Melebur Syariah dalam Negara Sekular


Judul Buku: Islam dan Negara Sekular; Menegosiasikan Masa Depan Syariah
Penulis: Abdullahi Ahmed An-Na’im
Penerbit: Mizan, 2007
Tebal: 506 halaman

ISLAM sebagai agama yang mengusung universalitas kasih sayang dan rahmat bagi alam semesta, tentu saja, hadir untuk tidak menjadi hal sebaliknya, karenanya, memahami Islam secara mendalam – tidak memahaminya secara tekstual, melainkan kontekstual. Tidak memahami hanya pada kulitnya, tetapi sampai membongkar intinya – menjadi fardhu, terutama umat Muslim yang dianjurkan berijtihad dalam mencari kemaslahatan hidupnya.

Tak bisa dielakkan, begitu banyak tokoh agama kita masuk dalam kategori memahami Islam pada batas kulit saja. Sehingga, tak heran jika agama begitu kaku dan cenderung menyiksa, karena dipaksakan. Dampak dari pemahaman dangkal ini sering kali mengekang pemeluk agama itu sendiri. Bahkan, lucunya, sang agamawan pun terkena dampak yang diciptakannya sendiri.

Sekadar contoh, beberapa ulama yang berjuang dengan pandangan lebih maju, terpaksa harus menyingkir dari tanah kelahirannya, dengan tuduhan penyimpangan terhadap agama. Bahkan, beberapa ulama harus mati di tiang gantungan, hanya gara-gara berbeda pandangan dalam hal menginterpretasikan sumber agama. Kondisi ini berlangsung di berbagai negara dan dalam bentangan waktu yang cukup lama. Sungguh sangat memprihatinkan.

Namun, di balik itu, ternyata masih ada pelopor pembaharu yang tetap konsisten menyerukan kebenaran Islam dengan warna yang lebih populis dan manusiawi. Ya, di tengah-tengah kondisi seperti itu, ulama-ulama semisal Fazlurrahman, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid, dan Abdullahi Ahmed An-Na’im. Yang terakhir, misalnya, tetap konsisten dengan ide pembaharuan Islam yang dulu telah diproklamasikan oleh gurunya, Mahmud Muhammad Thaha. Dan, kini, ia mempublikasikan karya mutakhirnya mengenai Islam, syariah, dan konsep negara modern. Karya ini adalah hasil proyek penelitian seriusnya di beberapa negara, Turki, Mesir, Sudan, Uzbekistan, India, Indonesia, dan Nigeria. Guru besar hukum Emory University, Atlanta, Amerika Serikat ini sedang menyuguhkan formulasi baru syariah sebagai sistem agama dan negara dalam konteks sekarang.

Bagi sarjana yang memperoleh gelar Ph.D-nya di Universitas Edinburgh ini, syariah memiliki masa depan cerah dalam kehidupan publik masyarakat Islam. Sebab, menurutnya, syariah tumbuh dan bersumber pada wahyu Tuhan sebagai pencipta manusia dan agama. Tetapi, bukan berarti ia akan diterapkan secara formal dalam institusi negara. Melainkan diperas sari patinya, sehingga dihasilkan prinsip-prinsip universal Islam untuk kemaslahatan manusia di muka bumi. Sebab, jika secara konyol, syariah diterapkan secara formal pada lembaga negara, dia akan menjadi tangan besi yang memaksa untuk ditaati. Padahal, syariah yang dogmatis itu, bersifat sakral dan tidak bisa diganggugugat.

Karnanya, An-Na’im dalam karya terbarunya, Islam dan Negara Sekular; Menegosiasikan Masa Depan Syariah, menolak mentah-mentah penerapan syariah yang dipaksakan oleh Negara. Sebab, tujuan utama ditulisnya buku ini adalah untuk meyakinkan bahwa pemisahan institusi negara dan Islam dengan tetap menjaga keterhubungan antara Islam dan politik merupakan hal yang perlu dan penting.

Dalam bayangannya, jika syariah diterapkan secara formal dalam Negara, ia akan berubah bentuk menjadi buaya pemangsa yang mematikan. Siapa bertentangan dengannya, bersiaplah menjadi korban keganasannya, untuk tidak menyebut kejam. Bahkan, gurunya menjadi korban kekejaman syariah bentuk ini. Karenanya, ide substantif ini menjadi begitu penting untuk didiskusikan dan dicarikan formulasi penerapannya.

Memosisikan Syariah Sesuai Tempatnya
An-Na’im percaya bahwa syariah akan terus memainkan peran penting dalam membentuk dan mengembangkan norma-norma dan nilai-nilai etika yang dapat direfleksikan dalam perundang-undangan dan kebijakan publik melalui proses politik yang demokratis. Tetapi, ia juga berpendapat bahwa prinsip-prinsip syariah, tidak dapat diberlakukan dan diterapkan secara formal oleh negara secara hukum dan kebijakan publik hanya karena alasan bahwa prinsip-prinsip dan aturan-aturan itu merupakan bagian dari syariah. Jika pemberlakuan syariah itu diusahakan, hal itu merupakan kehendak politik negara, bukan hukum Islam.

Gagasan yang ditawarkan An-Na’im, terkait dengan peranan syariah di ruang publik, bukanlah persoalan doktrin serta praktik keagamaan di ruang privat. Sebab, persoalan tersebut, sudah selesai dengan sendirinya. Di sinilah pentingnya ide-ide An-Na’im terkait dengan penempatan anak panah (syariah) pada posisi medan tuju (negara) yang tepat. Dengan harapan syariah bisa hidup dan bermanfaat dengan tidak mengembalikan negara pada bentuknya yang masa lampau. Berawal dari premis bahwa syariah akan memiliki peran penting dalam kehidupan publik di masyarakat Muslim, An-Na’im mencoba untuk mengklasifikasi dan membantu mewujudkan peran masa depan syariah tersebut dengan menggunakan perspektif teoritik tertentu.

Sedini mungkin An-Nai’im telah menghubungkan analisisnya dengan kebijakan publik dan praktik-praktik yang sedang hangat. Maka, dia selalu mengaitkan konsep teoritisnya dengan realitas sosial-politik hari ini. Tak heran jika teorinya sangat relevan dengan kondisi zaman di mana umat Islam sedang berada dalam konteks dunia yang menglobal. Gagasannya tentang syariah yang harus diposisikan sebagai bukan nash yang qot’i, tetapi sebagaimana fikih, ia diperoleh dari hasil interpretasi terhadap Al-Quran dan Sunnah. Maka, dengan sendirinya syariah bakal menjadi solusi bagi pemecahan masalah umat manusia saat ini.

Adanya klaim elit penguasa yang kadang melegitimasi kekuasaan negara atas nama syariah tidak lantas berarti bahwa klaim itu benar atau mungkin terus dilaksanakan. Mengingat prinsip-prinsip syariah ditinjau dari watak dan fungsinya memang menolak kemungkinan penerapan syariah oleh negara, klaim untuk melakukan hal itu bertentangan dengan logika, sekalipun berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi pertentangan itu. Jika, belum percaya, sejarah menjawabnya, yang membuat kita akan percaya.

Sebagaimana dalam karyanya terdahulu, Toward an Islamic Reformation Civil Liberties, Human Rights, and International Law – yang diindonesiakan menjadi, Dekonstuksi Syariah – An-Na’im membantah pengidentikkan antara syariah dan Islam. Baginya prinsip-prinsip syariah selalu merupakan interpretasi manusia atas Al-Quran dan Sunnah Nabi. Katanya lagi, kita harus membedakan antara Islam sebagai agama dan syariah sebagai formulasi hukum Islam yang bersifat historis. Menurutnya, syariah bukanlah keseluruhan Islam itu sendiri, melainkan interpretasi terhadap nash. Dalam hal ini, prinsip syariah merupakan sesuatu yang dapat dipahami dan coba diamalkan oleh umat manusia dalam konteks sejarah tertentu. Karenanya Islam tidak hanya syariah, meskipun mengetahui dan mengamalkan syariah adalah cara untuk mewujudkan Islam sebagai prinsip tauhid dalam kehidupan sehari-hari umat Islam.

An-Na’im mendukung sekularisme, pluralisme, konstitualisme, dan hak-hak asasi manusia dalam perspektif Islam. Sebab ia percaya, pendekatan terhadap prinsip-prinsip dan pranata-pranata ini sangat diperlukan untuk melindungi kebebasan setiap orang. Inilah pendekatan-pendekatan kontemporer yang dijadikan bagian dari rujukan mengimplementasikan syariah dalam ruang publik dengan realitas nation-state sekarang ini.

Menjadi jelas bahwa langkah yang mesti ditempuh adalah memperlakukan syariah sebagai sesuatu yang masih profan dan bisa diinterpretasi ulang, karena ia bukanlah sumber hukum, melainkan buah dari ijtihad terhadap wahyu.

