatakan Jaya Suprana dalam pengantarnya bahwa sajak-sajak di dalam buku ini merupakan jamu mujarab untuk menyembuhkan penyakit amnesia penyebab lupa daratan maupun lautan terhadap sumpah mereka (di masa pemilu) akan berbakti kepada kepentingan rakyat.

Jika fase awal puisi-puisi Indonesia modern, para seniman angkatan dua puluh dan pujangga baru menilik kemerdekaan sebagai sesuatu yang dirindukan dan menghadirkan bentuk soneta-soneta dalam mengungkapkan puisi secara bermakna, kini bentuk puisi tidak lagi terikat pada bentuk soneta. Setiap penyair memiliki cara pandang tersendiri dalam bermain kata-kata sehingga menghasilkan karya yang sangat padat makna.

Demikian pula dengan karya-karya Peraih penghargaan Anugerah Kebudayaan dari departemen Pariwisata dan kebudayaan tahun 2006 ini, meskipun tidak ia terapkan semua dalam puisi-puisinya. Sajak-sajak di dalam buku ini umumnya bersifat pemberontakan batin penulisnya. Sehingga daya gugat dalam sajak-sajaknya akan terasa begitu mengena di hati pembaca. Selamat membaca!

lintasberita

Lanjut Baca

Buku Ketertindasan dan Kekuatan Perempuan Jawa - ulasan


Judul : Hati Sinden

Penulis : Dwi Rahayuningnsih

Penerbit : DIVA Press

Terbit : I, Januri 2011

Tebal : 404 halaman

Harga : Rp. 50.000



Perempuan Jawa adalah wajah ketertindasan. Ia tidak memiliki posisi yang sejajar dengan laki-laki. Sebaliknya, ia menjadi korban dominasi laki-laki. Di sini ada persekongkolan kultural kekuasaan yang menguatkan posisi dan peran tradisional perempuan.

Itulah yang dihadirkan oleh Dwi Rahayuningnsih lewat novel ini. Ia menghadirkan sosok perempuan Jawa dengan problem-problem budaya yang mengungkung. Namun, demi harmoni, mereka lebih memilih untuk “berdamai” dengannya.

Sayem, tokoh sentral dalam Hati Sinden, adalah simbolisasi perempuan Jawa tersebut. Ia berasal dari keluarga miskin. Dua kali ia diceraikan oleh suaminya. Pada perceraian ke dua, alasan yang digunakan ialah Sayem tidak dapat memberikan keturunan.

Perceraian itu ternyata tidak menghancurkan mentalnya. Meskipun dukanya mendalam, Sayem berusaha untuk bangkit. Ia tidak mau tenggelam dalam kesedihan. Ia terus mencoba untuk kembali menata hidupnya.

Ketertarikan Sayem kepada syair-syair Jawa klasik mendorongnya untuk menjadi sinden. Namun bukan uang ataupun popularitas yang dicarinya, melainkan ketenangan yang merasuk ke dalam hati saat ia melantunkan syair-syair Jawa yang penuh makna.

Sayem kemudian bergabung dengan sebuah grup karawitan. Di sini pun ia berhadapan dengan berbagai masalah, mulai dari perseteruan dengan sinden lain, hingga keinginan Priyo, pemimpin grup karawitan tempat ia bergabung, untuk menikahinya.

Hubungan Sayem dengan Priyo mengantarkan Sayem kepada pernikahannya yang ke tiga. Tetapi badai lagi-lagi melanda. Priyo tidak hanya ketahuan sebagai pria yang telah memiliki istri, namun juga terbongkar sebagai lelaki yang tergila-gila kepada perempuan lain.

Sayem akhirnya pasrah. Ia tidak bercerai dengan Priyo namun memutuskan untuk hidup berpisah dengan suaminya itu. Tanpa banyak bantuan dari Priyo, Sayem berusaha untuk membesarkan anak-anaknya.

Di titik inilah tampak Sayem tampil sebagai perempuan Jawa yang memiliki kekuatan. Meskipun ia berada dalam posisi yang terkalahkan, namun ia tidak melakukan pemberontakan dengan melawan kekuasaan. Sebaliknya, Sayem mencoba “bermain” dalam lingkar kekuasaan Priyo sehingga berhasil mengantarkan anak-anaknya ke dalam kehidupan yang lebih baik.

Lewat peran-peran dan nilai-nilai tradisional, Sayem berhasil menjadi pribadi yang kuat dan mengalahkan realitas dalam wilayah subordinasi yang mengepungnya. Seperti yang diungkapkan oleh Sayem sendiri bahwa hidup adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sesuai dengan peran yang dijalankan (hal. 388).

Novel ini seperti mengingatkan bahwa perempuan Jawa yang secara stereotip berada di bawah bayang-bayang kuasa dunia matriarki, memiliki potensi untuk menggeser hegemoni. Ia seakan mendekonstruksi struktur tanpa harus merevolusi konsepsi budaya yang telah mapan.

Kritik terhadap novel ini ialah, hingga separuh buku masih belum tampak dunia sinden seperti yang “dijanjikan” lewat judul. Jika saja Sayem dan dunia kesindenannya dikisahkan lebih awal, maka akan semakin banyak seluk-beluk dunia sinden yang menarik yang dapat disampaikan.***



lintasberita

Lanjut Baca

Buku 60.000 Mil Di Bawah Laut - ulasan

Atas nama ilmu pengetahuan, kupikir sangat tepatlah kalau aku bilang bahwa buku ini merupakan salah satu buku wajib baca hingga kapanpun! Kalau buku dikatakan sebagai kendaraan kita untuk menapaki imajinasi kita yang paling liar, maka buku ini adalah buktinya. Jangan salah menebak genre buku ini dari judulnya, karena buku ini bukanlah sebuah jurnal kelautan, meski mereka yang tertarik pada ilmu kelautan pasti mendapati banyak keasyikan di buku ini. Buku ini adalah sebuah fiksi yang dibaurkan dengan ilmu pengetahuan. Jules Verne berhasil menuangkan imajinasinya yang hebat ke buku ini dan mengajak kita berpetualang bersamanya.

