Belajar Menjadi “Penonton” Lewat Ocehan Cecilia dan Malaikat Ariel


"Banyak hal aneh terjadi, Bu. Tapi, rasanya aku memahami segala sesuatu jauh lebih baik setelah aku sakit. Seolah-olah dunia ini terlihat lebih jelas ketika kita berada di tepiannya" [h.65]

Sakit. Seringkali orang mengeluh ketika sakit [baca: bed rest] mulai mendera fisik. Padahal jika ditelusuri lebih lanjut, bukankah saat itu merupakan salah satu kesempatan bagi manusia untuk beristirahat? Bahkan tidak dipungkiri bahwa keadaan ini merupakan momen paling pas digunakan untuk sedikit duduk diam, mengajak duet akal dan hati untuk berdialog, melakukan kilas balik atau menekuni gejala kehidupan di sekitar kita.

Seolah-olah dunia ini terlihat lebih jelas ketika kita berada di tepiannya.

Ya, dunia menjadi lebih jelas ketika kita berada pada posisi “penonton”. Maka pada saat sakit itulah, merupakan salah satu posisi “penonton” yang ternyaman untuk melihat segala hal dengan pikiran terbuka dan hati lapang. Itupun jika si penonton bersedia untuk melenyapkan keluhan yang sebenarnya sangat tidak berguna.

Cecilia adalah salah satu “penonton” yang awalnya merasa depresi dengan kondisinya yang hanya terkapar lemas di tempat tidur, di saat seluruh keluarganya merasakan kebahagiaan natal. Nuansa natal hanya bisa dirasakan lewat suara-suara yang terdengar dari lantai bawah, lewat bau masakan khas natal yang melayang melewati pintu kamarnya, lewat salju putih yang tampak dari jendela kamar.

Bahkan Cecilia dapat “melihat” ibu sedang membagikan masakan di meja makan, kakek sedang duduk santai menghisap cerutunya, nenek yang mulai memeluk seluruh keluarga, hanya dengan mengandalkan pendengarannya.

Di sela-sela kejengkelan dan kebosanannya, muncullah Malaikat Ariel. Jika selama ini Cecilia selalu membayangkan sosok malaikat dengan sayap dan rambutnya yang tergerai dengan indah, maka dengan melihat wujud Ariel imajinasinya berhasil runtuh. Jika dua makhluk berbeda dunia bertemu, dengan besarnya rasa ingin tahu yang dimiliki masing-masing, maka terjalinlah obrolan panjang yang diselipi rasa saling tidak percaya dan kagum.

Seperti buku-buku karya Jostein Gaarder yang sebelumnya pernah saya baca, Gadis Jeruk, Putri Sirkus dan Dunia Sophie—yang Dunia Sophie belum selesai, kisah Cecilia pun sarat dengan pemikiran filsafat tentang Tuhan, jiwa, astronomi dan kehidupan. Hal-hal inilah yang memadati dialog “ringan” antara Cecilia dan Malaikat Ariel. Masing-masing ingin tahu tentang "rasa" menjadi malaikat [bagi Cecilia] dan manusia [bagi Ariel]. Mereka saling "menuntut" pihak lain untuk membocorkan rahasia, antara bumi dan surga.

Menekuni obrolan antara Cecilia dan Malaikat Ariel, saya seperti diajak untuk mengungkap teka-teki kehidupan. Menarik, unik, aneh, mengagetkan, sekaligus membingungkan. Terlihat sekali, bagaimana kebebasan imajinasi dan pertanyaan anak-anak pada buku ini. Seperti ketika Cecilia mengemukakan pemikiran tentang mengapa orang tua hanya terdiri dari dua, bukannya tiga. Bukankah dengan tiga orang tua potensi memiliki anak akan menjadi lebih rendah, karena untuk mendapatkan anak harus mendapat persetujuan dari tiga orang. Pemikiran yang aneh kan?

Atau ketika Malaikat Ariel mencoba menerka, dari obrolan panjang mereka, bahwa kemungkinan ruh manusia berjumlah lebih dari satu. Bengong juga membaca buah pikiran dari setiap obrolan mereka. Dan pemikiran semacam itu banyak sekali bertebaran dalam buku, bahkan tidak jarang apa yang mereka ungkapkan sangat bertentangan dengan pemahaman saya. Dari sini, saya sedikit menganjurkan agar pembaca tidak menelan mentah-mentah isi buku dan mungkin cukup belajar dari sudut kekritisan mereka dalam berpikir.

