Wali Songo Ternyata Para Sufi


Judul: Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi; Akar Tasawuf di Indonesia
Penulis: Alwi Shihab
Penerbit: Pustaka IIMaN
Cetakan: I, Juni 2009
Tebal: xxvi+343 hlm. (termasuk indeks)
------------------------------------

Para sejarawan dan peneliti bermufakat bahwa tasawuf adalah faktor terpenting bagi tersebarnya Islam secara luas di Asia Tenggara. Bahkan di Indonesia lebih dari itu. Islam yang pertama diperkenalkan di Jawa adalah Islam yang bercorak sufi. Alwi Shihab, dalam buku ini, hendak membuktikannya. Alwi memaparkan bahwa para pelopor dakwah Islam pertama di Indonesia berasal dari Arab, dari keturunan Imam Ahmad ibn ‘Isa al-Muhajir al-Alawi (cucu Imam Ja’far ash-Shadiq), seorang pendiri tarekat ‘alawiyah.

Menurut Alwi, Islam pertama kali masuk ke Nusantara pada abad pertama Hijriyah. Yakni, pada masa pedagang-pedagang sufi-Muslim Arab memasuki Cina lewat jalur laut bagian barat. Hal itu berdasarkan manuskrip Cina pada periode Dinasti Tang. Manuskrip Cina itu mensyaratkan adanya permukiman sufi-Arab di Cina. Cina yang dimaksudkan dalam manuskrip pada abad pertama Hijriyah itu tiada lain adalah gugusan pulau-pulau di Timur Jauh, termasuk Kepulauan Indonesia.

Pada abad ke-14 M ditandai dengan kedatangan tokoh-tokoh asyraf, keturunan Ali dan Fathimah binti Rasulullah Muhammad Saw. yang lazim dikenal dengan sebutan ‘alawiyyin. Pada periode ini, dakwah Islam berkembang sedemikian rupa sehingga dapat tersebar di seluruh penjuru Nusantara, bahkan di Asia Tenggara.

Para Wali Songo pun ternyata masih keturunan Imam Al-Muhajir. Kita tahu Wali Songo telah memberikan kontribusi terbesar bagi proses Islamisasi di wilayah Nusantara. Demi proses asimilasi dengan masyarakat Indonesia yang dialami keturunannya, mereka bersedia menghapus identitas kearabannya sehingga larut dalam struktur masyarat setempat. Hal ini terutama bermotif untuk mengamankan diri dari ancaman pengejaran penjajah Belanda atas tuduhan subversif sebagai pemicu gerakan kemerdekaan Indonesia. Mereka tidak memakai nama arab lagi, tetapi memakai nama Jawa atau Indonesia.

Wali Songo tidak dikenal sebagai sufi karena istilah itu belum populer di kalangan orang-orang Indonesia kecuali pada tahun-tahun belakangan. Di kalangan masyarakat umum istilah yang lebih dikenal adalah istilah “wali” yang dalam pengertian Indonesia tidak berbeda dengan konotasinya dalam bahasa arab. Ini membuktikan bahwa mereka sebenarnya adalah sufi.

Satu hal yang menjadi pertanyaan, mengapa mereka dapat dengan mudah diterima di tengah-tengah masyarakat Jawa? Alwi mengatakan bahwa Islam dalam corak sufi paling mampu memikat lapisan bawah, menengah dan bahkan bangsawan sekalipun. Sifat-sifat dan sikap kaum sufi lebih kompromis dan penuh kasih sayang. Tasawuf memang memiliki kecenderungan yang tumbuh dan berorientasi kosmopolitan, tak mempersoalkan perbedaan etnis, ras, bahasa, dan letak geografis.

Oleh mereka, idiom-idiom budaya lama (animis, Hindu, dan Budha) yang berkaitan dengan pandangan dunia (world view) berikut kosmologi, mitologi dan keyakinan takhayul diubah secara hati-hati. Wadah-wadah lama yang dipakai isinya diganti. Peninggalan kejeniusan masa silam masih bisa terlihat dalam upacara daur hidup, upacara desa dan semacamnya. Dalam upacara tersebut masih disediakan sesaji, tetapi doanya bukan untuk para "dewa-dewa" namun ditujukan sebagai permohonan kepada Allah, Tuhan Sang Maha Pencipta, dan sesajinya "biasanya berupa makanan" dimakan bersama-sama setelah memanjat doa.

Hal-hal di atas menunjukkan kearifan dan kemampuan mereka dalam memahami spirit Islam sehingga dapat berbicara sesuai dengan kapasitas para audiens-nya. Mereka melakukan modifikasi adat istiadat dan tradisi setempat sedemikian rupa agar tidak bertentangan dengan dasar-dasar Islam.

Ada hal yang menarik dari buku ini saat membahas tasawuf. Tasawuf di Indonesia terbagi dalam dua golongan, yaitu “tasawuf sunni” dan “tasawuf falsafi”. Dikatakan sebagai tasawuf sunni, karena mereka mengaku sebagai pengikut ahlussunnah wal jama’ah, di mana mereka banyak sekali mengambil ajaran-ajaran Al-Ghazali yang memang menjadi rujukan yang baku dalam pengajian-pengajian di pesantren. Ajaran Al-Gazhali ini tertuang dalam karya monumentalnya, Ihya ‘Ulumuddin. Kemudian, dilengkapi dengan dua karya lainnya, Minhajul ‘Abidin dan Bidayatul Hidayah.

Sedang tasawuf falsafi merujuk pada konsep tasawuf yang dihubungkan dengan mistisisme panteistik Ibnu Arabi. Ibnu Arabi dikenal ahli mistik Islam yang mengajarkan "kesatuan hamba dan Tuhan". Tasawuf falsafi merupakan perpaduan antara pencapaian pencerahan mistikal dan pemaparan secara rasional-filosofis.
Dalam perkembangannya penganut tasawuf sunni dan falsafi sempat mengalami konflik. Pada akhir abad ke-6 H bermunculan tarekat-tarekat yang sebagian besar mulai mengorientasikan pandangannya pada fiqih dan syari'at. Ar-Raniri, yang berada di sudut sunni menolak dan mencela tasawuf falsafinya Hamzah Fansuri, yang berada di sudut falsafi.

Tasawuf Sunni lebih banyak memberikan kontribusi dalam proses Islamisasi di Indonesia. Para pelopor dakwah itu menjabarkan ajaran-ajaran Islam dengan cara praktik dan keteladanan serta pengajaran yang lebih baik. Orientasi seperti ini jelas terikat oleh tradisi dan petunjuk-petunjuk Nabi Saw. Dan yang demikian adalah model pengajaran tasawuf Sunni yang diperkenalkan para da’i ‘Alawiyyin yang memotori proses Islamisasi di Nusantara sejak abad ke-13 M di Sumatra dan mengalami kemajuan pesat di Jawa pada abad ke-15 dan ke-16 dengan tokoh-tokoh sentralnya Wali Songo.

Buku ini boleh dikata sangat mumpuni dalam menelusuri dan memetakan sejarah tasawuf di Indonesia. Oleh karena itu, sangat layak dijadikan sumber “referensi utama” prihal seluk beluk tasawuf di Indonesia, khususnya, dan sejarah Islam di Indonesia, umumnya.[]

M. Iqbal Dawami, staf pengajar STIS Magelang
lintasberita

Lanjut Baca

Kearifan di Balik Musibah


Judul: Catatan Cinta Istri
Penulis: Sari Meutia
Penerbit: Lingkar Pena Kreativa
Cetakan: I, November 2009
Tebal: xxvii+166 hlm.

"Manusia yang paling berat ujiannya adalah para nabi, kemudian orang-orang saleh yang meneladaninya"(Muhammad SAW)

Terkadang apa yang kita yakini sebagai fase aman dalam hidup kita, mendadak kacau akibat musibah yang menimpa kita. Kehidupan yang sekian lama berjalan sesuai dengan harapan dan cita-cita, tiba-tiba menjadi sangat rentan. Harta, cinta, keluarga dan karier yang tertata sedemikian rapinya, semuanya bisa luput dari genggaman kita. Yang menjadi pertanyaan adalah apa gerangan sebab musabab di balik bencana yang datangnya sangat tak terduga? Sebuah teka-teki yang sangat menuntut kesadaran kita untuk menilik dan merenungkan kembali sepak terjang kehidupan kita.

Sari Meutia sangat tidak percaya kalau suaminya divonis Gagal Ginjal Terminal (GGT) nyaris tanpa aba-aba sebelumnya. Bagaimana mungkin orang yang sangat concern terhadap kesehatan dan terhadap apa yang diasupnya, baik makanan maupun minuman, bahkan menyukai olah raga renang, tiba-tiba mengidap sakit yang sangat kronis.

Fungsi ginjalnya diperkirakan tinggal 15-30 % sehingga diharuskan menjalani cuci darah seumur hidupnya. Meski begitu, Sari tidak serta merta menerima hasil lab yang ditunjukkan dokter padanya. Dia bahkan tidak ingin membenarkan vonis itu dan berharap ada kesalahan.

Berbagai referensi ia lacak. Teman, kerabat dan para dokter yang menyandang gelar professor spesialis ginjal dan hipertensi didatanginya demi mendapatkan sebuah titik terang. Namun pupus sudah harapan, karena hasil tes GFR (Gromerular Filtration Rate)—tes yang menggambarkan kecepatan ginjal membersihkan darah—menunjukkan angka 14,98 %, di mana ginjal kiri berfungsi 6 % dan ginjal kanan 8,98 %. Artinya, sangat tegas ada indikasi cuci darah atau cara lainnya yaitu melakukan operasi transplantasi (cangkok ginjal).

Ibarat bom atom jatuh dari langit. Nyaris semua rencana, harapan dan cita-cita, seperti runtuh seketika. Sari harus menerima vonis itu, meski menurutnya mustahil. Karena kejadian ini hanya berselang empat puluh hari sepulang mereka dari menjalankan ibadah haji. Ironisnya lagi suaminya tidak pernah sakit kurang lebih selama sepuluh tahun terakhir.

Bagaimana pun harus ada jalan keluar dari semua masalah ini. Sari tidak ingin suaminya harus menderita seumur hidup. Akhirnya, cangkok ginjal pun menjadi satu-satunya jalan yang harus ditempuhnya.