Pada sekitar tahun 1866 terjadilah fenomena menggemparkan di lautan seluruh dunia tentang munculnya sesosok makhluk yang sangat besar, yang mampu berenang dengan kecepatan tinggi, badannya sangat keras sehingga tak mempan oleh senjata, namun sangat besar kemampuannya melubangi lambung kapal layar hingga membuatnya tenggelam. Banyak insiden terjadi di beberapa laut, dan seperti biasanya, cerita maupun legenda itu lalu menjadi puluhan versi yang simpang siur dan akhirnya diragukan orang sebagai suatu fakta.

Adalah seorang ilmuwan kelautan bernama Profesor Aronnax dari Prancis yang mendapatkan kesempatan emas untuk turut serta berlayar dengan kapal Abraham Lincoln yang berbendera Amerika Serikat. Kapal ini membawa misi besar: menemukan dan menghabisi monster laut yang telah menjadi momok di lautan dan meresahkan semua negara, yang saat itu dijuluki dengan: Narwhal. Aronnax didampingi oleh asistennya yang setia dan berkarakter tenang dan sopan: Conseil. Tokoh ketiga adalah Ned Land, orang Kanada yang terkenal sebagai pembunuh ikan paus dengan senjata harpun (semacam tombak) yang paling ulung. Ia turut serta karena monster laut itu diperkirakan sejenis mamalia berkulit keras yang dalam dunia sains disebut cetacean.

Abraham Lincoln memang akhirnya "bertemu" dengan monster laut itu, namun 100% meleset dugaan semua orang, si cetacean raksasa itu ternyata bukanlah mamalia, melainkan sebuah kapal selam!

Sayangnya, atau dalam beberapa hal boleh dibilang untungnya, fakta itu terungkap setelah Aronnax, Conseil dan Ned Land terlempar dari Abraham Lincoln pada saat mereka sedang menyerang si kapal selam. Mereka bertiga terlempar ke laut, dan akhirnya ditolong oleh si kapal selam yang dijuluki Nautilus, milik seseorang misterius bernama Kapten Nemo.

Nautilus adalah kapal selam misterius. Bukan milik pemerintah negara manapun, namun milik Kapten Nemo pribadi. Siapakah sosok Kapten Nemo sendiri terselubung kabut pekat misteri yang hanya terkuak sedikit di akhir kisah. Yang jelas, Kapten Nemo telah membangun sebuah kapal selam berteknologi super canggih yang memungkinkan ia serta awak kapalnya tak perlu menginjakkan kaki lagi untuk selamanya di daratan. Ya! Nautilus dibangun untuk menjadi rumah mereka semua di lautan yang luas ini, di mana tak ada hukum yang dapat menghalangi kebebasan mereka. Kita tahu bahwa dua pertiga (atau 70%) bumi ini merupakan lautan. Jadi, bayangkan saja anda memiliki tempat tinggal di mana tak ada manusia lainnya yang hidup di sana. Anda akan menjadi penguasa mutlak lautan yang begitu luasnya...70% dari seluruh dunia!

Pertanyaan kita mungkin, bagaimana dengan sarana terpenting penunjang hidup manusia: udara? Kapten Nemo telah memikirkan semuanya, yaitu dengan mekanisme untuk menyedot oksigen ketika Nautilus naik ke permukaan laut, lalu mengolah oksigen itu secara kimiawi untuk bisa disimpan selama beberapa hari ke depan sebelum jadwal Nautilus untuk "menarik napas" lagi. Sedangkan untuk air dan makanan, tentu saja sumber daya yang ada di lautan luas takkan pernah habis untuk diserap dan dikelola untuk menghidupi seluruh awak kapal. Bahan bakar? Laut pun menyediakan bahan berlimpah untuk menciptakan listrik yang menghasilkan panas, cahaya dan gerak. Alam telah melengkapi air laut dengan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk diolah menjadi listrik. Tapi bagaimana dengan aspek-aspek hidup manusia lainnya? Kita kan hidup tak hanya bernapas, makan dan minum secukupnya? Dalam hal itu, lautan ternyata telah menyediakan semuanya. Kalau anda membayangkan betapa bosannya kalau dari ke hari makan ikan bakar terus, ternyata menu hidangan di Nautilus cukup beragam loh. Para penumpang tetap bisa menikmati daging, berupa irisan tipis daging kura-kura, hati lumba-lumba yang mirip babi cincang, dilengkapi acar timun-laut, lalu krim dari susu yang diolah dari hewan-hewan cetacean. Gulanya diolah dari rumput laut, sedang selainya dibuat dari anemone (yang tidak dijelaskan itu hewan atau tumbuhan apa...). Bahkan, buat yang biasa merokok setelah makan, kru Nautilus telah mengolah dedaunan tertentu menjadi rokok. Lumayan mungkin ya, hidup di bawah laut itu?

Lalu untuk hiburannya? Jangan khawatir, Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta ini sendirilah yang telah menyediakan atraksi-atraksi yang akan selalu membuat manusia ternganga kagum dan terpesona pada keindahannya. Dari tujuh bulan petualangan Aronnax dkk bersama Nautilus, tak pernah mereka bosan menonton kekayaan dan keindahan makhluk-makhluk laut yang beraneka ragam mewarnai dan memenuhi dasar laut itu, dengan spesies unik di setiap daerahnya. Khusus untuk Aronnax dan Conseil, tentu saja tak hanya menghibur, kekayaan laut itu juga menjadi kesibukan mereka sebagai ilmuwan. Aronnax pun menyusun semacam jurnal yang kelak akan berguna bagi ilmu pengetahuan, karena belum ada, hingga saat itu, seorang manusia pun yang pernah pergi sedalam mereka di dasar laut. Nautilus memang dirancang mampu menahan tekanan di dasar laut, dan sosoknya yang panjang ramping memungkinkannya untuk menelusuri lorong-lorong sempit di antara karang bahkan bongkahan es!

