Judul: Menjadi Bangsa Pintar
Penulis: Heppy Trenggono
Penerbit: Republika
Cetakan: I, Juli 2009
Tebal: 164 hlm.
--------------------
KETIKA Heppy Trenggono, penulis buku ini, pertama kali mengunjungi negara-negara Eropa—tepatnya di Belanda—sempat kaget dan kecewa luar biasa begitu tahu bahwa sebuah bangsa yang telah menjajah Indonesia selama beratus-ratus tahun ternyata hanyalah bangsa dari negara kecil yang memiliki wilayah sekitar 1/48 dari wilayah Indonesia, jumlah penduduknya hanya 9 juta jiwa dan luasnya hanya 41.526 km persegi.
“Mengapa bangsa Indonesia bisa dijajah oleh bangsa yang lebih kecil?” begitulah ia berujar dalam hati saat melihat negeri Belanda. Parahnya lagi, kesengsaraan bangsa Indonesia yang sejak sebelum kemerdekaan seolah-olah menjadi warisan turun temurun hingga saat ini. Dengan kata lain, meski Negara kita sudah merdeka, tapi kenyataannya kita masih saja terjajah tanpa disadari. Tidak hanya itu, warisan negatif dari penjajah juga terwariskan pada pribumi, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Sudah mafhum kalau bangsa Indonesia kaya dengan Sumber Daya Alam (SDA). Kekayaan alam Indoneia melimpah ruah. Luas wilayahnya yang mencapai hampir 2 juta km dari Sabang sampai Merauke itu sebagian besar tanahnya subur dan cocok untuk semua tanaman pangan.
Lautnya yang kaya dengan ikan terbentang seluas 2/3 luas wilayah Negara ini. Cadangan minyaknya diperkirakan mencapai lebih dari 45 miliar barel. Kekayaan batubaranya terbesar keempat di dunia. Timah nomor dua dunia. Dan masih banyak lainnya lagi.
Tapi, mengapa Indonesia masih saja terpuruk dan berjalan di tempat? Bahkan nyaris tertinggal jauh dari negara-negara yang berada di sekitarnya. Menurut Heppy Trenggono, ini adalah persoalan mentalitas. ‘Mentalitas’, lanjut Heppy, menjadi kata kunci yang membedakan antara bangsa-bangsa yang mampu meraih kejayaannya dan bangsa-bangsa yang tetap bertahan dalam keterpurukan, dalam hal ini adalah Indonesia.
Mentalitas bangsa Indonesia harus dibangun, di antaranya mentalitas pejuang, mentalitas pemenang, bangsa yang berbudi luhur, bangsa yang mampu bersaing, bangsa yang produktif. Dalam buku ini, mentalitas dari semua sisi itu mengkristal pada satu hal, yaitu menjadi bangsa pintar. Menjadi bangsa pintar inilah satu-satunya pilihan yang harus ditempuh untuk keluar dari keterpurukan dan meraih kejayaan Indonesia.
Heppy mengatakan bahwa kejayaan sebuah negara tidak ditentukan oleh seberapa berlimpah sumber daya alam yang dimiliki. Tidak juga ditentukan oleh seberapa luas wilayah yang dimiliki, tapi ditentukan oleh mentalitas bangsanya; apakah bangsa itu memiliki mentalitas pemenang atau pecundang, apakah memiliki mentalitas kaya ataukah mentalitas miskin, apakah memiliki mentalitas membangun atau mentalitas merusak, apakah memiliki mentalitas sebagai pekerja keras atau pemalas.
Coba kita lihat negara-negara lain. Jepang, misalnya. Pada Agustus 1945 Jepang mengalami kehancuran total setelah dua kota besarnya, Hiroshima dan Nagasaki, dibom oleh tentara sekutu.
Banyak pihak meyakini bahwa peristiwa itu sebagai akhir kejayaan Jepang. Namun kenyataan yang terjadi justru di luar perkiraan. Beberapa tahun kemudian, ternyata Jepang bangkit dari keterpurukan dan berubah menjadi Negara kuat dengan kemajuan industri melebihi kekuatan militernya pada perang dunia kedua. Sejak saat itu Jepang bangkit sampai sekarang.