Setelah sempat sekali melakukan cuci darah, Sari membawa terbang suaminya ke negeri Cina. Sungguh perjuangan seorang istri yang tak tanggung-tanggung. Di samping harus tetap tegar, dan berusaha menjaga emosi positifnya, lalu menularkannya kepada suami, anak-anak dan keluarganya, bahwa seakan-akan tidak ada yang sakit dari keluarganya, Sari pun menanggung beban harus mengumpulkan dana yang sangat besar jumlahnya untuk biaya cangkok. Mengingat, operasi akan dilakukan di Cina dan waktu yang ada pun sangat mendesak.

Operasi pun dapat dibilang lancar. Ternyata, operasi cangkok ginjal di Cina sesederhana operasi usus buntu yang sering ditemui Sari dan suaminya. Akan tetapi puncak operasi justru pada pasca operasinya, yaitu masa-masa pemuliah. Dengan menguras tenaga dan emosinya, Sari terus bersabar menghadapi sang suami yang sering mengerang kesakitan, berhalusinasi, bahkan tak jarang, sering marah-marah padanya.dan, pada akhirnya, semuanya berhasil dilewati.

Buku ini merupakan sebuah catatan harian seorang istri di tengah kegalauan mendampingi suaminya yang mengalami gagal ginjal. Banyak alasan Sari menulis buku ini. Selain sangat bermanfaat bagi orang yang mengalami permasalahan ginjal—karena di dalamnya dipaparkan pula tentang panduan dan hal-hal penting seputar gejala dan cara-cara menyikapinya—Sari merasa harus mengungkapkan rasa syukurnya atas nikmat dan anugrah yang diberikan Tuhan selama ini. Tulisan dalam buku ini pun menjadi terapi yang mengingatkannya untuk terus bersyukur atas apa pun yang dialaminya dan ikhlas menjalani kehendak-Nya.

Pada akhirnya kehidupan memang tidak selamanya too good to be true, seperti halnya pengalaman penulis buku ini. Wanita yang menjadi salah satu pimpinan PT Mizan Media Utama (MMU) ini, dikenal sangat organized (teratur) dalam mengatur berbagai rencana hidupnya yang kehidupannya nyaris berjalan sesuai yang diharapkannya, pun tidak luput dari deraan yang datangnya sangat tiba-tiba. Semua pengalamannya seakan menggugah keterlenaan yang dirasakannya selama ini.

Kisah nyata yang dituturkan lewat buku ini pun mengandung hikmah yang sangat dalam dan dapat menjadi pelajaran berharga bagi siapa saja. Karena di balik setiap cobaan dan kejadian tentu ada peringatan dan pelajaran yang harus kita petik.

Setiap manusia pasti akanmengalami musibah. Tidak ada manusia yang bebas dari musibah. Oleh karena itu, hanya dengan kearifan kita akan sadar bahwa Tuhan sedang mengingatkan hamba-hamba-Nya. Setiap musibah yang terjadi adalah kehendakNya, tidak ada yang kebetulan. Karena boleh jadi, hal itu sebagai ujian untuk kenaikan derajat di mata Tuhan.[]

M. Iqbal Dawami
Pencinta buku, tinggal di Yogyakarta
lintasberita

Lanjut Baca

Cinta Sepanjang Hayat

Judul: Live Through This; Kekuatan Cinta Seorang Ibu
Penulis: Debra Gwartney
Penerjemah: Rahmani Astuti
Penerbit: Mahda Books
Cetakan: I, Agustus 2009
Tebal: 351 hlm.

-----------------------
Kemarahan para nabi itu seperti kemarahan para ibu,
Kemarahan yang dipenuhi kasih sayang bagi anaknya tercinta
Sebab tidak ada ibu yang memarahi anaknya hanya untuk mendapatkan kesenangan,
Melainkan untuk membantunya mengerti.
Akankah dia membiarkan anaknya berlumuran darah jika dia tidak tahu
Bahwa sedikit rasa sakit dapat mendatangkan kebaikan pada anak itu?
(Jalaluddin Rumi)

Siapakah yang selalu mengingat kita dalam doa panjangnya dan mengkhawatirkan kita pula di sepanjang waktu. Belaian kasih sayangnya begitu tulus mengiringi setiap jengkal langkah kita. Siapakah yang dalam malam - malam panjangnya setia menjaga dan terjaga untuk kita di kala kecil dulu. Dialah sang ibu yang segenap jiwa dan raganya ia baktikan demi kebahagiaan anak-anaknya. Inilah sebuah buku memoar yang berisikan lika-liku hidup dan perjuangan seorang ibu yang ingin menyelamatkan anak-anaknya dari kehidupan brutal di jalanan.

Seorang ibu dari empat putrid—Amanda, Stephanie, Mary, dan Mollie—menjadi single parent karena gagal mempertahankan keharmonisan pernikahannya. Ia bercerai dengan suaminya yang telah lama dikenal sebagai teman mahasiswa di masa-masa kuliah. Sejak itu sang ibu yang tak lain adalah penulis buku ini, harus mengambil alih semua tugas sebagai kepala keluarga sekaligus pencari nafkah untuk putri-putrinya.
Namun perceraiannya itu justru menyulut kemarahan dan pemberontakan dua putri sulungnya, Amanda dan Stephanie, gadis berumur 14 dan 12 tahun, yang nekad kabur dari rumah dan berkeliaran di jalanan. Mereka bergabung dengan para gelandangan yang memberi mereka kemudahan untuk mendapatkan bir, narkoba, tinta untuk tato, cat rambut dengan segala macam warna, dan sudut-sudut paling tepat untuk memperoleh uang dari orang tak dikenal.

Pada mulanya sang ibu mengira bahwa pemberontakan putrinya hanyalah bagian dari fase yang secepatnya akan berlalu dengan beberapa koreksi. Namun semakin lama mereka semakin dalam terlibat dengan kelompok-kelompok punk di kota-kota.
Malam demi malam Amanda dan Stephanie sudah tidak lagi pulang ke rumah. Mereka tidur dan tinggal di sudut-sudut kota yang disinggahinya. Melompat dari satu kereta ke kereta dan keluar-masuk distrik sampai ke kota Tenderloin di San Francisco, di mana narkoba lebih dekat dan amat mudah mereka dapatkan.

Bagaimana sang ibu harus berjuang menyelamatkan putri-putrinya dan membawa mereka kembali pulang ke rumah? Live Through This merupakan lukisan tentang usaha habis-habisan Gwartney untuk menemukan kembali putri-putrinya yang begitu dicintainya. Gwartney begitu lihai mengemas detail cerita di dalam buku ini menjadi episode-episode sejarah masa lalunya yang sarat dengan tantangan dan pengorbanan.

Sepanjang tahun-tahun kehilangan putrinya itu, ia tak henti-hentinya melakukan pencarian, menyisir jalan sampai menjelajahi tempat-tempat penampungan remaja dan kantor-kantor polisi dengan membawa foto mereka.

Di tengah kesibukannya karena tuntutan kerja, sang ibu tetap bertekad mencari Amanda dan Stephanie sampai ke pelosok-pelosok negeri mana pun. Berbagai terapi dan metode ia jalankan. Karena kekhawatiran terus menyergapnya. Bagaimana pun ia tak akan pernah bisa membiarkan putri-putrinya menderita di luar sana. Dan bagaimana pun juga ia tak akan pernah membiarkan putrinya kena pukul, ditusuk, disayat, diperkosa, atau pun dibunuh di luar sana.

Buku ini menjadi gambaran nyata cinta kasih seorang ibu kepada anak-anaknya. Ibulah yang setiap saat selalu memastikan rasa aman bagi anak-anaknya, menanyakan keberadaan anak-anaknya setiap kali jauh darinya. Akan tetapi di balik semua itu seorang anak kerap kali menyakiti hatinya, dan membiarkannya terlunta.

Oleh karenanya, buku ini ditulis sebagai persembahan untuk putri-putrinya yang pada akhirnya kembali menjalani hidup secara normal. Buku ini pun dapat menjadi pelecut bagi setiap anak yang begitu mudah mengabaikan cinta dan pengorbanannya. Dari sini pula, kita dapat belajar darinya tentang kegigihan, ketabahan, dan kesabaran seorang ibu. []

M. Iqbal Dawami, penikmat buku, tinggal di Yogyakarta
lintasberita

Lanjut Baca

Pelarian yang Membawa Manfaat

Judul: How the World Makes Love; Petualangan Keliling Dunia Sang Pecundang Cinta
Penulis: Franz Wisner
Penerbit: Serambi
Cetakan: I, 2009
Tebal: 496 hlm.
------------------

Kira-kira, apa yang anda lakukan ketika calon pasangan anda membatalkan untuk menikah dengan anda? Frustrasi? Stress? Bunuh diri? Atau Balas dendam? Tentu itu semua bukan cara yang positif. Alangkah hebatnya jika kekecewaan anda dijawantahkan kepada hal-hal positif nan manfaat. Seperti yang dilakukan Franz Wisner. Lantaran dicampakkan oleh calon istrinya yang telah dipacari selama 13 tahun, ia bertualang keliling dunia. Hebat bukan?

Buku ini adalah “oleh-oleh” yang kedua dari hasil petualangannya yang kedua pula. Petualangan periode pertama, diniatkan untuk mengobati luka hati akibat dicampakkan oleh calon istrinya itu, sedang petualangannya yang kedua ini hendak mempelajari lebih dalam kisah cinta dan perilaku-perilaku percintaan di negara-negara lain.

Ditemani adiknya, Franz bertualang ke Negara Brazil, India, Nikaragua, Republik Cheska, Mesir, Selandia Baru, dan Botswana. Tanpa alasan yang jelas mengapa dia memilih negara-negara itu.

Dalam meneliti Negara-negara di benua Eropa dan Amerika, seperti Brazil, Republik Cheska, dan Selandia Baru, Franz tidak begitu “sumringah” untuk melakukan identifikasi. Karena, prihal “percintaan” di sana hampir sama, di mana cinta selalu diidentikan dengan seks. Simpel dan praktis. Franz “hanya” menemukan kisah-kisah baru nan unik yang belum pernah didengar maupun dialami sebelumnya di negara-negara di luar benua eropa dan amerika.

Di India, misalnya, dia mendapatkan informasi bahwa segala urusan cinta dan pernikahan masih dimulai dan diakhiri oleh orangtua. Kebanyakan pernikahan di India merupakan hasil perjodohan, meskipun pasangan yang bersangkutan mendapatkan semakin banyak hak untuk berpendapat dalam hal ini, memperluas kesempatan untuk memveto atau menyarankan, dan waktu tambahan untuk berpacaran atau menjajaki hubungan sebelum mereka menikah.