Ngomong-ngomong tentang es, Nautilus sempat mengalami petualangan yang amat mendebarkan, bahkan nyaris membawa seluruh penumpangnya ke kematian ketika sedang menyelam di kutub selatan, Lautan Antartika. Saat itu Nautilus sedang meluncur di celah-celah antara bongkahan es, demi menjadi yang pertama dari umat manusia yang mampu mencapai titik kutub selatan bumi. Namun keberuntungan tak selalu bersama mereka, pada suatu titik di mana temperatur menjadi sangat dingin, Nautilus akhirnya terjebak di antara es setebal belasan meter, tak mampu memecah es itu dengan tombak-tombaknya karena begitu dipecah sedikit, es akan langsung membeku lagi saking dinginnya! Padahal Nautilus butuh naik ke permukaan untuk menghirup udara segar. Saat itu Aronnax dkk sudah hampir menyerah pada nasib, ketika Kapten Nemo dengan ketenangannya berhasil membawa mereka keluar dari perangkap.

Itu adalah salah satu pengalaman menakutkan mereka, namun di banyak kesempatan-kesempatan lain Kapten Nemo mengajak mereka melakukan hal-hal asyik yang biasa dilakukan di darat, seperti jalan-jalan sambil berburu. Ya, dengan mengenakan pakaian selam Aronnax dkk diajak untuk berburu di hutan belantara lautan. Asyik ya? Lalu, ketika ada awak Nautilus yang meninggal, mereka juga melakukan upacara penguburan di sebuah tanah lapang di dasar laut.

Yang lebih menarik lagi, mereka juga sempat menjadi saksi kebenaran legenda benua yang hilang: Atlantis. Ya, mereka menemukan tempat di mana reruntuhan kota yang konon pernah berdiri dengan megahnya itu di dasar laut, dan menyaksikan sesuatu yang belum pernah dilihat siapapun di bumi ini, sekaligus membuktikan bahwa Atlantis memang pernah ada. Rasanya khusyuk banget suasana saat itu, yang dengan apik dituangkan dalam tulisan oleh Jules Verne. Kejadian seru yang juga menarik untuk kita, adalah ketika mereka sempat berlabuh di pantai Papua dan bertemu dengan orang-orang Papua. Bayangkan, orang Papua jaman itu yang masih primitif melihat sosok Nautilus yang bak ikan paus berkulit besi! Lucu juga bagian ini...

Masih banyak pengalaman-pengalaman seru maupun menakjubkan lainnya seperti melihat hamparan ribuan organisme mikroskopik yang bersinar terang dalam gelapnya dasar laut. Wow...membayangkannya saja sudah membuatku merinding. Bayangkan, mengambang dalam terang yang berasal dari alam, dan semua itu berasal dari organisme yang sangat kecil, namun karena jumlahnya mungkin jutaan sehingga membentuk semacam hamparan terang hingga bermil-mil jauhnya. Begitu hebatnya alam yang diciptakan oleh Tuhan, membuat kita pun menahan napas bersama dengan mereka yang ada di Nautilus.

Entah mengapa, aku suka sekali membaca atau menonton tentang kapal, khususnya kapal selam (padahal aku gak bisa berenang..). Mungkin karena dunia bawah laut yang indah dan (tampak) damai itu yang menarikku. Tapi mungkin juga karena kehebatan alam selalu membuatku mengalami sentuhan Sang Penciptanya dalam hidupku. Kalau anda pernah ke Sea World dan melihat makhluk-makhluk laut lewat kaca di sekeliling anda berdiri, seperti itu kira-kira pemandangan lewat jendela-jendela kaca di ruang duduk Nautilus ketika panelnya dibuka. Mungkin itu adalah sensasi paling hebat yang akan aku rasakan andai Nautilus itu nyata...

Pendek kata, aku sangat terhibur sekaligus tersentuh membaca buku ini. Terutama karena karakter Kapten Nemo yang amat kuat, yang terasa sekali menjadi roh buku ini. Tak mungkin kita menutup buku ini tanpa merasa tersentuh. Kapten Nemo adalah orang yang menjadi getir karena dikecewakan dunia. Ada dua kutub kepribadian dalam diri Kapten Nemo. Ia orang yang berhati dingin, nyaris tanpa emosi dan bisa menjadi sangat kejam ketika ingin membalas dendam. Namun di waktu lain, ia begitu lembut hati hingga kematian salah seorang awak kapalnya dapat membuat ia menangis dan berduka selama beberapa hari. Di satu sisi ia tak manusiawi dengan menahan Aronnax dkk di Nautilus seumur hidup tanpa boleh keluar lagi dari sana (karena takut mereka membocorkan rahasia Nautilus), namun di sisi lain ia sangat peka pada sesamanya terutama yang tertindas. Secara keseluruhan, Kapten Nemo akan mempengaruhi anda dengan karakternya yang unik, juga dengan hasil karyanya yang mengagumkan: Nautilus.

Rasanya kita harus mengucapkan terima kasih pada penerbit Elex yang telah menerjemahkan novel klasik ini sehingga bisa kita nikmati. Namun sayangnya, ada terlalu banyak typo di buku ini yang agak mengganggu. Terjemahannya pun kadang terasa kaku dan aneh. Justru karena alur cerita agak datar dan banyak diselingi fakta ilmiah, maka terjemahannya aku harapkan lebih "ceria" dan tidak terlalu formal agar kita membacanya lebih enak. Bagaimana pun juga, buku ini tetap sayang untuk dilewatkan. Kisah fiksi memang sangat banyak, tapi jarang ada yang mengungkapkan keagungan alam dalam sebuah buku kan?

Judul: 60.000 Mil Di Bawah Laut
Judul asli: Twenty Thousands Leagues Under The Sea
Pengarang: Jules Verne
Penerbit: PT Elex Media Komputindo
Cetakan: Mei 2010
Tebal: 404 hlm

lintasberita

Lanjut Baca

Buku If I stay - ulasan

In a single moment, everything changes. Seventeen-year-old Mia has no memory of the accident; she can only recall riding along the snow-wet Oregon road with her family. Then, in a blink, she finds herself watching as her own damaged body is taken from the wreck... A sophisticated, layered, and heartachingly beautiful story about the power of family and friends, the choices we all make—and the ultimate choice Mia commands.

-- goodreads.om

Talk about death is always make me sick. I don't like either to talk or to think about it. In my own perception, death is all about how we must be responsible to all of our sins, and about choosing either heaven or hell. I don't like to think about it, so when I know that this book contains Death issue, I couldn't say whether I like it or not.

