Buku Warna Langit 3 - ulasan


The last book of Trilogy Warna is finally here. The author, Kim Dong Hwa still amazes me with his stories. A relation between a mom and her daughter that is told in a very poetic way and perfected with enchanting drawing.

Ehwa, the daughter, now already turns into an independent young girl. She finally experiences what her mom also does. They both are waiting for their beloved lovers. Her mom is waiting for the drawing man while Ehwa is waiting for her fiance.

This last book tells us about a beautiful journey of love. If you believe in the power of love, there is nothing to worry about. Just follow your heart. At the end of it, you will be surprised to find happiness is waiting for you. Yes...the happy ending is yours. Grab it. Just like what happens to Ehwa and her mom. They just believe in love. At last they just have it all. Love is great.

lintasberita

Lanjut Baca

Buku Catatan dari Medan Perang - ulasan


Judul : Catatan Perang Korea
Penulis : Mochtar Lubis
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Tahun : I, Desember, 2010
Halaman : xxvii + 154 halaman
Harga : Rp. 40.000
Mochtar Lubis terkenal sebagai wartawan yang setia kepada profesionalitas dan idealisme. Ini yang membuatnya dijuluki muckraker journalist alias wartawan yang berani membongkar skandal, penyimpangan, dan ketidakadilan, tanpa bergeser dari kaidah-kaidah jurnalistik yang benar.

Itu juga yang tercermin dalam buku Catatan Perang Korea. Buku ini disusunnya setelah ia mengunjungi Korea pada tahun 1950 untuk meliput perang yang terjadi di negeri ginseng itu.

Dalam buku ini tampak jelas bagaimana Mochtar Lubis yang meninggal pada 2 Juli 2004 lalu itu, tidak sekadar meliput peristiwa yang memakan korban jiwa, namun juga memperlihatkan dimensi lain dari perang.

Lewat tulisan-tulisannya, Mochtar Lubis memperlihatkan bahwa perang selalu menyisakan kepiluan dan kehancuran. Di sini ada semacam ironi, manusia yang selalu mengganggap diri sebagai pembentuk peradaban, justru menghancurkan dan memusnahkannya.

Dalam laporannya Mochtar menjadi saksi mata bagaimana ledakan bom, muntahan peluru, dan pecahan mortir, menghancurkan kehidupan manusia. Kenyataan yang tersisa hanyalah penderitaan.

Di sini Mochtar merenung, apakah semua itu ada gunanya? Apakah semua itu ada manfaatnya? Baginya, pemandangan manusia sekarat, bau amis darah, dan aroma busuk nanah bermakna kehancuran kemanusiaan.

Pada buku yang sama, mantan pemimpin Indonesia Raya tersebut menuliskan bahwa Perang Korea bukanlah semata-mata konflik antara Korea Utara maupun Korea Selatan. Sebaliknya, ada kekuatan eksternal yang memungkinkan kedua negara itu berada dalam konflik panjang.

Menurut Mochtar, pada dasarnya Korea Utara maupun Korea Selatan tidak memiliki sejarah konflik. Pertentangan terjadi karena ada perebutan kepentingan dari luar. Apalagi Korea adalah negeri yang kaya dengan sumber alam.

Lalu, siapa pihak yang paling bertanggung jawab atas peperangan yang terjadi? Mochtar menyimpulkan, Perang Korea tidak mungkin dipisahkan dari peran Amerika Serikat yang mencoba untuk menekan kekuatan komunisme dari Korea Utara memasuki Korea Selatan.

Untuk kepentingan tersebut Amerika Serikat bersama Perserikatan Bangsa-bangsa menurunkan pasukan di negeri itu. Ini yang menjadikan Amerika Serikat kemudian memiliki mesin perang yang besar, kuat dan efisien di Korea.

Menurut Mochtar, jika saja kedua negeri itu segera menyadari adanya campur tangan pihak asing daalam perang yang mereka lakoni, niscaya kerugian tidak bakal sehebat seperti yang dialami.

Meskipun perang antara Korea Utara dan Korea Selatan seperti yang dikisahkan dalam buku ini ditulis lebih dari setengah abad yang lalu, namun isi buku ini tetap relevan. Buku ini tidak hanya mengajarkan bagaimana seorang wartawan seharusnya bersikap, tetapi juga sebuah renungan mengenai dehumanisasi perang.

