Buku Blink, Kemampuan Berpikir Tanpa Berpikir - ulasan

Bayangkanlah hal ini: Suatu saat anda sakit dan merasa perlu untuk mendatangi dokter. Anda masuk ke ruang praktek dokter itu dan sang dokter terus menulis di atas kertas seolah – olah tidak ada orang lain, tidak tersenyum dan baru berbicara ketika anda mengatakan bahwa anda perlu pertolongan. Jika anda mengalami hal ini, apakah menurut anda dokter semacam ini bisa menjadi seorang dokter yang baik? Yang bisa menyembuhkan banyak pasien? Saya rasa anda akan menjawab: “Meskipun sang dokter bergelar Ph. D dari Amerika, nampaknya berat bagi dia menjadi seorang dokter yang berhasil.”
Jika pertanyaan semacam ini diberikan kepada seratus orang lainnya, saya yakin sebagian besar dari mereka akan menjawab bahwa dokter ini tidak akan menjadi dokter yang sukses. Namun, pertanyaannya, bagaimana mereka bisa yakin bahwa sang dokter akan gagal? Bagaimana mereka bisa mengambil kesimpulan hanya dari kesan pertama mereka atas sang dokter? Itulah Blink!
Buku kedua dari Malcolm Gladwell ini berisi tentang kesimpulan yang kita buat berdasarkan kesan pertama kita atas sesuatu. Menurut Gladwell kesan pertama kita atas sesuatu benar – benar kuat, benar – benar penting dan terkadang benar – benar baik. Tentu saja pendapat Gladwell ini mendapatkan banyak kritikan. Bagaimana sebuah kesimpulan dari sebuah kesan bisa dikatakan sebagai sebuah kesimpulan yang baik? Saya teringat pepatah dalam buku Stephen Covey, 7 Habits of Highly Effective People, yang berbunyi: “Ukur dua kali, potong sekali”. Pepatah yang berasal dari aktivitas tukang kayu ini mengajarkan kepada kita agar berpikir matang, mengumpulkan sebanyak mungkin informasi sebelum membuat kesimpulan dan berbuat. Kita memang diajari untuk tidak terburu – buru.
Namun, seperti dalam Tipping Point, Gladwell memiliki cukup data yang menguatkan pendapatnya ini. Berikut ini contohnya: Suatu saat ada seorang yang mendatangi Museum J. Paul Getty di California dan mengatakan bahwa ia memiliki sebuah patung dari abad ke enam sebelum masehi. Pihak museum melakukan penelitian atas patung itu dengan peralatan canggih dan berkesimpulan bahwa patung itu memang patung dari jaman purbakala. Maka pihak museum pun membelinya.
Akan tetapi ketika dipamerkan, pakar sejarah dan pemahat profesional mengatakan bahwa patung itu bukan dari jaman purbakala. Pihak museum melakukan penelitan dengan peralatan canggih selama empat belas bulan sebelum berkesimpulan bahwa patung itu memang berasal dari jaman purba. Tapi pakar sejarah dan pemahat profesional dengan yakin mengatakan bahwa patung itu palsu hanya setelah selubung patung dibuka. Dan tahukah anda siapa yang benar? Para pakar dan pemahat profesionallah yang benar!
Masih banyak lagi kisah – kisah yang menguatkan pendapat Gladwell dalam buku ini. Ada Vic Braden, seorang pelatih tenis profesional yang tahu bahwa seorang petenis akan mendapatkan double fault hanya dari servis yang dilakukannya. Ada Brian Grazer yang tahu bahwa Tom Hanks akan menjadi seorang bintang film top sejak ia bertemu untuk yang pertama kalinya dengan Hanks. Dan juga ada David Sibley yang mengetahu apakah seekor burung itu langka atau tidak dari jarak dua ratus meter dan ketika sang burung sedang terbang!
Namun, dalam buku ini juga Gladwell menulis bahwa tidak selamanya kesan pertama itu benar. Konon, Gladwell mendapatkan ide untuk menulis buku ini dari pengalaman pribadinya. Gladwell, suatu saat berkeinginan untuk memanjangkan rambutnya yang kribo. Ketika ia berjalan di sebuah jalan, tiba – tiba muncul beberapa orang polisi yang berniat untuk menangkap dia karena menurut polisi itu ia mirip dengan sketsa pemerkosa yang sedang dicari – cari polisi. Tentu saja polisi itu salah. Inilah contoh dari kesan pertama yang salah.
Kesalahan dalam kesan pertama seperti ini disebut Gladwell sebagai  “Warren Harding Error”. Mengapa Gladwell menyebutnya demikian? Warren Harding adalah presiden Amerika ke 29 yang terpilih karena kesalahan kesan pertama. Harding adalah seorang yang bertubuh tinggi besar dan tampan. Orang – orang pun memilihnya menjadi Presiden karena tampilan fisiknya yang sempurna. Tetapi, Harding hanya menjadi presiden Amerika selama dua tahun – mati karena stroke – dan banyak sejarawan setuju bahwa Harding adalah presiden Amerika terburuk.
Ya, buku ini memang berisi tentang kesimpulan dari kesan pertama yang baik dan kesimpulan dari kesan pertama yang buruk sekaligus. Namun, buku ini tidak hanya berisi kisah – kisah dari keduanya tetapi juga berisi bagaimana caranya agar kita dapat menarik kesimpulan yang baik dari kesan pertama. Karena banyak orang yang bisa membuat kesimpulan yang baik dari kesan pertama mereka, Gladwell mengatakan bahwa sebenarnya membuat kesimpulan yang baik dari kesan pertama itu bisa dipelajari dan dilatih. Blink juga berisi hal terakhir ini.
Bagi saya, Blink jauh lebih enak dinikmati daripada Tipping Point. Dan seperti Tipping Point, kekuatan buku ini adalah banyaknya data – data dari lapangan.

