Menguak BUMN Indonesia
KORAN JAKARTA, 27 April 2010
=========================
Judul : BUMN Expose; Menguak
Pengelolaan Aset Negara
Senilai 2.000 Triliun Lebih
Penulis : Ishak Rafi ck&Baso Amir
Penerbit : Ufuk Press
Tahun : I, Maret 2010
Tebal : 306 halaman
Harga : Rp94.900
=========================
Dalam Wikipedia.com disebutkan bahwa pascakrisis moneter 1998, pemerintah giat melakukan privatisasi dan mengakhiri berbagai praktik persaingan tidak sehat. Fungsi regulasi usaha dipisahkan dari badan usaha milik negara (BUMN).
Sebagai akibatnya, banyak BUMN yang terancam gulung tikar, tetapi beberapa BUMN lain berhasil memperkokoh posisi bisnisnya.
Indonesia memiliki 160 lebih BUMN. Dengan jumlah seperti itu mestinya BUMN dapat menghidupi rakyat Indonesia menuju hidup sejahtera. Namun kenyataannya ibarat panggang jauh dari api.
Coba kita lihat negara lain yang memiliki perusahaan- perusahaan BUMN. Singapura, misalnya. Negara ini mempunyai Singapore Airline dan Singapore Telcom di bawah BUMN, kini kedua perusahaan tersebut berkinerja bagus dan paling efisien di dunia.
Padahal, keduanya adalah BUMN. Demikian pula dengan China dan India, dua negara yang kini menjadi tumpuan harapan dunia setelah jatuhnya kedigdayaan ekonomi Amerika Serikat AS). Keduanya telah berkembang pesat berkat keberhasilan BUMN-BUMN mereka.
Dibanding negara lain, BUMN Indonesia bergerak hampir di seluruh sektor ekonomi, mulai dari pertanian, manufaktur, pertambangan, perdagangan, keuangan (bank dan nonbank), telekomunikasi, transportasi, sampai listrik, konstruksi, dan lain-lain.
Buku BUMN Expose; Menguak Pengelolaan Aset Negara Senilai 2.000 Triliun Lebih berusaha menyoroti BUMN luar-dalam.
Buku ini mengajak pembaca untuk menelusuri zaman kegelapan BUMN. Perusahaan-perusahaan BUMN dari masa awal kemerdekaan sampai akhir masa Orde Baru diulas tuntas di sini.
Bagaimana perusahaan-perusahaan itu berdiri, peranannya dalam pembangunan ekonomi bangsa, sistem tata kelolanya dalam hubungannya dengan penguasa, dan lain-lain. Menurut buku ini, saat itu, tidak ada transparansi dalam pengelolaan BUMN.
Sedang, perusahaan-perusahaan itu pun terserak di 17 departemen teknis. Sedang BUMN pada zaman ini hanya menjadi sapi perah dan sumber dana non-budgeter yang bisa digunakan untuk apa saja.
Selain itu, buku ini membahas pula upaya pembenahan BUMN sejak krisis memorak porandakan dunia usaha sampai akhir Kabinet Reformasi Pembangunan Habibie.
Diulas pula perjalanan Bank Mandiri sebagai salah satu BUMN, sampai ke bentuknya sekarang sebagai salah satu bank terbesar dan terbaik di Republik ini.
BUMN tidak seperti laiknya usaha bisnis yang mampu menghasilkan keuntungan. Bayangkan, total aset seluruh BUMN Indonesia pada 2004 mencapai 1.313 triliun rupiah, tapi laba bersihnya hanya mencapai 25 triliun rupiah.
Kinerja return on asset (ROA)-nya sangat rendah, sehingga BUMN menjadi entitas yang gemuk tapi tidak lincah menghasilkan profil atau keuntungan.Walhasil, jika saja BUMN dikelola secara modern dan profesional, hal seperti itu tidak seharusnya ada.
Buku ini membuka wawasan kita bahwa Indonesia memerlukan terobosan dan gagasan baru dalam mengembangkan BUMN, sebagaimana dikatakan Hendri Saparini, sehingga mampu mewujudkan perekonomian Indonesia yang mandiri dan berdaya saing.[]
M Iqbal Dawami, pencinta buku, bergiat di “Kere Hore Jungle Tracker Community” Yogyakarta
Katagori :
artikel resensi,
buku,
buku bagus,
buku resensi,
ekonomi,
non fiksi,
penerbit buku,
resensi buku,
ulasan buku
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar