Kilas Balik Bacaan di Bulan Juni 2010


Tak terasa sudah masuk ke akhir bulan. Waktunya tengok balik bacaan neh :D

Alhamdulillah, bulan ini lumayan sering melakukan aktivitas membaca, terlihat dari jumlah yang meningkat dari bulan lalu. Selain itu, yang menyenangkan lagi, aku sudah mulai rajin menulis ripiu *huray!!!

So, inilah buku-buku yang sudah/sedang dibaca di bulan Juni 2010:

1. Pangeran Anggadipati: Darah dan Cinta di Kota Medang (Kesatria Hutan Larangan: Buku 1) - Saini KM
2. Mafalda 1 - Quino
3. Married With Brondong - Mira Rahman & Vbi Djenggotten
4. Seni Dialog dengan Anak - Dr. Sa'ad Riyadh
5. Pollyanna - Eleanor H Porter
6. Dari Negeri Asing - Pemenang Cerpen FLP 2002
7. Diary Bocah Tengil 3: Usaha Terakhir - Jeff Kinney
8. Jatuh Bangun Cintaku - Asma Nadia dkk
9. Muhammad Difitnah - Muhammad 'Abdul Halim [sedang dibaca, dan sepertinya butuh waktu agak lama]
10. D'Angel - Luna Torishyngu [sedang dibaca]

**Untuk ripiu buku yang lain, insyaALLAH menyusul ^^

lintasberita

Lanjut Baca

lomba desain pembatas buku


Salam bukuuuu....

Sesuai dengan janji saya pada mbak fanda, bahwa adikku akan ikut lomba desain pembatas buku yang diadain http://vixxio.com.

So, Inilah hasil kreativitas adikku. Sederhana sih, tapi kalem dan lembut rasanya :)




lintasberita

Lanjut Baca

Pollyanna, Bocah yang Pintar Menemukan "Bangku-Senyum"

Membaca permainan ‘Suka Cita’ Pollyanna, mengingatkan saya dengan slogan sendiri, ‘Keindahan Hadir Saat Kepala Manusia Berpikir Positif’. Kurang lebih keduanya memiliki inti yang mirip, sama-sama mencari ‘hal baik/positif’ yang pasti terselip di setiap kesedihan.

Sulit? Ya, bisa jadi sangat sulit, apalagi bagi yang tidak terbiasa. Saya teringat analogi papan tulis putih yang terdapat sebuah titik hitam. Hampir semua orang, jika ditanya apa yang kaulihat, pasti akan menjawab, papan putih. Dari sinilah kita tahu betapa sulitnya melihat sebuah titik kebahagiaan di antara sebuah musibah yang kerap dianggap menggunung. Kadang kita terlanjur “nyaman” melihat sebuah musibah dari bangku pertama, tanpa mencoba berpindah duduk ke bangku di sudut yang lain.

Pollyanna sukses melakukannya. Dia selalu berusaha memposisikan diri di bangku terbaik, di mana saat duduk di sana dia selalu dapat menyunggingkan senyum. Sekali waktu Mrs. Snow mengeluhkan kondisinya yang tidak bisa tidur pada malam hari. Jawaban Pollyanna, “Ya ampun, aku malah ingin begitu… Kita kehilangan banyak waktu karena tidur! Bukan begitu?” Sungguh jawaban itu sangat membesarkan hati para penderita insomnia :P

Setiap orang pasti akan terbawa riang begitu berada di dekat nona cilik yang selalu terlihat bersuka-cita. Pollyanna benar-benar bocah yang selalu ramai, ceriwis walaupun sering out of control dalam berbicara. Namun di sisi lain, saya terkadang merasakan kesedihan Pollyanna yang berusaha dipendamnya sendiri. Sedih kalau sudah melihat Pollyanna menangis di kegelapan kamarnya di loteng yang panas. Well, tak ada manusia yang sempurna.

Berbicara tentang genre buku Pollyanna, akhir-akhir ini banyak ragam terjemahan dari fiksi klasik yang mulai bermunculan di ranah perbukuan. Terasa sekali nafas baru sekaligus kerinduan para pembaca untuk bernostalgia. Begitu menyenangkan membaca karya-karya setipe ‘Pollyanna’ yang kerap berisikan kisah yang sederhana, dengan gaya bahasa yang juga bersahaja.