God gives Mia a chance, chance of which She must use it very well. If she choose to live, everything behind her have already gone; her mother, father, and brother. Otherwise, she could choose to die and left her Grandma, Grandpa, Kim--her bestfriend--and Adam, the one she fell of. In between, Mia flashback to her early life, when everything seems goes well, when she and her family live happily, when she got her first kiss, or when she was planning to go to Juilliard. 

This novel is simple, yet deep and touching. The reader will know very well how Mia struggle in her own mind. We also get to know how priceless life is. Love story between Mia and Adam is also cute and strong, they seem too young to deeply in love, but that is the best part of this book. I like the character of Mia, she is strong, independent, and tough. I also like the way Adam treat Mia. 

I just put 3 stars on it, because I think it is too simple. The main conflict only in the beginning part, but I find that it was too toneless on the rest of it, although I couldn't say that this book is not good. This book is good for those who search the meaning of life and death. Maybe, someday, me too.

Title: If I stay
Author: Gayle Forman
Publisher: Gramedia Pustaka Utama
Details: Paperback, 200 pages, February 2011
ISBN: 9789792266603


lintasberita

Lanjut Baca

Buku Follow Friday #5 - ulasan



give us five BOOK RELATED silly facts about you.

question from Rebecca @ Confession of a page turner

Well, this quite hard question...
1. I always try not to purchase for new books before I finish all my TBR books, but it didn't work till now. : |
2. I love the hardcover books then the paperback
3. I can't go anywhere without having some books in my bag. 
4. I like bring my book to the bathroom :)
5. I don't know why people sometimes re-read their book. I, myself, can not enjoy the second time I read the same book as well as the first time, although that book is my favourite one.

OK then, Have a great Friday!

Follow Friday was hosted by Parajunkee.com

lintasberita

Lanjut Baca

Tengok Balik Bacaan Bulan Maret 2010

Subhanallah, gak terasa Maret sudah akan lenyap hehehe... saatnya melakukan "tengok-balik" buku-buku yang dibaca. Alhamdulillah, walaupun jumlah bacaan menurun, tetapi insyaALLAH lebih baik daripada tidak membaca sama sekali. So, inilah buku-buku yang sukses diselesaikan di Bulan Maret:

1. The Boy in The Striped Pyjamas - John Boyne
Cerita di masa Holocaust, masa di mana Hitler sedang menggaungkan pembantaian ras di luar ras arya, walaupun di sisi lain peristiwa sejarah ini menyimpan kontroversi. Mengambil tokoh dua bocah cilik dari dua kubu [Jerman dan Yahudi] dengan tema persahabatan yang mengharu-biru. Baca nih buku semakin membulatkan kebencian dengan yang namanya perang.

2. Saya Tidak Ingin Kaya Tapi Harus Kaya - Abdullah Gymnastiar
Sebuah konsep zuhud yang pas banget, bahwa seorang zuhud tidak harus miskin. Walaupun rada berbelit-belit, aku suka dengan konsep kaya GIGIH+H

3. Kitchen - Banana Yoshimoto
Ni buku lebih pantes kalo disebut bacaan konteplasi, isinya banyak merenung tentang kehilangan, kehidupan dan kematian.

4. Galaksi Kinanthi - Tasaro Gk
Buku yang sempat membuatku ilfil karena judulnya yang terlalu melankolis. Baru setelah tuntas membacanya, wow! keren hehehe... suka banget dengan pemikiran-pemikiran Kinanthi, juga obrolannya dengan Zhaxi. Fyuh! gak rugi deh kalo nge-fans ma Tasaro :P

5. Alice di Negeri Ajaib - Lewis Caroll
Salah satu terjemahan Alice in Wonderland versi penerbit liliput. Komentarku setelah membacanya, PUSING! Gak tau karena terjemahannya yang gak pas, atau memang ceritanya begitu berbelit-belit.

6. Suami Untuk Mama - Christine Nostlinger
Sepertinya inilah "the favorit book" untuk bulan ini. Sukaaaa banget dengan Su yang gak tedeng aling-aling mengkritisi sekitarnya.

7. Doa Kecil Dalam Hati Gue - Asma Nadia & Boim Lebon
Isinya kumcer, lumayan untuk baca di kala sedang senggang :D

8. Gokil School Musical - Oben Cedric & Iwok Abqary
Gokil ceritanya walaupun rada jayus... aku ketawa baca buku ini

Dan yang masih berstatus "lagi-dibaca" adalah The Road To The Empire - Sinta Yudisia
Walaupun baru separuh baca buku ini, aku sudah menyatakan, i like this book ^^



lintasberita

Lanjut Baca

Buku Ratu Mata-mata Negeri Belanda - ulasan

Judul Buku: Namaku Mata Hari
Penulis: Remy Sylado
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Pertama,Oktober 2010
Tebal: 559 halaman

Dilahirkan dengan nama Margaretha Geertruida Zelle di Leeuwarden, provinsi paling utara Belanda tahun 1876. Ayah berdarah Belanda tulen sedangkan ibu berasal dari suku Jawa. Belakangan, setelah dewasa dan menjadi janda lebih populer dengan nama Mata Hari.

Ia hidup di masa ketika tradisi Barat masih menempatkan perempuan sebagai pihak nomer dua. Imbas dari penafsiran Gereja atas Injil St. Paul yang diamini Barat, sehingga selama berabad-abad perempuan hanya menjadi pelengkap lelaki: obyek karikatur dalam teater, musik dan seni rupa.

Pada usia 14 tahun sang ibu meninggal dunia, dan pada usia 18 tahun ia menikah dengan seorang opsir Belanda berkebangsaan Skotlandia bernama Rudolph John Campbell MacLeod yang usianya dua kali lipat lebih tua. Ia diboyong sang suami ke Nederlandsch Indie, atau Hindia belanda, nama Indonesia masa kolonial. Namun Mata Hari lebih suka menyebutnya Indonesia, sesuai dengan yang disematkan ilmuwan Jerman Adolf Bastian, dalam bukunya yang terbit tahun 1884 dengan judul Indonesia Order die Insel des Malyschen Archipels.