Informasi Buku:
Buku 4
Judul: Blink, Kemampuan Berpikir Tanpa Berpikir
Penulis: Malcolm Gladwell
Penerjemah: Alex Tri Kantjono Widodo
Penerbit: Gramedia
Tebal: 316 halaman
Cetakan: VI,Februari 2009


lintasberita

Lanjut Baca

Buku Duka Aceh dalam Sejarah - ulasan



Judul: Lampuki
Penulis: Arafat Nur
Penerbit: Mizan
Terbit: Mei 2011
Halaman:433 halaman

lintasberita

Lanjut Baca

Buku [Trailer] Wuthering Heights - Kate Bush - ulasan

Wuthering Heights version 1992

Kate Bush - Wuthering Heights 
Lyric
Out on the wiley, windy moors
We'd roll and fall in green.
You had a temper like my jealousy:
Too hot, too greedy.
How could you leave me,
When I needed to possess you?
I hated you. I loved you, too.

Bad dreams in the night.
They told me I was going to lose the fight,
Leave behind my wuthering, wuthering
Wuthering Heights.

Heathcliff, it's me-Cathy.
Come home. I'm so cold!
Let me in-a-your window.
Heathcliff, it's me-Cathy.
Come home. I'm so cold!
Let me in-a-your window.

Ooh, it gets dark! It gets lonely,
On the other side from you.
I pine a lot. I find the lot
Falls through without you.
I'm coming back, love.
Cruel Heathcliff, my one dream,
My only master.

Too long I roam in the night.
I'm coming back to his side, to put it right.
I'm coming home to wuthering, wuthering,
Wuthering Heights,

Heathcliff, it's me-Cathy.
Come home. I'm so cold!
Let me in-a-your window.
Heathcliff, it's me-Cathy.
Come home. I'm so cold!
Let me in-a-your window.

Ooh! Let me have it.
Let me grab your soul away.
Ooh! Let me have it.
Let me grab your soul away.
You know it's me-Cathy!

Heathcliff, it's me-Cathy.
Come home. I'm so cold!
Let me in-a-your window.
Heathcliff, it's me-Cathy.
Come home. I'm so cold!
Let me in-a-your window.

Heathcliff, it's me-Cathy.
Come home. I'm so cold! 

***
entah kenapa lagu ini bener2 Wuthering Heights banget deh. Ada sih versi yang My Immortal nya Evanescene, tapi ngga bisa kasih kesan sedalem lagu ini. Oh.. Wuthering Heights...

lintasberita

Lanjut Baca

Buku [Review] Wuthering Heights by Emily Brontë - ulasan


"..karena memangnya apa yang tidak mengaitkan Catherine dengan diriku? Dan apa yang tidak membuatku teringat akan dirinya? Aku tak bisa menatap lantai ini tanpa melihat wajahnya terbentuk dalam batu-batu ini! Di setiap awan, di setiap pohon - memenuhi udara malam, dan mewujud dalam pemandangan setiap benda sepanjang siang - aku dikelilingi sosoknya! Wajah-wajah pria dan wanita yang paling biasa - wajahku sendiri - mengolokku dengan suatu kemiripan"

Di masa lalu, saya pernah mengalami masa dimana seseorang mengaku bahwa dia sedang sangat rindu, namun tak bisa melakukan apapun untuk menemui belahan jiwanya, karena belahan jiwanya ini lebih bahagia bersama orang lain. Mau tak mau, Heathcliff mengingatkan saya pada orang itu. Pengakuan-pengakuan yang dibuatnya di akhir buku, tentang betapa sakit dan menyiksanya rasa rindunya pada Catherine, ternyata mampu membuat saya sedikit maklum pada kekerasan hati dan tingkah lakunya.

Membaca novel ini sama saja membiarkan emosi terburai, membuncah, kacau, dan meluap. Dari awal hingga pertengahan, saya sangat gemas dengan perlakuan tidak masuk akal tokoh-tokoh di dalamnya. Catherine yang tidak dewasa, Heathcliff yang pendendam, Hindley yang rapuh, dan lainnya. Saya tak habis pikir, sepertinya keluarga Earnshaw dan Linton berisi orang-orang yang kegembiraannya telah direnggut oleh kutukan. Nuansa abu-abu, mendung dan gelap, membayangi novel ini dari awal hingga akhir.

Bagi saya, Edgar Linton adalah satu-satunya tokoh yang berakal sehat. Seperti ucapan salah satu tokoh di dalamnya, Edgar adalah satu sosok yang terlihat lemah di luar, namun menunjukkan kewarasan dan kekuatan di dalam. Mau tak mau, tokoh ini menjadi salah satu favorit saya. Saya juga ingin membuat pengakuan, entah mengapa, Heathcliff juga ternyata menjadi tokoh yang tak mudah terlupakan. Terlepas apakah dia bisa dibilang favorit atau tidak, si tokoh ini membekas cukup dalam di kenangan saya.

Satu-satunya hal yang membuat novel ini menjadi kurang menarik dan membosankan adalah sang narator. Diceritakan dari sudut pandang seorang pelayan keluarga, membuat unsur ketegangan dan kengeriannya berkurang. Selain itu, kalimat-kalimat nan njelimet (saya tentu saja kagum dengan penerjemahnya) khas novel klasik mungkin akan membuat beberapa orang cepat bosan. Secara pribadi, saya lebih suka novel milik saudara perempuan Emily, yaitu Jane Eyre karangan Charlotte Brontë . 

Seperti dua sisi mata pisau, bagi sebagian orang, Wuthering Heights adalah kisah keegoisan cinta yang tak mudah dimengerti. Namun bagi sebagian yang lain, pasti novel ini merupakan  warisan literatur lama yang pantas untuk dijadikan koleksi, meskipun sekali lagi, bersiaplah dengan kegelapan dan aura mistis sejak halaman pertama!