Negara Modern dan Peluang Masuknya Syariah
Semua umat Islam saat ini tinggal di sebuah teritori yang disebut sebagai negara-bangsa (the nation state). Berdasarkan model Eropa telah menjadi model yang dimapankan melalui penjajahan, bahkan di negara yang secara formal tidak pernah dijajah. Menurut sarjana Barat, model negara seperti ini ditandai dengan adanya administrasi dan tata hukum yang terpusat dan terorganisasi secara birokratis dan dijalankan oleh sekelompok administratur, serta mempunyai otoritas atas apa yang terjadi di wilayah kekuasaannya, basis teritorial dan monopoli untuk menggunakan kekuasaannya. Dalam hal ini negara berdaulat atas kekuasaannya.

Karena itu, negara modern dipahami sebagai representasi institusional sebuah kekuasaan politik, yang tidak lagi diperoleh dari otoritas personal seorang penguasa atau dari mereka yang mendapatkan otoritas dari penguasa. Kekuasaan politik negara yang terpusat dan terlembaga, tercermin dalam struktur birokrasi dan organisasinya. Negara, bahkan, bisa memformalisasikan penggunaan kekuasaan itu melalui standar dan prosedur hukum serta mempromosikan integrasi kekuasaan politik melalui legitimasi demokrasi dan peningkatan pentingnya konsep kewarganegaraan sebagai prinsip yang mengatur hubungan negara dan masyarakat.

Oleh sebab itu, prinsip-prinsip syariah harus diformulasikan supaya bisa masuk ke dalam kebijakan-kebijakan negara. Bukan malah menerapkannya secara formal dalam negara, sebagaimana dahulu. Sistem dzimmah yang dulu diterapkan dalam kekuasaan kaum muslim, itu tidak mungkin bisa menerima non-Muslim menjadi warga negara yang setara. Karena, ide dasar dari sistem ini adalah bahwa setelah penaklukan dan penyatuan wilayah-wilayah baru melalui jihad, Ahli Kitab, terutama Kristen dan Yahudi, harus diperbolehkan tinggal di sana sebagai komunitas yang dilindung karena mereka tunduk kepada kedaulatan Islam. Tetapi, mereka tidak bisa menikmati persamaan dengan umat Islam.

Maka, siapa yang dianggap kafir oleh standar-standar syariah, sama sekali tidak diizinkan hidup di dalam wilayah negara tersebut kecuali di bawah pengawasan yang menjamin keamanannya yang sifatnya sementara. Bagi An-Na’im, gagasan-gagasan demikian sekarang tidak bisa dipertahankan secara moral dan politis, bahkan pendukung-pendukung negara Islam yang paling bersemangat pun tidak mendiskusikan penerapan gagasan itu dalam realitas-realitas negara-negara teritorial yang pluralistik, yang secara total terintegrasi ke dalam sistem ekonomi, politik, dan hukum internasional.

Negara teritorial modern seharusnya tidak mencoba menjalankan syariah sebagai hukum positif dan kebijakan publik. Dan, tak mengklaim penafsiran doktrin-doktrin dan prinsip-prinsipnya bagi warga negara Muslim. Prinsip-prinsip syariah dapat dan seharusnya menjadi sumber kebijakan dan perundang-undangan publik serta tunduk pada hak-hak konstitusional dan hak-hak asasi manusia bagi seluruh warga negara, perempuan dan laki-laki, Muslim dan non Muslim tanpa diskriminasi.

Mediasi ini, karenanya, menuntut pembaharuan aspek-aspek syariah tertentu. Dengan demikian, prinsip-prinsip syariah tidak bisa menjadi hak istimewa atau dipaksakan begitu saja, tidak juga ditolak sebagai sumber hukum dan kebijakan negara.

An-Na’im melihat pandangan ini tidak hanya sebagai perkara prinsipil, tetapi pandangan ini juga sangat membantu meyakinkan umat Islam bahwa sekularisme bukan berarti membuang Islam dari kehidupan publik, tetapi memerankan Islam yang sesungguhnya dalam ruang itu.

Menurut An-Na’im, sebagai ajaran suci, syariah haruslah dilaksanakan oleh setiap Muslim secara suka rela, sebab penerapannya oleh negara secara formal dan paksa, bisa menyebabkan prinsip-prinsip syariah kehilangan otoritas dan nilai kesuciannya. Oleh sebab itu, negara secara kelembagaan haruslah dipisahkan dari Islam agar syariah bisa berperan positif dan mencerahkan bagi kehidupan umat Islam.

Karena itu, negara harus bersikap netral terhadap doktrin atau prinsip-prinsip agama mana pun. Netralitas yang dimaksud tidak berarti negara secara sengaja memojokkan peran agama ke bilik-bilik sempit kehidupan privat. Namun, semata-mata demi menjamin kebebasan setiap individu untuk mendukung, berkeberatan, atau memodifikasi setiap penafsiran manusia atas doktrin atau prinsip-prinsip agama. Maka, ruang dialog yang sehat akan menjadi arena yang membuahkan sesuatu yang ideal.

An-Na’im dalam karya penting ini, merumuskan prinsip pemisahan kelembagaan antara Islam dan negara, namun enggan tetap mempertahankan hubungan antara Islam dan negara, dan tetap mempertahankan hubungan antara Islam dengan politik, melalui apa yang yang disebut sebagai public reason. Prinsip ini memungkinkan penerapan prinsip-prinsip Islam dalam kebijakan publik secara legitimate, namun tetap tunduk pada prinsip-prinsip ketatanegaraan yang berlaku, serta menjamin kesetaraan hak setiap warga negara tanpa membedakan agama, ras, suku, gender, dan ideologi politik.

Di sinilah peluang masuknya syariah dalam menyampaikan pesan-pesan luhur Tuhan melalui lembaga negara yang sudah tumbuh, berkembang, dan sudah mapan itu. Tinggal bagaimana melakukan pengemasannya yang baik, maka agama, Islam, bisa benar-benar menebarkan rahmat bagi semesta.

Publik Reason sebagai Mediator Pemecahan Konflik Kebijakan
Dalam sistem negara modern, aktor non-negara membutuhkan ruang yang aman untuk bersaing secara bebas dan sehat untuk memengaruhi proses pengambilan kebijakan melalui peran negara. Lalu, ruang yang tersedia tersebut harus dapat menjamin terbukanya kesempatan bagi sebanyak-banyaknya kelompok untuk berkompetisi. Semakin banyak dan beragam kelompok yang dapat bersaing secara bebas dan sehat untuk mengamankan kepentingan dan urusannya dalam sebuah kebijakan, semakin kecil pula kemungkinan mereka untuk mengontrol negara atau institusinya. Sebab, pesan dan keinginan mereka telah tersampaikan dengan baik.

Hal tersebut mengindikasikan apa yang diistilahkan An-Na’im sebagai public reason yang di dalamnya para aktor sosial dapat memengaruhi negara dengan tetap menjaga independesi dan otoritas negara sebagai lembaga formal. Konsep ini berisi beberapa elemen, misalnya, prosedur efektif untuk menjamin partisipasi bebas dan sehat, pedoman mengenai isi dan etika debat publik, bahkan perangkat pendidikan dan perangkat lain yang digunakan untuk meningkatkan legitimasi dan efektivitas persyaratan tersebut. Inilah prosedur logic yang harus diterapkan, mengingat pluralnya kepentingan orang sebagai anggota masyarakat, kini.

Menurut anggapan luas, Islam dan hukum Islam bersifat universal, sehingga analisis dan kesimpulan yang dikedepankan di sini pun harus sesuai dan dapat diterapkan di negara Muslim mana pun di dunia. Benar, bahwa penafsiran dan praktik semua agama, termasuk Islam, sangat dipengaruhi oleh kondisi sosiologis, ekonomi, dan politik masyarakat tertentu. Demikian juga dengan sistem hukum agama, seperti syariah. Tetapi dalam hubungannya dengan agama tertentu, atau sistem hukum tertentu, ada variasi dan kekhasan lokalnya masing-masing. Kekhasan lokal itu akan tetap lestari dengan perawatan public reason.

Pada detik ini, secara teoritis, An-Na’im sudah bekerja dan menghasilkan sesuatu yang luar biasa bagi perkembangan pemikiran Islam dan solusi kemaslahatan umat. Namun, saya masih melihat, pemikiran An-Na’im ini belum tuntas. Dalam hal ini syariah sebagaimana fikih yang harus diijtihadi, akan diambil spirit universalnya dan disesuaikan dengan konteks zaman kini, untuk mendapatkan kemaslahatan umat manusia. Hasilnya adalah sesuatu yang sangat ideal.

Tetapi, tentunya, kita masih akan mendapatkan gagasan-gagasan segar An-Na’im di kemudian hari. Solusi-solusi hukum, sosial, politik, dan agama, tentu akan tercipta melalui pergulatan tokoh ini, berdasarkan pergumulannya dengan sistem kehidupan dunia yang selalu tak statis. Hal ini meniscayakan adanya ijtihad baru dan baru lagi untuk memenuhi tuntutan umat Islam yang haus keadilan, kemaslahatan, dan keselamatan dunia dan akhirat.

