Kilas Balik Bacaan di Bulan Juni 2010


Tak terasa sudah masuk ke akhir bulan. Waktunya tengok balik bacaan neh :D

Alhamdulillah, bulan ini lumayan sering melakukan aktivitas membaca, terlihat dari jumlah yang meningkat dari bulan lalu. Selain itu, yang menyenangkan lagi, aku sudah mulai rajin menulis ripiu *huray!!!

So, inilah buku-buku yang sudah/sedang dibaca di bulan Juni 2010:

1. Pangeran Anggadipati: Darah dan Cinta di Kota Medang (Kesatria Hutan Larangan: Buku 1) - Saini KM
2. Mafalda 1 - Quino
3. Married With Brondong - Mira Rahman & Vbi Djenggotten
4. Seni Dialog dengan Anak - Dr. Sa'ad Riyadh
5. Pollyanna - Eleanor H Porter
6. Dari Negeri Asing - Pemenang Cerpen FLP 2002
7. Diary Bocah Tengil 3: Usaha Terakhir - Jeff Kinney
8. Jatuh Bangun Cintaku - Asma Nadia dkk
9. Muhammad Difitnah - Muhammad 'Abdul Halim [sedang dibaca, dan sepertinya butuh waktu agak lama]
10. D'Angel - Luna Torishyngu [sedang dibaca]

**Untuk ripiu buku yang lain, insyaALLAH menyusul ^^

lintasberita

Lanjut Baca

lomba desain pembatas buku


Salam bukuuuu....

Sesuai dengan janji saya pada mbak fanda, bahwa adikku akan ikut lomba desain pembatas buku yang diadain http://vixxio.com.

So, Inilah hasil kreativitas adikku. Sederhana sih, tapi kalem dan lembut rasanya :)




lintasberita

Lanjut Baca

Pollyanna, Bocah yang Pintar Menemukan "Bangku-Senyum"

Membaca permainan ‘Suka Cita’ Pollyanna, mengingatkan saya dengan slogan sendiri, ‘Keindahan Hadir Saat Kepala Manusia Berpikir Positif’. Kurang lebih keduanya memiliki inti yang mirip, sama-sama mencari ‘hal baik/positif’ yang pasti terselip di setiap kesedihan.

Sulit? Ya, bisa jadi sangat sulit, apalagi bagi yang tidak terbiasa. Saya teringat analogi papan tulis putih yang terdapat sebuah titik hitam. Hampir semua orang, jika ditanya apa yang kaulihat, pasti akan menjawab, papan putih. Dari sinilah kita tahu betapa sulitnya melihat sebuah titik kebahagiaan di antara sebuah musibah yang kerap dianggap menggunung. Kadang kita terlanjur “nyaman” melihat sebuah musibah dari bangku pertama, tanpa mencoba berpindah duduk ke bangku di sudut yang lain.

Pollyanna sukses melakukannya. Dia selalu berusaha memposisikan diri di bangku terbaik, di mana saat duduk di sana dia selalu dapat menyunggingkan senyum. Sekali waktu Mrs. Snow mengeluhkan kondisinya yang tidak bisa tidur pada malam hari. Jawaban Pollyanna, “Ya ampun, aku malah ingin begitu… Kita kehilangan banyak waktu karena tidur! Bukan begitu?” Sungguh jawaban itu sangat membesarkan hati para penderita insomnia :P

Setiap orang pasti akan terbawa riang begitu berada di dekat nona cilik yang selalu terlihat bersuka-cita. Pollyanna benar-benar bocah yang selalu ramai, ceriwis walaupun sering out of control dalam berbicara. Namun di sisi lain, saya terkadang merasakan kesedihan Pollyanna yang berusaha dipendamnya sendiri. Sedih kalau sudah melihat Pollyanna menangis di kegelapan kamarnya di loteng yang panas. Well, tak ada manusia yang sempurna.

Berbicara tentang genre buku Pollyanna, akhir-akhir ini banyak ragam terjemahan dari fiksi klasik yang mulai bermunculan di ranah perbukuan. Terasa sekali nafas baru sekaligus kerinduan para pembaca untuk bernostalgia. Begitu menyenangkan membaca karya-karya setipe ‘Pollyanna’ yang kerap berisikan kisah yang sederhana, dengan gaya bahasa yang juga bersahaja.

Ditambah lagi kisah Pollyanna memiliki deskripsi latar tempat yang indah, hutan nan hijau dalam setiap perjalanan Pollyanna menuju ‘istana’ Mr. Pendleton, rumah Miss Pollyanna dengan pohon depan kamar yang dapat dipanjat dan atap rumah yang bisa dijadikan tempat tidur, juga tentang prisma Mr. Pendleton yang membiaskan pelangi. Semua terbayang dengan mudah berkat terjemahan dan penyuntingan naskah yang apik, walaupun ada beberapa bagian yang terpeleset typo.

Satu lagi poin yang menarik dari sosok Pollyanna adalah kecerdasannya. Saya suka sekali dengan pendapat dia tentang hidup ketika bibi Polly yang menginginkan hari Pollyanna diisi dengan belajar dan belajar.
“Oh, tapi Bibi Polly, Bibi Polly, Anda tidak memberikanku waktu untuk… untuk hidup.” [h.59] berlanjut dengan, “Anda bernafas selama tidur, tapi tidak sedang hidup. Yang kumaksud hidup---melakukan apa pun yang Anda mau……Itulah yang kusebut hidup, Bibi Polly. Sekadar bernafas bukan hidup!” [h.60] Keren bukan?

Selain itu, saya juga menyukai saat dimana Pollyanna mengkritik para anggota Ladies’ Aid yang berisikan wanita-wanita paruh baya. Dia bertanya-tanya bagaimana nyonya-nyonya itu bisa begitu giat mencari dana untuk anak-anak di India, sedangkan untuk memberikan sedikit bantuan kepada Jimmy, anak yatim piatu, mereka hanya berkeluh-kesan.

Membaca Pollyanna memang sarat dengan pesan moral. Tapi, walaupun ‘Pollyanna’ bercerita tentang gadis cilik nan riang gembira, terselip juga ‘bau-bau’ asmara dalam cerita. Jadi, jika buku ini akan dihadiahkan pada anak-anak, sangat disarankan saat membacanya mendapat bimbingan orang tua :D

So, mulailah Anda belajar dari Pollyanna, menemukan 'bangku' yang menawarkan senyum.

Judul : Pollyanna
Penulis : Eleanor H. Potter
Penerjemah : Rini Nurul Badariah
Penyunting : Rinurbad & Dee
Pemeriksa Aksara : Azzura Dayana
Desain Sampul : Laraz Studio
Ilustrasi Sampul : Ella Elviana
Penata Letak : Lian Kagura
Penerbit : Orange Books
Terbit : Mei 2010
Tebal : 312 halaman
Genre : Fiksi Klasik
ISBN : 978-602-8436-79-3
Harga : Rp. 37.000 [dapat dibeli di sini dengan diskon spesial

NB: - Judulnya aneh gak sih? tapi koq aku suka yah :P
- Sekali lageee...tengkyu buat Mbak Tya yang mau minjemin nih buku Pollyanna. Love it and Love you! :D

lintasberita

Lanjut Baca

Dari Negeri Asing

Setelah membaca tiga cerpen pertama dalam buku kumcer “Dari Negeri Asing” saya diingatkan dengan sabda Rasulullah yang berbunyi, “Orang cerdas adalah orang yang senantiasa mengingat mati.”

Mengingat mati memang salah satu trik jitu untuk mengembalikan manusia ke ‘jalan lurus’. Bagaimana tidak? Saat kepala dan bayangan kita dipenuhi dengan adegan lubang tanah yang menganga siap memendam tubuh berbalut kain putih, rasanya mata pun sulit untuk tidak berair, rasanya sulit untuk melakukan dosa, rasa untuk bertaubat begitu mengencang di setiap sudut hati. Namun sayang, rasa yang begitu mahal itu seringkali hanya hadir dalam tempo yang singkat. Manusia kerap lebih memilih untuk melihat kefanaan dunia yang menggoda dan melupakan kehidupan absolut yang pasti akan menggenggam hidup para insan.

Pasti sebagian besar dari kita kenal dengan Majalah Hidayah. Ya, majalah yang sering memampangkan kisah misteri berhubungan dengan kematian manusia. Kematian yang dapat dijadikan ‘wajah’ dari perilaku sang manusia semasa hidup. Ketiga cerpen yang berjudul Kematian yang Begitu Penting, Tanah dan Tarian Pengantin, juga sama-sama mempertontonkan kematian, tetapi dengan gaya penulisan yang lebih halus.

