Resensi ini dimuat di Seputar Indonesia, Minggu, 04 Oktober 2009
Judul: Mencari Tuhan Sepanjang Zaman: Dari Agama-Kesukuan Hingga Agama Universal
Penulis: Alferd North Whitehead
Penerjemah: Alois Agus Nugroho
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: I, Juli 2009
Tebal: xxxiii+204 hlm. (termasuk indeks)
-----------------------
Buku Mencari Tuhan Sepanjang Zaman ialah renungan tentang perkembangan agama dan penghayatan ketuhanan berdasarkan Kosmologi Proses. Berbeda dengan konsep evolusi Darwin, kosmologi proses menganggap alam semesta berevolusi menurut “hukum” kebaikan menuju suatu finalitas (tujuan). Pola atau hukum itu menjadi “format” dalam evolusi semesta, namun manusia yang merdeka harus jatuh bangun menafsirkannya. Sedangkan, tujuan itu ialah Tuhan sebagai “muara” dari kehidupan setiap makhluk, sehingga kehidupan duniawi ini tak sekadar gelembung sabun dari kesia-siaan yang tandas.
Whitehead melihat perkembangan “agama-agama dunia” dari kacamata pengalaman manusia dalam kebudayaan. Meskipun bertolak dari penghayatannya sebagai seorang Kristianis, yang dibicarakannya sebagai filosof sebenarnya adalah semua agama dunia. Dalam penafsiran Whitehead, agama-agama dunia berkembang dari “masa kanak-kanak” berupa “agama suku”, ke arah kesadaran bahwa agama bersangkutan adalah “rahmat bagi seluruh alam”. Dalam perkembangannya itu, agama semakin melengkapi diri selain dengan unsur-unsur ritual yang menggugah emosi, juga dengan pernyataan-pernyataan iman, dan akhirnya dengan penalaran-penalaran teologi atau ilmu kalam.
Filsafat Agama dari Whitehead ini mengantar pembaca pada Filsafat Ketuhanan yang oleh Charles Hartshorne diberi nama “Pan-en-theisme”. Filsafat Ketuhanan itu mereguk inspirasi spiritual dari agama-agama dunia yang lahir di Timur Tengah dan yang lahir di India. Tak berlebihan, kalau dalam zaman yang dieja oleh Habermas sebagai “the Post-secular Age” ini, membaca perenungan Whitehead akan menyegarkan iman kita masing-masing, betapa pun berbeda kosakata yang kita pakai.
Whitehead pada awalnya tidaklah dikenal sebagai filosof, apalagi metafisikawan. Pemikiran tentang metafisika, termasuk di dalamnya tentang agama dan Tuhan, barulah mengkristal pada periode ketiga dalam perkembangan hidup dan perkembangan pemikiran Whitehead. Dalam periode pertama, yang berlangsung sampai dengan 1910, Whitehead lebih dikenal sebagai seorang ahli matematik.
Whitehead tidak hanya penulis produktif, melainkan juga pemikir orisinal dan sistematikawan ulung. Buku ini memperhalus dan mengembangkan tulisan sebelumnya, Science and the Modern World, yakni tentang “Abstraksi” dan “Tuhan”. Whitehead menata pemikirannya ke dalam suatu keseluruhan yang sistematis yang di dalamnya sains dan agama menduduki tempat yang penting.
Konsep “Tuhan” dalam sistem pemikiran Whitehead mula-mula berkait dengan sebab-sebab formal (formal cause) yang selama ini dikesampingkan oleh sains modern. Sains modern pada umumnya hanya memerhatikan sebab musabab material dan sebab musabab efisien, sambil menyisihkan sebab musabab formal, dan sebab musabab final.
Sebab-sebab formal itu berkait dengan keberadaan “eternal objects” atau “realm of forms”, yaitu bentuk-bentuk atau pola-pola yang tertuang dalam proses perwujudan suatu hal konkret. Sebagian kecil dari dunia kemungkinan yang tak terbatas itu “di-format-kan”, “di-informasi-kan”, dalam setiap proses perwujudan diri. Dunia kemungkinan ini sudah diisyaratkan sebagai dunia “idea-idea” dari Plato atau “universalia” Abad Pertengahan, meskipun bagi Whitehead, yang ada hanyalah yang aktual dan dunia bentuk hanyalah salah satu unsur formatif dari yang sungguh-sungguh ada.
