Legenda Manusia Abadi

Judul Buku : The Alchemyst: The Secrets of The Immortal Nicholas Flamel
Penulis : Michael Scott
Penerbit : Matahati, Jakarta
Cetakan : I, 2009
Tebal : 503 hlm.
------------------

Legenda itu masih ada. Konon sang Alkemis, manusia abadi yang usianya lebih dari 600 tahun, dikabarkan meninggal tahun 1418, tetapi ketika dibongkar ternyata makamnya kosong. Sejak itu sang Alkemis yang tak lain adalah Nicholas Flamel menjadi desas desus dan rumor bahwa dirinya masih ada dan memperoleh keabadian sampai sekarang. Buku Michael Scott berjudul The Alchemyst: The Secrets of The Immortal Nicholas Flamel ini menjadi dokumen sejarah yang akan menguak rahasia di balik keabadian sang Alkemis. Namun tentu saja buku ini bukanlah buku sejarah yang berdebu. Buku ini diramu dengan fantasi kontemporer, suatu fantasi yang diseting dengan sangat kuat pada masa sekarang. Tokohnya, sang Alkemis benar-benar nyata dan disejajarkan dengan dua remaja kembar modern sebagai pahlawan penyelamat, tokoh yang ada dalam bayangan sang penulis.

Dahulu, Flamel hanyalah manusia biasa. Namun kemudian ia menemukan sebuah buku Abraham sang Magus, yang disebut Codex. Sejak saat itu berbagai hal berubah. Flamel dan istrinya, Perenelle, menjadi Alkemis—perpaduan ahli ilmu alam dan sihir—yang menemukan rahasia batu bertuah yang tersembunyi di dalam buku sihir kuno itu. Ia menemukan rahasia mengubah logam menjadi emas, mengubah batu kerikil menjadi batu permata yang berharga, bahkan sampah pun jika disentuh oleh sang Alkemis akan menjadi barang berharga. Tetapi yang jauh lebih penting, Flamel dan istrinya menemukan resep ramuan untuk hidup abadi.

Sampai kemudian, terjadi kegemparan di toko buku milik Nicholas Flamel. Buku Codex telah dirampas dari tangan Flamel oleh Dr. John Dee, murid Flamel sendiri yang juga seorang alkemis. Sedangkan Perenelle diculik John Dee dan pembantunya, manusia lumpur (Golem). Peristiwa ini yang akhirnya menjebak Sophie dan Josh—dua saudara kembar—masuk ke dalam dunia mustahil antara dua orang alkemis yang saling berseteru. Dan secara tidak sengaja Josh berhasil merobek dan menyelamatkan lembaran terakhir Codex. Perburuan Dee yang sudah direncanakan sekian lama menjadi berantakan. Codex yang di tangannya tidak lengkap. Dee melewatkan bagian Final Summoning—pemanggilan terakhir—lembaran terpenting dari buku tersebut. Menyadari hal ini Dee semakin geram dan berbalik mengejar Flamel dan si kembar.

Betapa mengejutkan, kehadiran Josh dan Sophie di tengah perseteruan itu bukanlah kebetulan, karena mereka saudara kembar dari ramalan kuno buku Codex yang memiliki aura murni emas dan perak. Dalam sekejab Sophie dan Josh mendadak menjadi jauh lebih penting, bukan hanya bagi Flamel, melainkan juga bagi John Dee dan tetua gelap, sekutu dan majikan Dee. Dalam Codex, si kembar adalah dua yang menjadi satu, namun kemudian yang satu akan menyelamatkan dunia, sementara satunya lagi memiliki kekuatan untuk menghancurkan dunia.

Michael Scott secara khas menjalin fakta sejarah dengan mitos dan legenda untuk menciptakan novel-novel petualangan fantasi yang menusuk. Seluruh isi novel ini berkisah tentang perburuan Dee dan pelarian Flamel dengan si kembar. Petualangan yang lebih menghebohkan lagi, ketika Flamel dan si kembar harus mencari tempat persembunyian dari kejaran Dee. Bersama Scathach—salah satu anggota ras tetua jenis vampir yang dikutuk menjadi gadis selamanya—Flamel dan si kembar menuju Alam Bayangan tempat persemayaman Hekate, sang dewi berwajah tiga. Namun di sisi lain, tanpa Codex kekuatan mantra keabadian Flamel telah memudar. Flamel dan istrinya akan bertambah tua, dan sangat tua satu tahun untuk setiap hari yang dilaluinya.

Flamel membujuk Hekate untuk membangkitkan aura murni Josh dan Sophie. Aura si kembar yang mengandung potensi sihir luar biasa inilah yang dapat mencegah Dee memanggil Tetua Gelap untuk menghancurkan manusia. Dengan Codex, Dee dan tetua gelap majikannya akan membentuk kembali dunia ini menjadi seperti pada masa lalu yang tidak terbayangkan lagi, di mana satu-satunya tempat bagi manusia adalah menjadi budak atau makanan. Dan dunia akan dapat bangkit kembali, saat dua yang menjadi satu dan satu yang mencakup semuanya datang, saat aura emas dan perak milik si kembar bersatu.

Kisah dalam novel ini mengalir cepat, dengan bumbu sihir dan kekuatan gaib. Sejarah bangsa-bangsa besar di dunia lama yang dihadirkan menjadi daya tarik tersendiri. Di dalamnya juga terdapat tokoh-tokoh mitologi seperti Vampir, Torc Alta, Gargoyle, Golem, dan Naga-Nathair. Lalu, ada juga cerita tentang Atlantis dan pedang Excalibur. Selain itu, novel ini juga mengaitkan beberapa peristiwa penting dalam sejarah seperti kebakaran besar kota london (Great Fire) tahun 1666 dan penobatan Ratu Elizabeth I tanggal 15 januari 1559. Bahkan buku ini mengaitkan antara Flamel-Dee-Shakespare serta asal usul kode agen rahasia paling populer, 007.