Dede Sulaeman, Pengelola Blog Bahagia Bersama Buku
lintasberita

Lanjut Baca

Memoar Perempuan Perkasa yang Teraniaya


Judul Buku: Tuhan, Jangan Tinggalkan Aku
Penulis: Pipiet Senja & Ennie Van Moorsel Arief
Penerbit: Zikrul Hakim
Terbit: Maret 2008
Tebal: vi+202

MEMBACA buku memoar ini, membuat saya menahan nafas. Berusaha keras membendung kepedihan yang menelusup masuk ke dalam dada. Kalimat-kalimat dalam lembar buku ini, seolah mencakar hati bagi siapa pun yang masih memiliki nurani. Empati akan mengalir, kemudian mewujud menjadi simpati. Dengan membacanya kita akan merasakan hal itu.

Ennie menyelesaikan pendidikan tingkat SLTP dengan nilai yang tinggi. Semua nilai mata pelajaran tinggi kecuali mata pelajaran Agama. Kenyataannya, memang, Ennie tidak tertarik dengan pelajaran tersebut. Selepas SLTP Ennie terpaksa harus menganggur, sebab tidak ada biaya untuk melanjutkan ke sekolah tingkat atas. Dia pun harus menganggur selama satu tahun. Apa yang dilakukannya selama itu? Dia melakukan protes, terutama, ditujukan pada ayahnya.

Selain sering keluar rumah, diam-diam, Ennie berpacaran dengan Sinaga, anak seorang pendeta Protestan. Dan, ternyata, apa yang dilakukannya, tetap tidak mampu mengobati perasaan kecewa dan frustasinya. Mulailah ia melakukan diet ekstrim hingga berat badannya menyusut menjadi 35 kilogram saja.

Suatu saat, Ennie bekerja diperusahaan travel. Karirnya maju di sana. Ia pun mulai dekat dengan atasannya yang sudah memiliki istri. Hingga suatu waktu ia didamprat oleh nyonya sang atasan itu, karena sering diajak makan bersama oleh atasannya. Dicaci habis-habisan. Akhirnya sang atasan membawanya ke sebuah hotel. Saat itulah ia ditawari untuk mau menikah dengannya. Iming-iming harta yang banyak membuatnya lupa diri. Ennie pun menerima lamaran laki-laki dewasa, bahkan mendekati tua, yang menjadi atasannya selama ini. Semuanya karena obsesinya menjadi orang kaya raya. Apa pun risikonya.

Kisah ini masih berlanjut. Suaminya ternyata menceraikan Ennie. Lalu mulailah teror-teror dari pihak suami dan istri pertama suaminya itu menerpa kehidupannya, ia dan anaknya yang masih kecil. Ya, perkawinannya dengan sang atasan membuahkan seorang anak laki-laki normal yang sehat. Ia sangat menyayangi Peter, anaknya itu.

Teror pun terus berlanjut. Ennie merasa tersiksa dan tidak nyaman. Atas saran seorang temannya di night-club, ia kemudian berhubungan dengan seorang lelaki asing warga negara Belanda. Laki-laki yang menurutnya sangat menarik, walaupun ia hanya melihat profilnya saja. Laki-laki itu kemudian mengajaknya datang ke Belanda untuk melaksanakan pernikahan resmi di sana. Tanpa berpikir panjang, ia pun berangkat ke sana dengan Peter. Ennie melakukan ini juga karena memiliki obsesi menjadi orang hebat. Bergelimang harta dan memiliki kedudukan yang tinggi di mata masyarakat.

Nah, di negeri bekas penjajah itulah ia memulai pengalamannya. Tepatnya, pengalaman yang sangat pahit selama hidupnya. Ennie berjumpa dengan laki-laki Belanda bernama Gez. Ia bertemu dengan orang yang salah. Sebab Gez, ternyata tidak memiliki hati dan berwatak binatang. Alih-alih menikah secara resmi, Ennie malah mendapat siksaan dari lelaki jahat itu.

Koper, tas, perhiasan, uang, paspor, dan semua bawaan Ennie dari Indonesia telah disembunyikan oleh lelaki itu. Profilnya di video yang direkomendasikan biro jodoh internasional, tampak begitu simpatik, ganteng dan lembut. Ternyata memang telah direkyasa. Gez adalah interniran militer, penipu, pemabuk, dan seksmaniak. Sungguh mencengangkan. Kita bisa menduga, apa yang dilakukan Gez pada Ennie. Ya, Ennie dipaksa memenuhi keinginan bejat sang durjana. Anaknya yang masih kecil dimasukkan ke dalam kamar mandi dan dikunci rapat, selama Ennie dipaksa memenuhi keinginan seks yang tidak wajar itu. Laki-laki itu menggunakan alat-alat berupa benda ‘aneh’ yang dimasukan ke dalam benda kehormatan Ennie. Sangat kejam!

Mendengar cerita ini, ibunda tercinta Ennie, Siti Hadijah, pun mengungkapkan keprihatinannya, “kalau Bapak masih hidup, pasti menangis darah mengetahui putri kesayangannya dianiaya.” Betapa hatinya terluka melihat anaknya menderita. Sang ibu hanya mampu mendoakan Ennie agar berada dalam kemudahan.

Sejak saat itu, sampai tiga pekan kemudian, si durjana sering menganiaya Ennie habis-habisan. Ennie pun mengeluh pada Tuhan yang selama ini tidak pernah dipedulikannya. “Demi Tuhan, kuseru nama-Mu. Di manakah Engkau saat ini, Ya Robb? Walau dalam kelam kehidupan, kuyakinkan senantiasa, kutanamkan dalam jiwaku, nun di sana, Dia Sang Pengubah Segala tetaplah hadir.” Demikian petikan kisah yang begitu menggugah.

Sebuah kisah nyata yang dialami seorang perempuan yang sesungguhnya memiliki kekuatan dan ketabahan yang luar biasa. Buktinya, ia pun bisa mengatasi masalah hidupnya yang pelik di negeri orang dengan baik. Meskipun risiko yang ditanggungnya begitu berat. Selama dua puluh tahun ia mengalami masa-masa sulit. Waktu yang tidak sebentar untuk seorang perempuan yang hidup berjuang mendaki bukit terjal hidup sendirian.

Buku ini adalah hasil kreasi kakak-adik, Pipiet Senja yang seorang penulis ternama Indonesia dan Ennie van Moorsel Arief yang memiliki nama asli Enny Hadiyani Arief. Berisi kisah sejati yang mampu menggetarkan siapa pun pembacanya. Memoar ini digarap dengan apik dan rapi. Detail-detail cerita begitu kentara, sehingga pembaca akan sangat menikmatinya. Sebagaimana novel, memoar ini jauh dari membosankan. Kompliknya tajam dan terus menanjak. Menegangkan! Bahasanya mengalir dan ringan untuk dibaca oleh semua kalangan.

Ennie menyebut memoar ini sebagai ‘curahan hati’. Sebab, memang, kisah dalam buku ini ditulis berdasarkan gerak hati, hasil pergulatan hidup yang banyak pahitnya. Ennie berharap, kisah hidupnya dalam memoar ini bisa menjadi pengingat, pun bisa diambil pelajaran dan hikmahnya oleh siapa saja.

Dede Sulaeman, Pengelola Blog Bahagia Bersama Buku
lintasberita

Lanjut Baca

Menguak Tradisi Ilmiah Islam Klasik


Judul Buku: Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam
Penulis: Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara
Penerbit: Baitul Ihsan, Jakarta
Tebal: x + 225 halaman
Cetakan: I, Juni 2006


Begitu pentingnya sebuah tradisi ilmiah, sehingga Barat memulai kemajuannya dengan hal itu. Tentu kita masih ingat pada masa renaisans, khususnya pada masa Francis Bacon, Barat sudah mempunyai tradisi ilmiah yang kuat dan mengakar. Landasan-landasan teoritis dan praktis telah berkembang dengan pesat. Orang-orang Barat, saat ini, maju di bidang ilmu pengetahuan, sebab mereka memiliki tradisi ilmiah yang mereka bangun dan bina sejak masa renaisans itu. Oleh karenanya, tak heran jika Barat maju secara revolusioner dalam bidang sains dan teknologi. Dan, ternyata, implikasinya tidak hanya pada dua bidang itu, tetapi pada ruang-ruang yang lain. Sebut saja ruang pendidikan, kesehatan, pembangunan, dan lain sebagainya.

Seperti halnya Barat, Islam pun mempunyai catatan sejarah yang gemilang di bidang ilmu pengetahuan. Dan, hal itu ternyata tidak terlepas dari tradisi ilmiah yang mengakar dalam Islam. Yang memang tradisi ilmiah tersebut tidak sama dengan Barat. Sebab, Islam memiliki ciri tersendiri dalam mengembangkan ilmunya. Islam mempunyai sumber pengetahuan yang sangat banyak.

Dalam wahyu Tuhan, dijelaskan bahwa ada ayat-ayat berupa teks dan alam. Keduanya ciptaan Tuhan yang harus digali berdasarkan perumusan landasan-landasan teori yang bisa dikembangkan oleh manusia dengan menggunakan akalnya. Oleh karenanya, dalam Islam, ilmu pengetahuan berkembang begitu luas dan komprehensif. Demikian. Mereka telah mencapai kemajuan ilmiah yang fantastik pada abad pertengahan. Para sarjana muslim itu memang telah memiliki tradisi ilmiah yang khas dan tak sama dengan Barat.