Kematian pasti akan menjemput manusia, sekaligus menjadi ‘gerbang’ pertanggung-jawaban atas apa yang telah diperbuat semasa hidup. Mahsyar Kanjeng Sinuhun, mempertontonkan dunia mahsyar, dimana segala amalan dunia menjadi penentu penjeblosan manusia ke dalam surga/neraka. Uniknya tokoh Kanjeng Sinuhun, seorang tokoh yang adil, rendah hati, peduli dengan rakyat, ditambah dengan kualitas ibadah yang apik, ternyata mendapat keputusan neraka dalam buku yang digenggam sang malaikat. Ending cerita mengejutkan dan menyindir/mengingatkan maraknya fatwa yang akhir-akhir ini sering dilontarkan beberapa pihak.

Seperti halnya Kanjeng Sinuhun yang berkeinginan meraih surga, semua orang pasti juga menginginkannya. Itupun berlaku pada diri tokoh ‘Aku’ dalam cerpen Ke Surga. Dengan polosnya si tokoh mengambil nasehat sang ustad tanpa menafsir terlebih dahulu, dan mengambil perjalanan yang melewati jalan yang benar-benar lurus. Keriuhan hati menemani perjalanan panjang dari si tokoh. Apakah jalan yang ku ambil benar? Jangan-jangan waktu di awal aku mengambil belokan yang salah? Dapatkah perasaan menjadi tolak ukur kebenaran?. Simpang siur pertanyaan memenuhi kepalanya hingga perjalanan pun akhirnya berujung dengan lucu.

Tidak jauh berbeda dengan ‘Aku’, tokoh dalam cerpen Daun-daun Makrifat, yang juga menyinggung tentang pergulatan religi. Jika tokoh ‘Aku’ dengan innocent-nya mengambil jalan lurus [benar-benar jalanan yang lurus] maka tokoh Had melewati perenungan yang panjang, hingga menginginkan dirinya seperti Musa yang mencari ‘sosok’ Tuhan.

Teungku Ahmad Lebai Muda, tokoh sentral dalam cerpen Bila Tuhan Telah Tiada, mengalami dilemma dengan masyarakat desanya yang tidak mau datang ke masjid. Sebagai pengumandang adzan, Ahmad kemudian mulai datang ke setiap rumah untuk mengajak kembali para tetangga berkunjung ke rumah ibadat yang telah berumur. Namun, apa yang dia dapatkan? Keluhan-keluhan penduduk yang malah membuat keimanannya semakin melemah.

Kumpulan cerpen yang diisi dengan penulis yang terbilang memiliki nama yang telah ‘berkibar’ terlihat sangat mumpuni dalam mengurai cerita. Afifah Afra, Sakti Wibowo, Agustrijanto, Novia Syahidah adalah sebagian dari Pemenang Lomba Cipta Cerpen Islami Forum Lingkar Pena 2002 Kategori Dewasa. Dari naskah-naskah tersebut, akhirnya terbentuklah buku berjudul ‘Dari Negeri Asing’.

Selain keenam cerpen di atas masih ada kisah Orang Gila di Atas Bukit. Gaya penceritaan surealism mewarnai cerita tentang orang gila yang setiap harinya mendapatkan ‘mainan’ dari para raksasa. Saya paling suka dengan cerpen ini. Dengan gaya yang berbeda, penulis menuturkan episode dari sejarah bangsa yang memperlihatkan arogansi pemerintahan pada masa itu.

Pati Obong, Pasanga Ri Kajang dan Garwa Anggara Curanggana. Mengambil latar sejarah dan budaya dilakukan oleh ketiga penulis cerpen-cerpen tersebut. Dengan mengusung tema keimanan dan akhlak, ketiga cerpen ini cukup menarik walaupun agak membosankan. Namun terlepas dari itu, ketiga cerpen ini mampu membuat buku terbitan Syaamil ini menjadi semakin berwarna.

Judul : Dari Negeri Asing
Penulis : Pemenang Lomba Cipta Cerpen Islami Forum Lingkar Pena 2002 Kategori Dewasa
Penerbit : Syaamil
Tahun : September 2002
Tebal : 151 halaman
Genre : Kumcer
ISBN : 979-3279-09-5
Harga : Rp. 5.000 [Diskon Gramedia Merdeka Bandung]

lintasberita

Lanjut Baca

Married With Brondong


Allah kerap memiliki cara tak terduga nan indah untuk mempertemukan sepasang insan dalam satu kesatuan yang sempurna.

Sulit untuk tidak mengiyakan kalimat di atas. Sudah banyak contoh kasus yang menunjukkan bagaimana pertemuan dua insan hingga ke pelaminan, menyimpan kejutan-kejutan. Saya sendiri yang baru saja dipertemukan dengan sang suami, kisahnya berawal dengan hal yang tidak terduga, dan saat dikenang, eh, ternyata keren juga cara Allah mempertemukan kami ^^

Subhanallah…

Kekerenan Allah pun saya lihat dari cara-Nya mempertemukan dua karakter, Bo [suami] dan Jo [istri]. Berawal dari kesalah-pahaman chatting, yang kemudian hari memperlihatkan kegemaran mereka yang sama, yaitu komik, sukses mengantar mereka menuju gerbang penyempurna separuh dien.

Eits, tapi perjalanan mereka menuju ke sana, tidak semudah ngabisin cendol segelas. Banyak pertimbangan, cibiran, dan kritikan. Why? Karena usia Jo jauh melebihi usia Bo. Tujuh tahun dua bulan empat hari, bukan waktu yang ‘wajar’ bagi sebagian mata orang timur yang hobi menciptakan stereotip-stereotip yang tidak mendasar.

Mengagetkan? Sangat mungkin, tapi tidak jika mereka mau menengok balik sejarah perbedaan umur dalam pernikahan, yang lebih fantastis. Pernikahan Rasulullah [25] dan Bunda Khadijah [40] memiliki angka lebih mengejutkan, 15 tahun. Well, kalau ada yang berdalih, “Itu kan jaman doeloe.” Mau yang lebih modern? Tengok aja artis Demi Moore [47] dengan Asthon Kutcher [32] yang juga beda 15 tahun, dan sejauh yang saya tahu mereka sih baik-baik saja.

Saya sendiri tidak tahu bagaimana masyarakat bisa membentuk stereotip negatif dengan kondisi seperti ini. Keadaan yang tidak hanya memunculkan ketakutan dari pihak wanita, tetapi saya yakin ada juga pikiran dari pihak lelaki, yang mungkin akan gerah jika nantinya diberi label Oedipus Complex.

Balik lagi, bahwa segala kekhawatiran tersebut lebih banyak muncul dikarenakan pandangan dari masyarakat sekitar –yang nantinya juga belum tentu peduli dengan kondisi mereka. Haiiizzz…intinya capek kalau harus mendengarkan kata orang melulu. Bersyukur, akhirnya ada karya yang sekiranya dapat merobohkan stereotip negatif tentang wanita yang menikah dengan pria dengan usia jauh di bawahnya alias Brondong.

Komik yang terinspirasi dari kisah nyata kedua penggarapnya ini secara garis besar terbagi menjadi dua fase. Sebelum dan setelah menikah.

Fase sebelum menikah

Fase ini dibuka dengan kalimat, “Apa??? Kamu mau menikah sama anak kecil??”---Hahahahahag! Menghina sekalee :P

Dari opening inilah kendala Married With Brondong dipaparkan, dan berlanjut dengan menceritakan kesungguhan dan kualitas Bo di mata Jo. Lucu, inspiratif sekaligus jujur. Hanya saja, saya sempat sedikit bingung saat Bo menelepon keluarganya di Malang untuk memberitahu rencananya menikah. Bingung karena tidak ada ‘rambu-rambu’ terlebih dahulu bahwa ternyata pada bagian tersebut beralur mundur/flashback *CMIIW.

Fase setelah menikah

Menikah adalah saat dimana kita memulai perjalanan hidup yang sangat berbeda dari sebelumnya. Dimulai dari cerita pacaran setelah menikah yang dipenuhi dengan deg-deg seer dan segala kegombalan pria yang sebenarnya sudah beredar di ‘pasaran’ tetapi ternyata masih ampuh membuat sang istri tersipu, berlanjut dengan rangkaian kisah yang mencerminkan kesederhanaan, komitmen, tanggung jawab dan konflik.