Begitu juga dengan Swiss. Negeri ini dikenal sebagai Negara penghasil coklat terbaik di dunia. Padahal hanya 11 persen daratannya yang bisa ditanami. Uniknya lagi mereka tidak memiliki lahan yang tidak dapat ditanami coklat. Selain itu, Swiss juga mengolah susu dengan kualitas terbaik.
Malaysia adalah Negara paling dekat dengan Indonesia. Mentalitasnya sungguh luar biasa. Negara yang merdeka belakangan dari Indonesia ini sudah melesat sebagai Negara jaya. Nilai ekspor Malaysia saat ini mencapai 1,5 kali lebih besar dari Indonesia. Di sektor perkebunan, Malaysia telah mengubah sebagian besar lahan tidur yang tidak produktif menjadi area perkebunan kelapa sawit. Kawasan di sekitar bandara internasional Kuala Lumpur saja dikelilingi oleh perkebunan sawit.
Malaysia juga mengembangkan sektor pariwisata. Keyakinan dan spirit “Malaysia Trully Asia” mengidentifikasikan dirinya seolah-olah merupakan negeri yang mewakili Asia dalam sektor pelancongan tersebut. Malaysia kini mampu meraup tidak kurang dari 150 juta ringgit per tahun.
Menurut Heppy, selain belajar dari negara lain, Negara Indonesia juga harus membasmi mentalitas buruknya, yaitu korupsi dan hutang. Sudah menjadi rahasia umum bahwa korupsi di Indonesia tumbuh subur hampir di semua tempat. Secara horizontal, bila dahulu korupsi hanya terjadi di satu ranah kekuasaan (eksekutif) saja, kini korupsi juga ditemukan di lembaga legislatif dan yudikatif. Sedangkan secara vertikal, era otonomi daerah telah menggeser praktek korupsi dari korupsi terpusat (centralized corruption) menjadi korupsi terdesentralisasi (decentralized corruption).
Membangun mentalitas anti korupsi merupakan strategi preventif sekaligus kuratif terhadap kemungkinan lahir dan berkembangnya mentalitas korupsi yang menjadi cikal bakal korupsi. Perubahan mental perlu terus dilakukan dari waktu ke waktu.
Hutang ternyata menghambat tumbuhnya ekonomi dan mengakibatkan kontraksi belanja sosial dan merosotnya kesejahteraan rakyat, dan melebarnya kesenjangan sosial. Hutang juga mengakibatkan ketergantungan negara-negara dunia ke-3 pada modal asing.
Indonesia harus belajar pada Jepang. Jepang menjadi penghutang, karena membutuhkan pinjaman luar negeri untuk merekonstruksi pembangunan yang hancur akibat bom di Hiroshima dan Nagasaki. Namun Negara itu berkomitmen untuk berhenti berhutang. Pada 1961 mulai menyicil, periode 1975 melunasi hutang luar negeri, dan sejak 1977 jadi Negara donor terbesar di dunia.
Presiden Indonesia perlu belajar pada Presiden Venezuela, Hugo Chavez. Delapan tahun silam, segera setelah berkuasa pada 1999, Chavez telah membayar seluruh hutang Venezuela kepada IMF. Belum lama ini Venezuela juga telah melunasi hutangnya kepada Bank Dunia lima tahun lebih cepat dari waktu yang dijadwalkan. Venezuela kapok untuk berhutang lagi ke IMF dan Bank Dunia. Kini, Venezuela terus berkembang dengan melesat, tanpa ada beban hutang.
Walhasil, buku ini hendak mengatakan bahwa Indonesia memiliki semua modal yang diperlukan untuk menjadi bangsa jaya sebagaimana sekarang dicapai oleh bangsa-bangsa lain seperti Amerika, Inggris, China, Singapura, Malaysia, dan lain-lain. Kunci untuk mewujudkan kejayaan Indonesia adalah komitmen untuk menjadi bangsa pintar, baik dari aspek kepemimpinan maupun mentalitas bangsanya.[]
M. Iqbal Dawami
Pemilik blog http://buku-ok.blogspot.com
Penulis: Heppy Trenggono
Penerbit: Republika
Cetakan: I, Juli 2009
Tebal: 164 hlm.