Sementara itu, tak ada sumbangan ilmiah yang berarti bagi peradaban dunia dari bangsa kita ini. Diduga kuat, disebabkan oleh tidak dimilikinya oleh bangsa ini, sebuah tradisi ilmiah tertentu yang mapan dan cocok dengan sistem keparcayaan dan nilai budaya bangsa ini.

Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara menulis, dalam bukunya ini, bahwa tradisi ilmiah Islam bisa bertindak dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, bagaimana sebuah tradisi ilmiah dibangun, dikembangkan, dan dipertahankan dari satu generasi ke generasi lainnya. Beberapa contoh spektakuler dari prestasi ilmuwan-ilmuwan muslim dipaparkan dalam buku ini dengan tutur bahasa yang renyah dan mudah dipahami. Maksudnya supaya kita bisa mengerti dengan jelas mengapa mereka maju dan terkenal, sedangkan umat Islam di Indonesia tidak?
Misalnya, dikatakan bahwa Muhammad bin Jarir al-Thabari, menulis sebanyak 40 halaman setiap hari selama 40 tahun. Ini berarti, jika dirata-ratakan satu bulannya 30 hari, beliau, selama 40 tahun, telah menulis sekitar 576.000 halaman. Berapa jilid buku yang telah dihasilkannya? Tak heran, jika ia sangat terkenal dan memberikan kontribusi yang signifikan pada bidang yang ditekuninya. Nah, jika kebanyakan kita, di sini, tidak pernah menulis satu halaman pun selama bertahun-tahun, maka tak perlu heran jika kita tak pernah maju dalam ilmu.

Mengapa mereka begitu gemilang? Dari beberapa faktornya adalah dorongan agama Islam yang telah menjadi hal penting bagi terciptanya kondisi yang kondusif bagi pencarian ilmu. Sebab, agama Islam, bukan hanya membolehkan pencarian ilmu, tetapi juga mewajibkannya. Ada semacam keidentikkan antara ketaatan pada agama dengan pencarian ilmu. Semakin taat seseorang pada agamanya, semakin kuat motivasinya menuntut ilmu. Itulah gambaran para pendahulu kita yang karya-karyanya akan terus dikenang sebagai sumber pencerahan bagi umat Islam dan umat lainnya di kemudian hari.

Dalam bukunya ini, pak Mulyadhi, memaparkan berbagai hal yang berkenaan dengan tradisi ilmiah dalam delapan bab. Mulai dari tantangan umat, faktor pendorong ilmu, lembaga pendidikan, sistem pendidikan, kegiatan-kegiatan ilmiah, penelitian ilmiah, metode-metode ilmiah yang dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan muslim, dan menutupnya dengan mereaktualisasikan tradisi ilmiah tersebut dalam konteks Indonesia yang mayoritas penduduknya Islam.

Dari sana, ada yang menarik untuk kita kaji lebih jauh. Indonesia yang dulu termasyhur dalam mengelola pendidikan itu – misalnya, dulu, Negara tetangga kita, Malaysia, belajar masalah pendidikan pada Indonesia. Namun, ironisnya, sekarang kemajuan pendidikannya melebihi kita – sudahkah menghasilkan sebuah peradaban Islam lokal Indonesia yang gemilang? Berapa tokoh cendekiawan yang dilahirkan dari rahim perguruan tinggi kita? Mengapa sekarang kualitas pendidikan kita merosot?

Sistem pendidikan kita sekarang, tentu saja, lebih bagus daripada yang digunakan pada masa lalu di dunia Islam. Namun, mengapa sistem yang sehebat itu tidak menghasilkan tokoh-tokoh hebat seperti al-Ghazali, Fakhruddin al-Razi, atau Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun? Mungkin, ada kekeliruan mendasar dalam penyusunan kurikulum dan metode pengajaran. Atau, ada yang salah dari motivasi para pendiri lembaga pendidikan, pendidik, dan anak didiknya. Hal ini menjadi poin penting untuk dicarikan solusinya melalui penelaahan kembali tradisi masa lalu yang bisa digunakan untuk membangun kembali paradigma pendidikan kita.

Berkaca pada tradisi ilmiah para cendekiawan muslim yang gemilang itu, kita harus memosisikan kembali orientasi pendidikan kita. Dengan bercermin pada tradisi pengembangan keilmuan para guru agung yang gemilang pada masa klasik Islam itu, kita akan membangun paradigma baru pendidikan Islam. Sehingga kita bisa menaruh harapan, bangsa yang mayoritas Islam ini, akan bangkit kembali dari tidur lelapnya. Dan, bangsa ini akan menjadi besar dan bermartabat, bukan hanya di mata manusia, tetapi juga di mata penciptanya.

Dede Sulaeman, Pengelola Blog Bahagia Bersama Buku
lintasberita

Lanjut Baca

Pendidikan dalam Cengkeraman Globalisasi


Judul Buku: Pendidikan Berperspektif Globalisasi
Penulis: Nurani Soyomukti
Penerbit: AR-RUZZ MEDIA, Yogyakarta
Tahun: I, 2008
Tebal: 216 halaman
Harga: Rp 30.000

Sudah sepantasnya pendidikan mengangkat derajat manusia setinggi-tingginya. Pendidikan sebagai tempat penggodokkan manusia menjadi paripurna. Tempat ditempanya orang sehingga menjadi unggul. Manusia yang punya kesadaran kemanusiaan universal. Juga mumpuni dalam ilmu pengetahuan. Karenanya, pendidikan menjadi harapan kesejahteraan dan kemuliaan hidup manusia.

Nyatanya, pendidikan tidak seideal yang kita inginkan. Kenyataan sosial menunjukkan, betapa rapuhnya pendidikan yang dianggap sebagai upaya memanusiakan manusia. Justru, sebaliknya, mendehumanisasikannya. Sekadar contoh, anak dan orangtua yang bunuh diri karena tidak mampu membayar biaya sekolah. Atau banyak anak miskin yang tersebar di kota-kota besar yang hidup menjadi gelandangan dan pengamen jalanan.

Di sisi lain, di tengah serangan budaya pasar, kampus dan beberapa sekolah elit malah hanya menjadi ajang bergaya hidup mahasiswa dan murid. Hal ini hanya akan menjadikan mahasiswa bangga dengan penampilan gelamor. Hobinya nongkrong dan berleha-leha. Konsumtif, tidak produktif, dan jauh dari nalar kritis. Murid sekolah kerjanya nongkrong dan jalan-jalan tak tentu arah. Jika begini keadaannya, lalu apa yang bisa diharapkan dari generasi muda bangsa ini?

Padahal, bangsa yang kuat bisa dilihat dari generasi mudanya. Jika generasinya rapuh sejak sekarang, kita tidak bisa berharap banyak pada kemajuan masa depan. Dan, hal ini tidak banyak dipikirkan oleh kita sebagai anak bangsa. Upaya menyiapkan generasi yang kuat tidak sungguh-sungguh dilakukan. Tetapi, berharap supaya bangsa ini maju dan kuat adalah dambaan semua orang. Karenanya, menjadi penting bagi kita untuk menelaah sejauh mungkin, sebab-sebab munculnya tradisi rapuh yang menimpa generasi pelajar kita. Juga realitas sosial yang mencekam: orang miskin tersingkir dari dunia pendidikan. Padahal jauh dari pendidikan akan mendekatkan orang pada kemiskinan.

Nah, buku ini menyoba menggambarkan permasalahan pokok dalam pendidikan yang kian tercerabut dari manusia dan kemanusiaan. Di sini, penulis buku melihat sebab-akibat keterpurukan dunia pendidikan dengan menusuk langsung pada akar masalah berupa struktur sosial ekonomi kapitalisme yang mengglobal. Banyak sekali persoalan yang digambarkan dalam buku ini yang luput dari amatan para pengamat, terutama pengamat pendidikan. Satu hal yang menjadi pusat pembahasan buku ini adalah globalisasi.

Globalisasi bermakna, di mana dunia global berinteraksi dengan dunia lokal. Interaksi tersebut melingkupi semua hal yang menyangkut banyak bidang. Ekonomi, sosial, politik, budaya, dan tak terkecuali pendidikan. Secara spesifik, kita bisa melihat, bahwa pendidikan, kini, sudah menjadi barang komersial. Pendidikan sudah menjadi semacam tempat bisnis yang menguntungkan. Pada akhirnya, pendidikan bisa menjadi seperangkat alat berat yang siap mengusir orang-orang yang tidak memiliki uang cukup. Tak heran jika banyak generasi kita yang putus sekolah dan harus rela menjadi gelandangan, tersingkir dari dunia normal.