Judul: Wuthering Heights
Penulis: Emily Brontë 
Penerhemah: Lulu Wijaya
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Detail: 488 halaman, April 2011
ISBN: 978-979-22-6978-9

p.s Review ini dibuat dalam rangka Posting Bersama Blogger Buku Indonesia :)

lintasberita

Lanjut Baca

Buku Wuthering Heights - ulasan

No [260]
Judul : Wuthering Heights
Penulis : Emily Bronte
Penerjemah : Lulu Wijaya
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, April 2011
Tebal 488 hlm ; 20 cm

Wuthering Heights adalah salah satu karya klasik dalam sastra Inggris yang mengangkat nama Emily Bronte (1818-148) ke dalam salah satu tokoh besar dalam kesusasteraan Inggris. Novel ini merupakan kisah saga dua keluarga tentang kisah kasih tak sampai. Namun ini bukan kisah cinta biasa yang cengeng karena Emily Bronte mengemasnya dalam sebuah kisah yang memikat dengan menghidupkan karakter gelap tokoh-tokohnya secara gamblang dan apa adanya.

Wuthering Heights sendiri adalah nama sebuah rumah besar di Yorkshare Inggris. Kisah novel ini diawali dengan kedatangan Mr. Lockwood yang menemui Mr. Heathcliff di Wuthering Heights untuk menyewa Thrushcross Grange, sebuah rumah milik Heathcliff yang letaknya tidak terlalu jauh dengan Wuthering Heights.

Pertemuannya dengan Mr. Heathcliff yang terkesan aneh dan kasar membuat Mr. Lockwood mencoba mencari tahu tentang Heathcliff dan sejarah Wuthering Heights dari Miss. Ellen Dean, seorang pembantu rumah tangga yang pernah lama bekerja di Wuthering Heights . Dari tuturan Miss Dean inilah kisah kelam Wuthering Heigths terungkap secara detail hingga lembar-lembar terakhir novel ini.

Awalnya Wuthering Heights dimiliki oleh Mr. Earnshaw, seorang tuan tanah di Yorkhshire yang memiliki dua orang anak yg bernama Hindley dan Catherine . Sepulang perjalanan bisnisnya di Liverpool Mr. Earnshaw membawa pulang seorang bocah gipsi kotor yang sedang bergelandang di jalanan. Anak itu diberinya nama Heathcliff, sama dengan nama anaknya yang telah meninggal dunia karena sakit. Kehadiran Heathcliff di tengah keluarga Earnshaw ini ternyata merupakan awal dari bencana di keluarga ini. Sikap pilih kasih Earnshaw yang lebih menyayangi Heathcliff dibanding kedua anak kandungnya sendiri menanamkan benih kebencian dan iri hati di benak putra sulungnya, Hindley.

Dalam setiap kesempatan, ketika ayahnya pergi Hindley selalu mencoba untuk melakukan hal-hal yang jahat terhadap Heathcliff. Walau selalu dicela, direndahkan, dan diperlakukan jahat oleh Hindley namun Heatcliff kecil tak pernah melawan. Namun sikap pasifnya ini ternyata berbeda dengan apa yang ada dalam hatinya. Semua perlakuan jahat Hadley disimpannya dalam hati dan dibiarkan tumbuh menjadi dendam kesumat yang kelak akan dibalasnya di masa yang akan datang.

Berbeda dengan Hindley, sikap Catherine terhadap Heathcliff sangatlah baik, karena sama-sama memiliki jiwa petualangan maka mereka menjadi cepat akrab. Keakraban ini ternyata menumbuhkan benih cinta kuat antara Heathcliff dan Catherine, namun karena kondisi sosial yang berbeda dan hubungan mereka berdua ditentang oleh keluarganya maka cinta mereka tak berujung pada sebuah pernikahan.

Singkat cerita sebuah peristiwa mempertemukan keluarga Earnshaw dengan keluarga Linton, pemilik Thrushcross Grange yang letaknya tak jauh dari Wuthering Heights. Pertemuan ini mempertemukan Catherine dengan Edgar Linton yang ternyata mencintainya. Walau sebenarnya Catherine tetap mencintai Heathcliff namun akhirnya ia memutuskan untuk menikah dengan Edgar Linton.

Keputusan yang diambil Catherine ini membuat Heatcliff melarikan diri dan kelak kembali ke Wuthering Heights sebagai pria kaya dan berpendidikan. Sepulangnya ke Wuthering Heights ia mulai menyusun rencana pembalasan dendam kepada keluarga Earnshaw dan Linton yang diyakininya telah melecehkan dan menghancurkan cinta dan hidupnya.

Dendam kesumat yang tumbuh dalam diri Heatcliff akan menggerakkannya untuk membuat suasana keluarga Earnshaw dan Linton seolah berada dalam neraka. Begitu licik dan sistematisnya rencana jahat ini dilakukan sehingga mereka yang terjerat dalam pusaran dendamnya menjadi tak mampu untuk lari dari neraka yang diciptakan Heathcliff.

Heathcliff berusaha menghancurkan kehidupan orang-orang dalam lingkaran kehidupan Catherine dan Linton. Cinta Heathcliff pada Catherine demikian dalam, gelap, dan sinis. Gagal menikah dengan Catherine, ia menikah dengan Isabell, adik ipar Catherine. Namun pernikahannya ini bukan atas dasar cinta, melainkan untuk menjalankan misi balas dendamnya, dengan terang-terangan ia menceritakan rencananya ini pada Miss Ellen demikian :

"Aku ingin merasakan kemenangan dengan melihat keturunanku menguasi harta mereka; anakku mempekerjakan anak-anak mereka untuk membajak tanah-tanah ayah mereka demi mencari nafkah" (hlm 3000)

Heathcliff pada akhirnya memang dengan keji merengut kebahagiaan Issabel ,istrinya sendiri, tidak hanya itu saja, putri Catherine, dan bahkan putranya sendiripun kelak akan diperlakukan dengan keji dan dijadikan alat untuk menguasai seluruh harta keluarga Linton. Saking tak tahannya dengan perlakuan Heathcliff pada dirinya, Issabel menulis surat panjang akan deritanya pada Miss Ellen dan diantaranya menulis demikian

Apakah Mr. Heathcliff itu manusia?Kalau ya, apakah dia itu gila?. Dan kalau tidak, apakah dia iblis?" (hlm 230)

Emily Bronte menulis novel ini dengan begitu gelapnya, sejak awal hingga akhir hawa kebencian, dendam kesumat, dan kemarahan membungkus novel ini. Hampir tak ada pergantian dari suasana yang suram ke suasana yang lebih ceria, kalaupun ada hanya sekilas saja sebelum akhirnya Bronte mengembalikan suasana hati pembacanya ke suasana hati yang lebih gelap lagi.