Terlepas dari segala keliaran dan ekspresifnya pemikiran mereka, banyak juga dialog yang mengajak saya untuk merenung, memaknai dan kemudian menjadi sangat bersyukur. Seperti ketika Malaikat Ariel dengan polosnya menanyakan bagaimana rasanya menjadi manusia yang memiliki darah dan daging serta mengalami pertumbuhan, bagaimana rasanya ketika tangan menyentuh salju, bagaimana nikmatnya rasa masam dari buah strawberry, bagaimana rasanya kebahagiaan, bagaimana senangnya mendapat hadiah, dan masih banyak lagi keingin-tahuan Ariel yang berhubungan dengan fisik dan kemampuan manusia untuk merasakan apa-apa yang ada di sekitarnya. Setiap kali membaca bagian tersebut, membuat saya berpikir, betapa menyedihkan sekali menjadi malaikat dengan kedataran 'hidup' dan 'kehidupan'nya.

Tidak hanya itu, saat mereka memperbincangkan komet, matahari dan segala benda luar angkasa, saya diingatkan bahwa bumi hanyalah sesuatu yang kecil—sangat kecil—dari kehidupan alam semesta yang sangat luas. Ya. Dari buku ini saya merasa belajar menjadi “penonton” yang kritis dalam mempelajari sekaligus merenungi segala hal yang terdapat di balik kekuasaan, kehebatan, dan kebesaran-Nya.

Jika dibandingkan dengan Gadis Jeruk dan Putri Sirkus, cerita dalam buku ini terbilang sangat datar. Hampir sebagian besar isi buku ini diisi dengan dialog. tanpa adanya konflik. Sehingga bagi pembaca yang menyukai cerita dengan plot yang naik-turun, sepertinya buku ini akan jadi bacaan membosankan.

Judul : Cecilia dan Malaikat Ariel
Penulis : Jostein Gaarder
Penerbit : Mizan
Terbit : Desember 2008
Tebal : 210 halaman
Harga: Rp. 28.500


lintasberita

Lanjut Baca

Mukjizat Gerakan Shalat


Shalat bagi umat Islam adalah bentuk ibadah yang tidak dapat ditawar lagi pelaksanaannya. Sebuah kewajiban no. 1 bahkan diyakini akan menjadi pertanyaan setelah syahadat saat manusia berada di alam kubur. Melihat betapa penting arti ibadah sholat, pastinya bukan tanpa sebab Alloh mewajibkan hambanya menunaikannya minimal 5 kali sehari. Karena seperti yang kita tahu, Alloh tidak pernah menciptakan sesuatu dalam kesia-siaan.

Banyak hikmah, banyak manfaat, banyak kebaikan yang insyaALLOH diberikan kepada orang yang senantiasa menjaga sholatnya. Tidak hanya memberikan manfaat bagi batin/ psikologis kita, tetapi sholat juga memberi kesehatan jasmani. Hal ini sangat erat hubungannya dengan gerakan yang dilakukan dalam sholat.

Mulai dari berdiri, rukuk, duduk, sujud, semuanya menyimpan makna yang tidak biasa. Bahkan setiap detail gerakan, seperti posisi kaki yang tegak saat duduk di antara dua sujud, atau lurusnya punggung ketika melakukan rukuk, atau gerakan mengangkat tangan ketika takbirotul ihram pun, kesemuanya memiliki khasiat tersendiri. Subhanalloh. Manfaat itulah, salah satu yang diungkap oleh Dr. Sagiran dalam buku ‘Mukjizat Gerakan Sholat’.

Sebagai seorang ahli bedah, beliau mencoba untuk memaparkan hubungan gerakan sholat dengan asupan oksigen dalam tubuh dan kerja pembuluh darah atau otot, sehingga nantinya akan memberikan manfaat bagi kesehatan badan. Salah satu penjelasan yang sangat menarik bagi saya adalah bentuk mulut saat mengucapkan lafadz "Alloh" yang ternyata juga memiliki hikmah berupa terapi psikologis dan kesehatan. Menarik bukan? Bahkan hal sesederhana itu ternyata menyimpan manfaat yang sangat besar.

Dr. Sagiran, adalah sosok yang bersedia menggunakan keahliannya untuk melakukan penelitian mendalam mengenai gerakan sholat. Salah satu hasilnya adalah terciptanya senam ergonomis yang mencakup enam macam gerakan, dengan posisi berdiri, kombinasi duduk dan sujud, dan merebahkan badan. Gerakan senam tidak hanya dijelaskan lewat tulisan, tetapi juga gambar. Melihat gambar gerakan yang sepertinya mudah, Saya sempat mempraktikan senam tersebut karena terjerat "iming-iming" bagus untuk ibu hamil hehe… tapi begitu dilakukan ternyata ngos-ngosan juga. Walaupun senam ini mengambil inti sari dari gerakan sholat, beliau selalu menekankan pada pembaca bahwa senam ergonomis bukanlah pengganti sholat.

