“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah Istri Solehah.” (HR Muslim dan Ibnu Majah).
Sebagian besar dari kita pasti tahu perihal hadist yang satu ini, bahkan banyak pula yang mendambakan untuk mendapatkan (bagi laki-laki) dan menjadi (bagi perempuan) wanita solehah. Namun, satu hal yang pasti, untuk meraih ridho Allah bukanlah sesuatu yang mudah, walaupun bukan berarti tidak bisa.
Seringkali ketika dihadapkan dengan buku atau pembahasan tentang wanita solelah, pasti akan disuguhkan cerita tauladan dari kaum wanita di zaman Rasulullah. Siapa yang tidak tahu totalitas seorang Bunda Khadijah ra. dalam mendampingi Rasulullah? Siapa yang tidak kenal kedermawanan dan pengabdian Fatimah Az-Zahra ra.? Sungguh, mereka adalah sebaik-baiknya tauladan.
Namun, apakah mereka dengan sendirinya dapat menjadi wanita solehah dengan begitu mudahnya? Tidak! Mereka pun membutuhkan proses hingga kemudian menjadikan mereka sebagai sosok ahli surga. Masih ingat kan bagaimana Fatimah ra. pernah merasakan kelelahan yang sangat dalam pekerjaan rumah tangganya, hingga kemudian meminta Rasulullah untuk memberinya hamba sahaya? Terlihat kan, bahwa sosok sekaliber Fatimah Az-Zahra pun ternyata pernah ‘mengeluh’, Bagaimana dengan kita?
Kesimpulannya, kita semakin tahu bahwa manusia yang tidak selalu dalam kondisi kuat, bahkan cenderung labil dan ‘mengeluh’. Manusia selalu membutuhkan dorongan dan semangat, dari sinilah peran sekitar menjadi sangatlah, seperti halnya Rasulullah yang kala itu tidak memberikan ‘kenyamanan’ berupa hamba sahaya kepada Fatimah. “Demi Allah, aku tidak akan memberikan pelayan kepada kamu berdua, sementara aku biarkan perut penghuni Shuffah merasakan kelaparan. Aku tidak punya uang untuk nafkah mereka, tetapi aku jual hamba sahaya itu dan uangnya aku gunakan untuk nafkah mereka."
Jika berbicara teori tentang wanita solehah, maka dengan mudah kepala akan mencerna. Namun, ketika terjun di realita kehidupan, teori dapat dengan mudah bertekuk lutut ketika pemahaman dan pendampingan tidak didapatkan oleh sang wanita. Seperti yang disampaikan dalam buku ini, “Teori tentang keimanan kadang lebih mudah dicerna daripada keimanan yang sebenarnya. Indikasi ketaqwaan juga lebih bisa dijelaskan secara teoritis daripada ketaqwaan yang sebenarnya. Inilah yang sering menimpa pada kebanyakan orang” [h. 105]
Dari sana kurang lebih dapat ditangkap, bahwa peraihan seorang wanita menjadi solehah harus juga mendapatkan dorongan, ingatan, dan bimbingan dari orang lain, terutama orang terdekat seperti suami. Suami tidak pantas menuntut istrinya menjadi wanita solehah, jika dia sendiri tak mampu atau malah tidak ‘mengajak’ dirinya menjadi soleh.
Seperti halnya ketika seorang pria bercita-cita mendapatkan pasangan hidup yang solehah. Tidak salah sih, tapi alangkah lebih indah jika sang pria tersebut meniatkan diri menikah dengan wanita untuk membantunya menjadi solehah? Atau bahkan menggandengnya untuk sama-sama berusaha menjadi hamba yang soleh dan solehah? Sungguh, hal tersebut akan membuat kehidupan rumah tangga menjadi lebih indah, karena adanya kesamaan niat belajar dan tidak adanya tuntutan yang sepihak.
Inilah yang melatar belakangi terbitnya paket buku ‘Be a Great Couple’, yang berisikan dua buku berjudul, ‘Be a Great Husband’ dan ‘Be a Great Wife’. Pasangan buku yang ‘mengajak’ suami-istri untuk belajar bersama, mencerna ilmu, dan kemudian mengamalkannya bersama. Karena saya seorang perempuan, ‘Be a Great Wife’ tentu menjadi pilihan pertama untuk ditekuni—walaupun nanti insyaALLAH juga berkeinginan membaca ‘Be a Great Husband’.
Jika dilihat dari ketebalannya, buku ini termasuk tipis –berdasarkan standarisasi saya—tapi ternyata untuk menyelesaikannya membutuhkan waktu yang cukup lama. Sepanjang membaca saya membutuhkan jeda beberapa kali untuk meresapi apa yang disampaikan penulis. Mencoba membandingkan antara realitas dengan keidealisan dalam buku ini.
Lumayan berat juga, seperti ketika istri diharapkan senantiasa berdandan dan terlihat cantik di hadapan suami, ternyata ketika berhadapkan dengan realita dan segala kepadatan pekerjaan ternyata masalah dandan/ selalu terlihat cantik—yang kelihatannya sepele---terasa berat. Akhirnya, saya pun melakukan sedikit toleransi dengan hal tersebut, yaitu menggantikan/ mem-‘pending’ dandan dengan berusaha tetap tersenyum ketika berhadapan dengan suami.
Hal-hal seperti itu membuat saya terpancing untuk menikmati pergulatan daya nalar dengan teori ‘menjadi wanita solehah’ dalam buku ini, sekaligus membuatnya menjadi sesuatu yang menarik. Walaupun tetap dengan batas-batas tertentu dan tidak meringan-ringankan hal yang sudah menjadi ketetapan, seperti pemakaian jilbab.
Terlepas dari kemenarikan dan kenikmatan saya berpikir, buku ini tidak lepas dari kekurangan. Walaupun penulis telah membagi pembahasannya menjadi 20 subbab—atau istilah dalam buku ini 20 karakter, ternyata tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada isi masing-masing subbab. Hal ini terkadang menciptakan kebosanan.
Selain membahas karakter wanita solehah, dalam buku ini juga terdapat bab yang menyindir sedikit tentang bagaimana seorang pria dalam rumah tangga. Ditambah lagi, bab yang berisikan tanya-jawab para istri yang ‘mengeluh’ tentang kondisi suaminya. Dengan demikian, pembahasan tidak hanya ‘menuntut’ istri menjadi solehah, tetapi juga memperhatikan kesolehan suami.
“Kehidupan adalah tidur, kematian adalah bangun tidur, sementara manusia berada di antaranya bagaikan khayalan” [h. 136]
Judul : Be a Great Wife, Agar Dicintai Suami
Penulis : ‘Isham bin Muhammad asy-Syarif
Penerbit : Embun Publishing
Terbit : Juni 2007
Tebal : 184 halaman
Harga: Rp. 40.000 [disc. 20%]
NB: Tengkyu untuk Mbak Wulan yang sudah menghadiahkannya pada momen pernikahan kami. Loph You! ^^
Lanjut Baca