Jangan harap ada kalimat berbunga-bunga dalam novel ini, makian atau umpatan tokoh-tokohnya tertulis dengan jelas sehingga membuat saya tercengang membaca bagaimana Heatcliff memaki anak kandungnya sendiri dengan sebutan iblis . Tampaknya sangat mungkin edisi terjemahannya ini sudah diperhalus, sehingga saya tak dapat membayangkan bagaimana jika membaca edisi aslinya?

Karakter tokoh-tokoh dalam Wuthering Heights ini juga benar-benar suram. Bronte menguak habis sisi gelap para tokoh-tokohnya, tak ada yang disembunyikan, semua amarah, kebencian, dan dendam terungkap dengan gamblang. Selain itu beberapa tokohnya juga diciptakan begitu ringkihnya terhadap kesehatannya. Penyakit baik yang disebabkan oleh akibat fisik maupun mental menghantui setiap tokoh-tokohnya sehingga membuat novel ini menjadi begitu sarat dengan kisah kematian tokoh-tokohnya.

Tak mudah memang membaca novel ini, selain isinya yang suram sehingga melelahkan suasana hati pembacanya, alur dari novel ini juga terkadang tidak linier sehingga pembaca perlu berkonsentrasi membacanya. Selain itu kita juga akan dibingungkan dengan penyebutan nama tokoh-tokohnya yang kadang menggunakan nama depan, kadang nama belakang (nama keluarga), atau bahkan nama panggilan sepertinya misalnya Catherine Linton bisa disebut dengan Catherine, Mrs. Linton, atau Cathy.

Namun terlepas dari semua itu saya berpendapat bahwa novel ini novel yang bagus dan memorable karena seperti diungkap di atas, walau tema utamanya sederhana dan umum namun kita akan siduguhkan dengan sebuah kisah dengan plot yang tidak terduga, selain itu eksplroasi karakter tokoh-tokohnya juga begitu kuat sehingga pembaca bisa membenci setengah mati sekaligus mencintai mereka. Selain itu novel ini juga menyadarkan saya bagaimana perilaku pilih kasih dari orang tua terhadap anak-anaknya dapat berdampak buruk yang sedemikian hebatnya di masa yang akan datang.

Sejarah penerbitan

Novel Wuthering Heights ini merupakan satu-satunya novel yang ditulis oleh Emily Bronte pada tahun 1847 saat ia baru berusia 29 tahun. Di edisi pertamanya Wuthering Heights terdiri dari 3 volume, dimana dua jilid pertama ditulis olehnya dengan nama pena Ellis Bell, sedangkan jilid 3 nya yang berjudul Anne Grey ditulis oleh Anne Bronte, salah seorang saudaranya.

Ketika pertama kali terbit novel ini tak mendapat sambutan yang positif dari pembacanya hal ini mungkin dikarenakan Emily menulis novelnya ini dengan struktur novel yang tidak lazim dizamannya sehingga dianggap aneh dan membingungkan oleh pembacanya di masa itu. Setahun kemudian, di usianya yang ke 30 Emily meninggal dunia karena penyakit TBC yang dideritanya.



Pada tahun 1850, novel karya Emily ini dicetak ulang dengan kata pengantar dari Charlotte Bronte yang menyatakan bahwa novel Wuthering Heights lebih bagus dari karyanya sendiri, Jane Eyre. Di cetakan kedua ini volume 1 dan 2 disatukan menjadi satu buku dengan judul Wuthering Heights dan mencantumkan nama asli Emily Bronte sebagai penulisnya. Setelah itu barulah novel ini menuai sukses dan novel ini dipandang sebagai karya unik pencapaian seorang jenius yang hampir terlepas dari gerakan literer pada zaman tersebut. Dan kini novel ini dianggap sebagai salah satu karya klasik dalam sastra Inggris dan dunia.

Berita terakhir yang saya peroleh tentang novel ini adalah terjualnya edisi pertama Wuthering Heights (1847) pada tahun 2007 yang lalu di rumah lelang Bonhams Innggris . Novel ini terjual seharga £114.000 (+/- Rp. 2 milyar). Juru bicara rumah lelang Bonhams mengatakan novel itu dibeli oleh seorang pembeli yang tidak ingin diungkapkan namanya dan novel edisi pertama tersebut akan tetap disimpan di Inggris.

Film Wuthering Heights

Saking terkenalnya novel ini Wuthering Heights juga telah mempengaruhi begitu banyak karya sastra dan seni di seluruh dunia mulai dari novel, opera, puisi, film sampai lagu. Dalam hal film adaptasi yang paling terkenal adalah yang dirilis pada 1939. Dibintangi Merle Oberon sebagai Catherine Linton, Laurence Olivier sebagai Heathclif. Film yang disutradarai Wiiliam Wyler ini mendapat nominasi Academy Award 1939 untuk kategori Best Picture.





Tahun 1970 film Wuthering Heights kembali dibuat, film ini dibintangi aktor yg kelak akan memerankan film James Bond, Timothy Dalton sebagai Heathcliff dan Anna Calder-Marshall sebagai Catherine.





Pada tahun 1992 Wuthering Heights dirilis ulang oleh sutradara Peter Kosminsky dengan Juliette Binoche sebagai Catherine dan Ralph Fienes sebagai Heathcliff.


Di tahun 2006 sempat beredar rumor bahwa Wuthering Heights akan kembali difilmkan dengan dibintangi oleh Angelina Jolie dan Johnny Depp namun rumor ini sempat dibantah oleh beberapa media dan hingga kini tak terdengar lagi kabar beritanya.