Sedang di Botswana, sebuah negara di Afrika, Franz mengetahui kalau kita mengatakan kepada wanita bahwa dia gendut, berarti kita memberinya pujian besar. Kebanyakan pria justru menyukai wanita yang gendut untuk dijadikan istri, karena dianggap akan rajin mengurus rumah tangga. Dalam pikiran mereka, wanita yang kurus akan lebih mencintai tubuhnya daripada pasangannya.

Kalau anda ingin menikah dengan orang Botswana, anda akan memerlukan keluarga yang sangat dekat. Seorang abang atau sepupu yang bisa bernegosiasi akan dapat membantu. Yang lebih penting lagi adalah anda harus memerlukan hewan ternak berupa sapi. Di Botswana dan sebagian besar Afrika, sapi penting untuk pernikahan.

Selama berabad-abad, adat istiadat di sana mengharuskan mempelai pria menghadiahkan sekawanan kecil sapi kepada keluarga mempelai wanita sebagai simbol penghormatan karena mereka telah mengizinkan putri mereka dinikahi. Tradisi itu disebut bogadi atau lobala, sebagai cara untuk memperkuat ikatan antara kedua keluarga dan sebuah keharusan untuk berbagi kekayaan.

Lain halnya di Mesir, sebuah Negara yang berpenduduk mayoritas muslim. Franz mendapatkan budaya di sana jika ada seorang wanita yang tertangkap basah sedang memandangi pria akan dianggap sebagai wanita jalang dan dikecam oleh masyarakat di sekitarnya. Mayoritas wanita kelas menengah ke bawah di sana memakai cadar dan jubah. Franz bertanya-tanya dan begitu penasaran, bagaimana para pria memastikan wanita impiannya jika seluruh tubuh wanita itu tertutup cadar dan jubah?

Saat menanyakan hal itu, para pria Mesir mengatakan bahwa mereka bisa melihat kecantikan seorang wanita meski mengenakan jubah hitam yang menutupi seluruh tubuhnya. Pergelangan tangan dan kaki, kata mereka, menyembunyikan lekuk-lekuk yang tersembunyi. Dan mata mengungkapkan segalanya.

Sebagian pria Mesir memperhatikan bagian belakang pergelangan kaki wanita. Jika bentuknya bulat, berarti tubuhnya indah. Jika bentuknya lurus, berarti tubuhnya terlalu kurus. Pria dan wanita Mesir memandang kerampingan sebagai indikasi kemisikinan dan ketidakmampuan menghasilkan keturunan. Oleh karena itu, para wanita saling menyemangati untuk mengenakan pakaian berlapis-lapis dan makan lebih banyak agar badan mereka semakin gemuk.

Di perkampungan Mesir, masyarakatnya tidak mengenal istilah kencan. Mereka langsung menikah. Ajaran Islam benar-benar mereka pegang. Mereka sering mengutip Hadis Nabi, “Jika seorang pria yang beriman dan berkelakuan terpuji mendatangimu, nikahkanlah dia dengan putrimu.”

Bagaimana bisa? Franz benar-benar terperangah. Apakah tidak ada penyesalan yang akan datang di kemudian hari? Apakah yang terjadi jika mereka mendapati bahwa mereka tidak memiliki kesamaan?

Tidak masalah, kata orang Mesir. Itulah gunanya pertunangan. Bagi banyak orang Mesir, ini adalah Rencana B. Pertunangan hanyalah tahap pacaran resmi dengan selubung rencana pernikahan untuk mengurangi peluang kehilangan kehormatan bagi seorang wanita atau keluarganya.

Uniknya lagi, di Negara muslim ini, Franz menemukan bahwa prihal seks begitu terbuka.

Bagi siapa pun yang memikirkan tentang seks di dunia Muslim adalah bahwa banyak instruksi eksplisit dan dorongan. Tidak ada pesan tersembunyi di sini. Faktanya, sejarah telah membuktikan bahwa umat Muslim jauh lebih terbuka daripada orang-orang beragama lain tentang seks dan peranan yang selayaknya dipegangnya dalam masyarakat.

Buku hasil observasi ini begitu nikmat dibaca, karena dipaparkan dengan bahasa yang ringan, naratif, dan bertaburan humor. Selain itu, ia menyajikan kesimpulan hasil perjalanannya itu yang dapat kita ambil, di antaranya bahwa di seluruh dunia, nasihat pasangan yang awet ternyata sama: Komitmen, dan pengertian. Dan untuk mencapai hal itu butuh kerja keras. Kita cenderung menyembunyikan emosi di balik harta benda dan menampilkan kesan yang tidak akan dikecam oleh dunia kita. Sering kali, kita lebih mementingkan gaya hidup dari pada kehidupan di belakangnya.