Banyak adegan yang saya sukai dalam novel grafis ber’bingkai’ warna pink ini, tetapi ada dua rangkaian kisah yang terfavorit. Pertama pada bagian perdebatan pasutri tentang konstruksi/denah rumah dan kekompakan mereka dalam nyrocos tentang kebobrokan negeri. Cerdas. Selain itu, menampilkan konflik dalam rangkaian cerita membuat cerita menjadi lebih riil.

Kedua, saat Jo ngobrol dengan temannya tentang panggilan untuk suami, tetapi pada bagian sketsa menampilkan dua bocah jalanan yang mencari duit dan kehujanan. Saya tidak tahu apa istilah dalam dunia perkomikan, tapi saya menyebutnya, Cerita Bisu.

Sketsa tersebut seperti menyuarakan, "Ini kondisi yang tidak perlu dibicarakan lagi tapi renungkan apa yang bisa kita lakukan untuk mereka." Really like that!

***

Kalau pembaca pernah membaca komik karya Vbi Djenggottan yang pertama, Aku Berfacebook Maka Aku Ada, maka tidak akan terlalu kaget dengan kemunculan orang-orang ‘tidak berkepentingan’ yang tiba-tiba memberi komentar; dan hanya akan berkomentar “iyeee…iyeee” setiap membaca selipan semangat idealisme dari penulis yang sepertinya memang tidak akan lekang dimakan zaman.

Untuk akhir kata, ijinkanlah saya mengutip kata pengantar Tika Bisono Psi. yang sangat menyuarakan isi kepala sayah,

“Mira dan Vbi berhasil membagi kisahnya melalui rangkaian gambar yang ekpresif, kata-kata yang tidak berlebihan, namun tetap tidak miskin makna filosofis…”

Sukses selalooooo dan semoga karya-karyanya senantiasa dilimpahi keberkahan. Amin!

Judul : Married With Brondong
Penulis : Mira Rahman & Vbi Djenggotten
Penerbit : Bikumiku
Tahun : 2010
Tebal : vi + 124 halaman
Genre : Novel Grafis
ISBN : 978-602-95228-1-5
Harga : Rp. 33.500 [dapat dibeli di sini

NB: *Sumpeh deh ini review terpanjang sayah selama tinggal di Jakarta :D
*Spesial untuk Mbak Mira, Mas Vbi plus si kecil, Imandaru, tengkyu banget untuk hadiah yang membuka mata ini ;) dan juga maaf kalau reviewnya terlalu sotoy ^^v
*Untuk suamiku, LUNAS! :D

lintasberita

Lanjut Baca

Mafalda 1, Pukulan Telak dari Kepolosan Bocah


Anak-anak selalu identik dengan kepolosannya dalam berucap atau menanyakan sesuatu, yang tak diragukan adalah bentuk awal dari kecerdasan otaknya yang sedang berkembang. “Senjata” kepolosan inilah yang digunakan Quino, komikus asal Argentina, untuk mengapresiasikan luapan kritik pada kondisi negaranya.
Walaupun komik ini dibuat 1964-73, tetapi kesatirannya masih fresh dan relevan dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini. “Pada masa tokoh Mafalda lahir, kebijakan ekonomi Argentina dinilai hanya menguntungkan segelintir orang dan modal asing. Kelas menengah memang meningkatkan hingga 40 persen, namun pengangguran meroket dan kesenjangan ekonomi menajam….” [Pengantar Redaksi]
Seperti membaca kondisi bangsa sendiri bukan?

Melihat sosoknya yang imut, endut, tembem dengan pita yang sangat manis di puncak rambutnya yang lebat pasti akan membuat saya gemas melihatnya, apalagi saat melihat wajahnya yang berubah datar dan tanpa berdosa setelah menyampaikan pendapatnya yang nylekit. Cara berpikir yang masih netral, positif, dan spontan, khas anak-anak, membuat sindiran Mafalda lebih mengena, dan bisa jadi bakal menciptakan ekspresi tertegun, berkerut, atau mungkin defensif pada wajah pembaca kala membaca celetukannya yang ‘terdengar’ menyerang eksistensi.

‘Serangan’ kepolosan Mafalda tidak hanya ditujukan kepada keseharian atau kehidupan terdekatnya, tetapi juga merambah ke dunia pendidikan, peperangan, carut marut bangsa, maupun dunia. Dan bagaimana Mafalda menyindir masalah peperangan, PBB, dan Amerika, harusnya membuat ‘mereka-mereka’ yang andil atau menduduki kursi kekuasaan merasa malu. Sayang, sepertinya mereka terlalu angkuh untuk menanggalkan ego?

Salah satu poin yang sangat berpengaruh dalam meraih generasi yang unggul adalah sistem pendidikan. Kemudian, bagaimana pendidikan menurut kacamata anak-anak? Mafalda sukses menyentil berlimpahnya aktivitas sekolah yang kerap ‘menekan’ otak anak-anak. Sedangkan di sisi lain, banyaknya materi pelajaran terkadang tidak didukung dengan mutu yang baik.

Seperti yang tergambar di salah satu strip Mafalda terlihat mengukur lingkar kepalanya dengan menggunakan meteran, kemudian berujar sambil melihat hasil di meteran, “Emmm… Muat nggak ya buat nampung semua yang diajarin di sekolah?” [Sekolah Yuk!: 3]

Ibu guru (mengajar di depan kelas): Mama sayang aku. Mama cinta aku.

Mafalda (maju menyalami Bu Guru): Selamat ya, Bu, sepertinya mama Ibu baik sekali.
Kemudian kembali ke bangku dan berteriak: Nah sekarang tolong ajari kami sesuatu yang lebih berguna. [Sekolah Yuk!: 14]

Pria yang bernama asli Joaquin Salvador Lavador ini, tidak hanya bertumpu pada sosok Mafalda dalam menyampaikan kritik-kritiknya. Masih ada empat bocah cilik yang masing-masing memiliki karakter kuat. Tokoh Felipe dengan imajinasinya sangat tinggi akibat kontaminasi televisi; Sosok Manolito yang mewakili para kapitalis; Susanita yang merupakan gambaran kaum borjuis yang terkadang feminis, atau Miguelito yang lugu.

Sedikit petikan dari banyaknya celoteh bocah-bocah ini yang cukup menyentil,

Susanita: Dasar Mafalda! Menyebalkan! Dia bilang pertanyaanku adalah pertanyaan bodoh!
Manolito: Memangnya kamu tanya apa?
Susanita: Kenapa di Negara ini para pekerjanya sangat miskin, nggak pirang, nggak ganteng dan nggak punya mobil kayak Amerika? Menurutmu pertanyaanku itu bodoh?
Manolito [termenung]: Nggak. Kalau dipikir-pikir, itu bukan pertanyaan bodoh.
Susanita: …………
Manolito: Beneran, deh. Kalau dipikir-pikir lebih dalam. Itu pertanyaan berbahaya!
[Hidup Negeriku! : 19]

Felipe: Halo!
Mafalda: Sssstttt!! Jangan kencang-kencang! Ada yang lagi sakit di rumah.
Felipe: Papamu sakit?
Mafalda: Nggak
Felipe: Kalau gitu Mamamu, ya?
Mafalda: Bukan juga
Selanjutnya digambarkan mafalda duduk di depan globe yang sedang dibaringkan dalam kondisi ‘sakit’
[Astaga Dunia Kok Tambah Parah, Sih: 3]

Berdasar wawancara Quino dengan Lucia Iglesias, wartawan Unesco Courrier, pada tahun 2000, ia mengatakan, “Dunia sekarang masih tetap sama dengan dunia yang dikritik Mafalda pada 1973, saat saya tidak lagi melanjutkan komik strip tersebut, atau bahkan lebih buruk. Di satu sisi saya senang komik ini masih terus dibaca, tapi di sisi lain sedih rasanya memikirkan ketidakadilan sosial yang dia adukan masih tetap ada sampai sekarang.” [dikutip dari Pengantar Redaksi]

Salah satu bukti bahwa dunia tidak pernah belajar dari sejarah.

Judul : Mafalda 1
Penulis : Quino
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun : 2010
Tebal : xii + 129 halaman
Genre : Komik Strip
ISBN : 978-979-91-0213-3

lintasberita

Lanjut Baca

Buku Morality for Beautiful Girls - ulasan

Morality for Beautiful Girls
Alexander McCall Smith @ 2001
Abacus - 2006
246 hal.