@htanzil


lintasberita

Lanjut Baca

Buku Tipping Point - ulasan

Saya memang berusaha untuk menulis review setiap minggu pagi. Namun, blog saya ini masih sangat baru. Sedangkan ada beberapa buku yang sudah saya baca jauh sebelum saya memutuskan untuk membuat blog review. Karena itu saya rasa ada baiknya saya menulis review buku – buku lama itu sembari tetap menuliskan review buku yang baru saya baca di setiap minggu pagi.
Saya akan awali dengan membuat review buku – buku Malcolm Gladwell, salah satu pengarang kesukaan saya. Buku pertama Malcolm Gladwell adalah Tipping Point, How Little Things Can Make a Big Different (Edisi Indonesianya: Tipping Point, Bagaimana Hal – Hal Kecil Berhasil Membuat Perubahan Besar). Benar – benar buku yang ditulis dengan sangat baik, oleh seorang pengarang yang baik. Malcolm Gladwell adalah penulis kelahiran Inggris tahun 1963. Pernah menjadi reporter di The Washington Post dan sejak 1996 menjadi penulis di majalah The New Yorker. Latar belakang pendidikannya di bidang sejarah dan pengalamannya di dunia jurnalistik membuat tulisannya dipenuhi dengan data – data yang mengagumkan. Gaya penulisan semacam ini mengingatkan saya kepada buku Daniel Goleman, Emotional Intelligence.
Membaca judul buku ini, kita pasti segera tahu apa isinya. Kita, entah kita sadari atau tidak, dikelilingi oleh berbagai macam hal yang nampaknya tidak akan mungkin bisa diubah. Namun, sering tanpa kita sadari, tiba – tiba saja keadaan berubah sama sekali. Gladwell menuliskan sesuatu yang menakjubkan di awal buku ini sebagai contoh. Perusahaan Wolverine sudah berencana untuk menghentikan produksi sepatu Hush Puppies karena semakin menurun daya jualnya. Namun tiba – tiba saja Wolverine dibanjiri pesanan sepatu Hush Puppies itu. Penjualan sepatu itu membumbung hingga Wolverine mengurungkan niatnya untuk menutup perusahaan. Pertanyaannya, apa yang membuat perubahan besar ini? Dari yang awalnya sangat tidak populer menjadi sangat populer hanya dalam kurun waktu kurang dari 2 tahun? Ternyata, perubahan ini dipicu oleh hal yang kecil. Beberapa anak muda yang ingin tampil beda, menggunakan sepatu Hush Puppies itu. Tanpa mereka sadari, ini mempengaruhi pemuda lain untuk menggunakannya hingga semua anak muda menjadi begitu terobsesi dengan sepatu yang hampir punah itu.
Gladwell menyebutnya dengan Tipping Point. Apa itu Tipping Point? Ungkapan ini pertama dikenalkan pada tahun 1970an. Pada saat itu, banyak terjadi perpindahan warga kulit putih karena semakin bertambahnya warga kulit hitam di daerah mereka.  Saat pendatang kulit hitam  mencapai angka tertentu di suatu wilayah, warga kulit putih langsung berpindah dari daerah itu. Bertambahnya warga kulit hitam yang menyebabkan warga kulit hitam berpindah itu, saat itu disebut sebagai Tipping Point.  
Kasus serupa Hush Puppies ini ternyata berulang dan terus terjadi di bidang lain. Dan menurut Gladwell, perubahan yang ekstrem semacam ini seringkali dipicu oleh hal – hal yang kecil. Akan tetapi, tidak semua hal kecil bisa merubah keadaan yang sudah mapan. Ada tiga syarat menurut Gladwell, yang harus terpenuhi agar hal kecil bisa melakukan perubahan yang besar.
Yang pertama adalah Hukum Tentang yang Sedikit (The Law of The Few). Hal kecil bisa membuat perubahan yang besar ini jika syarat Hukum Tentang yang Sedikit ini terpenuhi. Agar dapat berubah, harus ada orang – orang yang walaupun jumlahnya sedikit, memiliki ketrampilan bergaul, semangat hidup yang tinggi dan memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain. Dalam kasus Hush Puppies, ada sekelompok anak muda yang memakainya. Sangat besar kemungkinannya bahwa anak – anak muda yang memakai Hush Puppies di saat sepatu ini hampir hilang dari peredaran, merupakan anak yang memiliki ketiga faktor di atas. Sehingga dengan mudahnya mereka bisa menularkan gaya berdandan mereka kepada orang lain. Di sepanjang buku ini, Gladwell menyebutkan orang – orang yang memiliki kemampuan ini. Salah satu dari orang yang disebut adalah Mark Alpert yang membuat saya juga terkagum – kagum.
Yang kedua adalah adanya Faktor Kelekatan (The Stickiness Factor). Contoh yang saya rasa tepat untuk mendeskripsikan Faktor Kelekatan ini adalah film anak – anak, Sesame Street. Sesame Street adalah sebuah tayangan anak – anak yang terbukti mampu mengajari anak – anak pra sekolah untuk membaca. Bagaimana bisa begitu? Sesame Street memiliki tokoh – tokoh yang berpotensi diingat (baca: melekat) oleh anak – anak. Ketika belajar mengeja kata “HUG” misalnya, tokoh Sesame akan mendekati huruf H, mengucapkannya, lalu ke U dan G, juga dengan mengucapkannya, kembali ke H, U dan G lagi, baru mengucapkan HUG sebagai sebuah kata. Lalu muncullah tokoh lain yang juga melakukan hal yang sama dan diakhiri dengan saling berangkulan. Adegan semacam ini melekat (Sticky). Kelekatan akan memudahkan perubahan.
Lalu yang ketiga adalah Kekuatan Konteks (The Power of Context). Perilaku manusia sangat ditentukan oleh lingkungan. Menurut Gladwell, masalah – masalah yang besar bisa diselesaikan dengan menangani masalah – masalah kecil yang terjadi di lingkungan. Untuk yang ketiga ini  Gladwell memberikan contoh turunnya angka kejahatan di New York hanya dengan menangani graffiti yang tersebar di penjuru kota.
Buku ini ditulis dengan sempurna. Namun saya harus mengerutkan dahi untuk memahami setiap potongan dari buku ini. Saya harus berusaha keras menyusun potongan – potongan ini agar membentuk satu kesatuan. Ketidak mampuan saya ini mungkin disebabkan oleh kurangnya saya dalam membaca buku – buku sejenis. Namun, Malcolm Gladwell tidak membuat saya kapok. 