Dari senam ergonomis, Dr. Sagiran juga memberikan metode pencegahan dengan mengaktifkan tombol-tombol kesehatan dan melancarkan aliran darah dengan cara pijat getar saraf. Titik pijat yang dijelaskan, sekaligus digambarkan ini, kurang lebih hampir sama dengan titik akupuntur. Hanya saja, saya pribadi, untuk mempraktikannya agak ngeri, takut salah pencet walaupun sudah diberi contoh lewat gambar. Selain itu ada beberapa titik pijat yang membutuhkan bimbingan bagi orang awam yang ingin menerapkannya dalam keseharian.

Salah satu pembahasan yang menjadi favorit--karena saya juga sering merasakannya—adalah mengenai malasnya bangun tidur atau merasakan pegal-pegal ketika bangun tidur. Dalam buku ini saya menemukan beberapa kesalahan adab tidur yang ternyata menjadi penyebab lesunya aktivitas bangun tidur. Sedikit melakukan praktik tips dari Dr. Sagiran, Alhamdulillah, walaupun terkadang masih ada rasa mengantuk, tetapi tidak separah dahulu.

Sayangnya dalam buku ini tidak mengulas tentang efek dari waktu-waktu sholat yang telah ditetapkan bagi kesehatan. Sekira jika hal tersebut diungkap juga, mungkin bisa mengobati kecenderungan “mengakhirkan waktu sholat” yang diidap pada sebagian orang, termasuk saya. ^^v Adanya berbagai penjelasan dan analisa mukjizat dari gerakan sholat membuat setiap lembar dari buku ini sangat bermanfaat. Dan insyaALLOH membuat pembacanya dapat lebih menghayati setiap gerakan sholatnya.

Satu lagi pesan yang ditulis sejak lembar awal dari buku ini dan penting untuk direkam kepala adalah lakukan Lakukan sholat dengan tuma'ninah [tenang] dan resapi semua gerakannya.

Judul : Mukjizat Gerakan Shalat
Penulis : Dr. Sagiran, M.Kes., Sp.B
Penerbit : Qultum Media
Terbit : 2007
Tebal : 206 halaman


lintasberita

Lanjut Baca

Si Pitung, Superhero Betawi Asli


Siapa yang tidak kenal Si Pitung??? Jika ada yang mengacungkan tangan, kemungkinan besar adalah para remaja era sekarang yang tidak diperkenalkan sang legenda betawi yang terkenal jago bela diri ini. Dahulu saya masih berkesempatan mengenal sosok pitung lewat layar kaca dalam bentuk film silat, kala itu bintang yang sering memerankannya adalah almarhum Dicky Zulkarnaen. Saya pribadi tidak terlalu ingat jelas tentang detail cerita, hanya sekadar mengingat kostum khas Si Pitung yaitu peci, baju plus celana longgar, sabuk gede, dan tidak ketinggalan golok.
Sayangnya, sepanjang ingatan saya, belum pernah dijumpai, baik film ataupun buku, yang menceritakan masa kecil dari si Pitung. Hingga kemudian, saya mendapatkan novel anak terbitan DAR! Mizan yang berjudul “Si Pitung, Superhero Betawi Asli”. Rasa yang pertama kali terbangun ketika menemukan buku ini adalah nostalgia.

Walaupun kisah pendekar asal Betawi ini sendiri masih belum jelas apakah berdasar kenyataan atau hanya sekadar mitos, namun Pitung seperti telah melekat pada masyarakat Betawi sebagai pembela rakyat kecil. Bisa dibilang Pitung adalah Robin Hood-nya Betawi. Seperti halnya Robin Hood, di sini Pitung juga sering mencuri harta pada orang-orang kaya yang kerap mengumpulkan kekayaannya dengan menindas rakyat, kemudian hasil curian akan dibagi-bagikan kepada rakyat miskin. Ditambah lagi dengan sosoknya yang sangat berani melawan penjajah Belanda dan membela rakyat kecil, membuatnya menjadi idola anak-anak.

Bapak Soekanto mencoba mengisahkan keberanian, ketaqwaan dan jiwa kemanusiaan si Pitung mulai dari ketika dia masih kecil, kurang lebih 10 tahun-an.

Kullu nafsin dzaa'iqatul maut
Semua yang bernafas akan kembali kepada Tuhannya


Ayat inilah yang berulang kali ditegaskan penulis dalam diri sosok Pitung. Bagaimana pun hebatnya, atau saktinya seseorang tidak akan pernah lepas dengan yang namanya kematian. Karena mati hanya sekali, maka hidup harus lah selalu memberikan manfaat bagi sekitarnya. Makna ayat tersebutlah yang kemudian digunakan sang penulis untuk membangun karakter Pitung hingga menjadi pria pemberani sekaligus berakhlak.