Sebenarnya formula campuran fakta dan fiksi sudah banyak dilakukan. Contohnya novel-novel Dan Brown. Tapi tak cuma formula fakta-fiksi, novel ini juga mencampurkannya dengan kisah fantasi layaknya saga Harry Potter. Dan tahukah bahwa tokoh Nicholas Flamel pun ada dalam kisah Harry Potter? Michael Scott dengan lincah meramu fiksi dan fakta sejarah menjadi sebuah buku yang menarik.

The Alchemyst merupakan novel pertama dari seri The Secrets of the Immortal Nicholas Flamel, di mana di dalamnya menceritakan tokoh-tokoh sejarah yang telah mencapai keabadian dan terlibat dalam perjuangan pada masa sekarang untuk menentukan nasib dunia. Hal yang lebih menarik adalah legenda di balik buku ini yaitu mengenai Nicholas Flamel, seorang Alkemis yang memang pernah hidup di Perancis pada abad ke 14.

Michael Scott adalah seorang penulis novel dan cerpen yang produktif untuk dewasa dan anak-anak, dalam berbagai genre. Tiga buku pertamanya merupakan puncak dari perjalanannya selama beberapa tahun melewati seluruh bagian Irlandia, bekerja sebagai dealer buku antik dan langka yang membawanya berkenalan dengan sebagian besar mitos dan legenda orang Irlandia. Hal ini memunculkan pesona abadi Scott dengan banyak mitologi-mitologi dunia.***

M.Iqbal Dawami, Penikmat Sastra dan blogger buku di http://buku-ok.blogspot.com

lintasberita

Lanjut Baca

Belajar Kearifan Pada Enzo

Judul : Enzo: The Art of Racing in the Rain
Pengarang: Garth Stein
Penerjemah: Ary Nilandari
Penerbit: Serambi, Jakarta
Cetakan : I, April 2009
Tebal: 408 hlm.
------------------

Kearifan bisa kita dapatkan dari mana saja. Tak terkecuali dari pelbagai binatang. Kita dapat belajar dari semut yang selalu bergotong royong, lebah yang setia pada ratunya, bunglon yang pandai beradaptasi, dan yang lainnya. Begitu pula dengan anjing.

Buku Enzo: The Art of Racing in the Rain adalah buku yang dapat mengajarkan kearifan hidup dari seekor anjing yang bernama Enzo. Anjing yang dapat berpikir dan mempunyai perasaan layaknya manusia. Dia mampu berpikir filosofis dan terobsesi dengan TV dan balapan mobil (F1). Di sini, Enzo menjadi sang narator yang tidak saja mengungkap kehidupannya sebagai anjing, tapi juga kehidupan dan konflik keluarga yang memeliharanya.

Bab ini dimulai dengan Enzo yang sedang sakit, dan mengetahui dirinya akan segera mati. Pada suatu malam di pembaringannya, dia menengok kembali perjalanan hidupnya mulai dari masa kecil hingga masa tuanya. Ketika Enzo masih kecil, dia diadopsi oleh Denny Swift, seorang pembalap mobil profesional. Saat bertemu, mereka merasa telah ditakdirkan untuk bersama. Dari situlah persahabatan antara keduanya mulai terjalin. Mereka saling menyayangi dan melindungi.

Enzo banyak belajar dari Denny tentang apa saja, termasuk mencintai balap mobil. Apa yang disukai Denny, disukai pula oleh Enzo. Selain Speed Channel yang menayangkan balap, Enzo juga menonton pelbagai saluran TV seperti Discovery Channel, National Geographic, dan saluran yang memutar film-film yang dimainkan aktor-aktor favoritnya, yaitu Steve McQueen, Al Pacino, Paul Newman, George Clooney, Dustin Hoffman, dan Peter Falk.

Seiring waktu berjalan, Enzo sadar bahwa dirinya berbeda dengan anjing-anjing lain: seekor filsuf yang mirip dengan jiwa manusia, mampu mendidik dirinya sendiri dengan banyak menonton televisi, dan dengan mendengarkan kata-kata pemiliknya, Denny Swift.

Melalui Denny, Enzo mendapatkan wawasan yang luas terhadap kondisi manusia, dan dia melihat kehidupan layaknya suatu balapan, yang tidak mudah untuk melaju dengan cepat dan diperlukan teknik-teknik pada lintasan balap agar seseorang dapat sukses melalui semua cobaan hidup. The Art of Racing in the Rain ini segera menarik pembaca ke dalam dunia Enzo.

Saat Eve menikah dengan Denny, Enzo begitu cemburu. Karena perhatian Denny menjadi pecah, tidak seperti dulu. Namun, lambat laun Enzo dapat menerima kehadiran Eve yang ternyata begitu baik. Bahkan lebih dari itu, dia mencintainya juga layaknya kepada Denny. Saat mereka mempunyai anak yang diberi nama Zoe, Enzo turut senang dan begitu melindungi anak mereka.

Insting Enzo hancur ketika dia dapat merasakan bahwa ada sesuatu yang salah dengan Eve. Enzo dapat mencium kanker otak jauh sebelum ada orang yang tahu dari keluarga tersebut. Akan tetapi dia tidak dapat memberikan peringatan kepada Denny.

