Tampilkan postingan dengan label Dastan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dastan. Tampilkan semua postingan

Buku Treasure Of Genghis Khan - ulasan

Bila diibaratkan makanan, buku Treasure of Genghis Khan ini bisa dibilang serupa dengan Gado-Gado (makanan khas Jawa Timur). Sulit mengatakan dengan pasti apa yang akan anda dapatkan di buku ini, seperti halnya sulit menguraikan satu-persatu bahan Gado-Gado. Yang penting, ketika semua bahan dicampur, lidah kita hanya akan mengecap satu rasa: nikmat! Clive dan Dirk Cussler pun telah sukses mencampurkan petualangan, misteri, pencarian harta karun, thriller dan sci-fi, lalu menuangkan bumbu sejarah ke atasnya, yang lalu dihidangkan oleh penerbit Dastan yang telah menterjemahkannya dengan baik bagi kita.

Buku ini terbagi dalam 3 masa. Pada awalnya ketiga masa itu nampak tak berkaitan, dan di akhir kisah pertama dan kedua selalu ada misteri yang tak terjawab. Kisah pertama adalah usaha bersama Mongolia dan Cina, sekutunya, untuk menginvasi Jepang di abad 13 SM. Kolaborasi armada Cina dan kapal perang Korea yang membawa pejuang-pejuang Mongolia sedang berlabuh di dermaga Hakata ketika terjadi badai laut yang ganas. Badai itu memporakporandakan seluruh armada Cina, dan menyisakan sebuah kapal rusak dengan penumpang si prajurit Temur dan anak buahnya terbawa arus laut entah kemana. Mereka mendarat di pulau asing di daerah tropis yang dipimpin seorang tua berambut putih panjang yang mengenakan kalung dengan hiasan gigi hiu, bernama Mahu. Temur bersama Mahu, yang ahli navigasi berdasarkan bintang, sempat naik kapal kembali ke Cina untuk menghadap kaisar Kubilai Khan. Tak lama kemudian Kubilai Khan wafat, dan lokasi makamnya dirahasiakan. Bukan itu saja misteri yang menggantung di kisah pertama ini, Clive juga menyisakan misteri lain: sebuah kapal misterius tanpa bendera diam-diam meninggalkan daratan Cina menuju ke tengah samudera nan luas, dengan seorang tua berambut putih menjadi ahli navigasinya....

Bagian kedua langsung loncat ke sebuah situs penggalian arkeolog bernama Hunt. Ia, ditemani asisten sekaligus sahabatnya: Tsendyn, seorang berkebangsaan Mongolia, tengah melakukan penggalian di wilayah Shang-Tu, Cina. Gara-gara tentara Jepang makin merangsek masuk ke lokasi itu dalam perang, Hunt memutuskan untuk segera menyingkir. Namun, justru pada saat itu mereka menemukan sesuatu yang misterius. Sebuah kotak berpernis, berisi: selembar kulit cheetah dan sebuah tabung perunggu berisi sehelai sutra dengan peta di atasnya. Membaca peta yang berbahasa Mongol, Hunt sadar bahwa peta itu akan membuka tabir lokasi makam Genghis Khan yang masih merupakan misteri. Hunt pun sadar bahwa penemuan itu bernilai tinggi, maka ia selalu menyimpannya dengan amat hati-hati. Namun toh saat ia sudah berada di pesawat yang meninggalkan situs, ia akhirnya menyadari bahwa sahabat sekaligus asistennya Tsendyn telah mengkhianatinya dan mencuri lembar sutra dalam kotak perunggu itu! Tepat saat ia ingin berputar kembali, pesawatnya ditembaki oleh pesawat Jepang karena dikira mata-mata. Pilot dan co-pilotnya mati seketika, meninggalkan Hunt yang kesakitan selama beberapa hari, baik fisik maupun hati, sebelum akhirnya meninggal pula sambil memeluk kotak berpernisnya menuju alam baka...