Ditambah lagi kisah Pollyanna memiliki deskripsi latar tempat yang indah, hutan nan hijau dalam setiap perjalanan Pollyanna menuju ‘istana’ Mr. Pendleton, rumah Miss Pollyanna dengan pohon depan kamar yang dapat dipanjat dan atap rumah yang bisa dijadikan tempat tidur, juga tentang prisma Mr. Pendleton yang membiaskan pelangi. Semua terbayang dengan mudah berkat terjemahan dan penyuntingan naskah yang apik, walaupun ada beberapa bagian yang terpeleset typo.

Satu lagi poin yang menarik dari sosok Pollyanna adalah kecerdasannya. Saya suka sekali dengan pendapat dia tentang hidup ketika bibi Polly yang menginginkan hari Pollyanna diisi dengan belajar dan belajar.
“Oh, tapi Bibi Polly, Bibi Polly, Anda tidak memberikanku waktu untuk… untuk hidup.” [h.59] berlanjut dengan, “Anda bernafas selama tidur, tapi tidak sedang hidup. Yang kumaksud hidup---melakukan apa pun yang Anda mau……Itulah yang kusebut hidup, Bibi Polly. Sekadar bernafas bukan hidup!” [h.60] Keren bukan?

Selain itu, saya juga menyukai saat dimana Pollyanna mengkritik para anggota Ladies’ Aid yang berisikan wanita-wanita paruh baya. Dia bertanya-tanya bagaimana nyonya-nyonya itu bisa begitu giat mencari dana untuk anak-anak di India, sedangkan untuk memberikan sedikit bantuan kepada Jimmy, anak yatim piatu, mereka hanya berkeluh-kesan.

Membaca Pollyanna memang sarat dengan pesan moral. Tapi, walaupun ‘Pollyanna’ bercerita tentang gadis cilik nan riang gembira, terselip juga ‘bau-bau’ asmara dalam cerita. Jadi, jika buku ini akan dihadiahkan pada anak-anak, sangat disarankan saat membacanya mendapat bimbingan orang tua :D

So, mulailah Anda belajar dari Pollyanna, menemukan 'bangku' yang menawarkan senyum.

Judul : Pollyanna
Penulis : Eleanor H. Potter
Penerjemah : Rini Nurul Badariah
Penyunting : Rinurbad & Dee
Pemeriksa Aksara : Azzura Dayana
Desain Sampul : Laraz Studio
Ilustrasi Sampul : Ella Elviana
Penata Letak : Lian Kagura
Penerbit : Orange Books
Terbit : Mei 2010
Tebal : 312 halaman
Genre : Fiksi Klasik
ISBN : 978-602-8436-79-3
Harga : Rp. 37.000 [dapat dibeli di sini dengan diskon spesial

NB: - Judulnya aneh gak sih? tapi koq aku suka yah :P
- Sekali lageee...tengkyu buat Mbak Tya yang mau minjemin nih buku Pollyanna. Love it and Love you! :D

lintasberita

Lanjut Baca

Dari Negeri Asing

Setelah membaca tiga cerpen pertama dalam buku kumcer “Dari Negeri Asing” saya diingatkan dengan sabda Rasulullah yang berbunyi, “Orang cerdas adalah orang yang senantiasa mengingat mati.”

Mengingat mati memang salah satu trik jitu untuk mengembalikan manusia ke ‘jalan lurus’. Bagaimana tidak? Saat kepala dan bayangan kita dipenuhi dengan adegan lubang tanah yang menganga siap memendam tubuh berbalut kain putih, rasanya mata pun sulit untuk tidak berair, rasanya sulit untuk melakukan dosa, rasa untuk bertaubat begitu mengencang di setiap sudut hati. Namun sayang, rasa yang begitu mahal itu seringkali hanya hadir dalam tempo yang singkat. Manusia kerap lebih memilih untuk melihat kefanaan dunia yang menggoda dan melupakan kehidupan absolut yang pasti akan menggenggam hidup para insan.

Pasti sebagian besar dari kita kenal dengan Majalah Hidayah. Ya, majalah yang sering memampangkan kisah misteri berhubungan dengan kematian manusia. Kematian yang dapat dijadikan ‘wajah’ dari perilaku sang manusia semasa hidup. Ketiga cerpen yang berjudul Kematian yang Begitu Penting, Tanah dan Tarian Pengantin, juga sama-sama mempertontonkan kematian, tetapi dengan gaya penulisan yang lebih halus.