Setelah kanker otak Eve muncul, dan perawatan medis dimulai, Eve dibawa pulang ke rumah orangtuanya untuk melewati bulan terakhirnya, dan atas dorongan orangtuanya, Zoe tetap beserta ibunya dan kakek-neneknya, meninggalkan Denny dan Enzo sendiri. Setelah Eve meninggal, mulailah konflik antara Denny dan orangtua Eve perihal hak asuh Zoe. Orangtua Eve bersikeras merawat Zoe secara penuh. Danny dan Enzo tanpa ada hak sedikit pun berkomunikasi atau berkunjung terhadap anak perempuannya. Sisi lain, Denny mengalami kesulitan finansial untuk membayar pengacara, menafkahi putrinya, dan merawat Enzo yang sakit. Pekerjaannya sebagai pembalap, karyawan, dan guru mengemudi tidak cukup untuk membiayai semuanya. Melalui semua cobaannya, Denny selalu membawa Enzo di sisinya, yang memberikan dukungan dan cinta tak bersyarat.

Sebagai pembaca, tentu mudah untuk bersimpati dengan Denny yang dilanda cobaan. Akan tetapi Enzo dengan bijak menegaskan bahwa ketika pada suatu waktu seseorang tengah kehilangan kesempatan, maka semua hal itu terjadi karena satu alasan. Dan apa yang ditakdirkan untuk terjadi maka akan terjadi. Kisah ini menyampaikan dosis spiritual yang tepat, diseimbangkan dengan indah antara banyaknya balapan dengan humor anjing, di antaranya.

Di seluruh buku ini tersebar bab-bab tertentu yang mengungkapkan analisa Enzo tentang taktik atau teknik balapan. Sering kali penjelasan-penjelasan ini sejajar secara emosional dengan perjuangan yang dilalui Denny terhadap kanker yang diderita istrinya, dan perjuangan hak asuh anaknya dengan mertuanya. Denny dan Enzo selalu melihat rekaman balapan Denny, belajar dari kesalahan-kesalahan yang selalu dipaparkan Denny tentang ketahanan mental seorang pembalap. Dan itu dapat dipraktikan pada saat mendapat masalah hidup.

Karena kisah tersebut diceritakan melalui sudut pandang Enzo, kita hanya melihat pendangan sekilas tentang komunikasi manusia. Kita hanya dapat melihat perasaan Enzo yang tajam. Boleh jadi insting alami seekor anjing jauh lebih maju dari manusia. Mereka lebih terbiasa dengan emosi yang tak terucapkan dan lebih peka dengan lingkungan yang tidak seimbang dan tidak sehat.

Buku ini merupakan buku yang tidak bisa kita abaikan lantaran dongeng sang anjing. Justru melalui pandangan Enzo, kita dapat melihat dan belajar lebih banyak tentang sifat manusia, insting dan moralitasnya. Kisah Enzo begitu lembut, karakter-karakternya juga menimbulkan rasa simpati. Enzo adalah narator yang mengagumkan, yang membuat rujukan dan hubungan dengan budaya pop, membuat penilaian-penilaian psikologis dan filosofis yang tajam terhadap manusia di sekitarnya.

Sedang sang penulis buku ini, Garth Stein, patut pula diacungi jempol. Dia mampu menceritakan kisah ini dengan cara yang menyentuh hati. Gaya narasinya sederhana dan elegan, mengalir seindah lap balapan mobil yang dilalui dengan baik.

Pembaca akan terkesan dengan cara dia menggabungkan simbolisme dalam novel ini. Pembaca akan memberikan apresiasinya terhadap bagaimana dia mampu menghubungkan seni mengemudikan mobil balap (F1) dengan menjalani kehidupan dengan segala kesenangan dan kesedihannya. “Kehidupan, seperti balapan, tidaklah mudah untuk melaju cepat. Dengan menggunakan teknik-teknik yang diperlukan pada lintasan balap tersebut barulah seseorang dapat berhasil mengemudikan semua cobaan hidup” ujar Enzo.

Kisah ini memiliki akhir yang indah dan memuaskan. Namun, bukan di situ letak pentingnya. Kisah Enzo lebih tepatnya adalah mengenai proses – balapan – daripada garis finish. Bahwa melakukan apa yang kita sukai dalam kehidupan ini sesungguhnya adalah sebuah kemenangan.

Pada malam kematiannya, Enzo menggunakan sisa hidupnya, mengingat semua yang dia dan Denny telah lalui: pengorbanan yang telah dilakukan Denny hingga mendapatkan keberhasilan secara profesional; kehilangan istri Denny, Eve, yang tidak diharapkan, pertempuran selama tiga tahun terhadap anak perempuan Danny, Zoe, yang kakek dan nenek dari pihak ibu berusaha mendapatkan hak asuh.

Enzo hadir secara heroik untuk memelihara keluarga Denny Swift, mendekap mimpi-mimpinya dalam hati bahwa Denny akan menjadi seorang juara balap mobil dengan Zoe di sisinya. Setelah belajar apa yang harus dilalui untuk menjadi orang yang berbelas kasih dan sukses, anjing yang bijak tersebut hampir tidak dapat menunggu kehidupan berikutnya, ketika dia yakin akan kembali hidup sebagai seorang manusia.

Buku ini sebuah kisah tentang keluarga, cinta, kesetiaan dan harapan yang sangat menggugah, lucu tetapi membuka hati. Art of Racing in the Rain digubah dengan indah dan menawan, melihat keajaiban dan absurditas kehidupan manusia. Kisah Enzo ini menyiratkan suatu pertanyaan reflektif, ‘mengapa saat ini banyak manusia yang menjadi binatang padahal binatang sendiri ingin menjadi manusia?’***

M. Iqbal Dawami
Staf Pengajar STIS Magelang

lintasberita

Lanjut Baca

Memoar Wanita Luar Biasa

Resensi ini dimuat di Koran Jakarta, 17 Juni 2009
Judul: Footnotes
Penulis: Lena Maria
Penerbit: Dastan Books
Cetakan: I, Mei 2009
Tebal: 247 hlm.
----------------

Manusia ibarat teh celup, berfungsi optimal setelah “disiram” dengan ujian. Itulah kesan yang saya dapatkan setelah membaca memoar Lena Maria ini; seorang wanita yang lahir tanpa lengan dan hanya satu kaki saja yang normal. Namun di balik kecacatannya, terselip segudang talenta dan prestasi yang luar biasa. Dia perenang, penyanyi, pelukis, dan penulis. Masing-masing dari talentanya itu pernah menyabet beberapa prestasi dan penghargaan dari beberapa negara. Di buku inilah semua kisahnya dia ceritakan sendiri.