Informasi Buku:
Buku 3
Judul: Tipping Point, Bagaimana Hal - Hal Kecil Berhasil Membuat Perubahan Besar
Penulis: Malcolm Gladwell
Penerjemah: Alex Tri Kantjono Widodo
Penerbit: Gramedia
Tebal: 340 halaman
Cetakan: IV,Agustus 2007


lintasberita

Lanjut Baca

Buku A Piece of Paradise - ulasan







One of my dream to have yoga practice in Ubud with international yoga master had finally been realized last week *smile from ear to ear*. It happened when I had a three-day-visit to Bali with my 12 yoga mates. We did yoga practice at YogaBarn Ubud with Cat Kabira, yes the very famous yoga instructor. It was a realy really great experience. I am soooo lucky!

I've been to Bali several times but this was the first time I visited Bali, stayed in Ubud and did the yoga practice. Ubud really has different style of Bali. I really enjoyed its peaceful place. We stayed at Sri Ratih Cottages, a very cozy place. Beside yoga practice, we also browsed around Bali and did a little this and a little that. Other thing that amazed me in our Bali journey was watching one of the best Tari kecak and Fire Dance at Uluwatu Temple and at the same time enjoying the ocean view, the temple and the sunset. It's just too good to be true.

lintasberita

Lanjut Baca

Buku Ranah 3 Warna - ulasan

Ranah 3 Warna
A. Fuadi
GPU – Cetakan I, Januari 2011
474 hal

Pendidikan di Pondok Madani telah selesai. Alif kembali ke kampung halamannya di Maninjau. Cita-citanya kali ini adalah lulus UMPTN. Tapi sayang, banyak suara-suara sumbang yang membuat berkecil hati. Lulusan madrasah, mana bisa tembus UMPTN. Belum tentu juga lulus ujian persamaan SMA. Tapi Alif, semakin dikecilkan, semakin ia bertekad untuk membuktikan bahwa perkataan orang-orang itu salah. Terutama lagi, ia ingin membuktikan kepada Randai, bahwa ia juga bisa masuk ke perguruan tinggi dan bahkan mungkin ke Amerika… seperti cita-citanya selama ini.

Memang bukan ITB yang selama ini ia inginkan, tapi tetap Alif akhirnya membuktikan, bahwa anak pesantren juga bisa masuk perguruan tinggi negeri.

Perjuangan ternyata tidak hanya sampai di situ. Di Bandung, jauh dari orang tua, kondisi keuangan pas-pasan, membuat Alif harus memutar otak bagaimana bisa bertahan hidup. Ia mencoba bekerja sembari kuliah. Membuang rasa malu, ia jadi pedagang keliling, menjadi guru privat sampai akhirnya jatuh sakit.

Beruntung ada kesempatan lain, yang membuat Alif bangkit. Meskipun sempat membuat persahabatannya dengan Randai sedikit rusak, Alif pelan-pelan jadi mandiri dan semakin bertekad untuk menggapai cita-citanya.

Usaha Alif yang kocak, sok tau dan maju terus pantang mundur, berbuah manis. Ups… kecuali untuk urusan cinta… hehehe…

Meskipun, ada yang bilang ending-nya begitu mudah ditebak, ceritanya klise, tapi buat gue ini masih jadi salah satu favorit gue. Semua ditulis begitu detail dan rapi. Penuh dengan usaha yang jatuh bangun, beberapa juga ada yang membuat gue terharu. Iri juga karena Alif akhirnya bisa sampai ke Amerika. (hiks… gue jadi menyesal waktu kuliah gak pernah usaha lebih keras… ups.. cur-col). Tapi, gpp… buku ini bisa jadi pemompa semangat baru… biar gak gampang putus asa, biar gak gampang nyerah… biar terus usaha untuk cari jalan keluar biarpun rasanya semua pintu itu tertutup…

lintasberita

Lanjut Baca

Buku Prophecy of The Sisters - ulasan

Prophecy of The Sisters
Michelle Zink @ 2009
Ida Wajdi (Terj.)
Matahati - Cet.I, Maret 2011
359 hal.

Belum cukup duka yang disebabkan oleh ayahnya yang meninggal dengan cara yang misterius, Lia Milthrope harus menghadapi serangkaian kejadian aneh lainnya. Dimulai dengan munculnya tanda aneh di pergelangan tangan, lalu sikap saudari kembarnya, Alice, yang juga aneh, lalu ditemukannya sebuah buku misterius yang hanya berisi satu halaman saja dan letaknya tersembunyi.

Tapi dari buku itu, Lia mengetahui sebuah rahasia. Rahasia ini sudah ada semenjak jaman ibu, nenek, nenek buyut – intinya, inilah takdir yang diturunkan kepada setiap anak kembar perempuan, yang artinya harus ia dan Alice terima. Bahwa kematian ibu dan ayahnya yang misterius juga termasuk dalam rangkaian takdir itu. Bahwa Lia dan Alice harus berada di sisi yang berseberangan dan tak bisa menjadi kawan dalam hal ini. – sebagai seorang Garda dan Gerbang. Lia sempat emosi berat… karena kenapa dia baru tahu tentang rahasia ini, kenapa seolah Alice lebih siap dan selangkah lebih maju… untuk gadis berusia 16 tahun, tentunya ini bukan beban yang enteng…

Ternyata, bukan hanya Lia yang penasaran dengan apa yang terjadi, diam-diam Alice juga mencari tahu tentang takdir yang harus mereka berdua jalani. Meskipun apa yang Lia dan Alice inginkan bertolak belakang dengan yang seharusnya mereka jalani.

Lia berkenalan dengan Sonia, seorang cenayang dan Luisa, teman satu sekolahnya. Mereka berdua memiliki tanda yang mirip dengan yang Lia miliki. Dengan bimbingan Sonia, Lia mengembara ke Dunia Lain, untuk bertemu dengan arwah ayah dan ibunya, mencari kunci-kunci yang disebutkan di dalam buku rahasia itu.