Di negeri jajahan inilah ia pertamakali mendengar nama “Mata Hari” yang dalam bahasa Inggris berarti “sun”, bahasa Jerman “Sonne”, “Soleil” di Prancis dan “Zon” di Belanda, ia mengetahuinya karena keempat bahasa negara tersebut ia kuasai dengan baik.

Sayang, kebahagiaan yang diimpikan dalam sebuah perkawinan runtuh seiring dengan sifat ringan tangan dan mata keranjang sang suami. Meski gelagat ini sudah nampak sejak awal perkawinannya, namun memuncak setelah anak pertama hasil perkawinannya didiagnosa mengidap sifilis, penyakit yang diwariskan MacLeod akibat sering “jajan”.

Pada akhirnya, sikap buruk sang suami membekas di jiwanya sehingga menimbulkan stereotip buruk atas semua lelaki dan melahirkan dendam. Selain itu, karakter jalang-sundal-lacur yang selama ini dipendam, seolah menemukan momentum pembenarannya hingga akhirnya ia memilih hidup sebagai penari eksotis sekaligus pelacur setelah kembali ke daratan Eropa sebagai cara untuk menundukkan para lelaki. Bahkan, ia pun menceburkan diri menjadi agen spionase ganda bagi negara-negara yang bertikai kala Perang Dunia Pertama mulai pecah.

Kisah karya Remy Sylado ini, bukan sekedar novel biasa tapi juga sarat dengan muatan sejarah yang terdapat dalam berbagai literatur, terutama dihubungkan dengan spionase, mata-mata, intrik dan juga tak ketinggalan sensualitas. Artinya, nama Mata Hari merupakan nama yang secara historis-faktual pernah hidup dan nyata.

Walhasil, cerita yang dibangun Remy dituntut untuk memiliki akurasi historisitas yang teruji, sehingga tidak melantur dari realitas sejarah, dan hal tersebut secara sukses digarapnya bahkan dengan sangat detail. Kejujuran penulis dalam mendeskripsikan karakter tokoh utamanya, Mata Hari, dapat kita endus dari penggunaan kata “jalang-sundal-lacur” padahal cerita ini dibangun berdasarkan penuturan si tokoh utama dengan kata “aku”, sebagai salah satu parameter kesuksesan ia memahami psikologi sejarah Mata Hari.

Tidak seperti novel Remy sebelumnya, seperti Hotel Prodeo yang memiliki ketebalan seribu halaman lebih, Namaku Mata Hari “hanya” setebal lima ratus lima puluh sembilan halaman. Meski demikian, secara kualitas novel ini tidak bisa dipandang sebelah mata, bahkan Remy seakan mendemonstrasikan kemampuan sastranya secara habis-habisan dalam novel ini.

Tercatat, kata-kata yang nyaris tidak pernah digunakan penulis Indonesia lain seperti; “tenahak”, “takrif”, “bertempik-sorak”, “mukhlis”, “dikajeni” dan lain-lain bertebaran di dalam buku ini. Selain itu, mengingat status sosial tokoh utamanya merupakan seorang penari sensual yang plus-plus, maka kata-kata vulgar seperti “vagina”, “penis” maupun “senggama” juga dengan mudah kita temukan.

Pengetahuan si penulis atas dunia yang bergerak di sekitar tokoh utamanya juga patut diacungi jempol. Ia secara jlentre (jelas) mampu memvisualisasikan setting yang menjadi latar cerita, baik di Jawa maupun Eropa. Suatu saat ia mampu menjelaskan makna-makna yang terkandung dalam relief-relief yang terpahat dalam Candi Borobudur, tetapi di saat lain ia mengurai penafsiran yang termaktub dalam sastra Eropa. Sehingga mudah ditebak bahwa buku ini lahir melalui proses riset yang njlimet, teliti dan panjang.  

Selain itu, pemikiran Remy sekan menemukan kanalisasi melalui tokoh Mata Hari. Akan saya petikan sebuah ungkapan yang sangat sulit kita yakini lahir dari sosok Mata Hari, namun lebih tepat asumsi si pengarang: “Aku selalu berpendapat, bahwa potensi rohani manusia bukan terletak pada rasio, tapi rasa. Hati yang menemukan pertimbangan rasa baik dan buruk, dan otak yang merumuskan dalam rasio menerima dan menolak terhadap wacana benar dan salah”. (halaman 448)

Namaku Mata Hari, ditulis dengan gaya prosaik yang kesannya sangat filmis. Hal ini diakui Remy sendiri yang menyatakan bahwa novel ini memang dilahirkan dengan kondisi siap untuk difilmkan. Sebelum utuh menjadi sebuah buku, sebelumnya telah dikenalkan kepada pembaca sebagai cerita bersambung di harian Kompas.

Sebagai sebuah fakta historis dimana lakon para tokohnya benar-benar pernah hidup, sangat sulit menemukan kelemahan dalam novel ini. Keganjilan justru terletak pada bahasa yang digunakan oleh Remy yang terkadang terlalu maju untuk zaman tokohnya. Seperti kata “biar nyaho!”, yang pastinya tidak popular pada saat itu.

Namun hal tersebut tentu saja tidak mereduksi apresiasi kita dalam membaca karya penulis yang telah meraih berbagai penghargaan seperti Satya Lencana Kebudayaan dari Pemerintah dan hadiah Sastra Terbaik dari Pusat bahasa ini.  