Saya suka sekali dengan cara penulis menyelipkan pesan-pesan yang pastinya akan sangat mudah diserap oleh kepala anak-anak. Seperti pesan Haji Naipin (guru Pitung) ketika Pitung buru-buru beranjak setelah shalat jama’ah, “Tot, jangan mau lari saja kalau selesai shalat ya! …. Coba kau pikir, kita shalat berarti kita sedang menghadap Tuhan Yang Maha Esa. Kaupikir, pantaskah begitu shalat selesai, kita lari membelakangi-Nya?” [h.28] Sungguh, sebuah pesan yang tidak hanya mengena bagi anak-anak tetapi juga orang dewasa.

Alur cerita berjalan maju, hingga Pitung dewasa. Hanya saja agak terjadi kebingungan dengan bertambahnya usia Pitung. Karena tidak ada penjelasan atau siratan dalam cerita tentang pertambahan usia tokoh, saya kerap baru menyadari ketika cerita sudah berjalan lumayan jauh atau saat melihat ilustrasi buku, “Ooohh… si Pitungnya udah gede to.”

Dari cara Pak Soekanto bercerita, dari pesan-pesan yang disampaikan, dari penyampaian yang tidak menggurui, membuat buku ini layak untuk dijadikan bacaan anak-anak.

Di Balik Buku Si Pitung, Superhero Betawi Asli


Sejujurnya saya tidak terlalu mengenal sosok Bapak Soekanto SA, sosok yang baru saya ketahui sangat lekat dengan nama majalah si Kuncung. Era saya kecil, Kuncung bukanlah majalah yang memenuhi bacaan saya, karena pada saat itu Mentari dan Bobo-lah yang seringkali menemani keseharian. Saat tuntas membaca buku si Pitung ini, mata saya tertuju pada foto profil penulis. Terlihat sosok pria sepuh yang sangat sederhana. Subhanallah, dengan usia yang telah memasuki 76 tahun, ternyata produktivitas beliau tidak ikut rapuh.

Dari membaca novel si Pitung ini, saya tahu bahwa penulisnya memang sangat mengenal dan mendalami dunia anak. Terlihat dari cara beliau menggambarkan si Pitung kecil dengan sifat khas anak laki-laki yang sering merasa dirinya pemberani dan ingin sekali menjadi jagoan. Setiap kali gurunya akan mengajarkan sesuatu, Pitung dengan sombong akan berujar, “Saya pasti bisa.” Gambaran-gambaran kuat karakter tokoh lah yang membuat cerita menjadi lebih bersemangat.

Bapak sembilan anak ini, mulai aktif menulis dan mengamati perkembangan bacaan anak sejak tahun 1950-an. Bersama Sudjati SA, beliau bekerja sama membangun majalah si Kuncung sebagai penulis sekaligus editor. Dedikasinya pada dunia anak, membuatnya dianugerahi berbagai penghargaan baik di dalam maupun di luar negeri.

Judul : Si Pitung, Superhero Betawi Asli
Penulis : Soekanto SA
Penerbit : DAR! Mizan
Terbit : Februari 2009
Tebal : 154 halaman
Harga: Rp. 24.000 [disc. 15%]


lintasberita

Lanjut Baca

Be a Great Wife, Agar Dicintai Suami


Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah Istri Solehah.” (HR Muslim dan Ibnu Majah).

Sebagian besar dari kita pasti tahu perihal hadist yang satu ini, bahkan banyak pula yang mendambakan untuk mendapatkan (bagi laki-laki) dan menjadi (bagi perempuan) wanita solehah. Namun, satu hal yang pasti, untuk meraih ridho Allah bukanlah sesuatu yang mudah, walaupun bukan berarti tidak bisa.

Seringkali ketika dihadapkan dengan buku atau pembahasan tentang wanita solelah, pasti akan disuguhkan cerita tauladan dari kaum wanita di zaman Rasulullah. Siapa yang tidak tahu totalitas seorang Bunda Khadijah ra. dalam mendampingi Rasulullah? Siapa yang tidak kenal kedermawanan dan pengabdian Fatimah Az-Zahra ra.? Sungguh, mereka adalah sebaik-baiknya tauladan.