Rasanya udah lama banget sejak terakhir gue membaca seri kedua dari The No. 1 Ladies’ Detective Agency: Tears of the Giraffe. Dan sekarang, waktu membaca kisah ketiga dari Mma Ramotswe ini, gue masih tersenyum-senyum simpul dengan kepolosan, kesabaran dan kejelian Mma Ramotswe.

Jangan bayangkan ada misteri yang rumit di sini, seperti pembunuhan yang berdarah-darah. Mma Ramotswe lebih banyak menyelesaikan masalah yang lebih berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Dalam bukunya kali ini, Mma Ramotswe berusaha membantu orang yang punya kedudukan penting di pemerintahan, yang memiliki kecurigaan bahwa istri adiknya berniat meracuni adiknya dan menguasai harta untuk dirinya sendiri.

Lalu, dalam kehidupan pribadinya, Mma Ramotswe juga harus mencari jawaban atas perubahan sikap tunangannya, Mr. J.L.B. Matekoni, si pemilik bengkel Tlokweng Speedy Motors

Untung ada sekretaris, merangkap asisten pribadinya yang bisa dihandalkan. Selain menjadi asisten manajer di Tlokweng Speed Motors, Mma Makutsi tak disangka-sangka mampu memecahkan kerumitan dalam pemilihan Miss Glamorous Botswana. Mma Makutsi harus menyelidiki dari keempat kandidat, mana di antara mereka yang paling pantas menyandang gelar tersebut. Keberhasilan Mma Makutsi ini juga menyelamatkan kondisi keuangan The No. 1 Ladies’ Detective Agency yang nyaris selalu bersaldo negatif.

Melihat dari judulnya, berulang kali di buku ini dibahas, perilaku gadis-gadis muda dan cantik yang lebih cenderung menggunakan kecantikan mereka dibanding otak mereka. Berbeda dengan Mma Makutsi, si pemegang nilai tinggi di kampusnya, yang wajahnya memang bisa dibilang tidak cantik, tapi berotak encer. Namun nyatanya, para pria lebih memilih gadis cantik dibanding gadis pintar.

Cerita ‘detektif’ yang begitu tenang. Semua diselesaikan dengan cara yang sederhana. Tanpa penyelidikan yang begitu rumit, dengan mengandalkan hati, semua jadi jelas.

lintasberita

Lanjut Baca

Buku Terbang...Terbanglah Bebas Jacinda....! - ulasan


Judul            : FIRELIGHT
Penulis          : Sophie Jordan
Penerjemah  : Ferry Halim
Penyunting    : Ida Wajdi
Pewajah Isi   : Aniza
ISBN           : 978-979-024-475-7
Halaman       : 425
Penerbit        : Atria
Cetakan        : I, April 2011
Harga            : Rp 55,000


Aku seekor draki-“
Tidak, kau adalah-“
“Itulah diriku. Kalau Mom mau membunuh bagian itu dari diriku, maka yang sebenarnya Mom inginkan adalah membunuhku

Bagaimana jika dirimu harus hidup sebagai sosok yang berbeda? Sosok yang bukan jati diirmu? Semuanya  harus dilakukan atas nama  keselamatan seluruh keluarga. Apakah kamu akan memberontak dan hidup sebagaimana adanya tanpa perduli nasib yang lain atau kamu akan menekan egomu hingga tak mampu lagi menekannya?

Apa gunanya keselamatan jika bagian dari dirimu mati?

Sekilas tidak ada perbedaan antara  Jacinda dan saudara kembarnya Tamra dengan anak gadis lainnya. Demikian juga dengan sang mom dengan ibu lainnya. Mereka seakan sebuah keluarga bahagia yang baru saja ditinggal berpulang ayahnya. Nyaris tidak ada bedanya kecuali mereka merupakan keturunan naga, draki.

Jika Tamra tidak mampu berubah wujud menjadi naga sehingga sering dikucilkan, maka Jacinda justru menjadi idola! Ia merupakan draki penyembur setelah 400 tahun yang lalu. Jacinda sangat dipuja hingga dijodohkan dengan putra sang pemimpin. Dasarnya adalah kelangsungan hidup kelompok, bukan cinta.

Sang ibu menekan kemampuannya sebagai darki dorman  demi Tamra, tentunya  juga demi kebahagian Jacinda. Ia tak ingin anak-anaknya  dijadikan sebagai betina  oleh kelompoknya. Walau itu harus dibayar dengan peralihan perlahan-lahan menjadi 100 % manusia.

Sebuah peristiwa membuatnya mengambil keputusan nekat, keputusan yang seharusnya  diambil sejak dulu. Mom nekat membawa Jacinda dan Tamra minggat meninggalkan kelompoknya, kaumnya. Bagi Tamra ini semacam mimpi yang menjadi kenyataan. Sedangkan bagi Jacinda ini merupakan mimpi buruk. Ia tak bisa  lagi  terbang bebas bersama sahabat-sahabatnya dalam wujud naga. Terbang adalah sesuatu yang sangat digemarinya.

Sang ibu berusaha agar Jacinda menekan unsur draki dalam dirinya. Jelas ini bukan hal yang mudah, setidaknya jika dibandingkan dengan Tamra. Sialnya saat itu Jacinda  sudah mulai berkenalan dan jatuh hati pada seorang pemuda bernama Will. Setiap kali berada di dekat Will, sudah bisa dipastikan Jacinda tak mampu mengontrol dirinya. Ia nyaris berubah wujud menjadi naga. Hal ini tentu membahayakan banyak orang. Mom dan Tamra yang sudah susah payah menyelamatkan dirinya dari kelompoknya, serta Will dan saudaranya. Jacinda nyaris melupakan siapa Will sebenarnya.

Sungguh berat hidup Jacinda. Di satu sisi ia sangat memahami kekhawatiran ibunya. Di sisi lain  ia juga tak kuasa menekan apa lagi membunuh naluri draki yang ada dalam dirinya. Sementara Tamra sang saudara kembar sukses bergaul diantara manusia, Jacinda justru merasa terkucil. Posisi mereka sekarang terbalik. Suatu saat, gejolak jiwanya sudah tak tertahankan lagi. Ia nekat terbang walau itu dilakukan di malam hari. Walau sesaat, ia merasa bebas dan bahagia.

Naga sepertinya merupakan hewan yang paling sering kita jumpai saat berurusan dengan bacaan dari genre fantasi. Di Eropa, menurut Kitab Mosnter, naga sering digambarkans ebagai sosok yang makhluk yang kejam yang mewakili kejahatan dan wajib diperangi. Tapi di kawasan Asia, naga justru digambarkan sebagai makhluk ramah pembawa keberuntungan.Dalam dunia binatang fantasi, naga merupakan hewan yang unik karena memiliki variasi bentuk yang sangat kaya.

Istilah naga merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta atau India kuna yang bermakna "ular". Dalam naskah Mahabharata dikisahkan bahwa para Naga merupakan anak-anak Resi Kasyapa dari perkawinannya dengan Dewi Kadru. Nama-nama mereka yang terkenal antara lain Sesa, Taksaka, Basuki, Karkotaka, Korawya, dan Dritarastra. Bangsa Naga yang berjumlah ribuan memiliki dua orang sepupu berwujud burung dan disebut sebagai bangsa Kaga. Keduanya bernama Aruna dan Garuda, yang merupakan putra dari Dewi Winata yang juga dinikahi Resi Kasyapa. Dengan demikian, hubungan antara Naga dengan Kaga selain sebagai sepupu juga sebagai saudara tiri. Meskipun demikian hubungan mereka kurang baik dan sering terlibat perselisihan. Di antara para Naga ada pula yang menjadi dewa, yaitu Sesa, yang tertua di antara putra Kadru. Ia memisahkan diri dari adik-adiknya dan hidup bertapa menyucikan diri. Ia akhirnya diangkat sebagai dewa para ular, bergelar Ananta.(wikipedia)

Belakangan buku seputar naga juga mulai bermunculan. Setiap buku memberikan pengetahuan tambahan seputar naga. Salah satu buku lawas yang juga membahas mengenai naga adalah Kitab Naga. Dalam buku ini disebutkan sebuah mantera guna menjinakkan naga:

Ivashi yuduin!
Enimor taym insplelz!
Boyar ugomer gedi!

Tunggu! tidak hanya  sekedar membaca mantra ada beberapa hal yang juga  harus dilakukan. Sebelum membaca mantra,  ambil 93  gram, debu naga dari piring perak yang sudah dicuci tiga kali di air yang dipantulkan cahaya bulan baru. Lalu tebarkan ke naga sambil meneriakan mantra. Mantra ini konon mampu bertahan selama tiga jam penuh. Maka manfaatkanlah waktu dengan sebaik mungkin.