Karenanya, globalisasi, sebagai raksasa besar, harus dipahami secara benar oleh masyarakat, terutama mereka yang menyoba memahami hubungan globalisasi dalam kehidupan sehari-hari. Kejadian apa pun di belahan dunia ini, tidak ada yang lepas dari perhitungan kapitalis yang sangat teliti. Mereka bisa merekayasa kesadaran dan tingkah laku masyarakat di mana pun berada. Jika pendidikan terlambat dan tidak awas, apalagi cuek sebagaimana pengambil kebijakan negara yang selalu patuh pada diktum modal asing, maka, apa yang akan terjadi pada generasi kita di masa mendatang?

Buku ini menyajikan kritik dan wawasan globalisasi dan pengaruhnya pada kehidupan sosial, termasuk di dalamnya dunia pendidikan. Kita akan diajak menyelam dan memahami realitas yang tengah berubah cepat. Realitas yang mengglobal dan tak seorang pun mampu membendungnya.

Dengan menyajikan detil-detil persoalan globalisasi, setidaknya, penulis buku ini menginginkan masyarakat kita menjadi sadar dan tahu bahwa dunia pendidikan yang begitu penting sedang berada dalam cengkraman globalisasi. Dan, mekanisme penindasan yang ditempuh dengan jalan menjauhkan masyarakat dari lembaga pendidikan pun bisa disadari. Sehingga, masyarakat kita bisa mempersiapkan diri untuk menghadapai globalisasi dan semua perangkatnya. Harapannya, penjajahan (dalam bentuk apa pun), tidak akan terulang seperti dulu, ketika Belanda menjajah negeri ini. Dan pendidikan bisa menjadi corong pengusung kemanusiaan.

Evi Nurfaryanti, alumnus Fakultas Psikologi UIN Jakarta
lintasberita

Lanjut Baca

Lapar di Negeri Beras


Judul Buku: Ironi Negeri Beras

Penulis: Khudori

Penerbit: INSISTPress, Yogyakarta

Tahun: I, Juni 2008

Tebal: xvi + 366 halaman

Harga: Rp 42.500


Beras adalah pangan yang pokok di Indonesia. Saat ini, 96 persen penduduk Indonesia, dari Sabang sampai Papua, tergantung pada pangan beras. Dari sisi gizi dan nutrisi lebih unggul daripada pangan lain. Kandungan energinya 360 kalori per 100 gram, dan kandungan proteinnya 6,8 gram per 100 gram. Hal ini membuat pangsa beras pada konsumsi energi per kapita mencapai 54,3 persen. Karenanya, tak heran jika dilihat dari sisi produsen, Indonesia melibatkan sekitar 25,4 juta rumah tangga petani atau lebih dari separuh penduduk negeri ini. Sementara dari sisi konsumen, beras sebagai makanan pokok bagi sebagian besar penduduk di Asia. Sekitar lebih dari 70 persen kebutuhan kalori dan protein sebagian besar penduduk Asia, khususnya masyarakat yang berpendapatan rendah, dipenuhi dari beras. Dan di Indonesia malah lebih besar lagi, sekitar 97-100 persen.

Sayangnya, bahan pokok ini semakin hari semakin sukar dijangkau oleh mayoritas masyarakat kita. Harganya terlalu tinggi. Sekalipun bisa dibeli, hanya sedikit jumlahnya. Karena itu, hal ini telah menjadi masalah besar bagi bangsa. Masalah pelik yang penyelesaiannya memakan waktu cukup panjang, bahkan sampai hari ini. Padahal jika kita lihat, secara geografis, Indonesia sangat potensial untuk pengembangan pertanian pangan, terutama padi. Lahannya subur dan luas, ditunjang oleh teknologi pertanian yang lumayan bagus, juga sumber daya manusia yang cukup memadai. Namun, jika direnungkan, kita malah menemukan sebuah ironi.

Mengapa demikian? Kita bisa melihat bahwa, pertama, harga beras yang kian melambung mengakibatkan masyarakat kita (yang mayoritas miskin) akan kesulitan pangan. Dan kedua, harga gabah yang turun membuat para petani, produsen padi, kelimpungan menanggung kerugian yang tidak sedikit.

Dua hal di atas menjadi jawaban, mengapa masyarakat dan petani kita miskin. Tak heran jika kita masih mendengar berita di media bahwa banyak anak-anak di beberapa daerah terkena busung lapar. Bahkan, daerah yang jelas-jelas penghasil padi cukup besar. Mereka memang kelaparan, meskipun hidup di lumbung padi. Padahal dalam konteks hak asasi manusia, hak memperoleh pangan termasuk hak yang paling asasi. Hak yang pertama kali harus dipenuhi oleh semua makhluk bernama manusia.

Kita bisa melihat pada tahun 2002, dari 38,4 juta orang miskin di Indonesia, 65,4 persen di antaranya berada di pedesaan dan 53,9 persen adalah petani. Dan pada 2003, dari 24,3 juta rumah tangga petani berbasis lahan 20,1 juta atau sekitar 82,7 persen di antaranya dapat dikategorikan miskin. Data ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani adalah miskin dan sebagian besar orang miskin adalah petani. Singkatnya, para produsen pangan pokok di Indonesia, miskin.

Lantas, apa yang mesti dilakukan? Sudah seharusnya pemerintah menelorkan kebijakan yang mengangkat derajat kaum petani. Nah, kebijakan terpenting di antaranya berupa subsidi harga dasar, subsidi harga asupan (pupuk benih, pestisida), dan subsidi kredit usaha tani. Lalu di tingkat pasar kebijakan yang dilaksanakan berupa manajemen stok dan monopoli impor oleh Bulog, penyediaan Kredit Likuiditas Bank (KLBI) untuk operasionalisasi pengadaan beras oleh Bulog, Kredit Pengadaan Pangan bagi Koperasi (KUD) dan operasi pasar oleh Bulog pada saat harga beras tinggi.

Jika tidak dilakukan kebijakan seperti ini, petani kita akan tetap kesulitan dan sebagian besar masyarakat kita akan kesulitan pangan. Di sisi petani, jelas akan membuat gairah bertani menjadi pudar, bahkan hilang begitu saja. Apabila demikian keadaannya, pangan kita akan sangat tergantung pada impor. Saya tidak tahu, bagaimana kejadiannya jika pangan Indonesia tergantung pada luar negeri? Mungkin kita masih ingat ketika Uni Soviet diembargo pangan. Negara yang perangkat persenjataannya begitu canggih, menjadi lemah hanya gara-gara kurang pangan. Dan, Indonesia mungkin akan menjadi negara yang sepenuhnya bergantung pada luar negeri, bahkan untuk semua hal.

Inilah sebuah buku komprehensif yang mengulas seluk-beluk perberasan. Menurut penulisnya, buku ini diniatkan untuk mengelaborasi sisi-sisi penting beras. Tidak hanya aspek ekonomi dan politik, tapi juga dimensi sosial, budaya, kaitannya dengan perdagangan internasional, dan bahkan sejarah. Dengan mengupas semua itu, buku ini berusaha menyorot seluruh sisik-melik beras. Membaca seluruh isinya, kita akan mendapat gambaran utuh tentang beras. Selain itu, penulis buku ini, memaparkannya dengan bahasa populer sehingga mudah dimengerti oleh banyak kalangan. Karena memang, penulis buku ini berlatar belakang ilmu pertanian dan wartawan.

Akhirnya kita hanya bisa berharap, para petinggi dan pemegang kebijakan bangsa ini bisa merenungkan apa yang dipaparkan Khudori dalam buku ini. Sehingga persoalan pangan bangsa kita ini bisa ditanggulangi, meski dengan langkah yang sangat lamban. Dan, lapar di negeri beras bisa (segera) berakhir.



Dede Sulaeman, Peminat Pertanian dan Pengelola Blog Bahagia Bersama Buku

(Resensi ini sudah dimuat di Koran Jakarta - 22 Juli 2008)
lintasberita

Lanjut Baca

Sufi Pinggiran, Menembus Batas-batas


Judul Buku:
Sufi Pinggiran, Menembus Batas-batas

Penulis:
Abdul Munir Mulkhan

Penerbit:
Kanisius, Yogyakarta

Cetakan:
Pertama, 2007

Tebal:
204 halaman

Banyak di sekeliling kita orang-orang pinggiran yang tersisih oleh congkaknya sistem ekonomi yang tak memihak. Sementara itu, kaum kaya semakin menumpuk harta dan menimbun pahala dengan memperbanyak ibadah tanpa memerhatikan nasib kaum pinggiran itu. Padahal, Tuhan mengecam orang berharta yang emoh menolong kaum susah.

Kita patut mempertanyakan keberagamaan yang selama ini dijalani dengan tekun sekalipun. Sebabnya? Buku ini mengupasnya secara utuh. Kesalehan individualistis ternyata, bukanlah hakikat ajaran agama. Kita akan tersentak saat membaca tulisan apik ini, melakukan evaluasi terhadap perjalanan keberagamaan selama ini, dan merenungkan seperti apa selama ini mengabdi kepada Tuhan.

Dr St Sunardi, dalam pengantarnya mengungkapkan bahwa salah satu pengalaman membaca buku ini adalah pengalaman bertanya-tanya bercampur kagum yang bisa diungkapkan dengan “Oh ternyata…”. Menurutnya tulisan dalam buku ini sarat dengan energi untuk keluar dari berbagai banalisme dalam beragama dan sarat dengan usaha untuk keluar dari pembahasan tentang agama secara positivistik.