Namun, apakah mereka dengan sendirinya dapat menjadi wanita solehah dengan begitu mudahnya? Tidak! Mereka pun membutuhkan proses hingga kemudian menjadikan mereka sebagai sosok ahli surga. Masih ingat kan bagaimana Fatimah ra. pernah merasakan kelelahan yang sangat dalam pekerjaan rumah tangganya, hingga kemudian meminta Rasulullah untuk memberinya hamba sahaya? Terlihat kan, bahwa sosok sekaliber Fatimah Az-Zahra pun ternyata pernah ‘mengeluh’, Bagaimana dengan kita?

Kesimpulannya, kita semakin tahu bahwa manusia yang tidak selalu dalam kondisi kuat, bahkan cenderung labil dan ‘mengeluh’. Manusia selalu membutuhkan dorongan dan semangat, dari sinilah peran sekitar menjadi sangatlah, seperti halnya Rasulullah yang kala itu tidak memberikan ‘kenyamanan’ berupa hamba sahaya kepada Fatimah. “Demi Allah, aku tidak akan memberikan pelayan kepada kamu berdua, sementara aku biarkan perut penghuni Shuffah merasakan kelaparan. Aku tidak punya uang untuk nafkah mereka, tetapi aku jual hamba sahaya itu dan uangnya aku gunakan untuk nafkah mereka."

Jika berbicara teori tentang wanita solehah, maka dengan mudah kepala akan mencerna. Namun, ketika terjun di realita kehidupan, teori dapat dengan mudah bertekuk lutut ketika pemahaman dan pendampingan tidak didapatkan oleh sang wanita. Seperti yang disampaikan dalam buku ini, “Teori tentang keimanan kadang lebih mudah dicerna daripada keimanan yang sebenarnya. Indikasi ketaqwaan juga lebih bisa dijelaskan secara teoritis daripada ketaqwaan yang sebenarnya. Inilah yang sering menimpa pada kebanyakan orang” [h. 105]

Dari sana kurang lebih dapat ditangkap, bahwa peraihan seorang wanita menjadi solehah harus juga mendapatkan dorongan, ingatan, dan bimbingan dari orang lain, terutama orang terdekat seperti suami. Suami tidak pantas menuntut istrinya menjadi wanita solehah, jika dia sendiri tak mampu atau malah tidak ‘mengajak’ dirinya menjadi soleh.

Seperti halnya ketika seorang pria bercita-cita mendapatkan pasangan hidup yang solehah. Tidak salah sih, tapi alangkah lebih indah jika sang pria tersebut meniatkan diri menikah dengan wanita untuk membantunya menjadi solehah? Atau bahkan menggandengnya untuk sama-sama berusaha menjadi hamba yang soleh dan solehah? Sungguh, hal tersebut akan membuat kehidupan rumah tangga menjadi lebih indah, karena adanya kesamaan niat belajar dan tidak adanya tuntutan yang sepihak.

Inilah yang melatar belakangi terbitnya paket buku ‘Be a Great Couple’, yang berisikan dua buku berjudul, ‘Be a Great Husband’ dan ‘Be a Great Wife’. Pasangan buku yang ‘mengajak’ suami-istri untuk belajar bersama, mencerna ilmu, dan kemudian mengamalkannya bersama. Karena saya seorang perempuan, ‘Be a Great Wife’ tentu menjadi pilihan pertama untuk ditekuni—walaupun nanti insyaALLAH juga berkeinginan membaca ‘Be a Great Husband’.

Jika dilihat dari ketebalannya, buku ini termasuk tipis –berdasarkan standarisasi saya—tapi ternyata untuk menyelesaikannya membutuhkan waktu yang cukup lama. Sepanjang membaca saya membutuhkan jeda beberapa kali untuk meresapi apa yang disampaikan penulis. Mencoba membandingkan antara realitas dengan keidealisan dalam buku ini.

Lumayan berat juga, seperti ketika istri diharapkan senantiasa berdandan dan terlihat cantik di hadapan suami, ternyata ketika berhadapkan dengan realita dan segala kepadatan pekerjaan ternyata masalah dandan/ selalu terlihat cantik—yang kelihatannya sepele---terasa berat. Akhirnya, saya pun melakukan sedikit toleransi dengan hal tersebut, yaitu menggantikan/ mem-‘pending’ dandan dengan berusaha tetap tersenyum ketika berhadapan dengan suami.

Hal-hal seperti itu membuat saya terpancing untuk menikmati pergulatan daya nalar dengan teori ‘menjadi wanita solehah’ dalam buku ini, sekaligus membuatnya menjadi sesuatu yang menarik. Walaupun tetap dengan batas-batas tertentu dan tidak meringan-ringankan hal yang sudah menjadi ketetapan, seperti pemakaian jilbab.