Hal yang lebih penting lagi, buku ini mengingatkan kepada pembaca bahwa sebuah pergolakan sosial, konflik politik, pertikaian antar golongan, gelombang aksi yang meluas, hingga kejatuhan sebuah rezim, mungkin bukanlah sebuah peristiwa tunggal, melainkan karena adanya kuasa ataupun kekuatan dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan.

lintasberita

Lanjut Baca

Buku Pemikiran Kebangsaan Eks Tapol - ulasan



Judul : G30S 1965, Perang Dingin, dan Kehancuran Nasionalisme
Penulis : Tan Swie Ling
Penerbit : Komunitas Bambu
Terbit : I, 2010
Halaman : 587 Halaman


Penangkapan terhadap mereka yang diduga terlibat G30S, menyisakan mimpi buruk. Banyak pihak yang tidak terkait dengan peristiwa itu justru mengalami siksaan berat dan trauma yang sulit dipulihkan.

Penyiksaan dilakukan untuk memperoleh informasi ataupun pengakuan keterlibatan seseorang dalam peristiwa G30S yang kemudian dituangkan ke dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan).

Cara-cara seperti inilah yang membuat fakta lurus mengenai G30S sulit diungkap. Pasalnya, banyak buku mengenai peristiwa G30S ditulis berdasarkan BAP tersebut.

Buku yang ditulis oleh Tan Swie Ling ini adalah sumber sejarah yang memperlihatkan bahwa penulisan sejarah seputar G30S masih memiliki dimensi yang belum sepenuhnya terungkap.

Dalam buku ini Swie Ling tidak hanya mengisahkan pengalamannya sebagai tahanan politik (tapol) saat disiksa dan dijebloskan ke dalam tahanan, melainkan juga ingin menunjukkan akar masalah terjadinya G30S.

Menurut Swie Ling, apa yang pada tahun 1965 itu tidak lepas dari politik perang dingin antara negara Blok Barat yang dikomandoi oleh Amerika Serikat dan negara-negara Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Sovyet.

Kala itu, Blok Barat, usai Perang Dunia II, mencoba mengurangi kekuatan Uni Sovyet yang dicurigai akan menyebarkan komunis secara meluas. Untuk mengganjalnya Barat menyulut peristiwa kekerasan yang menyudutkan golongan komunis, seperti Peristiwa Madiun di tahun 1948, dan G30S di tahun 1965. Cara ini diharapkan menjadi black campaign bagi komunisme.

Menurut Swie Ling, peristiwa tersebut tidak bakal terjadi apabila para elit politik di Indonesia memiliki kesadaran dan harga diri untuk menjadi bangsa yang merdeka, mandiri dan menolak intervensi bangsa asing.

Akhirnya Indonesia pun terlibat dalam pusaran politik Perang Dingin. Buntutnya, komunis diaanggap haram oleh Orde Baru. Kemudian, stigma buruk ditempelkan kepada mereka yang pernah “bersentuhan” dengan komunisme.

Karena stigma tersebut, mereka yang dicap berhaluan komunis sering kehilangan kesempatan untuk berkarir, memperoleh pendidikan, bekerja di lembaga pemerintah, bahkan kesempatan untuk melakukan aktivitas politik.

Dalam buku ini Swie Ling tidak hanya meratapi stigma-stigma tersebut. Sebaliknya, ia justru menyumbangkan banyak gagasan untuk kemajuan bangsa yang melibatkan semua elemen bangsa, termasuk keturunan Tionghoa.

Sayangnya, keturunan Tinghoa di Indonesia belum memiliki kedudukan yang setara dengan warga negara Indonesia lain. Mereka masih diposisikan sebagai warga kelas kelas dua, atau yang diistilahkan oleh Swie Ling sebagai "seikat rumput kering".

Itu sebabnya Swie Ling ingin mengajak seluruh bangsa Indonesia untuk menterjemahkan kembali arti nasionalsime. Menurutnya nasionalisme lahir dari kebutuhan, rasa kebersamaan antara segolongan manusia dengan nasib dan keinginan yang sama untuk merdeka dan bebas dari penindasan

Hal itu harus dimiliki oleh seluruh warganegara tanpa memandang apakah warga keturunan atau buka. Sebab cita-cita untuk berdiri sejajar dengan bangsa lain adalah hak setiap warga negara tanpa memandang suku maupun ras.***

Dimuat di HU Koran Jakarta, 26 JAnuri 2011

lintasberita

Lanjut Baca

Buku Gerakan Seribu Buku - ulasan




Welcoming Lunar new year by tidying up my bookshelves . It's also related to my hubby's idea to launch Gerakan Seribu Buku at his campus. He wanted to spread the book freak virus among campus people, i.e. the lecturers and the students. He first asked his students to conduct a program in campus. This program will be associated with books. People may participate by giving their second books and they also can watch special pograms, e.g. Bedah Buku. The committee will invite several popular authors, such as: A. Fuadi (Negeri 5 Menara), Asma Nadia, and some others to come to campus and discuss about their books. The programs will be held within 3 days and it'll be started tomorrow. I wish them luck in their programs. I always love creative youth.