Tujuannya adalah satu, jangan sampai iblis masuk ke dunia dan menguasai dunia, dan jangan sampai Alice yang lebih dulu mendapatkan kunci itu Karena Lia-lah yang nantinya akan menentukan, apakah Gerbang itu akan dibuka atau akan tetap tertutup.

Awalnya, banyak yang bikin gue bertanya-tanya, kenapa ibu mereka mengurung diri di dalam Kamar Gelap? Apa penyebab misterius kematian ayah mereka? Apa hubungan Sonia dan Luisa dalam masalah ini?

Di awal, beberapa ‘kenyataan’ rada menjebak. Seolah kita udah bisa tahu pasti posisi Lia dan Alice. Siapa yang jadi Garda, siapa yang jadi Gerbang… tapi ternyata.. masih ada rahasia lagi yang memutarbalikkan kenyataan yang ada. Tenang… jawaban pelan-pelan akan ditemukan… seiring dengan cerita. Baca buku ini, tegang campur penasaran.

Dan… arggghhhh…. bersambung ternyata…. Yah… dari awal sih gue udah curiga ini bakalan bersambung. Artinya gue harus bersabar sampai sambungannya terbit.

lintasberita

Lanjut Baca

Buku Saya (juga) memang tidak pernah jadi dewasa - ulasan

Gara-gara membaca posting  beloved Lita Saya memang tidak pernah jadi dewasa
 http://www.facebook.com/notes/lita-soerjadinata/saya-memang-tidak-pernah-jadi-dewasa/10150207449812068 ( Ssst ijin pakai judul  sis ^_^ ) Saya jadi ikutan tertarik mengintip jajaran buku yang ada di rak buku GRI. Dari jumlah buku yang dibaca jelas meningkat. Tahun 2010 ada 206 buku (campuran cergam komik, novel de el el) sementara tahun 2011 hingga hari ini  baru 93 buku (65 novel, fiksi de el el sisanya cergam dan komik). Tentunya masih bisa bertambah mengingat sekarang baru penghujung bulan Mei.

Jumlah halaman juga bertambah. Tahun lalu ada 58.206 halaman! (kaget sendiri) Tahun ini untuk sementara ada  21.551 halaman. Menilik tahun terbitan, ternyata sebagian besar merupakan buku baru, keuntungan menjadi anggota Ordo Buntelan nih ^_^

Sekarang soal bintang yang menandakan penilaian kita terhadap sebuah buku. Untuk tahun 2010 ada 22 buku yang diberi  bintang 5,  tapi ada juga 5 buku yang diberi bintang 2. Saya memang tidak akan pernah memberikan bintang 1, minimal bintang 2.  Anggaplah sebagai penghargaan atas usaha menerbitkan sebuah buku pada pihak-pihak  terkait. Sementara untuk tahun 2011, sudah ada 9 buku yang mendapat bintang 5, sementara bintang 2 ada 5 buku.

Saat menilik siapa penulis yang sering saya baca, mau tak mau saya tertawa. Pantas...................!
Saya memang penggemar sosok Conan, maka jelasnya pengarang bukunya akan menempati posisi paling atas. Sampai saat ini sudah ada 60 buku Conan, belum yang kisah khusus. Ada juga penulis yang saya baca bukunya karena ketiban tugas mengurusi launchingnya. Saya nyaris membaca lebih dari 50 % buku karangannya, jika tidak bagaimana bisa membuat Siaran Pers plus repiu.

Lengkapnya adalah :
 1. Gosho Aoyama 97
2  Enid Blyton 77
3. Hergé 37
4. Morris 35
5. Masashi Ueda 33
6. Motohiro Katou 31
7. Boy S. Sabarguna 27
8.  R.A. Kosasih 24
9. S. Mara Gd 23
10.  Peyo 21
10. Kanari Yozaburo 21
12.  Agatha Christie 20
12.  Robert Arthur 20
14.  John Grisham 19
15.  L.E. Blair 18
15. William Arden 18
15. Takeshi Maekawa 18

Kalau begini, musti setuju sama salah satu iklan telepon genggam  (kurang lebih) "Di setiap diri seseorang ada unsur anak-anak" Ngajak salaman Sis Lita

Sekalian mengintip list buku yang saya baca. Ternyata untuk bulan ini, sampai tadi pagi hanya membaca 10 buku. jauh dari produktif yahh! Bukunya antara lain:

    Judul buku                              Pengarang                      Hal        Bintang
1. Buku Pintar Mitologi Dunia      Nurla Isna Aunillah          168          3
2. The Count of Monte Cristo    Alexandre Dumas              568         5
3. Red Riding Hood                   Sarah Blakley-Cartwright  341         4
4. Miss Billy                                Eleanor H. Porter             308         3
5. Tetra Mars                            Harry K. Peterson             507          5
6. Fatamorgana di Segitiga Emas Suryatini N. Ganie            211         3
7. Treasure island                    Robert Louis Stevenson       352         3
 8. Math doesn't Stuck             Danica McKellar                 350         4
9. Berguru Pada Pesohor: Panduan Wajib  Diana AV Sasa 265         4
10. Untung Suropati                Yudhi Herwibowo                660         3