Terlepas dari kemenarikan dan kenikmatan saya berpikir, buku ini tidak lepas dari kekurangan. Walaupun penulis telah membagi pembahasannya menjadi 20 subbab—atau istilah dalam buku ini 20 karakter, ternyata tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada isi masing-masing subbab. Hal ini terkadang menciptakan kebosanan.

Selain membahas karakter wanita solehah, dalam buku ini juga terdapat bab yang menyindir sedikit tentang bagaimana seorang pria dalam rumah tangga. Ditambah lagi, bab yang berisikan tanya-jawab para istri yang ‘mengeluh’ tentang kondisi suaminya. Dengan demikian, pembahasan tidak hanya ‘menuntut’ istri menjadi solehah, tetapi juga memperhatikan kesolehan suami.

Kehidupan adalah tidur, kematian adalah bangun tidur, sementara manusia berada di antaranya bagaikan khayalan” [h. 136]

Judul : Be a Great Wife, Agar Dicintai Suami
Penulis : ‘Isham bin Muhammad asy-Syarif
Penerbit : Embun Publishing
Terbit : Juni 2007
Tebal : 184 halaman
Harga: Rp. 40.000 [disc. 20%]

NB: Tengkyu untuk Mbak Wulan yang sudah menghadiahkannya pada momen pernikahan kami. Loph You! ^^


lintasberita

Lanjut Baca

Semua Ayah Adalah Bintang


Ayahku juara satu sedunia...

Wajahnya mulai berkerut
punggungnya mulai ringkih
Tangannya mulai gemetar
usia telah menggerogoti tubuhnya

Tapi…

Keras perjuangan hidupnya diiringi dengan semangatnya yang tak kenal patah
Tantapannya lembut diiringi dengan senyumnya yang tak pernah padam K
ata-katanya penuh makna diiringi dengan candanya yang tak pernah lenyap

Aku ingin berteriak
Ayahku Juara Satu Sedunia!!!

Puisi sederhana ini saya buat setelah membaca buku Andrea Hirata yang berjudul Sang Pemimpi. Tepat setelah menuntaskan bab yang berjudul sama dengan puisi di atas, saya dibuat menangis tergugu. Cukup lama, tepatnya saya lupa berapa lama, tapi yang pasti saat itu sangat susah membendung jembolnya air mata. Bagaimana sosok ayah Ikal yang benar-benar mempersiapkan pakaian spesialnya, dan harus mengayuh sepeda dengan jarak jauh demi sampai di sekolah saat momen raport-an, tapi kemudian harus menerima kenyataan prestasi sang putra merosot, membuat hati ikut merosot sedih. Apalagi ketika sang Ayah yang pendiam itu malah memberikan senyum untuk putranya, benar-benar meluapkan air mata saya. Sungguh sosok ayah yang…. Amazing!!


Bendung air mata saya lagi-lagi dijebol oleh sebuah media, ketika kembali sosok ayah yang fantastis dituturkan oleh Neno Warisman lewat bonus audio buku berjudul ‘Semua Ayah Adalah Bintang’. Kisah nyata seorang ayah yang dituturkan dengan apik oleh Bunda Neno, sungguh membuat sosok ayah yang kerap cenderung pendiam dan kalem, menjadi sangat spesial. Karena di saat yang sama saya sendiri teringat dengan perjuangan Babe untuk mencari nafkah dan membahagiakan anaknya. Ah, melelehlah air mata.

Ayah dan Anak. Sejauh yang saya tahu, buku parenting yang mengkhususkan pada Ayah terbilang jarang ---atau saya yang jarang membacanya? Jadi, saat buku ‘Semua Ayah Adalah Bintang’ berada di tangan, saya cukup excited untuk mulai menekuni isinya. Beruntung saya mengawalinya dengan mendengarkan cd audio-nya terlebih dahulu. Dan memang keputusan yang cukup tepat karena mendengar Bunda Neno bertutur dengan gaya teatrikalnya, membuat saya lebih menghayati tentang betapa pentingnya peran ayah. Walaupun ternyata isi cd audio sendiri menyuarakan beberapa artikel dari buku.

Coretan yang ada di dalam buku ini kurang lebih berisikan curahan dan impian hati seorang Neno Warisman dengan sosok dan peran Ayah dalam keluarga. Sosok ayah yang kerap ‘kalah sorot’ dengan ibu membuat Bunda Neno berkeinginan kuat untuk mengangkat tingkat-penting sosok ayah dalam mendidik dan membimbing generasinya, terkhusus di rumah. Salah satu yang artikel yang menarik adalah keinginan Bunda Neno untuk membuat sebuah kongres tentang ayah. Sebuah kongres yang berisikan sosok ayah, membahas tentang ayah, dan menciptakan ayah yang cerdas dan berakhlak. Walaupun impian tersebut mungkin terlalu tinggi, tetapi sebentuk kecil realisasinya telah dilakukan Bunda Neno dengan membuat acara berjudul 'D Magic Daddy' di sebuah radio di Jakarta Selatan.