Tanpa disadari, kebanyakan penganut agama terjebak ke dalam kompetisi kesalehan. Mereka berlomba-lomba mengumpulkan pahala dengan memperbanyak ibadah dengan tujuan memperoleh surga Tuhan secara sendiri-sendiri. Mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk naik haji berulang-ulang. Para pejabat sibuk dengan urusannya masing-masing. Seperti apa yang dilontarkan penulis buku ini, para pejabat kita itu repot dengan haji, umroh, dan ibadah-ibadah plus lainnya. Semua itu mereka lakukan untuk menghindari diri dari ancaman neraka di akherat kelak.

Di sisi lain, kaum miskin terus saja diterpa kesusahan. Kebijakan pemerintah yang tidak memihak sering membuat mereka tercekik dan hanya mampu berharap esok ada makanan pengganjal perut turun dari langit. Harga-harga bahan makanan sudah sangat sulit dijangkau. Karenanya kita perlu membangun kesadaran spiritual secara revolusioner.

Kesadaran spiritual apa maksudnya? Abdul Munir Mulkhan menegaskan bahwa kesadaran itu terwujud dalam kesalehan, yaitu tindakan yang selalu ditujukan bagi kepentingan publik, bukan hanya bagi dirinya sendiri, juga bukan hanya bagi penumpukkan pahala sebagai bekal memasuki surga Tuhan. Kesalehan yang ditransformasikan pada pembebasan kaum tertindas. Kesalehan yang dipersembahkan untuk kemanusiaan dan alam semesta sebagai ciptaan-Nya.

Makna Sufi Pinggiran

Kemudian dalam istilah penulis buku ini, sufi pun memiliki makna lain. Sufi ini bukan sembarang sufi. Ia akan menghancurkan kemunafikan spiritual yang individualistis. Ia disebut Sufi Pinggiran. Makna Sufi Pinggiran adalah sebuah afirmasi atau pengakuan bahwa semua orang memiliki kesadaran ilahiah atau kearifan ilahiah paling autentik, tak peduli apakah orang itu buta huruf atau guru besar teologi; sebuah pengakuan bahwa kita sama-sama mencari kebenaran ketuhanan yang paling jujur; sebuah usaha untuk jujur dalam beragama dan bertuhan.

Manusia, kata Munir Mulkhan, bisa menjadi makhluk lebih baik daripada malaikat melainkan juga bisa menjadi lebih jahat daripada setan. Kejujuran manusia, dengan kata lain, adalah kejujuran sebagai makhluk yang senantiasa mudah jatuh. Kejujuran sufistik sangat dekat dengan rendah hati. Oleh karenanya, jika manusia ingin seperti pilihan Tuhan, ia harus mendedikasikan hidupnya untuk Tuhan dan semua ciptaan-Nya.

Kembali menyinggung tren keberagamaan kaum pejabat dan kaya raya yang lebih mengedepankan simbol daripada isi, maka kita bisa melihat, setiap orang seperti bersaing merebut simpati Tuhan hingga tak ada peluang bagi orang lain memperoleh keridaan Tuhan. Yang penting baginya, keuntungan terbanyak untuk sendiri. Tak mau memikirkan nasib orang lain. Kita bisa melihatnya dalam realitas sosial yang sangat timpang. Yang kaya semakin kaya, yang miskin menjadi ‘mampus’.

Karena itu penting dicermati nasehat sufi bahwa ibadah dan ketundukkan pada Tuhan bukan untuk meraup sebanyak mungkin pahala, rejeki, dan hadiah surga dari-Nya, tapi sebuah pengabdian tulus tanpa kepentingan. Seorang sufi akan menerima dengan penuh kerelaan jika di hari akhir nanti Tuhan memasukkan dirinya ke dalam neraka. Yang terpenting baginya adalah keridaan Tuhan dengan segala keberkahan-Nya. Tuhan tak akan rugi jika manusia tak menyembah-Nya. Ibadah adalah untuk manusia itu sendiri. Begitupun agama lahir untuk kesejahteraan manusia. Bohong jika ada orang mengaku paling agamis, sementara ia tak peduli dengan orang-orang miskin di sekelilingnya.

Cara hidup sufi, perilaku sufi, merupakan teknik pembebasan manusia dari perangkap materil ketika melakukan tindakan sosial, ekonomi, politik, juga dalam kegiatan ritual keagamaan. Praksis sufi bukan menjauhi kehidupan sosial, ekonomi, dan politik, tapi melakukan semua tindakan itu sebagai wahana pencapaian taraf kehidupan lebih luhur dan manusiawi dalam tataran spiritual dan ilahiah. Ia bergerak dari aksi sosial menuju kesucian Tuhan. Perilaku sufi ini akan menepis hipokritisme spiritual yang tengah menjamur di masyarakat kita.

Dede Sulaeman, Penikmat Buku dan Pengelola Blog Bahagia Bersama Buku
lintasberita

Lanjut Baca

Buku Optimalisasi Tujuh kekuatan Diri - ulasan

Sindo, 30 Januari 2011
 
Judul Buku: Personal Power
Penulis: Ibrahim Elfiky
Penerjemah: Aisyah
Penerbit: Zaman
Cetakan: Pertama, Januari 2011
Tebal: 324 Halaman

Tahukah Anda bahwa otak manusia memiliki lebih dari 100 miliar sel saraf, dan jika semuanya digabung dan direntangkan dalam satu garis, panjangnya akan mencapai sekitar 1000 km? Selain itu, otak juga memiliki kapasitas untuk menerima 2 miliar bit informasi per detik dan lebih dari 60.000 pikiran setiap hari. Setiap pemikiran Anda lebih cepat daripada kecepatan cahaya, yaitu 180.000 mil per detik.

Demikian yang dikatakan oleh Dr. Eric H. Chudler dari Departemen Anestesiologi pada University of Washington yang dikutip oleh Ibrahim Elfiky, penulis buku berjudul lengkap Personal Power: Membuktikan 7 Rahasia Kekuatan Pribadi ini, dalam pendahuluannya. Meski melakukan kajian yang berbeda dengan Chudler, namun Keduanya -Elfiky dan Chudler- berusaha untuk membuktikan keunggulan manusia dibanding spesies lainnya dan menghasilkan kesimpulan serupa.

Sebagaimana yang tertera pada judulnya, dalam buku setebal tiga ratus dua puluh empat halaman ini Elfiky berusaha menggali, membuktikan dan membantu mengoptimalkan tujuh  potensialitas rahasia kekuatan pribadi yang tertanam pada diri pembaca. Dengan harapan agar setiap individu memiliki kehidupan yang lebih berhasil, lebih bermutu dan lebih memuaskan.


Keyakinan Elfiky berdasarkan pada fakta bahwa pada dasarnya manusia dikarunia potensi yang sama semenjak lahir. Perbedaan mulai terbentuk justru ketika manusia tengah bermetamorfosa tumbuh berkembang menuju kedewasaannya. Tanpa disadari segala potensi dalam dirinya tertimbun oleh mentalitas yang tidak sesuai dengan karunia yang dimilikinya.

Potensi dalam diri manusia diibaratkan oleh Elfiky laksana patung Budha Emas yang tertutup lempengan tanah liat, memerlukan pahatan dari luar agar terlihat segala potensi keindahannya. Ada satu kisah menarik dari Elfiky yang mengilustrasikan potensi terpendam manusia. Beberapa ratus tahun silam, angkatan bersenjata Birma hendak menyerbu Thailand di China. Mengetahui hal itu, para biksu Siam lantas melapisi patung Budha Emas dengan lempung bertujuan agar harta paling berharga tersebut tidak dijarah.

Usaha para biksu nampaknya berhasil, namun resikonya harta itu terpendam selama berabad-abad tidak dikenal dunia mengingat seluruh biksu penghuni biara dibantai pasukan agresor. Singkat cerita, beberapa abad kemudian tepatnya pada 1957, para biksu biara memindahkan patung tersebut ke tempat baru, untuk memberi ruang bagi proyek renovasi.

Sialnya, pada waktu itu hujan turun membasahi sekujur tubuh patung, dan mengakibatkan beberapa bagian patung bopeng. Akhirnya diputuskan agar patung dikembalikan ke tempat semula, agar terhindar dari kerusakan lebih parah akibat hujan deras.

Pada malam harinya, ketika biksu kepala biara memeriksa kondisi patung dan lampu senternya menyorot ke sebuah retakan pada tanah lempung yang melapisinya, ia melihat seberkas sinar kecil berkilau. Penasaran, ia mendekat dan mulai menatah lapisan tanah lempung tersebut. Keping demi keping lapisan tanah lempung itu runtuh, sedangkan sinar kecil yang tadi dilihatnya semakin terang dan besar. Hingga akhirnya, setelah beberapa jam, sang biksu kini berhadapan dengan patung Buddha terbuat dari emas yang solid.             