Lena Maria lahir tahun 1968 di Stockholm, Swedia. Saat kelahirannya, sang dokter memberi tahu orangtua Lena atas kondisinya. Dokter sudah bersiap menawarkan obat penenang jika memang orangtuanya merasa membutuhkannya akibat tak sanggup mendengar kenyataan itu. Dokter sendiri tidak bisa menjamin apakah Lena sanggup bertahan, mereka terlebih dulu harus memeriksa apakah organ dalamnya juga mengalami kerusakan. Dokter juga menginformasikan bahwa jika Lena selamat, para orangtua diizinkan untuk menitipkan anaknya dengan kecacatan parah seperti Lena di sebuah institusi khusus.

“Anda harus mempertimbangkan kemungkinan harus mengurusnya selama 20 tahun lebih, jika anda memutuskan untuk merawatnya sendiri,” jelas sang dokter kepada orangtua Lena. Namun, ayahnya menjawab dengan mantap, “Memiliki tangan ataupun tidak, dia pasti membutuhkan tempat tinggal” (hlm. 23).

Kedua orangtua Lena memantapkan keputusannya untuk merawat dan membawanya pulang. Mereka sadar bahwa tindakan itu bukan tanpa risiko. Mereka sudah banyak berbicara dengan petugas dari institusi perawatan khusus, dan keduanya pun tahu dengan pasti bahwa merawat anak dengan tingkat kecacatan yang parah seperti anaknya adalah sebuah perjuangan yang berat dan melelahkan.

Keputusan mereka benar-benar dilakukannya. Walhasil, Lena menikmati masa kecilnya dengan luar biasa menyenangkan. Orangtuanya benar-benar memberi kasih sayang dan perhatian berlimpah.

Bukan hal yang mudah mengasuh seorang anak cacat. Boleh jadi ada juga orangtua yang tidak sanggup melakukannya. Tapi orangtua Lena sejak awal bertekad untuk sebisa mungkin memperlakukannya seperti anak normal lainnya. Mereka menganggapnya sebagai Lena, putri mereka yang kebetulan memiliki kekurangan—bukan sekadar anak cacat. Terlihat sekali bahwa mereka mencintainya apa adanya, bukan berdasarkan apa yang bisa atau tidak bisa dia lakukan. Semua itu membuatnya merasa lebih percaya diri.

Sejak awal, Lena sudah didorong untuk melakukan apa pun yang dia sukai. Hasilnya, dia tidak pernah merasa marah atau menyesali keadaan yang tidak normal. Dia juga tidak menganggap kecacatannya sebagai aib yang memalukan. Dia selalu berpikir bahwa dirinya sama seperti manusia yang lain. Hanya saja dia melakukan segala sesuatu dengan cara yang sedikit berbeda. Lena tidak pernah merasa kecil hati. Dia bahkan merasa Tuhan sangat mengasihinya sehingga dia masih diberikan kesempatan untuk hidup, menikmati hidup, dan berkarya. Sungguh, sebuah cara berpikir yang matang.

Semenjak balita, dia sudah mengikuti kelas renang dan terus berlatih hingga tak terhitung jumlahnya. Hasilnya, dia mampu menjadi perenang profesional dan sering memenangkan berbagai medali dalam berbagai kejuaraan renang. Karier puncaknya dalam renang adalah ketika dia mengikuti Paralympic Games (Olimpiade untuk para penyandang cacat) 1988 di Seoul, Korea Selatan, dengan meraih medali emas.

Selain renang, Lena juga mengembangkan kemampuannya di bidang musik. Dan berkat latihannya yang keras pula, dia mampu menembus perguruan tinggi musik di Stockholm di mana tidak semua orang bisa meraihnya. Keseriusannya itu berhasil membuahkan beberapa album sebagai penyanyi profesional yang cukup laris, baik di Eropa, Amerika, maupun Asia. Kariernya terus memuncak. Dia sering diundang untuk mengadakan konser baik di dalam negeri maupun luar negeri.

Dalam kesehariannya, Lena selalu berusaha melakukan sesuatu untuk tidak terlalu bergantung pada bantuan orang lain. Dus, hampir semua aktivitas dia pelajari, dan nampaknya cukup berhasil. Lena bisa menjahit, menulis, melukis, mengemudi mobil, bermain piano, dan yang lainnya. Sungguh, kehidupan kesehariannya layaknya manusia normal.

Kisah prestasi hidupnya yang kontra dengan kondisi fisiknya itu menarik beberapa media untuk membuat film dokumenternya. Dan setelah film tersebut disebarluaskan, tiba-tiba saja banyak surat berdatangan kepada Lena dari pelbagai negara. Dia pun sering menerima undangan dari pelbagai negara. Mereka takjub melihat bagaimana Lena bisa memandang hidup dengan cara positif dan bagaimana Lena bisa sukses di pelbagai bidang, padahal ada banyak kekurangan yang dimilikinya yang akan menghambat kegiatannya. Fenomena Lena Maria adalah gambaran, suri teladan dan pelajaran hidup dari manusia penyandang cacat yang memutuskan untuk menjalani kehidupannya secara mandiri. Dia berhasil menyingkirkan kesan rendah diri, rasa kasihan, dan kemalangan.