Tidak hanya berkisar dengan impiannya, di buku ini juga memuat cerita keseharian dan kisah nyata tentang sosok ayah atau calon ayah yang ditorehkan dengan gaya bercanda dan santai. Sekali waktu pernah suami dari Bunda Neno ingin melakukan perubahan dengan menerapkan gaya hidup sehat pada keluarganya. Hampir semua dikritisi ---bahkan membuat penghuni yang lain senewen--- makanan harus sehat, tidak boleh ada makanan kemasan, teh pun tidak boleh yang berbentuk celup atau sachet, hindari mentega, dan banyak yang lain. Bahkan lucunya bentuk kloset rumah pun tak luput mendapat kritik.

Lain lagi dengan cerita putra Bunda Neno yang bernama Giffari. Saat dia dan adik perempuannya bertengkar, hingga sang adik mengurung diri dan menelungkup di atas sajadahnya. Bunda Neno mendorong putranya untuk menenangkan adiknya. Di sinilah dialog lucu antara Bunda Neno dan Giffari berlangsung, di mana gengsi lelaki Giffari yang tidak suka bersayang-sayang ria berusaha diredam dengan mengajak putranya yang telah berusia 14 tahun tersebut membayangkan kondisi ini sebagai latihan jika dia nanti memiliki istri hehehe…

Buku ini tidak menyuratkan penjelasan terperinci tentang sosok ayah yang ideal, tetapi lebih banyak mengajak pembaca untuk meresapi dan berkontemplasi lewat cerita dan kisah yang dikumpulkan Bunda Neno dalam bentuk esai. Sederhana tapi mengena. Yang perlu digaris-bawahi, walaupun sosok yang diangkat adalah ayah, tetapi buku ini juga sangat layak dibaca para wanita—ibu ataupun calon ibu--- yang nantinya bisa menjadikan buku ini sebagai referensi untuk membantu dan mendorong pasangan untuk belajar menjadi lebih baik.

Judul : Semua Ayah Adalah Bintang
Penulis : Neno Warisman
Penerbit : Progressio
Terbit : Juni 2009
Tebal : 134 halaman
Harga: Rp. 28.000


lintasberita

Lanjut Baca

Kemboja Terkulai di Pangkuan


Beberapa hari yang lalu, saudara saya yang berprofesi sebagai perias pengantin mendapat dua pekerjaan merias pada hari yang sama, dan keduanya calon mempelai wanitanya dalam kondisi sudah hamil. Realita yang ada saat ini, begitu mengetahui putrinya dalam kondisi hamil, sebagian besar orangtua pasti mengambil keputusan untuk segera mencari “pelaku” untuk segera dinikahkan, agar terhindar dari malu.

Fenomena tersebut diangkat oleh Irwan Kelana pada cerpennya yang berjudul Kemboja Terkulai di Pangkuan. Berbeda dengan orangtua yang lain, Haji Abdullah, nama tokoh ayah, tidak bersedia menikahkan putrinya dalam kondisi hamil. Bahkan di saat sang laki-laki bersedia bertanggung jawab, beliau malah mengusirnya.

Bingung, mencibir, memaki, itulah yang menjadi respon masyarakat melihat kekerasan hati Haji Abdullah. Namun, semua itu sama sekali tidak membuat keputusannya berubah, bahkan bujuk rayu dan permohonan sang istri sama sekali tidak dihiraukan. Keputusan tetap bulat: Tidak menikahkan Iffah, putrinya. Keputusannya didasari oleh keyakinannya, bahwa haram menikahkan putra/putri dalam kondisi hamil [penulis mengambil nasab Imam Malikiyah dan Hanafiyah]. Hanya satu yang digenggam oleh Haji Abdullah, ‘lebih baik malu kepada manusia, daripada malu di hadapan Allah’

Luar biasanya, walaupun dalam kondisi sedih dan marah, ternyata tidak melunturkan kasih sayangnya. Haji Abdullah masih tetap memperhatikan kondisi putrinya dan setia mengantarnya memeriksakan kehamilan dari bulan ke bulan.

Kemboja Terkulai di Pangkuan, adalah cerpen pembuka pada buku kumpulan cerpen dengan judul sama. Lembut, itu yang saya rasakan saat membaca tulisan dari Irwan Kelana. Walaupun, sosok pria yang kerap diangkatnya berkarakter keras dan sangar, tetapi sangat melindungi tokoh perempuannya. Bisa jadi sifat pelindung ini muncul pada jiwa setiap tokoh laki-laki karena didasari latar profesi dari si penulis.