Bagaimanakah akhir petualangan Franz Wisner? Pelajaran cinta apakah yang di dapatnya dari berbagai penjuru dunia? Lantas, berhasilkah dia menemukan cinta sejatinya? Temukan jawabannya dalam buku ini.[]

lintasberita

Lanjut Baca

Mentalitas Bangsa Pintar

Judul: Menjadi Bangsa Pintar
Penulis: Heppy Trenggono
Penerbit: Republika
Cetakan: I, Juli 2009
Tebal: 164 hlm.
--------------------

KETIKA Heppy Trenggono, penulis buku ini, pertama kali mengunjungi negara-negara Eropa—tepatnya di Belanda—sempat kaget dan kecewa luar biasa begitu tahu bahwa sebuah bangsa yang telah menjajah Indonesia selama beratus-ratus tahun ternyata hanyalah bangsa dari negara kecil yang memiliki wilayah sekitar 1/48 dari wilayah Indonesia, jumlah penduduknya hanya 9 juta jiwa dan luasnya hanya 41.526 km persegi.

“Mengapa bangsa Indonesia bisa dijajah oleh bangsa yang lebih kecil?” begitulah ia berujar dalam hati saat melihat negeri Belanda. Parahnya lagi, kesengsaraan bangsa Indonesia yang sejak sebelum kemerdekaan seolah-olah menjadi warisan turun temurun hingga saat ini. Dengan kata lain, meski Negara kita sudah merdeka, tapi kenyataannya kita masih saja terjajah tanpa disadari. Tidak hanya itu, warisan negatif dari penjajah juga terwariskan pada pribumi, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Sudah mafhum kalau bangsa Indonesia kaya dengan Sumber Daya Alam (SDA). Kekayaan alam Indoneia melimpah ruah. Luas wilayahnya yang mencapai hampir 2 juta km dari Sabang sampai Merauke itu sebagian besar tanahnya subur dan cocok untuk semua tanaman pangan.

Lautnya yang kaya dengan ikan terbentang seluas 2/3 luas wilayah Negara ini. Cadangan minyaknya diperkirakan mencapai lebih dari 45 miliar barel. Kekayaan batubaranya terbesar keempat di dunia. Timah nomor dua dunia. Dan masih banyak lainnya lagi.

Tapi, mengapa Indonesia masih saja terpuruk dan berjalan di tempat? Bahkan nyaris tertinggal jauh dari negara-negara yang berada di sekitarnya. Menurut Heppy Trenggono, ini adalah persoalan mentalitas. ‘Mentalitas’, lanjut Heppy, menjadi kata kunci yang membedakan antara bangsa-bangsa yang mampu meraih kejayaannya dan bangsa-bangsa yang tetap bertahan dalam keterpurukan, dalam hal ini adalah Indonesia.

Mentalitas bangsa Indonesia harus dibangun, di antaranya mentalitas pejuang, mentalitas pemenang, bangsa yang berbudi luhur, bangsa yang mampu bersaing, bangsa yang produktif. Dalam buku ini, mentalitas dari semua sisi itu mengkristal pada satu hal, yaitu menjadi bangsa pintar. Menjadi bangsa pintar inilah satu-satunya pilihan yang harus ditempuh untuk keluar dari keterpurukan dan meraih kejayaan Indonesia.

Heppy mengatakan bahwa kejayaan sebuah negara tidak ditentukan oleh seberapa berlimpah sumber daya alam yang dimiliki. Tidak juga ditentukan oleh seberapa luas wilayah yang dimiliki, tapi ditentukan oleh mentalitas bangsanya; apakah bangsa itu memiliki mentalitas pemenang atau pecundang, apakah memiliki mentalitas kaya ataukah mentalitas miskin, apakah memiliki mentalitas membangun atau mentalitas merusak, apakah memiliki mentalitas sebagai pekerja keras atau pemalas.

Coba kita lihat negara-negara lain. Jepang, misalnya. Pada Agustus 1945 Jepang mengalami kehancuran total setelah dua kota besarnya, Hiroshima dan Nagasaki, dibom oleh tentara sekutu.

Banyak pihak meyakini bahwa peristiwa itu sebagai akhir kejayaan Jepang. Namun kenyataan yang terjadi justru di luar perkiraan. Beberapa tahun kemudian, ternyata Jepang bangkit dari keterpurukan dan berubah menjadi Negara kuat dengan kemajuan industri melebihi kekuatan militernya pada perang dunia kedua. Sejak saat itu Jepang bangkit sampai sekarang.

Begitu juga dengan Swiss. Negeri ini dikenal sebagai Negara penghasil coklat terbaik di dunia. Padahal hanya 11 persen daratannya yang bisa ditanami. Uniknya lagi mereka tidak memiliki lahan yang tidak dapat ditanami coklat. Selain itu, Swiss juga mengolah susu dengan kualitas terbaik.

Malaysia adalah Negara paling dekat dengan Indonesia. Mentalitasnya sungguh luar biasa. Negara yang merdeka belakangan dari Indonesia ini sudah melesat sebagai Negara jaya. Nilai ekspor Malaysia saat ini mencapai 1,5 kali lebih besar dari Indonesia. Di sektor perkebunan, Malaysia telah mengubah sebagian besar lahan tidur yang tidak produktif menjadi area perkebunan kelapa sawit. Kawasan di sekitar bandara internasional Kuala Lumpur saja dikelilingi oleh perkebunan sawit.