Hidup memang pilihan.
Apakah Jacinda memilih untuk kembali ke kelompoknya, berarti juga kembali ke jati dirinya sebagai sosok yang sangat suka terbang.
Atau...............
Ia memilih mengikuti keinginan sang ibu, menekan kuat naluri draki dalam dirinya
Lalu................
Bagaimana dengan nasib Will?

Semuanya memang tergantung bagaimana pilihan Jacinda...
Mari kita simak sama-sama sajalah he he he he

Jangan lupa mengunjungi www.sophiejordan.net untuk info lebih lengkap seputar sang penulis.
Ssst sekedar berbagi rahasia, Sophie Jordan juga menulis dengan nama samaran Sharie Kohler.
Heran, ada apa sih para penulis ini? Kok senang sekali memiliki nama banyak...Semoga karya mereka sebanyak nama mereka yahh

Tidak butuh waktu lama kok untuk menuntaskan buku ini.Saya membacanya sambil menunggu jemputan. Kisah fantasi yang diramu dengan bumbu cinta  kasih memang menawan. Tidak hanay cinta kasih kepada pujaan hati, namun juga untuk keluarga, bahkan kelompoknya.
Ya ampuinnnnnnnnnnn!
Ternyata Will adalah...
*kabur dari timpukan yang belum baca*

lintasberita

Lanjut Baca

Buku The Travelogue - ulasan

Currently we can find a lot of travel books invading the bookshops. Some books are very good, written in a very detail way and also very informative. But some others are sometimes a bit poor. Instead of getting new insight about some places, I usually finish the book and feel disappointed. Moral of the story: I need to be really careful before deciding to buy a travel book (or all books?).

I read several travelogues lately, here are the three of them:

TRAVEL IN LOVE
Reading the synopsis of the book at the back cover is really tempting. It is said that this is a travel book written by two lovers, Liang Lu and Li Qi, who resigned from their jobs as a journalist in order to focus on their romantic journey. They visited 60 cities, 14 provinces and other areas in China.

Since it is said that they were formerly journalists, I was quite sure that I was going to love the book. But I don't know. I don't enjoy the book. I tried to finish it but at last I gave up. Put the book back to the bookshelf:(

THE JOURNEYS
I love the idea, 12 writers wrote about their journeys. So we will have 12 different stories written by Trinity, Raditya Dika, Adhitya Mulya, Valiant Budi, and many more. But 12 writers have their own style of writing and also their writing ability are different one another. Therefore I found that some stories are engaging while others are so-so. Perhaps it takes special writer to make an interesting travel story, who knows?

THE NAKED TRAVELER 3
I guess Trinity is one of the best travel writer in Indonesia. She always delivers her travel story vividly. She succeeds in making people leave their comfortable zone, save some money, take their leaves and go around the globe. This is her 3rd book, still telling about her travel experience, some of the stories have been posted in her website, it seems that there are always places to go and places to tell. Worrying gets you nowhere that what she believes and I definitely agree on that.

lintasberita

Lanjut Baca

Buku Legenda FitzChivalry Farseer, si Anak Haram dari Six Duchies - ulasan


Penulis            : Robin Hobb
Penerjemah     : Barokah Ruziati
Penyunting      : Lulu  Fitri Rahman
Korektor        : Tendy Yulianes
Halaman         :  532
Penerbit         : Matahati


Anak Haram!
Si anak haram!
Dasar anak haram!
Aku bukan pangeran sejati. Aku anak haram!

Sepanjang hidupnya,  Fitz selalu dikenal sebagai anak haram dari Chivalry, calon raja berikutnya. Kehadirannya jelas menjadi bahan pergunjingan diseluruh Kastel. Sudah bukan rahasia umum jika Putra Mahkota  Chivalry dan Lady Patience belum juga  atau bahkan tak bisa memiliki anak. Kehadiran  seorang anak lelaki, walau pun anak haram jelas  merupakan topik yang menarik untuk dibahas.

Nasib memang seakan tidak berpihak pada dirinya. Diseret ke kota yang asing dari pelukan hangat ibunya, ditinggal oleh ayah kandung yang belum pernah ditemui dan hanya diurus  oleh  anak buahnya. Sang ayah demi menjaga perasaan istrinya, memilih mengundurkan diri dan pindah ke pedesaan dari pada menjadi raja dan bertemu dengan Fitz. Terakhir, ia  harus kehilangan satu-satunya sahabatnya yaitu seekor anak anjing.

Fitz berada di bawah pengawasan  Burrich, abdi pangeran yang setia. Tugas sehari-harinya adalah mengurusi hewan peliharaan sang pangeran.  Fitz sendiri adalah panggilan untuk anak lelaki berdasarkan garis keturunan, terutama di luar pernikahan raja dan pangeran. Bagaimana juga darah Chivalry mengalir di dalam tubuh Fitz. “ .... kau memiliki darah keturunan raja. Anak haram atau bukan, kau putra kandung Chivalry,dari garis yang tua....”

Entah mana yang lebih baik baginya, dipanggil Fitz seolah mempertegas asal-usulnya atau dibanggil bocah saja.  Bagi anak berusia 6 tahun sepertinya tak ada bedanya, asal ia bisa makan cukup serta memiliki tempat berteduh. Syukur jika ada yang mau mengajari sesuatu keahlian.Sehari-hari Fitz hanya berkeliaran disekitar kastel tanpa ada yang memperdulikannya, kecuali saat sedang menjadi bahan percakapan.

Sang kakek , Raja Shrewd justru memiliki pemikiran yang berbeda tentang Fitz.  Sekarang mungkin saja Fitz hanya seorang bocah lugu yang berpenampilan kotor.  Namun dengan mengambil dan membentuknya, maka Fitz akan menjadi sosok yang setia, alih-alih sosok anak haram yang tak bahagia yang bisa  dibujuk untuk menggoyahkan takhta. Fitz akan menjadi sosok yang loyal, terikat dengan jiwa dan darah.

Mulai saat itu, Fitz diakui sebagai sosok yang unik.  sosok yang merupakan keturunan sekaligus bukan keturunan raja. Lihat saja lambang yang ada di pakaiannya, lambang kepala rusa jantan dengan benang perak, nyaris mirip dengan  anak-anak sang raja. Bedanya adalah adanya  jahitan benang merah yang memotong lambang tersebut secara diagonal, menutupi gambarnya. Tanda sebagai keturunan raja yang diakui, tapi tetap saja anak haram!

Ternyata dugaan sang raja  benar! Fitz berguna dalam banyak hal. Perlahan tapi pasti ia menunjukkan  sumbangsihnya sebagai anggota kerajaan. Setiap perintah yang seakan tak masuk akan dikerjakannya dengan serius hingga menghasilkan sesuatu hal yang bermanfaat bagi kerajaan.  Setiap tindakannya dilakukan tanpa bertanya mengapa sebuah perintah diberikan. Yang ada dikepalanya adalah bagaimana cara menjalankan perintah, bukan mengapa.Sepertinya selama ini tanpa sadar ia diajar untuk patuh tanpa bertanya apapun. Ditambah dengan kemujuran-kemujuran yang selalu menyertainya, siapapun yang dulu meragukan kemampuan dan memandang rendah Fitz, sekarang memandangnya dengan hormat, walau sedikit.

Maka dimulailah kisah petualangan FitzChivalry Farseer  dari kerajaan Six Duchies yang penuh dengan intrik dan tipu daya. Dimana saja, kekuasaan selalu mengundang rasa iri dan dengki! Dan pastinya ada misteri percintaan yang seakan menjadi momok bagi kaum bangsawan.

Buku ini merupakan buku yang unik!
Tengok saja nama-nama yang membidani  kelahiran buku ini. My beloved sis Uchi, belobed manajer  Sil serta editor yang mumpuni, Lulu. Minimal ada jaminan mutu untuk terjemahan dan typo he he he. Jika urusan kisah  pastilah menjadi bagian sang tukang cerita.

Awalnya saya kurang menyukai cara bercerita dalam buku ini. Alurnya lamban sekali! Nyaris saya menyerah jika tidak ada dorongan semangat. Apalagi saya bukan pembaca yang gemar melahap narasi panjang lebar. Sampai nyaris setengah buku isinya lebih banyak narasi  seputar Fitz saja. Kisah tentang bagaimana ia menghabiskan waktu luangnya saja bisa lebih dari 2 halaman, duh membuats aya lelah membacanya. Perincian yang menurut saya tidak perlu justru bertebaran dimana-mana. Aduhhhhhhhhhhhhhhhhhh!