Profesi wartawan banyak digunakan sebagai latar tokoh, dikarenakan si penulis sendiri pernah mengalami lika-liku hidup sebagai wartawan Republika. Pekerjaan yang menguras waktu dan menuntut untuk selalu standby di ‘jalanan’ membuat momen bersama keluarga semakin minim. Hal ini membuat sosok perempuan/ istri yang bersedia mendampingi seorang wartawan menjadi sangat spesial.

Menanti suami hingga larut malam, demi untuk sekadar membukakan pintu dan kemudian membuatkan wedang jahe atau rendaman air garam hangat supaya kaki sang suami terasa lebih nyaman, menjadi wujud kesetiaan dan ketelatenan sosok wanita yang tersurat. Kondisi inilah yang mungkin menjadi inspirasi hampir di sebagian besar cerpen, KESETIAAN.

Tidak hanya bercerita tentang kehidupan rumah tangga, tapi kumcer ini juga memaut tentang kebimbangan. Masih dengan profesi yang tidak memiliki jam kerja tetap ini, tertulis juga cerita tentang tentang kehidupan lajang. Di beberapa cerita terlihat usia tokoh utama laki-lakinya yang berkisar mendekati 40-an. Hal ini terjadi karena ketakutan mereka akan ketidak-pastian, resiko pekerjaan yang sangat mungkin menuai kematian, yang nantinya akan berdampak pada sang pasangan.

Dengan gayanya yang romantis, Irwan Kelana menghadirkan banyak cerita yang bernuansa cinta antar laki-laki dan perempuan. Di beberapa cerpen akan ditemui alur cerita yang hampir mirip, walaupun terselip konflik yang berbeda, seperti seorang pria yang jatuh cinta pada pandangan pertama, terpesona, kemudian berusaha mencari tahu dan berusaha meraih perempuannya dengan cara yang sangat ‘hati-hati’.

Walaupun berhamburan cerita cinta laki-laki dan perempuan, terdapat juga cerpen berjudul Kondangan yang sarat makna. Cerpen yang satu ini memiliki tema yang sangat sederhana, yaitu pergi kondangan, di mana seorang ibu selalu meminta anaknya untuk memenuhi undangan apapun yang didapatnya dari warga desa. Bahkan lucunya, walaupun undangan telah lewat 3 bulan, sang ibu masih terus menelepon putranya, demi mengingatkan untuk datang kondangan. “Malu kalau nanti ketemu di jalan, nanti dikira tidak menghormati’ inilah yang selalu dikatakan si Ibu. Tak jarang si Ibu juga menanyakan berapa isi amplop yang akan diberikan putranya. Cerewet? Memang, tapi di balik kecerewetannya ternyata tersimpan sebuah pesan yang mungkin, saat ini sudah mulai terlupakan.

Setelah menekuni kumpulan cerpen ini, jujur saya lebih menikmati cerpen Kemboja, Kondangan, dan Musholla di Halaman Rumah. Tiga cerpen yang sedikit keluar ‘jalur cerita cinta pasangan’ ini, ternyata lebih meninggalkan ‘bekas’. Bisa jadi, karena saya bukan fans dari cerita-cerita yang berbau romantis. Atau bisa juga menjadi salah satu pertanda bahwa sesuatu yang lain-daripada-yang-lain memang selalu menarik?

Selain unsur lain-daripada-yang-lain, ketiga cerpen ini lebih enak dinikmati, karena alurnya yang tidak terburu-buru jika dibanding dengan cerpen yang lain. Kesan terburu-buru ini sering tertangkap dari banyaknya potongan sketsa cerita yang seperti memotong alur supaya lebih cepat sampai pada akhir cerita. Namun, bagi pembaca yang memiliki jiwa penulis dan berkarya pasti akan dapat mengambil peluang atau inspirasi untuk mengembangkan alur hampir di setiap cerita.

Terlepas dari segala kekurangannya, unsur romantisme yang menapak jelas hampir di seluruh cerita ini pasti akan digandrungi para pecinta buku ber-genre romantis. Irwan Kelana selalu berhasil menciptakan suasana romantis dalam cerpen lewat deskripsi suasana atau dialog-dialog guyon, menggoda sang pasangan, namun tidak kelewat batas.

Judul : Kemboja Terkulai di Pangkuan
Penulis : Irwan Kelana
Penerbit : Bening Publishing
Terbit : Mei 2005
Tebal : 215 halaman
ISBN: 9792647791
Harga: Rp. 25.000



lintasberita

Lanjut Baca
 
Copyright (c) 2010 Buku Bagus by Dunia Belajar