Dilengkapi dengan foto-foto Mata Hari dengan berbagai pose dalam tiap bagiannya, buku ini mengajak kita untuk menyelami jiwa seorang perempuan betina yang menyimpan bara dendam terhadap laki-laki di penghujung abad 19. Masa kelam namun menyimpan harapan terhadap perempuan, seiring berubahnya paradigma masyarakat atas status mereka yang selama ini dianggap kelas dua.  

lintasberita

Lanjut Baca

Buku Gratis – Harga Radikal Yang Mengubah Masa Depan - ulasan

GRATIS. Satu kata yang dapat memberikan dampak yang besar dan beragam bagi yang membaca atau mendengarnya. Dan di dunia kita saat ini, kata Gratis telah (semakin) banyak digunakan para pebisnis untuk menarik perhatian konsumen. Karena, sungguh!—meski kita tahu tak ada yang benar-benar gratis di dunia ini, kita masih saja tersihir oleh kata itu. Tapi…benarkah tak ada yang benar-benar gratis di dunia ini? Chris Anderson, penulis buku The Long Tail yang telah membuka wawasan kita, akan membeberkan dalam buku barunya ini bagaimana dunia akan segera menuju ke titik Gratis--di mana makin banyak barang akan ditawarkan dengan harga nol atau nyaris nol, dan bagaimana kita semua mesti menyikapinya, baik sebagai produsen maupun konsumen.

Di bagian awal buku, Chris Anderson mengajak kita untuk menengok asal-mula ‘Gratis’. Fenomena memberikan iming-iming produk gratis demi menarik konsumen untuk membeli, ternyata dipelopori oleh produsen Jell-O (produk agar-agar bubuk yang terkenal di Amerika) pada awal abad 20. Anda juga akan disuguhi cerita tentang King Gillette, seorang salesman tutup botol yang diperintah bosnya untuk menemukan sesuatu yang akan dipakai-kemudian-dibuang, dan akhirnya menemukan ide tentang pisau cukur sekali pakai. Menarik juga menyimak bagaimana strategi Jell-O dan Gillette menggunakan ‘Gratis’ untuk mengerek volume penjualannya.

Kalau bentuk ‘Gratis’ di abad 20 berupa iming-iming dan trik untuk memindahkan uang dari satu kantong ke kantong yang lain (mis. gratis untuk alat cukur tapi membayar untuk pisau cukur), maka ‘Gratis’ abad 21 adalah berkat kemampuan menekan biaya barang atau jasa hingga mendekati nol, berkat ekonomi bit (byte) yang menggantikan atom. Ketika dunia digital makin merajalela, maka ‘Gratis’ akan segera terwujud karena biaya produksinya hampir mencapai nol. Jadi, dapat dikatakan bahwa ‘Gratis’ ala abad 20 adalah gratis sebagai umpan, sementara di abad 21 ‘Gratis’ adalah gratis yang sebenar-benarnya. Selamat datang di dunia ‘Gratis’!

Di bab-bab selanjutnya, buku ini banyak mengulas tentang makna ‘Gratis’ dan aplikasinya dalam kehidupan kita, terutama dalam bisnis. Chris Anderson banyak sekali menyuguhkan contoh berbagai perusahaan yang mempraktekkan ‘Gratis’ dan ternyata sukses. Di sisi halaman yang menceritakan hal itu, Chris menyuguhkan semacam tabel atau ilustrasi yang menunjukkan bagaimana strategi yang dijalankan bisnis-bisnis itu sehingga bisa meraup sukses dengan ‘Gratis’. Tentunya contoh-contoh itu akan menjejali wawasan kita pada banyak ide yang dapat kita ambil dan terjemahkan sendiri untuk mendukung bisnis kita.

Yang tak kalah menariknya adalah penjabaran tentang psikologi ‘Gratis’, bagaimana tanggapan konsumen sendiri tentang ‘Gratis’. Ternyata, harga yang dibuat (terlalu) murah malah menyebabkan konsumen meragukan kualitas barang itu. Lain halnya dengan apabila barang itu di-gratiskan. Menarik? Itulah yang dijabarkan di buku ini sebagai “Kesenjangan Satu Sen”. Fenomena inilah yang harus benar-benar dipahami oleh pebisnis sebelum menentukan harga. Apakah harga yang diberikan (atau tidak diberikan alias nol) sudah sesuai dengan harapan target konsumennya secara psikologis?

Namun di sisi lain, ‘Gratis’ juga membuat orang tak menghargai suatu barang. Chris memberi contoh tiket bus yang digratiskan oleh sebuah lembaga sosial, cenderung sering dihilangkan oleh orang-orang yang memilikinya. Baru ketika tiket itu dihargai 1 dollar, orang akan lebih berhati-hati menjaganya, karena tiket itu sekarang lebih ‘bernilai’, dan akhirnya menjadi jarang hilang. Menarik bukan, bagaimana beda 1 dollar bisa mengubah cara pandang manusia? Namun, itu bukan berarti ‘Gratis’ harus dicoret dari rencana bisnis anda. Di akhir pembahasan segi psikologis ini, Chris akan memberikan sebuah model ‘Gratis’ yang ideal untuk diterapkan dalam bisnis anda dengan tetap mempertimbangkan sisi psikologi konsumen.

Gratis Digital

Bagian ini adalah salah satu yang paling menarik di buku ini. Pelajaran dari web:
Jika harga sesuatu menjadi tinggal separuhnya setiap tahun, ‘Gratis’ tidak dapat dihindari ~(hlm. 91).
Kita semua pernah bersinggungan dengan benda-benda digital macam musik, buku, file atau film yang bisa kita download di internet secara gratis. Semua itu bisa terjadi karena biaya penyimpanan dan pembuatan benda-benda digital itu menurun dengan cepatnya, hingga tak lama kemudian pasti akan mencapai titik nol atau hampir nol. Bahkan bukan benda digital saja. Di sini Chris mengambil contoh yang bagus sekali tentang perusahaan yang memproduksi semi-konduktor (elektronik parts) yang memiliki visi jauh ke depan. Alih-alih menetapkan harga untuk hari ini, ia langsung menjual dengan mempertimbangkan ‘biaya esok hari’ yang diprediksinya akan menjadi jauh lebih murah. Hal itu membuatnya berani menjual semi konduktornya hanya dengan 1,21 dollar, bukannya 100 dollar seperti harga pasaran saat itu. Gilakah ia? Apa ia tidak rugi? Chris akan membeberkan secara detail cara berhitung si penjual semi konduktor visioner ini, yang meski tak dapat anda ambil idenya secara langsung, namun mampu membuka cara pandang kita tentang ‘Gratis’.