Bagian ketiga bersetting abad ke 21. Di sini kita akan menemui berbagai peralatan canggih, juga hal-hal penting di panggung politik dan perekonomian dunia masa kini seperti masalah perminyakan. Mendadak dan dalam jarak waktu berdekatan, terjadi beberapa musibah di beberapa negara yang menimpa titik pengeboran minyak di lepas pantai. Salah satunya di Danau Baikal, Siberia, di mana sebuah kapal berisi para ilmuwan terkena efek gempa itu. Beruntunglah, tak jauh dari sana ada kapal milik sebuah badan kelautan (NUMA) yang sedang berlayar. Dua dari para penumpangnya, para petualang pemberani Dirk Pitt dan Al Giordino berjibaku menolong para ilmuwan. Namun penyelamatan itu tak berlangsung lama, karena malamnya terjadi gempa bawah laut yang menyebabkan kapal milik NUMA itu karam. Ajaibnya, para ilmuwan itu menghilang tak berbekas! Another mistery!

Setelah itu cerita bergulir dengan makin cepat, dengan makin banyak tokoh terlibat. Kini fokus Dirk Pitt dan Al Giordino adalah menemukan para ilmuwan dan penyebab tenggelamnya kapal mereka yang ditengarai adalah akibat sabotase. Namun itu semua belum apa-apa. Tunggu hingga mereka 'terdampar' ke tanah Mongolia untuk bertemu seorang bangsawan kaya misterius bernama Borjin. Dan tiba-tiba satu persatu jawaban atas berbagai misteri yang sudah ditumpuk oleh Clive dan Dirk Cussler semenjak awal akan terkuak. Dan semua misteri itu ternyata mengerucut pada satu sosok: Borjin! Siapakah ia sebenarnya?

Petunjuk:
Ingat-ingatlah detail yang ada di bagian atau masa pertama kisah ini. Karena detail kecil penampilan seseorang yang misterius itu akan menjadi kunci jawaban salah satu misteri di akhir kisah. Penulisnya tidak terang-terangan mengungkapnya, namun kalau anda jeli, maka jawabannya ada di sana...

Membaca buku ini benar-benar mengasyikkan. Rasanya tak habis-habis misteri, ketegangan serta kejutan, sambil sesekali diselingi dengan komedi yang disuguhkan oleh Clive & Dirk Cussler bagi para pembacanya, dari halaman pertama hingga akhir.

Catatan untuk penerbit:
Sayang, proses penerjemahan buku ini mengalami banyak typo di sana-sini, juga ada beberapa ungkapan yang mengganggu. Misalnya kata "bersalin" yang harusnya "berpakaian". Istilah "bersalin" seingatku memang dipakai kakek-nenekku untuk mengatakan "berganti pakaian" (mis: Opa mau salin dulu ya). Kata itu jelas bukan bahasa Indonesia yang benar, dan generasi sekarang kemungkinan tak ada yang tahu istilah ini. Belum lagi, karena kata "bersalin" memiliki makna lain yaitu melahirkan.

Judul: Treasure of Genghis Khan
Terjemahan: Misteri Khan Sang Penakluk
Pengarang: Clive Cussler & Dirk Cussler
Penerbit: Dastan

lintasberita

Lanjut Baca

Buku Comanche Moon - ulasan

Tak seperti biasanya, aku membaca buku yang bergenre historical romance atau roman yang ber-setting jadul. Apa pasal? Karena aku menemukan bahwa buku Comanche Moon (atau Ramalan Cinta dalam terjemahannya) ini tak seperti novel-novel roman (termasuk historical romance) lainnya. Kalau novel roman biasanya berfokus pada kisah cintanya, buku Comanche Moon ini lebih menitik beratkan pada masalah humanisme. Lebih tepatnya pada permusuhan dua ras: ras kulit putih (dalam hal ini diwakili bangsa Amerika) dan ras kulit merah (diwakili oleh suku Indian Comanche). Buku ini mau menekankan bahwa cinta bisa melampaui perbedaan.

Ada sebuah ramalan di suku Comanche, bahwa pemimpinnya kelak akan tertambat hatinya pada wanita berkulit putih yang tak dapat bersuara. Meski dipisahkan jurang luas yang tak dapat terseberangi, namun si wanita akan mendatangi sang Comanche, dan bahwa mereka berdua akan memisahkan diri dari kaumnya.