Buku yang paling berkesan tahun 2011, tetap Pearl  of China

Hayuh mana list kalian?Tercapai tidak  target kalian tahun ini?
Latah yang positif nih  memacu semangat membaca

lintasberita

Lanjut Baca

Buku The Moneyless Man - ulasan

Sebagian besar kita terobsesi dengan kemapanan. Karena itu jika ada orang yang meninggalkan kemapanan untuk sesuatu yang belum jelas, tentu menarik untuk disimak. Mark Boyle, adalah salah satunya.
Boyle adalah seorang pengelola perusahaan makanan organik di Inggris. Pengetahuannya di bidang ekonomi membuka matanya bahwa apa yang terjadi di dunia saat ini merupakan kesalahan yang akan mempercepat kehancuran peradaban manusia. Manusia saat ini begitu konsumtifnya sehingga segala sesuatu pasti akan diukur dengan uang. Dan karena uang itulah manusia saling bersaing.
Boyle mengawali bukunya dengan dongeng – persis dengan yang saya terima dalam pelajaran ekonomi  waktu SMP – tentang ditemukannya uang.
Awalnya manusia melakukan barter. Tapi barter bukannya tanpa masalah. Ketika pembuat gerabah ingin menukar gerabahnya dengan sebutir telur, belum tentu si pemilik telur menginginkan gerabah. Karena itulah ada yang kemudian mengusulkan dipakainya alat tukar berupa kerang. Namun, dalam perjalanannya, kepemilikan alat tukar ini kemudian menentukan status sosial masyarakat. Saat kita masih menggunakan sistem barter, gotong royong diantara anggota masyarakat masih sangat baik. Orang – orang akan saling berkunjung dan menciptakan lingkungan sosial yang sehat. Namun, ketika status sosial mulai muncul, gotong royong mulai luntur. Tidak ada lagi orang yang mau berbuat sesuatu bagi orang lain tanpa bayaran. Orang yang awalnya memiliki kehidupan sosial yang sehat mulai bersikap individualistis.
Ketika masyarakat primitif menggunakan alat tukar untuk kebutuhan – kebutuhan primer, dunia moderen kita menggunakan uang untuk kenyamanan hidup. Pemimpin – pemimpin dunia berlomba untuk menyejahterakan rakyatnya. Mereka berutang untuk mendapatkan modal dan mereka mulai mengeksploitasi alam. Eksploitasi alam tanpa perhitungan inilah yang akan menyebabkan perubahan iklim dan habisnya sumber daya alam. Dua hal inilah yang akan memusnahkan manusia. Perubahan iklim akan merusak bumi yang kita tinggali, dan habisnya sumber daya alam akan membuat manusia saling berperang demi memperebutkannya.
Bencana dahsyat kehidupan manusia ini disebabkan oleh uang. Inilah yang meresahkan Boyle. Karena itulah ia membuat sebuah komunitas yang tidak bergantung kepada uang melainkan kepada kepada ketrampilan masing – masing anggotanya. Komunitas yang diberi nama “Freeconomy Community” ini berisi individu – individu dengan ketrampilan yang berbeda – beda. Anggota dari komunitas yang memiliki ketrampilan tertentu akan membantu seseorang yang membutuhkan ketrampilannya tersebut tanpa imbalan uang. Semakin banyak anggota komunitas, akan semakin banyak ketrampilan yang terkumpul.  Anggota komunitas akan merasa aman karena kebutuhannya pasti akan terpenuhi oleh ketrampilan orang lain. Berbeda dengan uang yang hanya akan menimbulkan kesenjangan, saling berbagi ketrampilan ini akan menimbulkan keterikatan. Keterikatan dari sesama anggota komunitas inilah yang diyakini Boyle dapat menjadi solusi dari masalah – masalah dunia di masa – masa mendatang.
Sebagaimana teori – teori yang ada, teori tentang kesalingtergantungan atas dasar ketrampilan – bukan uang – ini tentu tidak akan lepas dari kritik. Karena itulah Boyle ingin bereksperimen. Ia akan mencoba hidup selama satu tahun tanpa uang dan hanya bergantung kepada ketrampilannya. Pada november tahun 2008, ia memulai eksperimennya. Ia tidak membelanjakan uang. Tidak menggunakan listrik. Ia menggunakan telepon genggam. Tapi telepon genggam itu hanya digunakan untuk menerima panggilan saja. Ia menggunakan laptop, tetapi laptop yang menggunakan tenaga surya.
Mark Boyle (Foto:www.justfortheloveofit.org)
Ia menggunakan skype untuk berkomunikasi dengan orang – orang yang jauh. Dan, ini yang menarik perhatian saya, ia juga menyarankan agar menggunakan free software untuk komputer. Menurutnya, free software seperti Linux dan OpenOffice, selain menawarkan keamanan, juga dikembangkan oleh komunitas yang bergantung kepada ketrampilan – mirip dengan gagasannya tentang freeconomy.
Boyle adalah seorang dengan tekad yang kuat. Ia tipe orang yang sangat yakin dengan gagasannya. Seorang yang sangat berani. Karena itulah, menurut saya, tulisannya dalam buku ini juga memuat emosi dan semangatnya yang memungkinkan kita tertular virus freeconomy.
Buku ini ditulis bukan dalam bentuk diary. Menurut saya, akan sangat memikat jika buku ini ditulis dalam bentuk catatan harian lengkap dengan hari, jam dan tanggalnya. Boyle juga menuliskan kelelahan mentalnya dalam menjalani eksperimen ini. Jika dibuat dalam bentuk diary, atau gabungan dari keduanya seperti dalam novel Robinson Crusoe, naik turunnya emosi Boyle dalam menjalankan eksperimen ini tentu lebih dramatis. Namun, saya rasa Boyle melakukan ini karena ia ingin agar buku ini tidak terlalu tebal dan bertele – tele.
Banyak yang mengkritik Boyle. Ia disebut – sebut sebagai orang yang hanya mencari popularitas saja. Lagipula dengan menulis buku ini, bukankah ia menerima royaltinya? Begitu juga dengan pemberitaan dan wawancara dari media massa yang mungkin juga mendatangkan uang baginya?
Akan tetapi, menurut saya,  kita tidak perlu melihat apa motif Boyle sebenarnya. Akan lebih baik jika mempertimbangkan solusi Boyle bagi dunia yang semakin tidak menentu ini.

Informasi Buku:
Buku 2
Judul: The Moneyless Man
Penulis: Mark Boyle
Penerjemah: Rahmani Astuti
Penyunting: Moh. Sidik Nugraha
Penerbit: Serambi
Tebal: 352 halaman
Cetakan: I, Mei 2011

NB: Review ini baru saya posting jam 20.20 WIB, Karena seharian ini listrik mati.

lintasberita

Lanjut Baca
 
Copyright (c) 2010 Buku Bagus by Dunia Belajar