Malaysia juga mengembangkan sektor pariwisata. Keyakinan dan spirit “Malaysia Trully Asia” mengidentifikasikan dirinya seolah-olah merupakan negeri yang mewakili Asia dalam sektor pelancongan tersebut. Malaysia kini mampu meraup tidak kurang dari 150 juta ringgit per tahun.

Menurut Heppy, selain belajar dari negara lain, Negara Indonesia juga harus membasmi mentalitas buruknya, yaitu korupsi dan hutang. Sudah menjadi rahasia umum bahwa korupsi di Indonesia tumbuh subur hampir di semua tempat. Secara horizontal, bila dahulu korupsi hanya terjadi di satu ranah kekuasaan (eksekutif) saja, kini korupsi juga ditemukan di lembaga legislatif dan yudikatif. Sedangkan secara vertikal, era otonomi daerah telah menggeser praktek korupsi dari korupsi terpusat (centralized corruption) menjadi korupsi terdesentralisasi (decentralized corruption).

Membangun mentalitas anti korupsi merupakan strategi preventif sekaligus kuratif terhadap kemungkinan lahir dan berkembangnya mentalitas korupsi yang menjadi cikal bakal korupsi. Perubahan mental perlu terus dilakukan dari waktu ke waktu.

Hutang ternyata menghambat tumbuhnya ekonomi dan mengakibatkan kontraksi belanja sosial dan merosotnya kesejahteraan rakyat, dan melebarnya kesenjangan sosial. Hutang juga mengakibatkan ketergantungan negara-negara dunia ke-3 pada modal asing.

Indonesia harus belajar pada Jepang. Jepang menjadi penghutang, karena membutuhkan pinjaman luar negeri untuk merekonstruksi pembangunan yang hancur akibat bom di Hiroshima dan Nagasaki. Namun Negara itu berkomitmen untuk berhenti berhutang. Pada 1961 mulai menyicil, periode 1975 melunasi hutang luar negeri, dan sejak 1977 jadi Negara donor terbesar di dunia.

Presiden Indonesia perlu belajar pada Presiden Venezuela, Hugo Chavez. Delapan tahun silam, segera setelah berkuasa pada 1999, Chavez telah membayar seluruh hutang Venezuela kepada IMF. Belum lama ini Venezuela juga telah melunasi hutangnya kepada Bank Dunia lima tahun lebih cepat dari waktu yang dijadwalkan. Venezuela kapok untuk berhutang lagi ke IMF dan Bank Dunia. Kini, Venezuela terus berkembang dengan melesat, tanpa ada beban hutang.

Walhasil, buku ini hendak mengatakan bahwa Indonesia memiliki semua modal yang diperlukan untuk menjadi bangsa jaya sebagaimana sekarang dicapai oleh bangsa-bangsa lain seperti Amerika, Inggris, China, Singapura, Malaysia, dan lain-lain. Kunci untuk mewujudkan kejayaan Indonesia adalah komitmen untuk menjadi bangsa pintar, baik dari aspek kepemimpinan maupun mentalitas bangsanya.[]

M. Iqbal Dawami
Pemilik blog http://buku-ok.blogspot.com

lintasberita

Lanjut Baca

Memburu Makna di Ruang Privat

Judul: Mengikat Makna Update
Penulis: Hernowo
Penerbit: Kaifa, Bandung
Cetakan: I, Oktober 2009
Tebal: xxxii+213 hal. (termasuk indeks)
--------------------------------------

AKTIVITAS membaca dan menulis adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Ibarat dua sisi mata uang. Kita dapat menulis suatu subjek akibat dari aktivitas membaca. Apa yang kita tulis adalah apa yang kita baca. Nah, dalam bahasa Hernowo, aktivitas baca-tulis ini disebut sebagai aktivitas “mengikat makna”. Akar dari hal ini diambil dari perkataan Ali bin Abi Thalib:"Ilmu itu seperti hewan buruan, maka ikatlah ia (dengan menuliskannya)."

Dalam jagad kepenulisan, nama Hernowo sudah tidak asing lagi. Buku hasil racikannya sudah melimpah ruah. Dan dapat dipastikan, konsep "mengikat makna" bisa ditemukan di semua karyanya. Dan karya-karyanya pun adalah hasil dari pengamalan konsep “mengikat makna.” Bahkan beberapa judul bukunya menggunakan kata-kata ini. Buku-buku Hernowo disukai pembaca karena mempunyai bahasa yang sederhana, ringan, dan mudah ditangkap maksudnya.

Hampir di semua bukunya ketika berbicara tentang membaca dan menulis, Hernowo selalu menekankan, bahwa menulis dan membaca bukanlah sebuah beban, apalagi hal membosankan, tapi aktivitas yang menyenangkan nan manfaat.

Konsep “mengikat makna” ditemukan atas dasar pengalaman pribadi Hernowo saat bergumul dengan kegiatan membaca. Ketika selesai membaca, tiba-tiba saja banyak materi yang diperolehnya. Agar materi tersebut tidak lupa, maka ia harus dituliskan. Itulah yang dimaksud mengikat makna. Maka, secara tidak langsung kegiatan “mengikat makna” kemudian memberikan sebuah kesadaran akan pentingnya melanjutkan kegiatan menulis usai menjalankan kegiatan membaca.