Untungnya kian kebelakang, kisah nya mendaak berubah 360 derajat!  Fitz tidak lagi tertatih-tatih, tapi ia berjalan cepat bahkan berlari di beberapa bagian. Uraian yang semula saya anggap tidak penting justru di belakang malah menjadi kunci utama guna memahami suatu hal. Kadang saya terpaksa mundur ke halangan belakang jika merasa lupa ini bagian dari kisah yang mana ya...

Penulis rupanya sengaja menceritakan banyak hal di awal kisah agar pembaca bisa memahami bagaimana tepatnay sebuah peristiwa terjadi. Tidak ada yang tersisa dari rangkaian rincian penjabaran di awal-awal bab. Semuanay terkemas dalam untaian kisah menawan. Sungguh pengorbanan yang sangat layak!

Selain mendapat pengetahuan tentang bagaimana kehidupan kerajaan pada zaman itu. Urusan politik kadang mendominasi segala aspek kehidupan dalam lingkungan kerajaan. Setiap tindakan seseorang disengaaj atau tidak bisa membahayakan dirinya, terutama jika bersinggungan dengan penguasa. Tengok bagaimana saudara ayah Fitz dalam bersikap, atau bagaimana pengasuhnya membelanya demi darma pada sang tuan

Kita juga mendapat banyak kalimat indah penuh petuah yang diselipkan dalam cerita. Misalnya saja "Buang kerinduanmu padanya. Dengan begitu tidak akan terlalu sakit."  Kalimat ini diberikan oleh  Burrich saat menasehat Fitz yang bersedih kehilangan anak anjing peliharaannya. Atau kalimat, " Belajar  tidak pernah salah. Bahkan belajar untuk membunuh tidaklah salah. Atau benar, itu hanya satu hal untuk dipelajari." Kalimat yang diterima Fitz saat akan belajar menjadi seorang pembunuh.
 
Upssssssssssss! Saya spoiler.
Habis mau bagaimana, kisahnya menggoda untuk dibagi sih. ^_^

Termasuk kata-kata umpatan yang biasanya jarang ada di sebuah novel di halaman 321 he he he

Sejujurnya saya sangat  membenci kelakuan para penghuni kastel Six Duchies! Teganya mereka memperlakukan Fitz dengan begitu kejam. Membiarkan seorang anak tidur di tempat sembarangan, makan semaunya bahkan mungkin makanan yang tak layak bagi anak-anak. Mendengar mereka mengumpat dan mengintimidasinya sebagai seorang anak haram yang tak berguna! Bukan salahnya jika ia lahir tidak dari pernikahan resmi orang tuanya, tapi seakan-akan seluruh kastel ingin membuat ia sadar dimana posisinya. Sungguh kehidupan yang berat bagi anak kecil!

Satu hal yang menonjol dalam kisah ini  adalah unsur persahabatan. Persahabatan yang dibina Fitz dengan sang pelawak terbukti telah menyelamatkan dia dalam berbagai bahaya. Persahabatannya dengan anjing kesayangannya telah menyelamatkan jiwanya. Persahabatan denga anak-anak lain telah menempa Fitz menjadi anak yang tangguh.

Robin Hobb adalah nama pena dari novelis Margaret Astrid Lindholm Ogden. Penulis ini  lahir  pada tahun 1952 di California dan menghabiskan masa kecilnya di Alaska. . karyanya terutama adalah fiksi fantasi , walaupun dia telah menerbitkan beberapa fiksi ilmiah .  Nama Robin Hobb mulai digunakannya pada tahun 1995 untuk karya tradisional Fantasy epik Abad Pertengahan Eropa. .

Karya-karya sebagai  Megan Lindholm antara lain:
The Ki and Vandien Quartet
  • Harpy's Flight (1983) ISBN 0-00-711252-1
  • The Windsingers (1984) ISBN 0-00-711253-X
  • The Limbreth Gate (1984) ISBN 0-00-711254-8
  • Luck of the Wheels (1989) ISBN 0-00-711255-6
Tillu and Kerlew
  • The Reindeer People (1988) ISBN 0-00-711422-2
  • Wolf's Brother (1988) ISBN 0-00-711434-6
Other Books
  • Wizard of the Pigeons (1985)
  • Cloven Hooves (1991) ISBN 0-553-29327-3
  • Alien Earth (1992) ISBN 0-553-29749-X
  • The Gypsy (1992) with Steven Brust ISBN 0-7653-1192-5
Short stories
  • Cut (Read online)
Karyanya sebagai Robin Hobb
The Farseer Trilogy
  • Assassin's Apprentice (1995)
  • Royal Assassin (1996)
  • Assassin's Quest (1997)
Liveship Traders Trilogy
  • Ship of Magic (1998)
  • The Mad Ship (1999)
  • Ship of Destiny (2000)
The Tawny Man Trilogy
  • Fool's Errand (2002)
  • Golden Fool (2003)
  • Fool's Fate (2003)
 The Rain Wilds Chronicles
  • Dragon Keeper (2009)
  • Dragon Haven (2010)
  • City of Dragons (to be released in 2012)
  • Dragon Blood (to be released in 2012)
Soldier Son Trilogy
  • Shaman's Crossing (2005)
  • Forest Mage (2006)
  • Renegade's Magic (2008)
Short stories
  • "The Inheritance" (The Realm of the Elderlings) in Voyager 5: Collector's Edition.
  • "Homecoming" (The Realm of the Elderlings) in Legends II, edited by Robert Silverberg.
  • "Words Like Coins" (The Realm of the Elderlings)
  • The Triumph, a historical story in the Warriors anthology.
  • "Blue Boots" (The Realm of the Elderlings) in Songs of Love and Death, edited by George R. R. Martin and Gardner Dozois.
Collections
  • The Inheritance & Other Stories (2011)
Gambar dari :
http://aworldofmakebelieve.blogspot.com/2011/05/assassins-apprentice.html

lintasberita

Lanjut Baca

Buku Bandung, Kata Para Penyair - ulasan



Judul : Di Atas Viaduct (Bandung dalam Puisi Indonesia)

Editor : Ahda Imran

Penerbit : Forum Sastra Bandung

Terbit : I, Mei 2009

Halaman : 293 Halaman

Harga : Rp. 60.000


Bagi seniman, kunjungan ataupun kehadiran di sebuah kota, seringkali bukanlah sekadar menempatkan dirinya secara geografis dalam sebuah wilayah kota, namun seringkali secara spritual.

Artinya, kehadiran dirinya di dalam sebuah kota selalu melibatkan dimensi-dimensi spiritual, emosional hingga psikologis. Dimensi-dimensi inilah yang mendorong seniman untuk melakukan sebuah refleksi--baik tentang dirinya maupun tentang lingkungan di sekitarnya.

Hasil refleksi inilah yang kemudian dapat dituangkan ke dalam sebuah karya seni, misalnya saja puisi.

Begitu juga dengan antologi puisi Di Atas Viaduct ini. Di dalam buku ini termuat puisi-puisi dari sejumlah penyair. Saya sangat percaya, kehadiran puisi-puisi ini merupakan buah relasi penyairnya dengan lingkungan, atmosfer, dinamika masyarakat dan segala hiruk pikuk Kota Bandung.

Sebagian penyair mengungkapkan keprihatinannya terhadap Kota Bandung yang terus mengalami perubahan. Perubahan sosial yang berimbas kepada perubahan-perubahan lingkungan dan sosial, telah membuat penyair merasa roh dan wajah Bandung hilang.

Lihat saja puisi Juniarso Ridwan berjudul Ahoaho Bandung. Dalam puisi ini Juniarso menegaskan bahwa lingkungan kota Bandung tengah mengalami perubahan. Dalam saja tersebut Juniarso menulis, jajaran tiang beton, ya nenekku/tlah gantikan pohon kenari/ sepintas wajah penghuni kota/ tak kenal wajah sendiri//.

Kegelisahan yang sama tampak juga dalam puisi Diro Aritonang berjudul Braga Sky, ..deru bising kota/ melumpuhkan otakku/ jantung kota yang tak menentu/membuat kosong pandangan mataku/ di setiap trotoar jalana/...