Dalam bab akhirnya, ada refleksi yang mendalam mengapa dia berhasil mengatasi ketidaksempurnaan fisiknya itu yang sejatinya dapat berpengaruh pada kondisi psikis dan sosialnya, bahkan lebih dari itu Lena dapat terus berpikiran positif dan meraih kesuksesan. Pertama, manusia terlahir berbeda satu sama lain. Lena mengaku dirinya merupakan tipe orang yang jika menghadapi suatu hambatan, lebih memilih untuk mencari jalan keluar daripada hanya terpaku pada hambatan tersebut. Dia tidak suka memperumit keadaan yang sudah rumit.

Kedua, orangtua. Sikap orangtua yang tidak menganggap kekurangan Lena sebagai aib dan selalu memperlakukannya sama seperti anak normal lain, banyak membantu Lena untuk bisa menjadi dirinya. Mereka membuat Lena memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Mereka mendorongnya untuk meraih kesuksesan, tapi tetap mau menerima kegagalannya.

Ketiga, Tuhan. Keyakinan terhadap Tuhan sudah menjadi bagian dalam diri Lena. Lena belajar bahwa dirinya adalah makhluk ciptaan Tuhan yang berharga dan tidak peduli siapa dirinya atau bagaimana rupanya. Sebagian orang mungkin menolak keyakinan mereka jika menghadapi permasalahan seperti itu. Akan tetapi Lena percaya bahwa Tuhan tidak pernah berbuat salah, dan hidupnya merupakan bagian dari rencana khusus Tuhan kepadanya.

Sejak edisi pertama diterbitkan di Swedia, buku ini kemudian diterjemahkan ke dalam pelbagai bahasa, di antaranya bahasa Norwegia, Denmark, Jerman, Prancis, Thailand, Jepang, Estonia, Inggris, Indonesia, dan lain-lain.***

M Iqbal Dawami
Staf Pengajar STIS Magelang




lintasberita

Lanjut Baca

Bocah Cilik Penangkap Hantu

Judul Buku : The Spook Apprentice
Penulis : Joseph Delaney
Penerbit: Matahati,Jakarta
Cetakan : I, Maret 2009
Tebal : 326 hlm
----------------

The Spook’s Apprentice ditulis berdasarkan cerita rakyat (folklore) bangsa Inggris di masa lampau. Novel karya Joseph Delaney ini merupakan seri pertama yang ditulisnya dalam rangkaian serial legenda Wardstone, sebuah titik tertinggi di County yang menyimpan misteri. Alur cerita dari novel ini berpusat pada bocah laki-laki yang berusia 13 tahun bernama Tom yang tinggal bersama keluarga besarnya di County, sebuah wilayah pedalaman Inggris di kota Lancashire.

Tom adalah putra ketujuh dari seorang ayah yang juga putra ketujuh. Sebuah keistimewaan bagi bocah itu, karena diyakini ia mempunyai kemampuan melihat sesuatu yang tak dapat dilihat orang lain, semisal makhluk-makhluk gaib: Boggart, ghast, ghost dan lain-lain.

Kisah ini bermula dari kunjungan sang Spook ke rumah Tom untuk menjadikannya sebagai murid Spook. Sang Spook tak lain adalah Mr. Gregory, lelaki tua berjubah yang selalu membawa tongkat kayu berkeliling County, menjaga penduduk lokal dari kejahatan yang muncul di malam hari; hantu (ghast, ghost), boggart dan sihir jahat.

Menjadi Spook adalah pekerjaan berat dan membahayakan bahkan kerap diasingkan banyak orang. Dalam kesehariannya sang Spook berkecimpung dengan dunia gaib, mengusir roh-roh jahat, hantu dan semacamnya. Banyak orang yang gagal menjadi murid Spook, menyerah dan menemui kematiannya menjadi korban kekejian Boggart.

Bukan kemauan Tom menjalani pekerjaan sebagai Spook, namun risiko yang harus ditanggungnya sebagai putra di keluarga besar menuntut dirinya untuk hidup mandiri. Dan bakat yang dimilikinya sebagai putra ketujuh dari putra ketujuh pula, turut menentukan takdirnya menjalani profesi sebagai seorang Spook.

Tom meninggalkan keluarganya, pergi bersama sang Spook dan menjalani masa pengujian di rumah tua yang dihuni banyak hantu. Horor pun dimulai. Tom terseok-seok dalam ketakutan yang nyaris meruntuhkan sendi-sendinya. Tapi Tom ingin melewati ujian dari sang Spook, karena ia tahu orang tuanya sangat menginginkan dirinya menjadi Spook. Walau patah arang, Tom terus berjuang menjadi murid yang tak akan mengecewakan guru dan orang tuanya.

Saat musim panas tiba, petualangan Tom berlanjut di rumah sang Spook, di Chipenden. Rumah yang dipenuhi kekuatan magic dan dijaga ketat oleh para boggart yang tak terlihat. Kisah yang paling menarik di sini adalah Tom harus selalu waspada dengan tanda lonceng yang dibunyikan sebagai jadwal makan. Karena begitu ia terlambat atau terlalu cepat mendatanginya, Tom akan merasakan akibatnya berduel dengan boggart yang misterius.

Beberapa bulan Tom menjalani training di Chipenden. Di saat sang spook pergi menyelesaikan urusannya untuk beberapa lama, Tom dihadapkan dengan gadis misterius bernama Alice yang membujuknya untuk memberikan kue-kue kepada nenek sihir yang ditahan sang Spook, di lubang sekitar taman rumah. Tom ragu akan membuat kesalahan jika melanggar peraturan yang sudah diwanti-wanti gurunya. Namun suatu malam ia nekat menjatuhkan kue-kue tersebut ke lubang nenek sihir, Mother Malkin, karena terikat janji dengan Alice.