Back to my bookshelves mission, last night I succeeded in selecting my novel collections. Trapped among tons of books really put me into ecstasy. It seems that along with my age, there are some novels that are not suitable for me anymore. These including my Agatha Christies' collections, Sydney Sheldon's novels, Marry Higgins Clarks, and many more. Lately I am a bit choosy in deciding which books to read. I love a book with a humane mission or at least there is something that I could learn from the book. Not only a simple story without any message. What a wise middle aged woman. Ouch..I suddenly feel so old:)

This morning I asked my hubby to deliver the books to his campus. Really hope that my books will have great journeys, read by many readers and entertain them all. Just thinking about that stuff already make me feel warm. I guess it's just the magic of giving.

lintasberita

Lanjut Baca

Buku Siapa Pemenangnya? - ulasan

Posting ini berkaitan dengan giveaway yang diadakan di blog ini dalam rangka book challenge: What's In A Name 4. Setelah selama sebulan teman-teman bergantian memberikan ide buku yang pantas dimasukkan ke dalam book challenge, maka kini tibalah saatnya pemilihan pemenang.

To refresh your memory, pertanyaan giveaway book challenge ini adalah:

Buku apa yang menurut anda bagus dan sesuai dengan tugas nomor 2 dan 4 dalam book challenge?

Dan inilah kedua buku yang akhirnya aku pilih untuk 2 pertanyaan di book challenge ini.

No. 2: A book with jewelry or a gem in the title

Girl With A Pearl Earring by Tracy Chevalier

diusulkan oleh:

DeYa

Sebenarnya buku ini direkomendasi oleh 2 orang, selain oleh DeYa juga oleh Ria. Tapi berhubung Ria kelihatannya malah udah baca buku ini, dan tidak ada tanda-tanda dia ikutan giveaway (hanya merekomendasi buku saja), maka pemenangnya jatuh ke DeYa.


No. 4: A book with travel or movement in the title

The Time Traveler's Wife by Audrey Niffenegger

diusulkan oleh:

Adeline

Nah, ada sedikit masalah nih. Adeline tidak mencantumkan link apapun di komentarnya sehingga aku tidak bisa menghubunginya. Jadi, bagi Adeline, aku memberikan waktu hingga tgl. 2 Februari malam untuk menghubungi aku dan memberikan e-mail atau link FB/blog/Twitter yang bisa aku hubungi. Kalau selewat tanggal itu tidak ada kabar, maka terpaksa aku akan menentukan pemenang yang lain.

Selamat untuk DeYa (eh, bukunya ditunggu dulu yah, harus aku tamatkan dulu soalnya...). Tolong kirim nama dan alamat lengkapmu via e-mail ke mail@vixxio.com untuk pengiriman bukunya.

Fiuh...lega akhirnya calon buku untuk book challenge What's In A Name 4 sudah terpilih semua. Kalau mau lihat daftar lengkapku, intip saja di sini.


lintasberita

Lanjut Baca

Buku What's In A Name 4 - Book Challenge (Updated) - ulasan

Inilah daftar lengkap 6 buku yang aku ikutkan di book challenge What's In A Name 4 (updated):



1. A book with a number in the title - Kembar Keempat by Sekar Ayu Asmara
READ



2. A book with jewelry or a gem in the title - Girl With A Pearl Earring by Tracy Chevalier
READ




3. A book with a size in the title - 60.000 Mil Di Bawah Laut by Jules Verne
READ





4. A book with travel or movement in the title - Quo Vadis? by Henryk Sienkiewicz
READ




5. A book with evil in the title - The Wizard Of Oz by L. Frank Baum
READ



6. A book with a life stage in the title - The Einstein Girl - by Philip Sington
READ



Kalau ada yang belum ikutan, ikutan aja. Ini bukan kompetisi kok, tak mau mendaftar resmi juga tak masalah. Ikut saja hanya untuk menantang diri sendiri, dan hanya diri sendiri yang menilai hasilnya nanti. Yuuuk!!


lintasberita

Lanjut Baca
 
Copyright (c) 2010 Buku Bagus by Dunia Belajar