Dari sajak ini terlihat bagaiman Diro Aritonang merasakan Bandung tidak lagi ramah. Braga Sky, yang menjadi judul sajak ini, adalah sebuah pusat belanja yang berada di kawasan Jalan Braga. Braga yang klasik, bangunan berarsitektur unik, kini terganggu dengan hingar bingar pusat belanja tersebut.

Selain sajak yang menyesalkan perubahan-perubahan negatif dalam Kota Bandung, sejumlah penyair pun menuliskan kegelisahan-kegelisahan personal saat mereka berada di Bandung. Hal ini tampak jelas pada sajak-sajak yang ditulis oleh Fadjroel Rachman dan Acep Zamzam Noor.

Dari kumpulan puisi ini kita dapat melihat bahwa Bandung pada dasarnya tidak dapat statis. Ia akan berubah. Persoalannya adalah bagaimana perubahan itu tidak membawa implikasi negatif, baik secara sosial ataupun ekologis.

Bagi mereka yang rindu kota Bandung, kumpulan sajak ini bisa menajdi pengobat rindu. Bagi mereka yang ingin mengetahui Kota Bandung lebih jauh, mungkin antologi inilah salah satu media yang bicara jujur mengenai Paris Van Java itu.


lintasberita

Lanjut Baca

Buku Kuantar ke Gerbang - Ramadhan K.H - ulasan

No. 261
Judul : Kuantar ke Gerbang, kisah cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno
Penulis : Ramadhan K.H.
Penerbit : Bentang Pustaka
Cetakan : I, Maret 2011
Tebal : 431 hlm

"Ini tentang pengalamanku dengannya, dengan seseorang yang mementingkan segi membangkitkan semangat dan solidaritas bangsa untuk mencapai apa yang dicita-citakannya, apa yang sebenarnya kita cita-citakan bersama, yakni kemerdekaan bagi bangsa kita. Dibalik itu, ia pun adalah seorang yang sangat penuh romantika. Aku mengikutinya, melayaninya, mengemongnya, berusaha keras menyenangkannya , meluluhkan keinginan-keinginannya,.

Namun, pada suatu saat, setelah aku mengantarkannya sampai di gerbang apa yang jadii cita-citanya, berpisahlah kami, karena aku berpegang pada sesuatu yang berbenturan dengan keinginannya. Ia pun melanjutkan perjuangannya seperti yang tetap aku doakan. Aku tidak pernah berhenti mendoakannya"

(Inggit Ganarsih, Kuantar ke Gerbang hlm 2)

Dibanding istri-istri Soekarno, Inggit Ganarsih termasuk istri yang kurang dikenal. Masyarakat umumnya lebih mengenal Fatmawati, atau Dewi Soekarno dibanding Inggit Ganarsih. Tak banyak memang yang menulis tentang Inggit Ganarsih, dalam buku teks sejarah-sejarah resmi namanya ditulis selewat saja. Karenanya kita patut bersyukur karena penggalan kehidupan Inggit Ganarsih ketika masih bersama Bung Karno sempat dituliskan oleh Ramadhan KH dalam novel “Kuantar ke Gerbang” (Kisah cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno)

Dalam novel ini kita akan mendapatkan kisah kehidupan seorang wanita Sunda yang menjadi pendamping Bung Karno saat ia menimba ilmu di ITB Bandung sambil merintis jalannya di bidang politik, masa-masa sulit ketika Bung Karno dipenjara dan diasingkan, hingga kepindahannya ke jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta beberapa bulan sebelum Proklamasi Kemerdekaan dibacakan oleh bung Karno.

Dalam hal menjalin kehidupan rumah tangga, walau usia Inggit lebih tua 13 tahun ketika menikah dengan Bung Karno namun Inggit mampu menjadi seorang pendamping yang sepadan bagi Bung Karno. Perbedaan usia yang mencolok ini malah menjadi keuntungan bagi Bung Karno karena baginya Inggit bukan hanya sekedar kekasih dan istri, namun sekaligus ibu yang mengemong dan membimbingnya.

Inggit adalah wanita sederhana, ia tak bisa membaca dan menulis, namun dalam kesederhanaan dan keterbatasannya itulah Inggit mampu membuat Soekarno muda bertumbuh menjadi seorang pejuang yang tangguh. Ketika bersama Inggitlah Bung Karno merintis jalan politiknya, di Bandung ia mendirikan Partai Nasional Indonesia dan menjadi singa podium yang berjuang untuk kemerdekan Indonesia. Di masa ini Inggit memang tidak menjadi partnernya yang bisa diajak berdiskusi masalah pergerakan namun dengan ketulusan cintanya Inggit memberikan kasih sayang dan dorongan moril baginya, sesuatu yang tidak bisa diperoleh Bung Karno di arena gelanggang politiknya.

Jika Bung Karno diibaratkan nyala api, maka Inggit Ganarsih adalah kayu bakarnya. Inggit menghapus keringat ketika Soekarno kelelahan, Inggit menghibur ketika Soekarno kesepian atau membutuhkan dorongan darinya.

“Setiap kelelahan, ia memerlukan hati yang lembut, tetapi sekaligus memerlukan dorongan lagi yang besar yang mencambuknya, membesarkan hatinya. Istirahat, dielus, dipuaskan, diberi semangat lagi, dipuji dan didorong lagi”

"Waktu sampai rumah aku harus menyediakan minuman asam untuk mengembalikan suara Kusno (Bung Karno) yang sudah parau itu. Aku seduh air jeruk atau asam kawak. Aku sendiri yang harus menidurkan kesayanganku yang besar ini, singa panggung ini. Tak ubahnya ia dengan anak kecil yang ingin dimanja" (hal 99)

Ketika akhirnya Bung Karno ditangkap dan dipenjara di Banceuy Bandung, Inggit tetap setia, Ia rajin mengunjungi dan mengirim makanan untuk suaminya di penjara. Untuk mendapatkan uang ia membuat bedak, manjadi agen sabun cuci, membuat dan menjual rokok hingga menjahit pakaian dan kutang.

Kegigihan Inggit untuk menafkahi keluarganya saat bung Karno dalam penjara, membuat Bung Karno sedih karena telah melalaikan tugasnya sebagai kepala rumah tangga, ketika hal itu disampaikan pada istrinya, Inggit memberinya semangat.

Tidak, Kasep, jangan berpikir begitu. Mengapa mesti berkecil hati. Di rumah segala berjalan beres….Tegakkan dirimu, Kus, tegakkan! Teruskan perjuanganmu! Jangan luntur karena cobaan semacam ini!” (hal 159)

Saat Bung Karno sedang menyusun naskah pembelaannya Inggit membantu mencari dan mengirim data serta dokumen untuk referensi suaminya menyusun pembelaan (pledoi). Inggit dengan berani menyelundupkan data dan dokumen yang diperlukan Bung Karno ke Penjara Banceuy. Agar tak ketahuan sipir penjara ia menyembunyikan naskah tersebut dibalik kebayanya.Jerih payah Inggit ini membuat Bung Karno berhasil menyusun pembelaannya yang sangat terkenal, Indonesia Menggugat, yang dibacakan di Landraad Bandung, 18 Agustus 1930.

Dengan cerdas Inggit juga memberikan kode-kode rahasia tentang situasi diluar penjara baik melalui telur yang dibawanya atau melalui Al Quran yang telah diberi kode rahasia kepada suaminya, dengan demikian walau setiap kunjungan selalu diawasi oleh sipir penjara, bung Karno tetap dapat mengetahui baik buruknya situasi perjuangan saat itu.

Pengorbanan dan kesetiaan cinta Inggit tidak hanya terlihat ketika Soekarno di Penjara. Masa-masa pembuangan di Ended an Bengkulu menjadi saksi bagi ketabahan dan kesetiaannya pada Bung Karno . Sebetulnya Inggit adalah manusia bebas yang memiliki hak untuk tidak ikut bersama suaminya dalam pembuangan, namun cinta dan kesetiaannya pada Bung Karno membuatnya bertekad menyertai suaminya dalam suka dan duka

“..apakah artinya aku sebagai istrinya kalau suami dibuang dan aku tidak ikut dengannya?...aku sudah tahu, meskirpun tidak dikatakan berapa lama kami harus hidup dalam pembuangan, aku sudah harus siap untuk hidup disana sampai ajal” (hal 267)

Niatnya untuk mendampingi suaminya selama di pengasingan benar-benar diwujudkannya , di masa-masa sulit inilah Inggit menjadi peredam dan tempat berteduh bagi jiwa Bung Karno yang kesepian dan tertekan karena perjuangannya untuk memerdekakan bangsanya harus terhenti entah sampai kapan.