Kematian pasti akan menjemput manusia, sekaligus menjadi ‘gerbang’ pertanggung-jawaban atas apa yang telah diperbuat semasa hidup. Mahsyar Kanjeng Sinuhun, mempertontonkan dunia mahsyar, dimana segala amalan dunia menjadi penentu penjeblosan manusia ke dalam surga/neraka. Uniknya tokoh Kanjeng Sinuhun, seorang tokoh yang adil, rendah hati, peduli dengan rakyat, ditambah dengan kualitas ibadah yang apik, ternyata mendapat keputusan neraka dalam buku yang digenggam sang malaikat. Ending cerita mengejutkan dan menyindir/mengingatkan maraknya fatwa yang akhir-akhir ini sering dilontarkan beberapa pihak.

Seperti halnya Kanjeng Sinuhun yang berkeinginan meraih surga, semua orang pasti juga menginginkannya. Itupun berlaku pada diri tokoh ‘Aku’ dalam cerpen Ke Surga. Dengan polosnya si tokoh mengambil nasehat sang ustad tanpa menafsir terlebih dahulu, dan mengambil perjalanan yang melewati jalan yang benar-benar lurus. Keriuhan hati menemani perjalanan panjang dari si tokoh. Apakah jalan yang ku ambil benar? Jangan-jangan waktu di awal aku mengambil belokan yang salah? Dapatkah perasaan menjadi tolak ukur kebenaran?. Simpang siur pertanyaan memenuhi kepalanya hingga perjalanan pun akhirnya berujung dengan lucu.

Tidak jauh berbeda dengan ‘Aku’, tokoh dalam cerpen Daun-daun Makrifat, yang juga menyinggung tentang pergulatan religi. Jika tokoh ‘Aku’ dengan innocent-nya mengambil jalan lurus [benar-benar jalanan yang lurus] maka tokoh Had melewati perenungan yang panjang, hingga menginginkan dirinya seperti Musa yang mencari ‘sosok’ Tuhan.

Teungku Ahmad Lebai Muda, tokoh sentral dalam cerpen Bila Tuhan Telah Tiada, mengalami dilemma dengan masyarakat desanya yang tidak mau datang ke masjid. Sebagai pengumandang adzan, Ahmad kemudian mulai datang ke setiap rumah untuk mengajak kembali para tetangga berkunjung ke rumah ibadat yang telah berumur. Namun, apa yang dia dapatkan? Keluhan-keluhan penduduk yang malah membuat keimanannya semakin melemah.

Kumpulan cerpen yang diisi dengan penulis yang terbilang memiliki nama yang telah ‘berkibar’ terlihat sangat mumpuni dalam mengurai cerita. Afifah Afra, Sakti Wibowo, Agustrijanto, Novia Syahidah adalah sebagian dari Pemenang Lomba Cipta Cerpen Islami Forum Lingkar Pena 2002 Kategori Dewasa. Dari naskah-naskah tersebut, akhirnya terbentuklah buku berjudul ‘Dari Negeri Asing’.

Selain keenam cerpen di atas masih ada kisah Orang Gila di Atas Bukit. Gaya penceritaan surealism mewarnai cerita tentang orang gila yang setiap harinya mendapatkan ‘mainan’ dari para raksasa. Saya paling suka dengan cerpen ini. Dengan gaya yang berbeda, penulis menuturkan episode dari sejarah bangsa yang memperlihatkan arogansi pemerintahan pada masa itu.

Pati Obong, Pasanga Ri Kajang dan Garwa Anggara Curanggana. Mengambil latar sejarah dan budaya dilakukan oleh ketiga penulis cerpen-cerpen tersebut. Dengan mengusung tema keimanan dan akhlak, ketiga cerpen ini cukup menarik walaupun agak membosankan. Namun terlepas dari itu, ketiga cerpen ini mampu membuat buku terbitan Syaamil ini menjadi semakin berwarna.