Itulah Buddha Emas dan itulah potensi yang tersimpan dalam diri manusia. Lalu bagaimanakah kiat untuk menggali potensi tersebut? Elfiky menawarkan tujuh rahasia yang tersimpan dalam diri manusia beserta teknik untuk membangkitkannya. Tujuh kekuatan ini tersembunyi menunggu untuk dikenali dan dioptimalkan, terdiri dari: kekuatan kesadaran, kekuatan tujuan, kekuatan keyakinan, kekuatan cinta, kekuatan energi positif, kekuatan konsentrasi dan kekuatan keputusan.  

Dalam membedah setiap bagian, Elfiky selalu menyuguhkan terlebih dahulu cerita-cerita inspiratif yang memiliki korelasi dengan bahasan, dimaksudkan untuk memotivasi pembaca. Respon pembaca dipancing menggunakan pertanyaan “bagaimana dengan Anda?” sehingga merasa terlibat secara psikologis dengan cerita yang dituturkan.

Sebagai buah pikiran dari seorang yang telah mengecap kesuksesan -baik sebagai pengusaha, akademisi maupun motivator yang telah melatih tujuh ratus ribu orang melalui seminar dan pelatihan yang digelar di seluruh dunia dengan tiga bahasa: Inggris, Prancis dan Arab- sulit bagi siapapun untuk meragukan muatan yang terkandung dalam buku ini. Sekaligus hal tersebut menjadi bukti kuat betapa teori-teori yang di bangun Elfiky tidak sekedar omong kosong yang hanya mampu menyihir pembaca dengan kata-kata, namun terbukti efektif sebagaimana prestasi yang diraih penulisnya.

Buku yang ditulis menggunakan gaya antusias, dinamis, dan menghibur ini menuntun pembaca untuk membuka  dan mengoptimalkan potensi terpendam yang dimilikinya. Dengan bahasa sederhana, diharapkan pembaca mudah mencerna substansi yang dimaksud penulis, terlebih di dalamnya bertebaran kata-kata mutiara dan ilustrasi yang mudah disesap. Buku penting bagi siapapun yang ingin melakukan perubahan secara mendasar ke arah yang lebih baik. Bagaimana dengan Anda?

lintasberita

Lanjut Baca

Buku A Belated Birthday Present - ulasan


I am not a coffee person, but I am into mugs. Yes, I love mugs. When a close friend --my partner in crime-- gave a mug as my birthday present, I felt happy. Moreover when I read the saying on the mug, I fall in love with the mug even more.

Look at the quote on the mug:
I am not a SHOPAHOLIC!
I am just really into stimulating the economy.


It's just sooooo true, isnt' it? ...:)

Thank you my dear friend, you know me so well *hugs*.

lintasberita

Lanjut Baca

Buku Favourite Friday 28/01/11 - ulasan

Eh, ngga kerasa udah hari jumat lagi. Maaf, pembaca, akhir-akhir ini lagi kurang produktif membaca buku. Nowreadingnya sih 1984 nya George Orwell. Banyak orang yang bilang kalau buku ini (sangat) bagus. Tapi nyatanya aku masih stuck di halaman 10. Bukan karena jelek, tapi karena penyakit malesnya itu lho yang susah diilangin.

Btw, sudah sampai di Favourite Friday minggu yang kedua. Kali ini, aku memilih buku ini....

goodreads.com

Lara memang selalu punya daya imajinasi tinggi. Tapi dia mulai bertanya-tanya apakah dirinya sudah gila ketika didatangi arwah bibi ayahnya yang baru saja meninggal. Arwah Sadie tidak seram sih, tapi selain doyan dansa Charleston, gadis 23 tahun itu nekat dan punya banyak tuntutan. Permintaan terakhirnya: Lara harus mencari kalung yang harus, HARUS, dipakainya.

Padahal Lara sendiri sudah punya banyak masalah. Perusahaannya masih baru, tapi mitra bisnisnya kabur ke Goa, dan pacarnya baru saja meninggalkannya.
Namun, selama Lara melewatkan waktu bersama Sadie, hidupnya jadi glamor, dan pencarian mereka malah menghasilkan sesuatu yang menggelitik dan romantis. Dapatkah Sadie membantu Lara---dan bagaimana makna kedua gadis itu bagi satu sama lain?


Kok kayaknya lagi suka yang hitam-hitam ya? Postingan minggu lalu juga covernya bernuansa hitam. Dan, perlu diketahui bahwa cover di atas adalah officially cover milik Indonesia secara khusus. Cover yang dicetak paperback di luar sana penampakannya seperti ini,,,,

Mengapa aku memilih cover twenties girl sebagai pilihan minggu ini?
1. pertama, banyak banget fans Sophie Kinsella di luar sana yang berhasil merekomendasikan padaku bahwa buku ini bagus.
2. Cover buku yang menarik buatku adalah saat melihatnya pertama kali di toko buku, keinginan untuk membawanya ke kasir sangat tidak tertahankan. Tapi mengingat kondisi finansial yang sedang tidak sehat, akhirnya buku ini belum bisa berada di tangan.

Kira-kira dalam waktu dekat, bakal ada giveaway yang berhadiah buku ini ngga ya? Anyone? :p

lintasberita

Lanjut Baca

Buku Yuda Balaputra Dewa - ulasan


Judul Buku: Percy Jackson & The Olympians: The Last Olympians
Penulis: Rick Riordan
Penerjemah: Reni Indardini
Penerbit: Mizan Fantasi
Cetakan: Pertama, Juni 2010
Tebal: 454 Halaman 
Apa jadinya jika para Dewa Yunani Kuno yang popularitasnya telah memudar digilas roda zaman ternyata diam-diam menjalin hubungan asmara dengan bangsa manusia hingga kini, bahkan menghasilkan keturunan? Bagaimana pula jika para Dewa tersebut yang ditahbiskan sebagai para penguasa jagat raya selama berabad-abad lalu terancam eksistensinya oleh kolaborasi pasukan monster dan Dewa pemberontak yang dipimpin seorang blasteran hasil perkawinan Dewa dengan bangsa manusia? 
Itulah saga yang ditawarkan Rick Riordan dalam pentalogi Percy Jackson and The Olympians ini. Namun Riordan tidak serta merta mengadaptasi mitologi tersebut bulat-bulat, secara imajinatif-kreatif ia memindahkan lanskap cerita tersebut dari pusat perdaban dunia masa lalu, Yunani, ke pusat peradaban dunia modern, Amerika. Disinilah para dewa tersebut tetirah, tidak tanggung-tanggung istana Olympus tempat tinggal para Dewa pun diboyong ke puncak gedung Empire State, di Manhattan.    
Sebagaimana yang tertera pada judulnya, seri ini menceritakan petualangan sosok Percy Jackson dengan para Dewa Olympus. Percy merupakan salah satu blasteran, sebutan bagi keturunan silang antara Dewa dan manusia. Ayahnya adalah Poseidon sang penguasa lautan dan ibunya bangsa manusia. Ia dan para blasteran lain, tinggal di Perkemahan tempat berkumpul dan belajar para blasteran, tepatnya di Pesisir Utara Long Island.
Kini pentalogi tersebut telah mencapai akhir kisah, dalam buku pamungkas berjudul lengkap Percy Jackson & The Olympians: The Last Olympians ini, petualangan Percy Jackson mencapai klimaks menjelang usianya keenam belas tahun, dimana ia akan memenuhi takdirnya sebagaimana yang tertera dalam nubuat. Percy diramalkan akan mengalami peristiwa terhebat sepanjang hidupnya sekaligus sejarah paling menentukan bagi masa depan para Dewa Olympia.

Seri kelima sekaligus terakhir ini diawali dengan lakon Percy dan sahabatnya Charles Beckendorf yang berusaha menghancurkan kapal Putri Andromeda  pengangkut laksaan monster di bawah komando Kronos, yang merasuki raga blasteran bernama Luke, secara langsung. Meski tergolong sukses, sayangnya misi tersebut harus dibayar mahal dengan merenggut nyawa Charles. Terlebih ledakan itu tidak membuat Kronos dan beberapa anak buah utamanya seperti Ethan Nakamura putra Nemesis musnah, bahkan hasrat Kronos untuk melakukan invasi dan menghancurkan istana Olympia nampaknya semakin menjadi-jadi.

Kejutan demi kejutan berhasil dihadirkan raja para Titan ini dengan memanggil beragam makhluk purba dari kegelapan untuk menghantam para Dewa, salah satunya adalah Typhon, ayah semua monster yang pada masa dahulu hampir meluluh-lantakkan istana Olympus. Selain itu, Kronos juga berhasil menarik simpati kalangan dewa minor yang selama ini termarjinalkan dalam pergaulan para Dewa, ia juga sukses menggaet sebagian blasteran balaputra Dewa untuk mendukung misinya.      

Para blasteran menjadi istimewa karena tidak seperti manusia biasa, mereka dikarunia anugerah baik berupa kekuatan bertarung, juga memiliki penglihatan yang mampu menembus Kabut, tirai yang memisahkan antara dunia manusia dengan dunia para Dewa dan Monster meskipun secara paralel hidup bersamaan. Meski terdapat beberapa pengecualian seperti Rachel, teman dekat Percy, bangsa manusia yang mampu melihat menembus Kabut.    