“Mengikat makna” menjadi sebuah proses penemuan diri bagi Hernowo, di mana dirinya tumbuh menjadi pribadi yang utuh dan unik. Dari seorang yang sering gagap dalam berbicara atau mengutarakan pendapat, menjadi seorang yang bisa menampilkan diri perlahan-lahan dan menemukan gaya-menulisnya.

Apa yang kita baca bisa jadi tidak menghasilkan apa-apa jika kemudian tidak ditulis (atau “diikat”). Sebaliknya, menulis memerlukan membaca karena membaca akan memudahkan kita mengeluarkan pikiran dan perasaan dengan bantuan kata-kata yang telah tersimpan di dalam diri kita. Lebih dari itu, proses membaca dan menulis adalah upaya menghimpun hikmah yang berserak menjadi referensi dalam memperkaya hidup dan kehidupan. Secara gamblang jabaran konsep mengikat makna dapat dibaca dalam bukunya Mengikat Makna (2001).

Lantas, apa perbedaan buku terdahulunya (Mengikat Makna,2001) dengan buku terbarunya Mengikat Makna Update (2009) ini yang sama-sama membahas konsep “mengikat makna”. Tak lain, buku ini merupakan pengembangan konsep “mengikat makna” dalam buku pertamanya. Dari pengertian “makna” tidak ada perbedaan dengan terdahulu. Hanya, pada yang pertama rujukan pengertiannya filosofis, sedang dalam buku ini tampak lebih praktis. Poin-poin mengikat makna sendiri ada empat pilar: Pertama, “mengikat makna” adalah kegiatan yang memadukan membaca dan menulis. Pilar pertama ini dianggap sebagai pilar yang paling pokok dan merupakan “nyawa” konsep “mengikat makna”.

Kedua, “mengikat makna” adalah kegiatan yang sangat personal atau benar-benar diupayakan agar melibatkan diri pribadi yang paling dalam (inner-self). Ketika seseorang ingin menjalankan kegiatan “mengikat makna”, dia harus menganggap bahwa dirinya sedang berada sendirian di muka bumi.

Ketiga, “mengikat makna” memerlukan kontinuitas dan konsistensi karena konsep ini adalah sebuah keterampilan sebagaimana memasak, menari, atau pun mengendarai mobil. Dengan melakukannya secara kontinu dan konsistenlah, seseorang akan merasakan manfaat luar biasa. Keempat, “mengikat makna” akan efektif jika menggunakan teknik membaca dan menulis yang berbasiskan cara kerja otak, yang oleh Hernowo sebut sebagai “brain based writing”. Teknik “brain based writing” sendiri sudah mencakup “reading”.

Namun di antara pengembangan dari keempat pilar di atas, yang paling penting dan bahkan inti dari buku ini adalah ada pada pengembangan pilar kedua, yaitu bahwa kegiatan “mengikat makna” perlu dilakukan di “ruang privat”.

Ruang privat yang dimaksud adalah sebuah tempat yang di dalam tempat itu hanya ada diri kita: sendirian. Secara hampir mutlak, yang mengendalikan ruang atau tempat ini adalah diri kita sendiri. Tidak ada yang dapat mencampuri ruang privat milik kita. Sesosok diri dapat melakukan apa saja di dalam ruang tersebut. Tidak ada orang lain, meskipun orang itu sangat kompeten dalam suatu bidang, yang boleh masuk ke ruang tersebut.

Dengan menulis di ruang “privat” itulah kita dapat mengeluarkan segenap “diri kita” yang sesungguhnya, karena tak ada yang menilai tulisan kita seperti apa dan apa pula yang kita tulis. Dengan cara itu, pembelajaran menulis akan efektif dan kita akan merasakan plong yang luar biasa.

“Ruang privat” inilah yang kerap digunakan Hernowo untuk “mengikat makna”. Efeknya luar biasa, dia menjadi keranjingan membaca dan kemudian menuliskan apa saja—untuk mendapatkan makna—karena “mengikat makna” benar-benar menyelamatkan dirinya dari
kebosanan membaca dan menulis.

Kita tahu bahwa membaca dan menulis adalah sebuah ketrampilan. Lewat “ruang privat” ini pula, Hernowo dapat menulis secara mencicil dan kontinu, sehingga dia dapat trampil dalam “mengikat makna”. Bagi kebanyakan orang, hal ini yang paling sulit. Harus diakui, untuk dapat menghasilkan tulisan yang baik perlu waktu. Bahkan, perlu memperkaya tulisannya dengan banyak membaca. Oleh sebab itu, menulis di “ruang privat” ini dapat membantu menampung “bahan-bahan” yang belum selesai.

Buku ini cocok sekali bagi siapa saja yang ingin belajar menulis bahkan yang sudah lama sekalipun berkecimpung dalam dunia baca-tulis. Buku Hernowo yang berbasis “privat” ini nampaknya selaras dengan apa yang dikatakan Virginia Woolf, penulis Inggris, bahwa cara terbaik untuk membaca adalah dengan menulis. Membaca bukan bagian terpisah dari menulis. Keduanya pembentuk jalan ke masa depan. Keduanya merupakan bagian yang memungkinkan perkembangan individual, pemikiran kritis yang independen, dan pembangkit kepekaan terhadap kemanusiaan. []

lintasberita

Lanjut Baca
 
Copyright (c) 2010 Buku Bagus by Dunia Belajar