Adalah Hunter, pemimpin suku Comanche pada saat itu, seorang pria muda yang kuat, dalam fisik maupun karakter. Ia disegani rakyatnya, dan ditakuti lawannya. Di sisi lain adalah Loretta, gadis Amerika yatim piatu karena kedua orangtuanya dibunuh dengan keji oleh suku Comanche. Ia kini tinggal bersama paman, bibi dan sepupunya. Karena trauma saat menjadi saksi pembunuhan brutal itu, Loretta mendadak jadi bisu. Suatu hari datanglah kawanan suku Comanche dipimpin oleh Hunter ke pondokan paman dan bibi Loretta untuk meminang Loretta menjadi istri sang kepala suku. Tentu saja awalnya mereka tak mau dengan sukarela memberikan Loretta pada orang Indian, karena sudah banyak desas-desus tentang kekejaman ras berkulit merah ini. Namun karena takut para Comanche akan melukai keluarganya, Loretta pun terpaksa menyerahkan diri pada para Comanche.

Ternyata Loretta adalah gadis yang tegar, pemberani, dan keras kepala. Dan sebenarnya Hunter adalah lelaki yang ideal baginya, karena ternyata, meski dari luar tampak garang dan menakutkan, Hunter adalah sosok pria yang gentleman, jujur dan lembut. Menarik mengikuti usaha Hunter yang tak sudah-sudahnya untuk menaklukkan hati Loretta meski si gadis yang dipanggilnya dengan nama Mata Biru itu membencinya setengah mati, dan kalau perlu bahkan menolak untuk makan makanan yang diberikannya. Namun bagaimanapun di hati Loretta sendiri mulai tumbuh benih-benih simpatik pada Hunter. Ia pun akhirnya dapat bersuara kembali ketika ia terpaksa berteriak saat ada ular derik yang nyaris menggigit lengan Hunter.

Dengan berlalunya waktu, Hunter sadar bahwa ada sesuatu yang tidak pas dilakukannya berdasarkan ramalan itu. Ramalan itu mengatakan bahwa sang wanita haruslah berjalan sendiri menemuinya, padahal ia dulu bisa dibilang mengambil paksa Loretta. Yakin bahwa ramalan itu harus dipenuhi dengan tepat agar semuanya berjalan lancer, maka Hunter rela mengantarkan Loretta kembali ke rumah paman dan bibinya. Apakah keputusan itu membuat Loretta bahagia? Awalnya memang ya, tapi setelah ia pulang ia menyadari bahwa pandangan orang-orang di sekitarnya menjadi berbeda terhadapnya, karena ia pernah hidup di perkampungan Indian. Mulailah terjadi pergolakan batin di hatinya. Sampai suatu saat ada sekelompok orang jahat membawa lari Amy, adik tirinya. Tak ada pilihan lain bagi Loretta selain berkuda kembali ke hutan yang lebat untuk meminta bantuan pada Hunter, karena hanya kepala suku Apache itulah yang mampu menyelamatkan Amy-nya yang amat disayanginya.

Hati Loretta makin tertawan pada Hunter ketika menyaksikan bagaimana lembut, sabar dan penuh kasihnya Hunter memperlakukan Amy setelah menyelamatkannya dari para penjahat yang telah memperkosanya dengan keji. Amy yang trauma akhirnya pulih sedikit demi sedikit semata-mata berkat kepercayaan yang tumbuh antara dirinya dengan Hunter yang merawatnya dengan penuh kasih.

Akhir ceritanya, wah…lebih baik tidak aku beberkan di sini. Yang jelas, banyak yang kemudian terjadi, membuat buku Comanche Moon ini tak seperti novel percintaan lainnya. Tegang dan menarik. Yang lebih menarik lagi adalah penuturan penulisnya, Catherine Anderson, tentang bagaimana ia mengadakan riset selama bertahun-tahun untuk menulis kisah yang menghibur sekaligus menyisipkan pesan moral di dalamnya. Saat itu banyak penerbit menolak naskahnya karena dianggap karyanya “tidak memenuhi genre manapun”. Namun bagiku, justru karena itulah buku ini menjadi sangat mengesankan ketika dibaca. Ah…lagi-lagi kita diingatkan oleh Catherine Anderson, untuk tidak menjatuhkan stigma pada sekelompok orang atau suku tertentu. Kita hanya bisa menilai orang dari karakter dan hatinya masing-masing, bukan secara umum.


lintasberita

Lanjut Baca
 
Copyright (c) 2010 Buku Bagus by Dunia Belajar