Judul : Dari Negeri Asing
Penulis : Pemenang Lomba Cipta Cerpen Islami Forum Lingkar Pena 2002 Kategori Dewasa
Penerbit : Syaamil
Tahun : September 2002
Tebal : 151 halaman
Genre : Kumcer
ISBN : 979-3279-09-5
Harga : Rp. 5.000 [Diskon Gramedia Merdeka Bandung]

lintasberita

Lanjut Baca

Married With Brondong


Allah kerap memiliki cara tak terduga nan indah untuk mempertemukan sepasang insan dalam satu kesatuan yang sempurna.

Sulit untuk tidak mengiyakan kalimat di atas. Sudah banyak contoh kasus yang menunjukkan bagaimana pertemuan dua insan hingga ke pelaminan, menyimpan kejutan-kejutan. Saya sendiri yang baru saja dipertemukan dengan sang suami, kisahnya berawal dengan hal yang tidak terduga, dan saat dikenang, eh, ternyata keren juga cara Allah mempertemukan kami ^^

Subhanallah…

Kekerenan Allah pun saya lihat dari cara-Nya mempertemukan dua karakter, Bo [suami] dan Jo [istri]. Berawal dari kesalah-pahaman chatting, yang kemudian hari memperlihatkan kegemaran mereka yang sama, yaitu komik, sukses mengantar mereka menuju gerbang penyempurna separuh dien.

Eits, tapi perjalanan mereka menuju ke sana, tidak semudah ngabisin cendol segelas. Banyak pertimbangan, cibiran, dan kritikan. Why? Karena usia Jo jauh melebihi usia Bo. Tujuh tahun dua bulan empat hari, bukan waktu yang ‘wajar’ bagi sebagian mata orang timur yang hobi menciptakan stereotip-stereotip yang tidak mendasar.

Mengagetkan? Sangat mungkin, tapi tidak jika mereka mau menengok balik sejarah perbedaan umur dalam pernikahan, yang lebih fantastis. Pernikahan Rasulullah [25] dan Bunda Khadijah [40] memiliki angka lebih mengejutkan, 15 tahun. Well, kalau ada yang berdalih, “Itu kan jaman doeloe.” Mau yang lebih modern? Tengok aja artis Demi Moore [47] dengan Asthon Kutcher [32] yang juga beda 15 tahun, dan sejauh yang saya tahu mereka sih baik-baik saja.

Saya sendiri tidak tahu bagaimana masyarakat bisa membentuk stereotip negatif dengan kondisi seperti ini. Keadaan yang tidak hanya memunculkan ketakutan dari pihak wanita, tetapi saya yakin ada juga pikiran dari pihak lelaki, yang mungkin akan gerah jika nantinya diberi label Oedipus Complex.

Balik lagi, bahwa segala kekhawatiran tersebut lebih banyak muncul dikarenakan pandangan dari masyarakat sekitar –yang nantinya juga belum tentu peduli dengan kondisi mereka. Haiiizzz…intinya capek kalau harus mendengarkan kata orang melulu. Bersyukur, akhirnya ada karya yang sekiranya dapat merobohkan stereotip negatif tentang wanita yang menikah dengan pria dengan usia jauh di bawahnya alias Brondong.

Komik yang terinspirasi dari kisah nyata kedua penggarapnya ini secara garis besar terbagi menjadi dua fase. Sebelum dan setelah menikah.

Fase sebelum menikah

Fase ini dibuka dengan kalimat, “Apa??? Kamu mau menikah sama anak kecil??”---Hahahahahag! Menghina sekalee :P

Dari opening inilah kendala Married With Brondong dipaparkan, dan berlanjut dengan menceritakan kesungguhan dan kualitas Bo di mata Jo. Lucu, inspiratif sekaligus jujur. Hanya saja, saya sempat sedikit bingung saat Bo menelepon keluarganya di Malang untuk memberitahu rencananya menikah. Bingung karena tidak ada ‘rambu-rambu’ terlebih dahulu bahwa ternyata pada bagian tersebut beralur mundur/flashback *CMIIW.

Fase setelah menikah

Menikah adalah saat dimana kita memulai perjalanan hidup yang sangat berbeda dari sebelumnya. Dimulai dari cerita pacaran setelah menikah yang dipenuhi dengan deg-deg seer dan segala kegombalan pria yang sebenarnya sudah beredar di ‘pasaran’ tetapi ternyata masih ampuh membuat sang istri tersipu, berlanjut dengan rangkaian kisah yang mencerminkan kesederhanaan, komitmen, tanggung jawab dan konflik.