--------------------
KETIKA Heppy Trenggono, penulis buku ini, pertama kali mengunjungi negara-negara Eropa—tepatnya di Belanda—sempat kaget dan kecewa luar biasa begitu tahu bahwa sebuah bangsa yang telah menjajah Indonesia selama beratus-ratus tahun ternyata hanyalah bangsa dari negara kecil yang memiliki wilayah sekitar 1/48 dari wilayah Indonesia, jumlah penduduknya hanya 9 juta jiwa dan luasnya hanya 41.526 km persegi.
“Mengapa bangsa Indonesia bisa dijajah oleh bangsa yang lebih kecil?” begitulah ia berujar dalam hati saat melihat negeri Belanda. Parahnya lagi, kesengsaraan bangsa Indonesia yang sejak sebelum kemerdekaan seolah-olah menjadi warisan turun temurun hingga saat ini. Dengan kata lain, meski Negara kita sudah merdeka, tapi kenyataannya kita masih saja terjajah tanpa disadari. Tidak hanya itu, warisan negatif dari penjajah juga terwariskan pada pribumi, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Sudah mafhum kalau bangsa Indonesia kaya dengan Sumber Daya Alam (SDA). Kekayaan alam Indoneia melimpah ruah. Luas wilayahnya yang mencapai hampir 2 juta km dari Sabang sampai Merauke itu sebagian besar tanahnya subur dan cocok untuk semua tanaman pangan.
Lautnya yang kaya dengan ikan terbentang seluas 2/3 luas wilayah Negara ini. Cadangan minyaknya diperkirakan mencapai lebih dari 45 miliar barel. Kekayaan batubaranya terbesar keempat di dunia. Timah nomor dua dunia. Dan masih banyak lainnya lagi.
Tapi, mengapa Indonesia masih saja terpuruk dan berjalan di tempat? Bahkan nyaris tertinggal jauh dari negara-negara yang berada di sekitarnya. Menurut Heppy Trenggono, ini adalah persoalan mentalitas. ‘Mentalitas’, lanjut Heppy, menjadi kata kunci yang membedakan antara bangsa-bangsa yang mampu meraih kejayaannya dan bangsa-bangsa yang tetap bertahan dalam keterpurukan, dalam hal ini adalah Indonesia.
Mentalitas bangsa Indonesia harus dibangun, di antaranya mentalitas pejuang, mentalitas pemenang, bangsa yang berbudi luhur, bangsa yang mampu bersaing, bangsa yang produktif. Dalam buku ini, mentalitas dari semua sisi itu mengkristal pada satu hal, yaitu menjadi bangsa pintar. Menjadi bangsa pintar inilah satu-satunya pilihan yang harus ditempuh untuk keluar dari keterpurukan dan meraih kejayaan Indonesia.
Heppy mengatakan bahwa kejayaan sebuah negara tidak ditentukan oleh seberapa berlimpah sumber daya alam yang dimiliki. Tidak juga ditentukan oleh seberapa luas wilayah yang dimiliki, tapi ditentukan oleh mentalitas bangsanya; apakah bangsa itu memiliki mentalitas pemenang atau pecundang, apakah memiliki mentalitas kaya ataukah mentalitas miskin, apakah memiliki mentalitas membangun atau mentalitas merusak, apakah memiliki mentalitas sebagai pekerja keras atau pemalas.
Coba kita lihat negara-negara lain. Jepang, misalnya. Pada Agustus 1945 Jepang mengalami kehancuran total setelah dua kota besarnya, Hiroshima dan Nagasaki, dibom oleh tentara sekutu.
Banyak pihak meyakini bahwa peristiwa itu sebagai akhir kejayaan Jepang. Namun kenyataan yang terjadi justru di luar perkiraan. Beberapa tahun kemudian, ternyata Jepang bangkit dari keterpurukan dan berubah menjadi Negara kuat dengan kemajuan industri melebihi kekuatan militernya pada perang dunia kedua. Sejak saat itu Jepang bangkit sampai sekarang.