Mother Malkin, tercatat sebagai penyihir paling jahat yang mengkonsumsi darah segar manusia. Begitu pula Bony Lizzie, cucu dari Mother Malkin yang juga bibi Alice. Bony Lizzie mempraktikkan sihir tulang yang didapatkan dari tulang-tulang manusia yang sudah dikulitinya. Horor semakin memuncak ketika Tom mengetahui bahwa Mother Malkin mulai menampakkan kekuatannya setelah melahap kue-kue yang belakangan diketahui berasal dari racikan darah manusia. Seorang anak berumur 3 tahun hilang, dan sebelumnya seorang bayi diduga telah diculik oleh penyihir jahat. Tom semakin gusar dan ketakutan. Sedangkan Mother Malkin telah berhasil keluar dari jeratan di dalam lubangnya. Tom pun harus bertindak cepat, menyelamatkan bocah tersebut dan menangkap kembali Mother Malkin tepat sebelum jatuh korban.

Kisah horor pun tidak serta merta berakhir. Secara mengejutkan Tom disekap oleh Tusk, makhluk menyeramkan peliharaan Lizzie dengan gigi-gigi yang terlalu banyak untuk muat di dalam mulutnya. Tom dilemparkan ke dalam lubang dengan kedalaman dua meter untuk dikuliti keesokan harinya sebelum matahari terbit. Semalaman Tom berada di dalam lubang antara hidup dan mati, menghadapi hantu Billy, murid terakhir sang Spook.

Tom diselamatkan Alice yang tiba-tiba berubah pikiran. Sedangkan Bony Lizzie dan Tusk berhasil diringkus sang Spook dan dimasukkan ke lubang penahanan. Pada akhirnya Tom mendapatkan cuti libur dan diperbolehkan pulang selama beberapa hari. Namun pulang ke rumah pun tidak lantas memberikan rasa aman bagi Tom. Ruh Mother Malkin datang menuntut balas padanya, dan siap merasuki tubuh siapapun yang ada di rumahnya.

Pelajaran terpenting yang dapat diambil adalah Tom tidak pernah ragu mengambil inisiatif, dan selalu berpegang pada apa yang telah diajarkan gurunya. Tom pun menyadari bahwa seseorang yang tidak pernah melakukan kesalahan tidak pernah berbuat apa-apa. Dia merasa bahwa kegelapan akan terus mengumpulkan kekuatannya, dan pekerjaannya akan semakin sulit. Tapi Tom akan terus belajar dan belajar seperti yang dipesankan ibunya.

Novel ini mutlak menyoroti dunia mistik dan tahayul yang berlangsung pada abad pertengahan di Inggris. Tema-tema magic dan kekuatan sihir memang menjadi daya tarik tersendiri yang sering dihadirkan dalam cerita novel bergenre horror. Kisahnya mengungkap petualangan yang mendebarkan sekaligus memikat. Penulis pun dengan lihai menyuguhkan figur keberanian sang tokoh utama dan kekejian sang penyihir sehingga mampu mengejutkan sekaligus menyenangkan bagi semua pembaca baik anak-anak maupun kalangan dewasa. Deskripsi tentang petualangan, marabahaya, cinta dan keberanian sangat mudah dirasakan begitu membaca novel ini dari awal sampai akhir.

Terdapat 5 seri novel lainnya yang ditulis Joseph Delaney setelah novel The Spook Apprentice ini. Dari seri-seri tersebut semuanya diangkat berdasarkan latar belakang sebuah tempat yang benar-benar nyata di Lancashire. Inspirasi novel serial sejarah Wardstone ini berkembang dari cerita dan legenda tentang hantu (ghast, ghost) setempat.***

lintasberita

Lanjut Baca

Kematian yang Indah

Judul: Temukan Lima Rahasia Sebelum Mati
Penulis: John Izzo
Penerjemah: Arif Subiyanto
Penerbit: Ufuk Press
Cetakan: 1, 2008
Tebal: viii + 270 hlm.
-----------------------

Mencari bimbingan kepada para tetua merupakan suatu masa yang dihormati dan praktik bijak yang sayangnya tidak terlalu sering dilakukan saat ini, terutama di Barat. John Izzo mendorong kita untuk kembali kepada tradisi tersebut melalui bukunya Temukan Lima Rahasia Sebelum Mati. Buku ini telah menjadi daftar bestseller di Benua Amerika dan Eropa. Pembicara dan penulis inspirasional ini mengarahkan suatu diskusi yang menggairahkan mengenai makna hidup dalam seri televisi yang kemudian difilmkan untuk Biography Channel.

Pembaca akan belajar lima rahasia ini yang dia percaya semua orang harus tahu untuk mendapatkan yang terbesar dari kehidupan: lebih merenung, lebih mengambil resiko, lebih mencintai, lebih menikmati, dan lebih memberi. Izzo mewawancarai seribu orang hingga dia mengerucutkan mereka menjadi 235 orang tua yang bijak yang menemukan makna dan kebahagiaan dalam hidup mereka. Dia terinspirasi untuk lebih fokus pada apa yang paling bermakna setelah istrinya mengalami stroke hingga ulang tahunnya yang ke-50.

Mereka yang diwawancarai Izzo dikenal oleh teman-teman dan keluarganya sebagai “seseorang yang mereka ketahui telah menemukan kebahagiaan dan makna.” Orang-orang ini ditanya dengan pertanyaan-pertanyaan, seperti: “Apa yang membuat anda sampai pada pengertian makna terbesar dan tujuan dalam hidup?” dan “Apa ketakutan terbesar pada akhir hidup anda?” Mereka juga diminta untuk menyelesaikan kalimat: “Andaikan saya dulu…”. Orang-orang tua ini berasal dari beragam pekerjaan: pengarang, profesor, pemilik bisnis, perawat, pemimpin spiritual, ahli psikologi, biologi, dan seorang tukang potong rambut yang fenomenal, serta orang yang selamat dari Holocoust dan korban rasisme.