Banyak adegan yang saya sukai dalam novel grafis ber’bingkai’ warna pink ini, tetapi ada dua rangkaian kisah yang terfavorit. Pertama pada bagian perdebatan pasutri tentang konstruksi/denah rumah dan kekompakan mereka dalam nyrocos tentang kebobrokan negeri. Cerdas. Selain itu, menampilkan konflik dalam rangkaian cerita membuat cerita menjadi lebih riil.

Kedua, saat Jo ngobrol dengan temannya tentang panggilan untuk suami, tetapi pada bagian sketsa menampilkan dua bocah jalanan yang mencari duit dan kehujanan. Saya tidak tahu apa istilah dalam dunia perkomikan, tapi saya menyebutnya, Cerita Bisu.

Sketsa tersebut seperti menyuarakan, "Ini kondisi yang tidak perlu dibicarakan lagi tapi renungkan apa yang bisa kita lakukan untuk mereka." Really like that!

***

Kalau pembaca pernah membaca komik karya Vbi Djenggottan yang pertama, Aku Berfacebook Maka Aku Ada, maka tidak akan terlalu kaget dengan kemunculan orang-orang ‘tidak berkepentingan’ yang tiba-tiba memberi komentar; dan hanya akan berkomentar “iyeee…iyeee” setiap membaca selipan semangat idealisme dari penulis yang sepertinya memang tidak akan lekang dimakan zaman.

Untuk akhir kata, ijinkanlah saya mengutip kata pengantar Tika Bisono Psi. yang sangat menyuarakan isi kepala sayah,

“Mira dan Vbi berhasil membagi kisahnya melalui rangkaian gambar yang ekpresif, kata-kata yang tidak berlebihan, namun tetap tidak miskin makna filosofis…”

Sukses selalooooo dan semoga karya-karyanya senantiasa dilimpahi keberkahan. Amin!

Judul : Married With Brondong
Penulis : Mira Rahman & Vbi Djenggotten
Penerbit : Bikumiku
Tahun : 2010
Tebal : vi + 124 halaman
Genre : Novel Grafis
ISBN : 978-602-95228-1-5
Harga : Rp. 33.500 [dapat dibeli di sini

NB: *Sumpeh deh ini review terpanjang sayah selama tinggal di Jakarta :D
*Spesial untuk Mbak Mira, Mas Vbi plus si kecil, Imandaru, tengkyu banget untuk hadiah yang membuka mata ini ;) dan juga maaf kalau reviewnya terlalu sotoy ^^v
*Untuk suamiku, LUNAS! :D

lintasberita

Lanjut Baca

Mafalda 1, Pukulan Telak dari Kepolosan Bocah


Anak-anak selalu identik dengan kepolosannya dalam berucap atau menanyakan sesuatu, yang tak diragukan adalah bentuk awal dari kecerdasan otaknya yang sedang berkembang. “Senjata” kepolosan inilah yang digunakan Quino, komikus asal Argentina, untuk mengapresiasikan luapan kritik pada kondisi negaranya.
Walaupun komik ini dibuat 1964-73, tetapi kesatirannya masih fresh dan relevan dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini. “Pada masa tokoh Mafalda lahir, kebijakan ekonomi Argentina dinilai hanya menguntungkan segelintir orang dan modal asing. Kelas menengah memang meningkatkan hingga 40 persen, namun pengangguran meroket dan kesenjangan ekonomi menajam….” [Pengantar Redaksi]
Seperti membaca kondisi bangsa sendiri bukan?

Melihat sosoknya yang imut, endut, tembem dengan pita yang sangat manis di puncak rambutnya yang lebat pasti akan membuat saya gemas melihatnya, apalagi saat melihat wajahnya yang berubah datar dan tanpa berdosa setelah menyampaikan pendapatnya yang nylekit. Cara berpikir yang masih netral, positif, dan spontan, khas anak-anak, membuat sindiran Mafalda lebih mengena, dan bisa jadi bakal menciptakan ekspresi tertegun, berkerut, atau mungkin defensif pada wajah pembaca kala membaca celetukannya yang ‘terdengar’ menyerang eksistensi.