Lalu bagaimana dengan barang lainnya? Bisakah kita berasumsi bahwa semua barang akan mencapai titik ‘Gratis’ pada suatu saat? Kuncinya terletak pada gagasan. Gagasan, seperti dijelaskan oleh Chris, adalah sebuah komoditas yang biayanya pembuatan dan penyebarannya nol. Jadi, semakin besar porsi gagasan mendasari produksi sebuah barang, maka makin besar (dan cepat) kemungkinannya untuk menjadi makin murah. Dalam hal ini, tentu saja semua yang ada di dunia digital memenuhi syarat untuk cepat menjadi murah, dan bahkan gratis. Bandwith yang terlalu murah untuk diukur membuat kita dapat mengakses YouTube, Flickr, Facebook dll. dengan gratis.

Kemudian, pertanyaan selanjutnya pastilah: bagaimana kita dapat bersaing dengan ‘Gratis’? Siapakah yang diuntungkan dengan ‘Gratis’, pemain pertama atau justru pemain terakhir dalam sebuah bisnis? Tak ada formula yang pasti, namun Chris menyuguhkan dua contoh persaingan perusahaan besar di dunia digital untuk menjadi yang terbaik: Microsoft vs Linux (memperebutkan pasar terbesar untuk OS komputer) dan Google vs Yahoo (memperebutkan pasar terbesar e-mail). Bab ini sangat menarik disimak, karena selain menyingkapkan jurus bisnis mereka berdua yang jarang terungkap, kedua kasus itu akan membuktikan bahwa :

1. Pengaplikasian ‘Gratis’ tidaklah mustahil.
2. Siapa yang paling sigap dan kreatif dalam mengelola ‘Gratis’, dia akan bisa menang walaupun kalah jauh dari pesaingnya dalam hal skala atau usia bisnis.

Setelah kita di ‘cuci otak’ tentang Gratis, maka pertanyaan kita yang terpenting: Nah, kalau begitu…duitnya datang darimana dong, kalo semua digratis-in? Jawaban pertanyaan ini akan dibahas pada bab tentang De-monetisasi, yang lagi-lagi mengambil Google sebagai contoh. Google mengaplikasikan ‘Gratis’ agar jangkauannya bisa maksimal, dan jangkauan luas itu akan mereka manfaatkan untuk mendapatkan pemasukan yang utama. Inilah rahasia sesungguhnya ‘Gratis’! Maka untuk dapat sukses, kita perlu kreatif (seperti halnya Google) untuk menciptakan sumber penghasilan di luar ‘Gratis’.

Dunia ‘Gratis’ juga diulas dengan menarik oleh Chris. Selama ini fenomena pembajakan dan barang super murah “made-in-China” selalu menjadi polemik. Namun, mungkin kita tak pernah benar-benar berpikir bagaimana dunia ‘Gratis’ bisa eksis di China? Bagaimana pula dengan pembajakan? Karena bahkan artis-artis lokal mereka juga tak luput dari pembajakan ini. Namun, mereka bukannya teriak-teriak protes, mereka malah memanfaatkan pembajakan itu dengan cerdiknya untuk kepentingan mereka, mengkonversikannya sebagai pendapatan. Menarik bukan? Mungkin artis-artis kita juga perlu membaca buku ini. Alih-alih terus menerus menghamburkan energi melawan pembajakan dan ‘Gratis’ yang takkan pernah habis, lebih baik memikirkan bagaimana menggunakannya untuk mendongkrak publisitas mereka.

Dan yang terakhir yang juga tak kalah menariknya adalah cara pikir orang-orang yang skeptis tentang ‘Gratis’ (yang ternyata sangat banyak dan datang dari bisnis-bisnis besar juga!). Chris akan membahas keberatan-keberatan mereka tentang ‘Gratis’, lalu menunjukkan di mana kesalahan mereka, serta memberikan solusi yang terbaik yang dapat kita pakai. Tak kurang dari 14 kasus yang disuguhkan Chris di sini, dan boleh aku pastikan bahwa setelah anda membacanya, anda pasti akan merasa yakin bahwa ‘Gratis’ bukan saja telah tiba di dunia kita, namun akan mengubah masa depan kita. Tentu saja, jangan anda berhenti hanya dengan membaca buku ini. Segeralah memikirkan, ‘Gratis’ macam apa yang bisa anda aplikasikan ke dalam bisnis anda, dan mulailah berubah SEKARANG! Karena kalau tidak, jangan-jangan pesaing anda akan menyalip diam-diam…

Buku ini jelas merupakan buku yang perlu dibaca. Memang, non fiksi kurang greget karena tak ada unsur-unsur ketegangan atau klimaks yang biasa ada di fiksi. Namun Chris Anderson, untungnya, menyelingi hasil pemikirannya dengan contoh-contoh yang faktual sehingga kita bak membaca sebuah berita-misteri, yang membuat kita selalu berpikir: “Bagaimana hal itu bisa terjadi ya?” Dan dengan demikian kita takkan pernah bisa melepaskan buku ini sebelum tamat. Meskipun…(mengaku nih)..aku membutuhkan waktu yang agak lama untuk menamatkannya. Tapi memang, non fiksi kan tidak untuk dihambur-hamburkan halaman-halamannya dengan cepat begitu saja, sebaliknya justru diserap isinya sebagai landasan gagasan-gagasan yang kita sendiri bangun sendiri selanjutnya. Setuju kan?

Judul: Gratis-Harga Radikal Yang Mengubah Masa Depan
Pengarang: Chris Anderson
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 2010
Tebal: 314 hlm

lintasberita

Lanjut Baca

Samurai Tanpa Pedang

“Aku tidak pernah mahir dalam seni berpedang. Bahkan ronin kelas tiga sanggup mengalahkanku dalam perkelahian jalanan! Aku sadar aku harus lebih menggunakan otak daripada tubuh, khususnya jika aku ingin kepalaku masih menempel di leher” [hal 8]

Lahir dari orang tua petani dan lingkungan yang miskin tidak membuat Hideyoshi berhenti bermimpi. Pria yang bernama asli Kinoshita Tōkichirō ini memiliki impian dan tekad menjadi seorang Samurai. Akan tetapi mengingat tidak adanya darah samurai mengalir dalam dirinya, maka hal tersebut bukan lah sesuatu yang mudah. Apalagi dengan kondisi fisiknya kecil yang tidak memungkinkannya untuk bergerak di dunia militer, sehingga membuatnya tidak memiliki kemampuan berkelahi. Menyerah, kata yang sama sekali tidak pernah mendekam dalam kamus kehidupan pria yang berjulukan si Monyet atau Tikus Botak. Berbekal tekad, keberanian dan kecerdikannya menciptakan peluang, Hideyoshi menunjukkan bahwa orang biasa dapat menjadi luar biasa.