Begitu juga dengan Swiss. Negeri ini dikenal sebagai Negara penghasil coklat terbaik di dunia. Padahal hanya 11 persen daratannya yang bisa ditanami. Uniknya lagi mereka tidak memiliki lahan yang tidak dapat ditanami coklat. Selain itu, Swiss juga mengolah susu dengan kualitas terbaik.
Malaysia adalah Negara paling dekat dengan Indonesia. Mentalitasnya sungguh luar biasa. Negara yang merdeka belakangan dari Indonesia ini sudah melesat sebagai Negara jaya. Nilai ekspor Malaysia saat ini mencapai 1,5 kali lebih besar dari Indonesia. Di sektor perkebunan, Malaysia telah mengubah sebagian besar lahan tidur yang tidak produktif menjadi area perkebunan kelapa sawit. Kawasan di sekitar bandara internasional Kuala Lumpur saja dikelilingi oleh perkebunan sawit.
Malaysia juga mengembangkan sektor pariwisata. Keyakinan dan spirit “Malaysia Trully Asia” mengidentifikasikan dirinya seolah-olah merupakan negeri yang mewakili Asia dalam sektor pelancongan tersebut. Malaysia kini mampu meraup tidak kurang dari 150 juta ringgit per tahun.
Menurut Heppy, selain belajar dari negara lain, Negara Indonesia juga harus membasmi mentalitas buruknya, yaitu korupsi dan hutang. Sudah menjadi rahasia umum bahwa korupsi di Indonesia tumbuh subur hampir di semua tempat. Secara horizontal, bila dahulu korupsi hanya terjadi di satu ranah kekuasaan (eksekutif) saja, kini korupsi juga ditemukan di lembaga legislatif dan yudikatif. Sedangkan secara vertikal, era otonomi daerah telah menggeser praktek korupsi dari korupsi terpusat (centralized corruption) menjadi korupsi terdesentralisasi (decentralized corruption).
Membangun mentalitas anti korupsi merupakan strategi preventif sekaligus kuratif terhadap kemungkinan lahir dan berkembangnya mentalitas korupsi yang menjadi cikal bakal korupsi. Perubahan mental perlu terus dilakukan dari waktu ke waktu.
Hutang ternyata menghambat tumbuhnya ekonomi dan mengakibatkan kontraksi belanja sosial dan merosotnya kesejahteraan rakyat, dan melebarnya kesenjangan sosial. Hutang juga mengakibatkan ketergantungan negara-negara dunia ke-3 pada modal asing.
Indonesia harus belajar pada Jepang. Jepang menjadi penghutang, karena membutuhkan pinjaman luar negeri untuk merekonstruksi pembangunan yang hancur akibat bom di Hiroshima dan Nagasaki. Namun Negara itu berkomitmen untuk berhenti berhutang. Pada 1961 mulai menyicil, periode 1975 melunasi hutang luar negeri, dan sejak 1977 jadi Negara donor terbesar di dunia.
Presiden Indonesia perlu belajar pada Presiden Venezuela, Hugo Chavez. Delapan tahun silam, segera setelah berkuasa pada 1999, Chavez telah membayar seluruh hutang Venezuela kepada IMF. Belum lama ini Venezuela juga telah melunasi hutangnya kepada Bank Dunia lima tahun lebih cepat dari waktu yang dijadwalkan. Venezuela kapok untuk berhutang lagi ke IMF dan Bank Dunia. Kini, Venezuela terus berkembang dengan melesat, tanpa ada beban hutang.
Walhasil, buku ini hendak mengatakan bahwa Indonesia memiliki semua modal yang diperlukan untuk menjadi bangsa jaya sebagaimana sekarang dicapai oleh bangsa-bangsa lain seperti Amerika, Inggris, China, Singapura, Malaysia, dan lain-lain. Kunci untuk mewujudkan kejayaan Indonesia adalah komitmen untuk menjadi bangsa pintar, baik dari aspek kepemimpinan maupun mentalitas bangsanya.[]
M. Iqbal Dawami
Pemilik blog http://buku-ok.blogspot.com
Lanjut Baca