Konsep “Tuhan” dalam pemikiran Whitehead merupakan hasil dari intuisi dan sistematis. Sistematisasi boleh dikatakan mencapai bentuknya yang lebih ketat. Tuhan dalam sistem metafisika Whitehead pertama-tama dikaitkan dengan “permanensi”. Aspek pertama berkait dengan permanensi dari forma-forma yang tertata yang diformatkan, diinduksikan, diinformasikan, atau dipersuasikan kepada dunia semesta. Aspek kedua berhubungan dengan permanensi dari apa saja yang “menjadi”, semua yang pernah datang dan semua yang menghilang.
Konsep Whitehead tentang Tuhan tersebut diramu dari pelbagai intuisi tentang Tuhan di dalam sejarah metafisika dan sejarah agama-agama yang dewasa, yang dalam istilah Whitehead disebut sebagai “agama rasional”. Agama yang berkembang ke arah kedewasaaan, menurutnya, tetaplah peduli pada segi perasaan dan peribadatan dari hidup beragama, tetapi juga tidak menelantarkan segi doktrin atau ajaran. Peribadatan dan Perasaan malah dapat dikatakan perlu diintegrasikan dengan ajaran. Agama-agama dewasa menyadari pentingnya kesaksian iman dan dogma, namun lebih lebih dari itu, agama-agama mencapai kedewasaan dalam perkembangannya apabila tidak bersifat dogmatis. Artinya, agama dewasa terus-menerus menyusun dogma-dogma menjadi suatu sistem yang koheren, logis, adekuat, dan aplikatif. Jadi, agama sendiri adalah sesuatu yang berada dalam proses, sesuatu yang “menjadi”.
Konsep ketuhanan Whitehead dan filsafat proses pada umumnya muncul dari pendekatan antara agama dan metafisika ini. Memang, dalam pemikiran Whitehead terjadi pendekatan antara dogma agama dan metafisika. Pendekatan agama dan metafisika itu pun dilakukan dalam rangka proyek yang lebih besar lagi, yakni pendekatan antar-semua cabang kebudayaan (agama, seni, ilmu pengetahuan, dan filsafat) yang masing-masing memberi kontribusi—dengan keterbatasan masing-masing pula—kepada hidup dan peradaban manusia.
Agama yang dewasa pada intinya adalah agama yang mampu mengharmoniskan, mampu menyeimbangkan segi rasionalitas dengan perasaan, segi batin dengan ekspresi lahiriah, keheningan soliter dengan kolektivitas komunal. Yang batiniah, yang rasional, dan yang soliter dalam pengalaman beragama ini menurut Whitehead tidak akan menjadikan orang beriman individualistis atau egoistis. Justru sebaliknya. Pengalaman batiniah, rasionalitas, dan keheningan soliter itu akan menumbuhkan apa yang oleh Whitehead disebut sebagai “world loyalty”, yakni loyalitas yang tidak hanya tertuju kepada keluarga, puak, suku, ras, atau “umat” sendiri, melainkan merengkuh seluruh manusia, bahkan seluruh alam semesta. Para penyair berbicara tentang “peak experience” dan “epiphany”. Yang pertama muncul ketika kita merasa tubuh kita menyatu dengan alam yang mahaluas. Yang kedua muncul ketika kita menyadari pikiran kita menyatu dengan alam yang mahaluas.
Jadi, konsep Whitehead tentang “agama” dalam perkembangannya yang dewasa, boleh dikatakan merupakan jalan tengah di antara pandangan yang menekankan individu di satu pihak dan pandangan yang menekankan komunitas di pihak lain. Para pemikir semisal William James, Friedrich Schleimacher, dan Rudolf Otto memberi penekanan kuat pada segi perasaan dari pengalaman religius. Bagi mereka, agama lebih merupakan penghayatan pribadi. Sebaliknya, Max Weber dan Emile Durkheim memberi garis bawah tebal pada ritus, institusi, dan kesaksian iman. Bagi mereka ini, agama lebih merupakan gejala sosial. Whitehead menyadari bahwa kedua hal tersebut sama-sama berperanan. Satu sama lain saling memengaruhi.
M Iqbal Dawami,
Staf pengajar STIS Magelang
Filsafat Ketuhanan Whitehead
Katagori :
agama,
artikel resensi,
buku,
buku bagus,
buku resensi,
non fiksi,
penerbit buku,
resensi buku,
ulasan buku
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar