Bordir - Marjane Satrapi

Photobucket - Video and Image Hosting

Embroideries
Novel Grafis
Marjane Satrapi
Alih Bahasa: Tanti Lesmana
Gramedia Pustaka Utama
Dewasa
Bahasa
136 halaman
19 cm


“membicarakan orang di belakang punggung mereka berguna untuk melepaskan unek-unek’


Membicarakan orang, itulah rutinitas Marji dan neneknya dan teman-teman neneknya disaat acara samovar siang sampai malam tiba. Dari ritual samovar itu mengalirlah cerita-cerita (atau lebih pasnya disebut acara ngegosip) yang menarik seputar perempuan dalam hubungan dengan lelaki, khususnya perempuan-perempuan timur tengah lebih tepatnya Iran, yang dari luar tampak ‘aku baik-baik saja’ tetapi ternyata menyimpan segudang kejutan, yang mengalir begitu saja sampai tak terasa setiap halaman sudah selesai saya cubiti.


‘Kau harus sangat berhati-hati dalam memilih calon suami. Jangan menikah mengandalkan hatimu, pakai otakmu’

‘Jangan dengarkan dia! Kau mesti menikah dengan orang yg kaucintai. Aku menikah karena dijodohkan. Akibatnya? Aku tidak pernah tahu arti cinta, sebab cinta adalah lawan akal sehat.’

‘Pernikahan itu seperti main judi; kadang-kadang menang, seringkali kalah. Meski kau sangat mencintai pasanganmu, belum tentu hasilnya selalu bagus.’

‘Ya tapi sementara menunggu pernikahan itu memburuk, kau bisa merasakan kebahagian’

‘Tidak ada gunanya menikah!’


Segar penuh kontroversial, begitulah kiranya kesan saya terhadap novel grafis dewasa karya Marji, atau Marjane Satrapi ini, seorang perempuan kelahiran Iran yang tinggal di Paris. Bisa saja cerita novel setebal 136 halaman ini diilhami oleh kisah kehidupan pribadi sang penulis, karena nama tokohnya seolah-olah memakai nama keluarga Marjane sendiri.

‘...kau sadar, tidak? Pakaian-pakaian kotornya, pakaian dalamnya yang menjijikan, urusan menyetrika sehari-hari, napasnya yang bau, wasirnya yang kadang-kadang kumat, batuk pileknya, belum lagi suasana hatinya kalau sedang buruk..dan marah-marahnya...semua itu untuk istrinya. Saat laki-laki sudah beristri mendatangi pacar gelapnya... pakaiannya selalu licin dan rapi, giginya putih cemerlang, napasnya wangi..suasana hatinya selalu bagus, dia senang bercakap-cakap, dia akan bilang padamu: kau cantik dan cerdas..bersamamu aku tidak pernah bosan...kau luar biasa...mutiara yang langka....dia datang untuk bersenag-senang denganmu’



Dikemas dengan gambar sederhana berwarna hitam putih dan mengena, novel ini tetap mudah dinikmati. Marjane dengan mudahnya membuat saya terhibur, cekikikan sendiri membacanya.


‘Aku bisa mengerti kau menangisi perhiasan-perhiasanmu. Tidak setiap hari kau diberi hadiah emas berkilo-kilo. Tapi mengenai keperawananmu.. berhubung kau sudah menikah dan bercerai, wajar saja kau tidak perawan lagi! Sekarang kau bisa bercinta dng siapa pun yg kau inginkan, dan tidak bakal ada yang tahu! Kan tidak ada meteran di bawah sini!’


Selebihnya baca sendiri aja deh...dijamin, terbengong-bengong, senyum senyum, ketawa-ketiwi, dan cekikikan gak jelas...


Image hosted by Photobucket.com

lintasberita

Lanjut Baca

Ikal, si Pencemburu Buta

Koran Jakarta, Kamis, 15 Juli 2010

Judul : Padang Bulan
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang
Tahun : I, Juni 2010
Tebal : 254 halaman
Harga : Rp76.500

Kesan pertama yang saya dapatkan setelah membaca novel Padang Bulan (2010) ini adalah kecerdasan sang pengarang, Andrea Hirata, dalam meramu mozaik hidupnya menjadi sebuah novel.

Novel ini dibuka dengan kisah Enong. Enong adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ayahnya adalah buruh timah bernama Zamzami. Enong masih duduk di kelas enam SD. Ia senang sekali dengan pelajaran bahasa Inggris. Kelak, ia ingin menjadi guru bahasa Inggris.

Namun, suatu ketika ayahnya meninggal karena tertimbun tanah saat bekerja di tambang timah. Ekonomi keluarganya menjadi rapuh. Akhirnya, ia drop out dari SD. Ia harus menghidupi keluarganya.

Novel ini kemudian bergulir ke kisah Ikal yang berusaha mengejar cinta sejatinya, A Ling. Ayah Ikal sebetulnya melarang untuk mendekati gadis keturunan Tionghoa itu.

Tapi Ikal tidak menurut. Ia malah hendak melarikan A Ling ke Jakarta. Ya, mereka hendak backstreet atau kawin lari. Begitulah kira-kira dalam benak Ikal. Ia lakukan itu lantaran hubungannya tidak direstui orang tuanya. A Ling ternyata tidak ada di rumahnya.

Kata tetangganya, ada seorang pria menjemputnya dengan sepeda. Kontan, ia cemburu. Sangat cemburu. Siapa gerangan lelaki itu yang beraniberaninya mencoba merebut kekasihnya? Ia pun meminta bantuan M Nur, detektif (-detektifan). Sang detektif memberi tahu bahwa laki-laki itu bernama Zinar, calon suami A Ling.

Setelah mengetahui orangnya, Ikal tibatiba menjadi minder dan mengamini hubungan mereka. Betapa tidak, dari segi fi sik ia sangat kalah. Tampan dan tinggi seperti Chow Yun Fat, aktor film China. Lelaki itu terkenal juga dalam kejuaraan catur, tenis meja, voli, dan sepak bola pada 17 Agustus-an.

Ikal putus asa. Ia pun berniat mencari pekerjaan ke Jakarta. Namun, tepat sebelum nakhoda kapal mengangkat sauh, Ikal berubah pikiran. Tiba-tiba ia mendapat ilham. Dalam rangka mendapat simpati A Ling, ia akan mengalahkan Zinar pada perlombaan Agustus-an kelak.

Ia harus mengalahkan Zinar dalam tanding catur. Via Internet, Ikal belajar catur pada temannya, Ninochka Stronovsky, asal Georgia. Dia adalah teman Ikal ketika ia sekolah di Universitas Sorbonne. Tapi, sayang, dalam pertandingan, Ikal kalah sama Zinar.

Kemudian Ikal menantangnya dalam lomba tenis meja. Ia merasa percaya diri dalam cabang olah raga itu karena sejak dulu ia sudah mahir. Pada saat pertandingan, Ikal ternyata kalah lihai dengan Zinar. Walhasil, Ikal kalah telak. Terakhir adalah sepak bola.

Tapi, sayang, ia hanya menjadi cadangan dan tidak pernah dimainkan. Ikal pasrah dan putus asa. Ia mengalami demam. Ia meratapi nasibnya. Namun, suatu ketika ia menemukan brosur iklan yang menawarkan alat peninggi badan. Ia senang bukan main. Paling tidak, pikirnya, dari segi postur dirinya sama dengan Zinar. Ia pun memesan alat tersebut.

Tapi, nahas, tatkala alatnya dipakai, malah membuat ia sekarat akibat kesalahan teknis. Alat itu menjerat lehernya, dan terlihat akan gantung diri. Untunglah bisa diselamatkan.

Di akhir novel ini, terbongkarlah misteri A Ling dan Zinar yang sebenarnya, yang membuat Ikal senang bukan kepalang. Membaca novel ini, kita serasa berada di tengah-tengah para tokohnya.

Melalui novel ini, Andera Hirata semakin meneguhkan dirinya menjadi seorang novelis yang mengangkat budaya masyakarat Indonesia, khususnya budaya Melayu di tanah Belitung.[]

Peresensi adalah M Iqbal Dawami, pencinta buku. Aktif di Kere Hore Jungle Tracker Community

lintasberita

Lanjut Baca

Melatih Harta Nirwujud

Judul: Myelin; Mobilisasi Intangibles Menjadi Kekuatan Perubahan
Penulis: Rhenald Kasali
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetak: I, Maret 2010
Tebal: 346 hlm (termasuk indeks)
=======================

Aset atau kekayaan selalu dipersuasikan pada sesuatu yang berwujud (tangibles). Baik itu barang, materi (uang), bangunan, fasilitas, maupun yang lainnya.
Pandangan hidup seperti itu sangatlah rapuh dan mudah goyah. Apabila anda mempunyai perusahaan, maka perusahaan anda akan rapuh, lantaran anda hanya fokus pada aset-aset yang kasat mata. Sementara aset-aset yang tidak kasat mata (intangibles) justru terlupakan. 



Sejatinya, aset-aset yang tidak kasat mata sama pentingnya dengan aset-aset kasat mata. Para entrepeneur atau wirausaha sebaiknya jangan tersesat dalam perangkat tangibles. Demikian ditulis Rhenald Kasali dalam buku terbarunya yang berjudul Myelin; Mobilisasi Intangibles Menjadi Kekuatan Perubahan (2010). Buku ini merupakan rangkaian dari buku tentang perubahan (Change!) yang pernah ditulis Rhenald sebelumnya, yaitu Change (2004), Recode Your Change DNA (2007), dan Mutasi DNA Powerhouse (2008).

Rhenald Kasali, pakar bisnis dan Ketua Program Pasca Sarjana Ilmu Manajemen FE-UI, melakukan riset sepanjang 2009. Hasil temuannya adalah bahwa ada kesalahan mendasar yang telah kita lakukan dan masih terus kita diamkan dalam mengisi diri kita, anak-anak didik kita, karyawan, dan para eksekutif. Kesalahan itu menyangkut soal memory. Penelitiannya ia jabarkan dalam buku ini.

Kita telah memberi singgasana terhormat hanya pada suatu memory saja, yaitu brain memory. Ujar Rhenald. Brain memory adalah sebuah sistem dan pengatur informasi yang sangat vital dalam kehidupan manusia. Namun temuan-temuan terbaru dalam ilmu biologi menunjukkan ada memori lain yang tak kalah penting, yaitu muscle memory yang terletak di seluruh jaringan otot kita. Brain memory terbentuk dari pengetahuan, sedangkan muscle memory terbentuk karena latihan.

Muscle memory itulah yang Rhenald maksud sebagai Myelin. Myelin adalah sumber dari segala talenta yang dibentuk melalui deep practice. Myelin tersebar merata dalam bentuk sistem syaraf pada otot-otot kita yang memberi perintah dan menyimpan informasi. Inilah konsep yang mendapat perhatian besar para ahli biologi sel.

Konsep ini sangat penting untuk menjelaskan bagaimana manusia, lembaga, dan perusahaan menghasilkan serta memupuk intangibles-nya. Setiap kali manusia mengulangi gerakan-gerakannya dan terlibat dalam suatu latihan fisik, mereka akan membentuk Myelin. Myelin itu seperti insulasi yang membungkus arus listrik. Ia berfungsi sebagai broadband alami yang kekuatan dan kapabilitasnya ditentukan oleh lapisan insulasi di bagian luarnya.

Intangibles adalah ruh anda, ruh usaha anda. Seperti ruh yang ada pada jiwa kita, ia tidak terlihat, tidak berwujud. Ia tidak tampak secara fisik seperti kepala, tangan, atau kaki kita. Ia juga bukan aset seperti mobil, rumah, gedung, atau tanah yang selalu dianggap sebagai ukuran kekayaan manusia. Dalam bidang kebudayaan, di kalangan kesenian dan kepariwisataan, ia disebut harta tak benda. Dalam ilmu manajemen ia biasa disebut harta nirwujud.

Perusahaan yang stagnan berfokus pada harta-harta fisik, yaitu kekayaan-kekayaan yang kasatmata (tangibles); sedangkan, perusahaan yang progresif memobilisasi harta-harta nirwujud. Harta benda berwujud menjadi miliki pemegang saham, sedangkan harta nirwujud atau harta-harta tak kasatmata atau intangibles melekat pada manusia di dalam maupun di luar perusahaan.

Buku ini memaparkan intangibles secara mendalam pada dua perusahaan, yaitu Blue Bird dan PT. Wijaya Karya (WIKA). Di Blue Bird diperlihatkan bagaimana Myelin berkembang dalam bentuk pelayanan kepada pelanggan dan tata nilai (kejujuran). Sementara itu di WIKA, Myelin bekerja mulai utak-atik mesin menjadi keterampilan membuat segala peralatan teknologi energi, mulai dari energi listrik, matahari, hydro, sampai bahan bakar batu bara.

WIKA juga membuat tiang listrik sampai membuat tiang pancang dan dikenal sebagai ahli beton. Di WIKA dikenal Myelin kedisiplinan dan kerapian. Berkat Myelin itulah mereka mampu mengelola usaha EPC yang menuntut keahlian yang utuh mulai dari mendesain, membangun, mengombinasikan teknologi sampai menjalankan pabrik. Mereka bukan hanya ahli membangun tapi juga membangun output performance-nya. Saat memasuki dunia internasional mereka sekali lagi melatih diri membangun Myelin baru, tahan bekerja dengan speed tinggi di udara terbuka yang cuacanya ekstrem.

Rhenald juga membuktikan bahwa kehebatan seseorang tidak harus dicapai dengan IQ tinggi. Raihan sukses dapat dapat dilakukan oleh orang biasa-biasa saja namun mempunyai Myelin. Ia selalu berlatih setiap waktu atas apa yang diimpikannya sehingga menjadi bagian dari hidupnya. Lihatlah Brazil yang tidak pernah putus melahirkan mahabintang dalam jagat mengolah si kulit bundar. Sesuai dengan pengamatannya langsung ke Brazil, Rhenald mengatakan bahwa pesepakbola profesional di Brazil bermain bola sepanjang 8 jam perhari. Sementara untuk masyarakat biasa setidaknya bermain sepak bola 2 jam per hari.

Myelin atau Muscle memory dapat dibangun di dunia kesenian, olahraga, akademis, dan tentu saja di dunia usaha. Sungguh, buku ini patut dibaca oleh direktur, pengusaha, olahragawan, dan siapa saja yang menginginkan perubahan dalam hidupnya.

Tidak hanya WIKA dan Blue Bird saja yang dijadikan sampel perusahaan yang memiliki intangibles di dalam buku ini (meski kedua perusahaan tersebut mendominasi), kita juga akan menjumpai Toyota, Adira, Dexa, ISS, Bank Mandiri, Merck, dan perusahaan-perusahaan besar lainnya.

Selain perusahaan, Rhenald juga menilik kesuksesan personal yang disebabkan oleh Myelin atau intangibles-nya, seperti Susan Boyle (artis tua bersuara emas), Pele (legenda sepak bola dunia), Se Ri Pek (pegolf perempuan Korea Selatan), Richard Branson (pemilik Virgin Group Companies, yang menyediakan jasa tur ke angkasa), dan masih banyak lagi.[]

M Iqbal Dawami, pengusaha penetasan bebek, pencinta buku, aktif di “Kere Hore Jungle Tracker Community” Yogyakarta


lintasberita

Lanjut Baca

Menyegarkan Kembali Kritik Sastra Indonesia


Judul: Darah-Daging Sastra Indonesia
Penulis: Damhuri Muhammad
Penerbit: Jalasutra
Cetakan: I, Maret 2010
Tebal: 166 hlm.


Diakui atau tidak, kemunculan kritik sastra dengan karya sastra sangat tidak berimbang. Tidaklah berlebihan apabila ada yang mengatakan kalau beberapa tahun belakangan ini telah terjadi krisis kritik sastra, ketimbang karya sastra. Karya sastra hari demi hari terus mewabah tak kenal musim, sedang kritik sastra sebaliknya, muncul dalam rentang waktu yang lama.

Oleh karena itu, hadirnya buku ini sangat penting dalam konteks kekosongan buku-buku kritik sastra (Indonesia), terlebih yang ditulis oleh penulis Indonesia. Buku berjudul Darah-Daging Sastra Indonesia karya Damhuri Muhammad ini berisikan apresiasi atas karya-karya sastra (Indonesia) yang telah dipublikasikan (hanya ada 3 esai yang tidak dipublikasikan) di media cetak, baik itu novel, cerpen, maupun puisi. Buku ini mengemas 38 esai yang terbagi dalam empat bagian.

Bagian pertama, berjudul Sastra Indonesia, Mau Ke Mana? Pembahasan dalam bab ini menyoal, misalnya, dari mana akar sastra Indonesia? Damhuri mencoba menelisiknya sembari mengutip dari beberapa sastrawan, di antaranya Maman S. Mahayana, bahwa akar sastra Indonesia adalah “sastra etnik”. Jelajah tematik dan eksplorasi estetik para sastrawan tak lepas dari latar etnik yang melahirkan dan membesarkan mereka.

Sebut saja, misalnya, “Tokoh Ajo Sidi dalam cerpen Robohnya Surau Kami (AA Navis) yang tak lepas dari kultur Minang. Demikian pula yang dilakukan Chairul Harun (Warisan, 1979), Darman Moenir (Bako, 1983), dan Wisran Hadi (Orang-Orang Blanti, 2000). Eksplorasi kultur etnik adalah peluang yang menjanjikan lahan berlimpah. Tengok pula Arswendo Atmowiloto (Canting, 1986), Ahmad Tohari (Ronggeng Dukuh Paruk, 1982), dan Umar Kayam (Para Priyayi, 1992), beberapa pengarang yang menggauli kultur Jawa dengan amat cerdas.” Ujar Damhuri Muhammad. (hlm. 5)

Dari fakta di atas, Damhuri hendak membuktikan bahwa sastra Indonesia tidak melulu dikaitkan dan dipengaruhi oleh sastra Barat yang selalu kita agung-agungkan dan gaung-gaungkan. Oleh karena itu, Damhuri menegaskan pentingnya sejarah sastra. Sebab, hanya dengan pelacakan dan penulisan sejarahlah dapat diformulasikan sebuah konsep sastra Indonesia yang beridentitas, kokoh, orisinal.
Esai-esai pada bab ini mengangkat kembali diskursus sastra Indonesia yang beberapa tahun belakangan hangat dibicarakan.

Bagian kedua, berjudul Lelaku Kepengarangan. Di dalamnya membincangkan tentang kepengarangan seseorang yang dikaitkan dengan karyanya masing-masing. Misalnya, prihal Prosa Pasca Bencana. Damhuri mengkritik para pengarang yang menggunakan bencana sebagai stamina kepengarangannya. Para novelis begitu menyala-nyala selepas bencana melanda Indonesia.

Salah satunya adalah bencana tsunami di Aceh. Banyak peluncuran buku-buku sastra semisal puisi, cerpen, dan novel yang terbit lantaran luka akibat musibah tsunami di Aceh. Dan banyak pula para penyair “karbitan”, yang tiba-tiba muncul dalam sebuah “proyek” antologi puisi tsunami. Fenomena itu dikritik pula oleh Radhar Panca Dahana yang mengatakan sastrawan seperti itu seperti gadis pesolek yang segera ke salon begitu ada warna rambur terbaru. Begitu mudahnya kesenian tenggelam dalam satu isu yang sedang panas.

Hal lain yang menarik dalam bab ini adalah perihal novel Ayat-Ayat Cinta (AAC) karya Habiburrahman El-Shirazy. Penjualan novel AAC bisa menembus lebih dari 400.000 eksemplar. Fenomena itu dimanfaatkan para penulis lain (kongsi dengan penerbitnya) untuk mendompleng dan mengekor novel AAC, baik dari segi pengisahan, judul, kaver, maupun nama pengarangnya. Salah satunya, kata Damhuri, novel Bait-Bait Cinta (2008) karya Geidurrahman El Mishry. Novel ini dari segi pengisahan memang berbeda dengan AAC, bahkan menjadi wacana tandingan AAC. Tapi, dari segi nama pengarangnya masih mengekor pada AAC, Geidurrahman El Mishry (mirip dengan Habiburrahman El Mishry). “Semestinya, pengarang berani memosisikan novel ini sebagai karya yang mampu tegak di atas kaki sendiri, tak haarus terjangkiti oleh Sindrom Ayat-Ayat Cinta.” Ujar Damhuri (hlm. 78).

Bagian ketiga tentang Rekam Jejak Cerpen, yaitu menyoal cerpen-cerpen yang ditulis oleh penulis Indonesia. Salah satunya adalah persoalan teks cerpen yang diposisikan sebagai berita atau kabar. Jadi, cerpenis adalah seorang “juru kabar” layaknya wartawan, namun perbedaannya, ia mengabarkan sesuatu (baik atau buruk) dengan estetika. Kabar petaka, bilamana penyampaiannya dikemas dengan bahasa yang teduh, sejuk, dan memukau boleh jadi tetap (seolah-olah) terdengar seperti ‘kabar baik’.
Sebaliknya, kabar gembira bila medium pengabarannya cacat dan tak memadai bisa saja tersiar seperti kabar buruk (hlm. 121). Seorang cerpenis harus mampu mengisahkan “kabar”nya dengan apik, tanpa terjebak pada simbolisme, realisme, seperti yang dilakukan para wartawan.

Saya kira teknik pengisahan itulah yang menjadi media komunikasi seorang cerpenis atas pembacanya, sehingga pembaca dapat menikmatinya. Walau serupa membincangkan sastra secara umum, tapi dunia cerpen Indonesia cukup banyak dibicarakan dalam bagian ini.

Pada bagian keempat, perihal Estetika Puisi. Pembaca akan disuguhi proses kreatif para penulis sastra dalam menciptakan percikan-percikan ide yang memiliki nilai estetika puisi. Di dalam bab ini, pembicaraan tentang kesaksian kreatif berpuisi dalam memahami warna lokal sastra, latar sosial, dan religi dalam karya sastra juga mendapat tempat. Dibanding dengan bab-bab sebelumnya, bab ini sangatlah sedikit porsinya. Boleh jadi hal ini menandakan bahwa sang penulis memang kurang berminat untuk mengkritisi dan mengapresiasi puisi ketimbang novel dan cerpen.

Walhasil, buku ini mampu memperlihatkan isu-isu dunia sastra Indonesia dan makna yang terkandung dalam suatu karya sastra Indonesia. Menurut Budi Darma, kritik yang baik adalah kritik yang bisa membangkitkan siklus mencipta: karya sastra bisa melahirkan kritik, dan kritik bisa merangsang sebuah karya baru. Tak berlebihan, kiranya buku ini bisa dimasukkan dalam konteks itu.

Buku ini patut dijadikan referensi bagi peminat dunia sastra Indonesia, karena akan menyegarkan dahaga kita yang selama ini mengalami kekurangan kritik sastra.[]

M. Iqbal Dawami, penikmat teh, gogodoh, dan sastra.

lintasberita

Lanjut Baca

Saya Terbakar Amarah Sendirian-Andre Vltchek & Rossie Indira


Saya Terbakar Amarah Sendirian
Pramoedya Ananta Toer dalam perbincangan dengan Andre Vltchek & Rossie Indira
Andre Vltchek dan Rossie Indira
KPG
Cetakan Pertama, Januari 2006
Bahasa
131 halaman
Soft Cover

Jawanisme adalah taat dan setiap kepada atasan, yang pada akhirnya menjurus kepada fasisme. Kita namakan fasisme jawa saja ya, dan sistem ini tumbuh dan berkembang dengan sangat subur pada masa Soeharto’

‘Bukan, saya bukan Marxis, tapi “Pramis” (tertawa). Saya tidak pernah menganut suatu ajaran apapun, saya hanya mengikuti ajaran saya sendiri. Belajar dari pengalaman hidup sendiri. Tapi saya percaya pada keadilan dan kesetaraan sosial’





Pramis! Sungguh suatu ajaran yang tidak biasa, kontroversial untuk pemikiran saya. Ketidaksukaan Pram akan jawanisme-walau Pram orang jawa-budaya yang menganut paham ‘apa kata’ atasan. Indonesia yang tidak memiliki budaya tradisional. Dan kekecewaannya terhadap tuhan membuat Pram tidak percaya lagi akan Tuhan, penderitaannya selama menjadi tapol. Semua tertuang dengan gamblang, lugas, tanpa tedeng aling-aling oleh bung Pram sendiri di buku ini.

‘kebudayaan Indonesia yang kaya? Omong kosong, saya tidak setuju! Kebudayaan Indonesia sangatlah miskin. Mana yang disebut budaya Indonesia? Budaya Indonesia yang sebenarnya belum lahir’

‘menurut saya, agama hanya mengajarkan orang untuk mengemis, karena berdoa kan sama saja dengan mengemis, tapi mungkin akan banyak orang yang tersinggung dengan pandangan saya ini’

Ditulis oleh Andre Vltchek, orang Amerika, penulis, analis politik dan pembuat film asal amerika, dan Rossie Indira, seorang arsitek yang juga seorang penulis di harian The Jakarta Post dan Gatra.
Buku ini hampir menguak semua misteri yang terjadi di tahun 1965 dan menjawab semua pertanyaan yang ada dipikiran saya tentang kisah penulis terbesar Indonesia, Bung Pram, tetapi juga sekaligus menimbulkan pertanyaan baru yang ingin saya tanyakan pada beliau, hanya sayang...banyak sayang...

‘ sampai sekarang, setiap malam mimpi saya buruk terus. Saya akan sangat senang kalau semalam saja tidak mimpi buruk. Mimpi buruk ini bisa dalam berbagai bentuk. Kadang saya sedang diuber-uber militer, kadang saya sedang dianiaya. Bentuk mimpi yang tidak terlalu buruk adalah dalam bentuk kerja paksa. Tapi semua ini tidak pernah hilang’

Sungguh memilukan kisahnya, pantas saja Bung Pram memiliki hobi membakar sampah setiap paginya. Buku ini membuka satu lagi mata hati saya.

‘tapi kalau saya berpikir tentang Indonesia, saya merasa kebakaran sendiri, dan hal ini tidak pernah hilang’

Image hosted by Photobucket.com

lintasberita

Lanjut Baca

Cerita Pendek Tentang Cerita Cinta Pendek - Djenar Maesa Ayu


Cerita Pendek Tentang Cerita Cinta Pendek
Kumpulan Cerpen
Djenar Maesa Ayu
Gramedia Pustaka Utama
Bahasa
Cetakan Kedua; Januari 2006
117 halaman
Soft cover

Tiap malam ia menempelkan telinganya lekat-lekat ke dinding. Bulu-bulunya merinding. Mengeras pula kedua puting. Dan jantung berdetak keras seperti orang yang pertama kali bungy jumping’

Kumpulan cerpen Cerita Pendek Tentang Cerita Pendek sebenarnya Djenar. Saya suka sekali dengan cara penulisan dan pemilihan kata. Hampir semuanya berirama dan tak terlihat itu disengaja, seolah begitu adanya, sama seperti judulnya, it rhymes.

Walau pun begitu, tema-tema yang diangkat dalam 16 cerpennya hampir semuanya bertemakan tentang cinta gelap. Suka tidaknya akan tema tentu bergantung pada selera. Jujur saya lebih suka pada ‘Mereka Bilang Saya Monyet’ dibandingkan dengan kumpulan cerpen Djenar kali ini. Memang sih sebelumnya sudah diperingatkan oleh penerbit,



PERINGATAN PENERBIT
Buku ini hanya untuk pembaca dewasa dan terlarang untuk pembaca yang merasa mengerti tentang cinta




Saya sudah dewasa belum juga tidak merasa mengerti akan cinta, akan tetapi tetap tidak membuat saya tergila-gila akan cerita di kumpulan cerpen Djenar kali ini.

Tapi sekali lagi yang perlu diingat, penulisan Djenar makin matang, dewasa dan keren banget gitu lhoh!!!

Image hosted by Photobucket.com
lintasberita

Lanjut Baca
 
Copyright (c) 2010 Buku Bagus by Dunia Belajar