“Aku lalu mengajaknya keluar dari kesepian. Aku harus pandai mencumbunya supaya ia bebas dari dari tekanan –tekanan yang menimpa batinnya.” (hal 300)

Malangnya usaha Inggit untuk menghibur dan mendampingi Bung Karno selama di pengasingan ternyata tak cukup bagi Bung Karno. Soekarno yang saat itu berada di usia yang sedang bergelora tak kuasa meilhat kecantikan Fatmawati, anak angkatnya sendiri yang diasuhnya bersama Inggit di Bengkulu. Bung Karno akhirnya meminta izin pada Inggit untuk diizinkan menikah dengan Fatmawati dengan alasan ingin memiliki keturunan. Satu-satunya yang tak bisa diberikan Inggit pada suaminya. Bung Karno tak berniat menceraikan Inggit, ia hanya meminta restu Inggit untuk menikah lagi dan status Inggit menjadi istri pertamanya.

Dengan tegas Inggit menolak untuk dimadu, ia memilih bercerai daripada harus dimadu.

“Aku orang Banjaran dari keluarga yang pantangannya adalah dimadu dalam keadaan bagaimanapun…Sudah aku jelaskan, kalau mau mengambil dia, ceraikanlah aku! Aku pantang dimadu!” (hal 405)

Ditengah kegalauan hatinya ini Inggit tetap melayani Bung Karno dengan cintanya. Ketika sekutu kalah perang dan Jepang memasuki Sumatera Inggit dan Bung Karno harus menghadapi tantangan baru. Walau mereka diizinkan meninggalkan Bengkulu dan diperintahkan untuk menuju Jakarta, mereka harus melakukan perjalanan darat menuju Padang melalui hutan belantara agar terhindar dari pasukan Jepang .

Akhirnya selepas dari pembuangan di Bengkulu, pada tahun 1942 Bung Karno dan Inggit resmi bercerai di Jakarta. Perceraiannya ini disertai juga dengan sejumlah persayaratan yang dibuat dihadapan 4 Serangkai (Hatta, Ki Hajar Dewantara, KH Mas Mansur, dan Soekarno) . Bagi Inggit yang telah menjalani bahtera rumah tangganya bersama Bung Karno selama hampir 20 tahun lamanya ini adalah suatu peristiwa yang paling menyedihkan dalam hidupnya, namun ia tak mau larut dalam kesedihan. Cintanya yang tulus pada Bung Karno dan kepasrahannya pada jalan hidup yang telah digariskanNYA membuat ia kuat dan mensyukuri apa yang telah dialaminya.

“..sesungguhnya aku harus senang pula karena dengan menempuh jalan yang bukan bertabur bunga, aku telah menghantarkan seseorang sampai di gerbang yang amat berharga” (hal 415)

Demikianlah novel ini menggambarkan dengan menarik bagaimana suka duka dan pasang surut kisah cinta Inggit dengan Bung Karno. Novel ini ditulis dengan menggunakan kata ganti ‘aku’ sehingga kita yang membacanya seakan langsung mendengar penuturan langsung dari bu Inggit. Dengan demikian penulis juga bisa secara dalam mengeksplorasi semua isi hati Inggit selama ia mendampingi Bung Karno baik dalam suka maupun duka. Semua perasaan dan pergolakan batin yang dirasakan Inggit terdeskripsikan dengan blak-blakan dan apa adanya sehingga semua ungkapan cinta romantis, kemarahan, dan kegalauan hati Inggit benar-benar dapat dirasakan pembacanya

Selain kisah cinta Inggit dan Soekarno, novel ini juga memaparkan berbagai peristiwa, isu-siu sejarah, dan kisah-kisah keseharian Bung Karno dari sudut pandang Ibu Inggit antara lain soal isu bahwa Bung Karno telah berbalik haluan dan meminta maaf serta ampun kepada pemerintah Hindia Belanda.

Di buku ini terungkap bagaimana isu ini begitu menganggunya sampai-sampai Inggit harus meminta konfirmasi langsung pada suaminya, sayangnya seperti yang dikisahkan dalam novel ini Bung Karno hanya diam dan tidak memberi reaksi apa-apa, sebagai istri yang taat dan memahami perasaaan suaminya Inggit tidak mendesak Bung Karno untuk menjawabnya sehingga isu tersebut tetap menjadi misteri dan pedebatan di kalangan sejarahwan hingga kini.

Selain itu ada banyak hal-hal menarik tentang Bung Karno, baik itu pemikiran dan strategi perjuangannya, pembelaannya di pengadilan Landraad Bandung, pandangannya terhadap dunia Islam, kegemarannya melukis, melatih Ratna Juami, anak angkatnya berpidato di pantai, hingga hewan peliharaannya, akan terkisahkan di novel ini.

Kesemua itu ditulis oleh Ramadhan KH dengan kalimat-kalimat yang sederhana namun sarat makna seakan mampu mewakili gambaran sosok bu Inggit yang sederhana dan cerdas. Intinya lewat novel ini kita semua akan diajak menyelami penggalan kehidupan Ibu Inggit dan Bung Karno semenjak kuliah di Bandung hingga beberapa saat sebelum memasuki gerbang kemerdeakaan yang dicita-citakannya.

Melalui novel ini kita juga akan tahu bahwa Inggit yang namanya dan bukti pengabdiannya hanya tersisa lewat seonggok bangunan yang terkepung di tengah-tengah debu dan hiruk pikuk kaki lima serta lalu lalang kendaraan di Jalan Inggit Ganarasih (dulu Ciateul) Nomor 18 Bandung Itu ternyata memiliki kontribusi yang besar baik terhadap bangsa ini maupun terhadap pembentukan pribadi Bung Karno untuk menjadi seorang pejuang yang tangguh.

Tak berlebihan jika Prof. S.I Poeradisastra dalam kata Pengantarnya edisi pertama novel ini yang diterbitkan oleh Penerbit Sinar Harapan (1981) menulis demikian :

Separuh dari semua prestasi Soekarno dapat didepositokan atas rekening Inggit Garnasih di dalam Bank Jasa Nasional Indonesia”. Inggit telah menjalankan tugasnya dengan sempurna, lebih dari seorang istri.

“Saya mohon maaf sebesar-besarnya kepada semua janda Sukarno dengan segala jasa dan segala segi positifnya masing-masing, tetapi saya harus mengatakan, bahwa hanya Inggit Garnasihlah yang merupakan tiga dalam satu diri. Ibu, kekasih, dan kawan yang memberi tanpa menerima. Kekurangan Inggit hanyalah karena ia tak mampu melahirkan anak bagi Sukarno”



Rumah Ibu Inggit

Jln Inggit Ganarsih No. 8 - Bandung






Sejarah Penerbitan

Novel ini diulis oleh sastrawan senior Ramadhan KH (1927-2006) pada tahun 1979-180 berdasarkan wawancara langsung dengan Ibu Inggit yang saat itu telah berusia 91 tahun dengan dibantu oleh Ratna Djuami dan Kartika Uteh yang adalah anak Soekarno-Inggit. Selain itu penulis juga mengadakan wawancara dengan sejumlah tokoh yang pernah aktif dalam pergerakan pada tahun 1920-1943. Berdasarkan wawancara dan studi literatur yang bersangkutan dengan kejadian-kejadian pada masa itu.

Pada tahun 1981 novel ini untuk pertama kalinya diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan. Kemudian di tahun 2000-an penerbit Kiblat Buku Utama – Bandung menerbitkan lagi novel ini dan sempat mencetak ulang novel ini sebanyak 3 kali sebelum akhirnya di tahun 2011 ini diterbitkan oleh Bentang Pustaka dengan cover yang lebih menarik dan tambahan foto-foto dokumentasi yang relevan dengan isi bukunya.




Cetakan I, Pustaka Sinar Harapan, 1981






Terbitan Kiblat Buku Utama, thn 2000-an





Selain menerbitkan ulang novel ini, Mizan Group dibawah bendera Mizan Production juga akan mengangkat kisah cinta Ibu Inggit dan Bung Karno ini kedalam versi layar lebar. Rencanaya film ini akan mulai diproduksi pada juli 2011 nanti dan baru tayang pada 2012 mendatan. Maudy Koesnaedi yang terpillih menjadi Ibu Inggit. Sedangkan sosok proklamator di film ini kabarnya masih sedang dicari.

@htanzil


lintasberita

Lanjut Baca
 
Copyright (c) 2010 Buku Bagus by Dunia Belajar