‘Serangan’ kepolosan Mafalda tidak hanya ditujukan kepada keseharian atau kehidupan terdekatnya, tetapi juga merambah ke dunia pendidikan, peperangan, carut marut bangsa, maupun dunia. Dan bagaimana Mafalda menyindir masalah peperangan, PBB, dan Amerika, harusnya membuat ‘mereka-mereka’ yang andil atau menduduki kursi kekuasaan merasa malu. Sayang, sepertinya mereka terlalu angkuh untuk menanggalkan ego?

Salah satu poin yang sangat berpengaruh dalam meraih generasi yang unggul adalah sistem pendidikan. Kemudian, bagaimana pendidikan menurut kacamata anak-anak? Mafalda sukses menyentil berlimpahnya aktivitas sekolah yang kerap ‘menekan’ otak anak-anak. Sedangkan di sisi lain, banyaknya materi pelajaran terkadang tidak didukung dengan mutu yang baik.

Seperti yang tergambar di salah satu strip Mafalda terlihat mengukur lingkar kepalanya dengan menggunakan meteran, kemudian berujar sambil melihat hasil di meteran, “Emmm… Muat nggak ya buat nampung semua yang diajarin di sekolah?” [Sekolah Yuk!: 3]

Ibu guru (mengajar di depan kelas): Mama sayang aku. Mama cinta aku.

Mafalda (maju menyalami Bu Guru): Selamat ya, Bu, sepertinya mama Ibu baik sekali.
Kemudian kembali ke bangku dan berteriak: Nah sekarang tolong ajari kami sesuatu yang lebih berguna. [Sekolah Yuk!: 14]

Pria yang bernama asli Joaquin Salvador Lavador ini, tidak hanya bertumpu pada sosok Mafalda dalam menyampaikan kritik-kritiknya. Masih ada empat bocah cilik yang masing-masing memiliki karakter kuat. Tokoh Felipe dengan imajinasinya sangat tinggi akibat kontaminasi televisi; Sosok Manolito yang mewakili para kapitalis; Susanita yang merupakan gambaran kaum borjuis yang terkadang feminis, atau Miguelito yang lugu.

Sedikit petikan dari banyaknya celoteh bocah-bocah ini yang cukup menyentil,

Susanita: Dasar Mafalda! Menyebalkan! Dia bilang pertanyaanku adalah pertanyaan bodoh!
Manolito: Memangnya kamu tanya apa?
Susanita: Kenapa di Negara ini para pekerjanya sangat miskin, nggak pirang, nggak ganteng dan nggak punya mobil kayak Amerika? Menurutmu pertanyaanku itu bodoh?
Manolito [termenung]: Nggak. Kalau dipikir-pikir, itu bukan pertanyaan bodoh.
Susanita: …………
Manolito: Beneran, deh. Kalau dipikir-pikir lebih dalam. Itu pertanyaan berbahaya!
[Hidup Negeriku! : 19]

Felipe: Halo!
Mafalda: Sssstttt!! Jangan kencang-kencang! Ada yang lagi sakit di rumah.
Felipe: Papamu sakit?
Mafalda: Nggak
Felipe: Kalau gitu Mamamu, ya?
Mafalda: Bukan juga
Selanjutnya digambarkan mafalda duduk di depan globe yang sedang dibaringkan dalam kondisi ‘sakit’
[Astaga Dunia Kok Tambah Parah, Sih: 3]

Berdasar wawancara Quino dengan Lucia Iglesias, wartawan Unesco Courrier, pada tahun 2000, ia mengatakan, “Dunia sekarang masih tetap sama dengan dunia yang dikritik Mafalda pada 1973, saat saya tidak lagi melanjutkan komik strip tersebut, atau bahkan lebih buruk. Di satu sisi saya senang komik ini masih terus dibaca, tapi di sisi lain sedih rasanya memikirkan ketidakadilan sosial yang dia adukan masih tetap ada sampai sekarang.” [dikutip dari Pengantar Redaksi]

Salah satu bukti bahwa dunia tidak pernah belajar dari sejarah.

Judul : Mafalda 1
Penulis : Quino
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun : 2010
Tebal : xii + 129 halaman
Genre : Komik Strip
ISBN : 978-979-91-0213-3

lintasberita

Lanjut Baca
 
Copyright (c) 2010 Buku Bagus by Dunia Belajar