Lima rahasia tersebut adalah, pertama, jujurlah pada diri sendiri. Ini adalah kalimat yang umum. Izzo membantu kita mengeksplorasi apakah kita benar-benar jujur terhadap diri kita sendiri dengan mengajukan pertanyaan apakah kita mengikuti kata hati kita dan berfokus pada apa yang benar-benar bermakna? Kedua, jangan ada penyesalan. Hal ini mensyaratkan hidup dengan keberanian dan tanpa ketakutan.
Kebanyakan orang memiliki beberapa hal yang mereka lakukan berbeda, akan tetapi Izzo mengingatkan bahwa orang yang bahagia tidak tinggal dalam penyesalan. Seorang wanita bernama Elsa, misalnya, dalam usia ketujuh puluhnya mengatakan bahwa dia menerima nasehat yang paling bernilai dari anak perempuannya. “Bu.., ibu harus menyapu debu sendiri dan bangkit kembali”.

Ketiga, jadilah cinta. Ini adalah satu rahasia terpenting. Dr. Izzo membantu mendefinisikan cinta menjadi lebih dari sekadar kata, karena di dalamnya sarat makna. Namun Izzo mengingatkan bahwa kita harus membedakan antara emosi cinta dan keputusan untuk mencinta. “Masyarakat umum hanya melihat cinta sebagai emosi semata. Kita biasa mengatakan kata-kata seperti “dia benar-benar cinta pada pria itu,” tak ubahnya kita mengatakan bahwa kita “suka pada golf dan pizza”, atau keranjingan berpesta,” dan sebagainya. Padahal yang kita bicarakan itu hanya sekadar emosi perasaan cinta atau suka. Namun, setelah menyimak penuturan sekian banyak narasumber itu, saya mulai menyadari ketika mereka membahas tentang pentingnya cinta dalam hidup mereka, sesungguhnya mereka lebih memaknai cinta sebagai suatu keputusan daripada hanya sekadar perasaan,” ujar Izzo (hlm. 105). Rahasia untuk meraih hidup bahagia dan penuh makna adalah memilih untuk menjadi orang yang penuh cinta, atau dengan kata lain menjelma menjadi cinta itu sendiri.

Keempat, jalanilah hidup dengan sepenuh hati. Hal ini berarti menjalani, menghayati, dan mensyukuri setiap detik kehidupan kita, bukannya menilai atau melaknati kehidupan, melainkan menjalaninya dengan sepenuh hati. Jika hidup memang begitu singkat, maka salah satu rahasia untuk meraih bahagia adalah dengan semaksimal mungkin menikmati dan memanfaatkan waktu yang sempit itu, dan mengupayakan agar setiap detik dan hari yang kita lalui benar-benar menjadi sebuah anugerah.
Kelima, berikan lebih banyak dari yang anda dapatkan. Ini adalah rahasia kelima yang didapatkan Izzo saat mewawancarai para tetua nan bijak. Apabila kita semakin banyak memberi, kita juga akan semakin banyak mendapatkan berkah, dan kita akan menyatu dan terkait dengan kisah akbar kemanusiaan yang memberi makna bagi kehidupan. “Saya menjadi sadar bahwa kita semua dapat meleburkan diri dengan sempurna ke dalam kisah besar kemanusiaan ini.” Ujar Izzo (hlm. 182).

Buku ini ibarat mutiara. Di sini, terdapat kisah-kisah yang semuanya berisikan tentang hidup dengan bijak, hidup dalam momen tersebut, ada yang lucu dan ada yang sedih. Semuanya akan menjadi bahan pikiran kita. Konsistensi pelajaran memberikan pemahaman yang mudah dan skema yang mudah dicerna. Mengambil satu rahasia pada suatu waktu untuk dipraktikkan mungkin sangat baik bagi sebagian orang, berhenti sebentar mengonsumsi buku ini untuk ketika menerapkan rahasia tersebut. Yang lain mungkin melahap seluruh buku sekali duduk dan kembali merefleksikan secara lebih cermat ketika mereka memikirkan pesannya.

Tidak seperti kebanyakan buku-buku psikologi populer, buku Izzo mulai dengan sebuah deskripsi menyeluruh mengenai mengapa dan bagaimana tepatnya dia dan para asistennya melakukan studinya. Premisnya kelihatan cukup sederhana: jika terdapat orang-orang di dunia ini yang panjang umur dan berhasil dalam menemukan makna dan kebahagiaan selama itu, kenapa tidak menanyakan apa yang telah mereka singkap dan bagaimana? Tak lain semua itu agar kita pada saatnya meraih kematian yang indah.***

M.Iqbal Dawami
Staf Pengajar STIS Magelang, penulis buku “Cita-Cita; The Secret and Power Within” (2009)

lintasberita

Lanjut Baca

Seni Memimpin Dari Legenda Jepang

Judul buku : The Swordless Samurai; Pemimpin Legendaris Jepang Abad XVI
Penulis : Kitami Masao diedit oleh Tim Clark
Penerbit : Redline Publishing, Jakarta
Cetakan : Pertama, Februari 2009
Tebal buku : 256 halaman
-----------------------

Jepang, dalam kebanyakan sejarahnya, telah dikuasai oleh para kaisar yang powerfull. Akan tetapi dalam abad XVI – yang disebut orang Jepang sebagai masa peperangan antar-klan (Age of Warring Clans) – penguasa regional (baca: Shogun) berperang satu sama lain dengan sedikit tentara pejuang samurai mereka. Terdapat salah satu pemimpin legendaris Jepang yang berhasil menyatukan antar-klan di abad XVI, yaitu Toyotomi Hideyoshi.