Toyotomi Hideyoshi. Sebuah nama yang sangat terkenal di zaman peperangan antar klan, Zaman Sengoku. Pria ini memiliki perawakan mirip kurcaci botak dengan badan tak karuan, yang oleh beberapa orang diberi predikat sebagai pemimpin berwajah paling jelek dalam sejarah Jepang. Akan tetapi kondisi fisiknya tidak terlalu berpengaruh, mengingat perannya yang hingga saat ini menjadikan sosok menyejarah di mata generasi muda.

Setelah diusir dari keluarga Matsuhito, karena fitnah. Dia tidak menyerah dan terus berupaya untuk mewujudkan keinginannya. Keberaniannya menciptakan peluang di saat krisis lah yang menjadi awal perjalanan hidupnya. Sebuah langkah berani diambilnya saat Hideyoshi dengan berani menghadang Lord Nobunaga ketika akan memasuki gerbang seorang bangsawan, dengan resiko dibunuh di tempat dia menyampaikan tekadnya untuk mengabdi pada Klan Oda.

“Kau pasti terkejut saat mendapati bahwa keberhasilanku dalam meraih kepemimpinan dibangun atas dasar-dasar yang terdengar lumrah seperti pengabdian, penghargaan, kerja keras dan tindakan tegas.” [hal 6]

Bergabung dengan Klan Oda menjadi titik balik kehidupan Hideyoshi untuk meraih kepemimpinan. Bermula menjadi kacung rendahan Lord Nobunaga, dia menunjukkan banyak loyalitas dan dedikasi tertinggi, bahkan ketika membawakan sandal sang Lord, Hideyoshi mendekapnya demi menjaga kehangatan walaupun saat itu dirinya sendiri dalam kondisi kedinginan. Pengabdiannya yang luar biasa membuat Nobunaga tidak segan menaikkan pangkat Hideyoshi dengan signifikan. Hingga akhirnya Hideyoshi menjadi salah satu orang kepercayaan Lord Nobunaga.

Kematian Lord Nobunaga karena adanya pengkhianatan, menimbulkan perebutan kekuasaan dan bibit perpecahan. Keadaan ini mengharuskan Hideyoshi mengambil tindakan tepat dan cepat untuk mengatasi kondisi yang semakin memanas. Tidak sekadar kecerdikan dan ketangkasan yang akhirnya mampu membungkam sengketa, tetapi kepercayaan diri Hideyoshi membuat kondisi krisis ini menjadikannya seorang pemimpin. Setelah membalas dendam atas kematian Lord Nobunaga, Hideyoshi berusaha melanjutkan perjuangan Lord Nobunaga, yaitu mempersatukan wilayah Jepang.

Kitami Masao, si penulis buku ini, mengurai sejarah kehidupan Hideyoshi menjadi poin-poin motivasi. Tidak salah memang memilih Hideyoshi sebagai sosok pemimpin yang menginspirasi, bukan hanya karena sifat-sifatnya, tetapi juga aksi yang digunakannya terbilang unik, untuk zaman sengoku. Di saat sebagian penguasa menggunakan pedang untuk memperluas daerah jajahannya, Hideyoshi lebih memilih jalan diplomasi. Ketika sebuah wilayah berhasil didapatkan, Hideyoshi tidak menyingkirkan para penguasanya, tetapi mengendalikan. Dan taktik yang tidak biasa ini ternyata malah sangat menguntungkannya.

“Untuk menggenggam musuh dalam tangan dan tidak meremasnya sampai hancur, untuk menahan pasukan yang mabuk kemenangan tidak kelepasan, ini adalah ciri kepemimpinan yang sebenarnya” [h.108]

Dengan menggunakan aku sebagai subyek pencerita, buku biografi ini menuturkan totalitas Hideyoshi sebagai pemimpin. Sesuai dengan arti Samurai, yaitu orang yang melayani, Hideyoshi benar-benar menerapkan bahwa tugas seorang pemimpin adalah melayani bukan dilayani. Kerendahan-hatinya terlihat dari bagaimana dia memaknai kedudukannya dengan baik, yang selalu mencamkan pada diri sendiri bahwa untuk tetap menjadi seorang pemimpin, bukan atasan.

“Setiap orang memiliki kelebihan, maka tugas seorang pemimpin adalah membantu bawahan menemukan bidang keahlian masing-masing yang paling mungkin untuk dimanfaatkan secara efektif” [h.145]

“Rendah hati, melakukan penghargaan dengan hal yang mungkin dianggap sepele. “Salah satu cara untuk mengenali kinerja—dan mendemonstrasikan empatimu---adalah menulis surat sendiri dengan tulisan tangan” [h.168]

Tidak salah jika buku ini menginspirasi banyak pihak, termasuk Redline Publishing untuk terus berkembang di dunia penerbitan, karena perjalanan hidup Hideyoshi tidak hanya memuat kesuksesan, tetapi juga kesuraman masa pemerintahannya. Tidak ada yang sempurna. Dan ketidak-sempurnaan inilah yang menjadi semacam peringatan untuk lebih mengekang obsesi dan memperhatikan langkah-langkah yang diambil. Sekali lagi, tugas seorang pemimpin adalah melayani bukan dilayani.

Judul : The Swordless Samurai, Pemimpin Legendaris Jepang Abad XVI
Penulis : Kitami Masao
Penerjemah : Mardohar S.
Penerbit : Redline Publishing
Tahun : Februari 2009
Genre : Biografi-Motivasi
Tebal : 262 halaman
Harga : Rp. 49.800,-
ISBN : 978-979-19337-0-4



lintasberita

Lanjut Baca
 
Copyright (c) 2010 Buku Bagus by Dunia Belajar