Buku The Swordless Samurai; Pemimpin Legendaris Jepang Abad XVI ini bercerita tentang bagaimana Toyotomi Hideyoshi melakukan hal itu. Hideyoshi dilahirkan dari keluarga petani pada 1537 yang menjadi seorang samurai meskipun dia tidak mempunyai keturunan darah samurai. Dengan perawakan pendek, petarung yang payah, dan tidak cukup menarik untuk dipandang, membuat dirinya menjadi bahan olokan, dan sering disebut “monyet.” Namun, di balik itu, dengan berbekal hasrat belajar yang besar, Hideyoshi berhasil melejitkan potensinya sehingga dia mencapai status wakil kaisar yang memungkinkan dia menghentikan pertikaian di antara para klan yang telah lama berperang di seluruh pelosok Jepang pada waktu itu.

Hideyoshi dianggap sebagai Swordless Samurai; seorang samurai tanpa pedang, di mana kemampuannya tidak terletak pada kelihaian memainkan pedangnya melainkan otaknya. Dia menapaki tangga batasan kelas yang kuat tanpa bantuan sama sekali. Dia seorang petani asli, yang mengabdi pada Lord Nobunaga yang sangat berkuasa, dan menjadi orang yang terus semakin berguna baginya. Hideyoshi mendapatkan dukungan yang kuat. Kemudian, dia menghancurkan semua batasan kelas dan akhirnya menjadi orang yang paling kuat di Jepang.

Hideyoshi mampu mencapai semua itu melalui kecakapannya yang hebat sebagai seorang perencana dan negosiator, dan kemampuannya untuk memimpin kelompok-kelompok subordinat yang besar melalui komunikasi yang cerdik, bukan melalui kekuatan militer atau pun ketakutan akan pembalasan. Beberapa tindakan heroiknya yang terkenal di antaranya merekrut sejumlah petani untuk mengalihkan aliran sungai dan membanjiri wilayah di sekitar kastil musuh, sehingga dapat menghentikan suplai dan bala bantuan bagi musuhnya, yang kemudian memaksa mereka untuk menyerah.

Selain itu, dalam sebuah pertempuran tanpa pertumpahan darah, dia beberapa kali mengirim pasukannya untuk menyamar sebagai pedagang untuk membeli semua beras musuh. Benteng pertahanan musuh menjual semua beras mereka dari gudang persediaan. Hideyoshi dan tentaranya kemudian hanya menunggu musuhnya kelaparan dan menyerah dengan sendirinya. Legenda lainnya adalah saat dia memerintahkan kepada tentara untuk membangun benteng di sebuah posisi yang strategis hanya dalam semalam. Bagaimana cara dia melakukan hal itu, dipaparkan secara gamblang di buku ini.
Tim Clark, editor edisi bahasa Inggris dari buku ini, memberi catatan bahwa “Swordless Samurai” adalah istilah yang dia temukan sendiri. Hideyoshi tidak pernah dikenal dengan nama itu dan tidak ada persamaannya dalam bahasa Jepang. Namun, istilah tersebut digunakan untuk menyimpulkan filosofi Hideyoshi yang menggunakan perencanaan yang cermat dan tindakan yang menentukan dalam mengganti kekerasan yang telah menjadi cara samurai.

Penulis buku ini, Kitami Masao berhasil menciptakan sebuah autobiografi yang melacak kehidupan Hideyoshi yang mengagumkan dari awal mula sebagai seorang yang sederhana hingga mencapai puncak kekuasaan, dan selanjutnya kemunduran yang berasal dari upaya perluasan kekuasaannya menuju Korea. Masing-masing bab ditandai dengan pepatah yang mencita-citakan seorang eksekutif bisnis seperti “Jadilah seorang pemimpin, bukan seorang yang superior,” dan “Ubahlah kelemahan menjadi kekuatan.” Sebagaian kecil dari pepatah tersebut menjadi ciri khas perusahaan Jepang pada masa kini, misalnya, “Rendahkan kepentinganmu berada di bawah kepentingan pemimpinmu.”

Kitami mengakui bahwa hampir tidak ada yang mengetahui tentang Hideyoshi yang sebenarnya pada masa-masa awal. Beberapa dari pencapaiannya yang lebih spektakuler terlihat sangat meragukan di mata sejarawan. Namun Kitami menerima informasi yang dapat diperoleh dari nilai dan usahanya mengenai kecakapan-kecakapan dalam memimpin dan bernegosiasi. Kitami juga berusaha membahas kelemahan dan kejatuhan Toyotomi dalam bab-bab terakhir, sebagai sebuah aforisme.

Sosok Hideyoshi sejatinya merupakan model bagi pemimpin bisnis masa kini. Para pebisnis saat ini dalam membidik posisi pemimpin, terutama jika mereka terkait dengan perusahaan dan praktik bisnis Jepang akan secara meyakinkan menemukan sesuatu yang dapat diterapkan dalam kerja mereka dari buku ini. Kepemimpinan Hideyoshi dan ajaran kesuksesannya diungkapkan dalam bentuk narasi ketika Hideyoshi mendapatkan banyak kemenangan dan menganalisa kemunculannya menjadi pemimpin yang tertinggi. Intuisinya yang tepat terhadap apa yang terjadi—kemampuan, kecerdasan, antisipasi, dan determinasi—dapat dengan mudah dipahami para pebisnis masa sekarang.

Meskipun kita tidak tertarik dalam aspek untuk membantu pengembangan sendiri (self-help) dari buku ini, kita mungkin mengapresiasi buku ini sebagai sebuah pengantar yang sangat perlu dibaca mengenai seorang figur yang sangat penting dalam sejarah Jepang pada masanya. Untuk itu, kehadiran buku ini dalam edisi Bahasa Indonesia patut dipuji, sebagaimana halnya pujian yang diberikan oleh Arvan Pradiansyah dan Andy F. Noya dalam endorsement buku ini.***

M. Iqbal Dawami
Staf Pengajar STIS Magelang

lintasberita

Lanjut Baca
 
Copyright (c) 2010 Buku Bagus by Dunia Belajar