Nampaknya tidak ada harapan bagi para Dewa dan Percy untuk bertahan, Yuda (perang) yang melibatkan balaputra Dewa ini terlihat di atas kertas kemenangan berada di pihak Kronos. Bukan hanya karena faktor jumlah pasukan yang lebih banyak dan kuat, namun juga terdapat pengkhianat di kubu barisan pembela para Dewa yang menjadi “mata” dan “telinga” bagi Kronos. Ketika semua asa nyaris binasa, hanya ada satu kemungkinan kecil bagi Percy untuk memenangi pertempuran. Sebuah ritual yang membuat ia menyandang kekuatan besar sekaligus harus memikul kutukan Achilles bagi dirinya. 

Membaca saga karya peraih penghargaan Master Teacher Award 2002 ini akan membuat siapapun pembacanya berdecak kagum. Bukan hanya dengan rajutan ceritanya yang memang digarap secara apik, namun penguasaan penulisnya akan sejarah dan mitologi Yunani menjadi nilai tambah tersendiri bagi keberadaan buku ini, hal wajar menilik latar belakang keilmuan Riordan yang kenyang pengalaman sebagai guru Sejarah dan Bahasa Inggris di San Francisco Bay Area dan Texas selama lima belas tahun. 

Dialog di dalamnya kaya dengan metafora yang sayangnya bukan hanya memperlihatkan arogansi para Dewa, namun juga kepongahan peradaban Barat. Akan saya petikkan kata-kata Dionysus, salah satu Dewa Olympia kepada Percy untuk mendukung asumsi tadi: “kekacauan Titan berarti akhir dari peradaban Barat. Kesenian, hukum, seni mencicipi anggur, video game, baju sutra, lukisan beledu hitam -segalanya yang membuat hidup kalian layak dijalani akan menghilang!” (halaman. 316).  

Penggunaan terminologi “peradaban Barat”, jelas sangat menggangu mengingat hal itu kemudian membuat pembaca berasosiasi akan lawan Barat, yaitu Timur. Dengan demikian apakah maksud Riordan bahwa jika para Dewa merupakan personifikasi dari Peradaban Barat, lantas para Titan dan Monster berasal dari peradaban Timur? Mudah-mudahan tidak. Untungnya hal itu tidak menjadi masalah karena tertolong dengan dahsyatnya cerita yang disuguhkan, sehingga pembaca akan terpukau dan abai.   

Dilengkapi bumbu asmara para remaja yang terkadang mengundang tawa, membuat buku setebal empat ratus lima puluh empat halaman ini tidak sekedar menjamu ketegangan dan suspense bagi para pembaca. Pengakuan akan kualitas cerita yang disuguhkan Riordan telah terbukti dengan menyabet New York Times Notable Book 2005 atas seri pertama dari pentalogi ini. Tidak mengherankan pula, jika rumah produksi besar Hollywood, Twentieth Century Fox, membeli karya ini untuk dipentaskan ke layar lebar. Sebuah apresiasi yang semakin mengukuhkan Riordan sebagai penulis cerita papan atas dunia. 

Menjelajahi lembar demi lembar cerita dalam novel ini bisa menjadi inspirasi bagi para pembaca dan terutama penulis di tanah air bahwa begitu banyak lahan yang bisa digarap bagi kerja kreatif. Cerita pewayangan yang penuh muatan moral luhur dan melekat abadi dalam masyarakat (Jawa), sangat mungkin untuk dihidupkan kembali ke masa kini para tokohnya secara utuh, sebagaimana Riordan menghidupkan para Dewa Olympia. Tentu saja dengan bumbu imajinasi yang menggugah selera sehingga mampu menarik minat pembaca. Selamat membaca dan berkarya!

lintasberita

Lanjut Baca

Buku Treasure Of Genghis Khan - ulasan

Bila diibaratkan makanan, buku Treasure of Genghis Khan ini bisa dibilang serupa dengan Gado-Gado (makanan khas Jawa Timur). Sulit mengatakan dengan pasti apa yang akan anda dapatkan di buku ini, seperti halnya sulit menguraikan satu-persatu bahan Gado-Gado. Yang penting, ketika semua bahan dicampur, lidah kita hanya akan mengecap satu rasa: nikmat! Clive dan Dirk Cussler pun telah sukses mencampurkan petualangan, misteri, pencarian harta karun, thriller dan sci-fi, lalu menuangkan bumbu sejarah ke atasnya, yang lalu dihidangkan oleh penerbit Dastan yang telah menterjemahkannya dengan baik bagi kita.

Buku ini terbagi dalam 3 masa. Pada awalnya ketiga masa itu nampak tak berkaitan, dan di akhir kisah pertama dan kedua selalu ada misteri yang tak terjawab. Kisah pertama adalah usaha bersama Mongolia dan Cina, sekutunya, untuk menginvasi Jepang di abad 13 SM. Kolaborasi armada Cina dan kapal perang Korea yang membawa pejuang-pejuang Mongolia sedang berlabuh di dermaga Hakata ketika terjadi badai laut yang ganas. Badai itu memporakporandakan seluruh armada Cina, dan menyisakan sebuah kapal rusak dengan penumpang si prajurit Temur dan anak buahnya terbawa arus laut entah kemana. Mereka mendarat di pulau asing di daerah tropis yang dipimpin seorang tua berambut putih panjang yang mengenakan kalung dengan hiasan gigi hiu, bernama Mahu. Temur bersama Mahu, yang ahli navigasi berdasarkan bintang, sempat naik kapal kembali ke Cina untuk menghadap kaisar Kubilai Khan. Tak lama kemudian Kubilai Khan wafat, dan lokasi makamnya dirahasiakan. Bukan itu saja misteri yang menggantung di kisah pertama ini, Clive juga menyisakan misteri lain: sebuah kapal misterius tanpa bendera diam-diam meninggalkan daratan Cina menuju ke tengah samudera nan luas, dengan seorang tua berambut putih menjadi ahli navigasinya....

Bagian kedua langsung loncat ke sebuah situs penggalian arkeolog bernama Hunt. Ia, ditemani asisten sekaligus sahabatnya: Tsendyn, seorang berkebangsaan Mongolia, tengah melakukan penggalian di wilayah Shang-Tu, Cina. Gara-gara tentara Jepang makin merangsek masuk ke lokasi itu dalam perang, Hunt memutuskan untuk segera menyingkir. Namun, justru pada saat itu mereka menemukan sesuatu yang misterius. Sebuah kotak berpernis, berisi: selembar kulit cheetah dan sebuah tabung perunggu berisi sehelai sutra dengan peta di atasnya. Membaca peta yang berbahasa Mongol, Hunt sadar bahwa peta itu akan membuka tabir lokasi makam Genghis Khan yang masih merupakan misteri. Hunt pun sadar bahwa penemuan itu bernilai tinggi, maka ia selalu menyimpannya dengan amat hati-hati. Namun toh saat ia sudah berada di pesawat yang meninggalkan situs, ia akhirnya menyadari bahwa sahabat sekaligus asistennya Tsendyn telah mengkhianatinya dan mencuri lembar sutra dalam kotak perunggu itu! Tepat saat ia ingin berputar kembali, pesawatnya ditembaki oleh pesawat Jepang karena dikira mata-mata. Pilot dan co-pilotnya mati seketika, meninggalkan Hunt yang kesakitan selama beberapa hari, baik fisik maupun hati, sebelum akhirnya meninggal pula sambil memeluk kotak berpernisnya menuju alam baka...

Bagian ketiga bersetting abad ke 21. Di sini kita akan menemui berbagai peralatan canggih, juga hal-hal penting di panggung politik dan perekonomian dunia masa kini seperti masalah perminyakan. Mendadak dan dalam jarak waktu berdekatan, terjadi beberapa musibah di beberapa negara yang menimpa titik pengeboran minyak di lepas pantai. Salah satunya di Danau Baikal, Siberia, di mana sebuah kapal berisi para ilmuwan terkena efek gempa itu. Beruntunglah, tak jauh dari sana ada kapal milik sebuah badan kelautan (NUMA) yang sedang berlayar. Dua dari para penumpangnya, para petualang pemberani Dirk Pitt dan Al Giordino berjibaku menolong para ilmuwan. Namun penyelamatan itu tak berlangsung lama, karena malamnya terjadi gempa bawah laut yang menyebabkan kapal milik NUMA itu karam. Ajaibnya, para ilmuwan itu menghilang tak berbekas! Another mistery!

Setelah itu cerita bergulir dengan makin cepat, dengan makin banyak tokoh terlibat. Kini fokus Dirk Pitt dan Al Giordino adalah menemukan para ilmuwan dan penyebab tenggelamnya kapal mereka yang ditengarai adalah akibat sabotase. Namun itu semua belum apa-apa. Tunggu hingga mereka 'terdampar' ke tanah Mongolia untuk bertemu seorang bangsawan kaya misterius bernama Borjin. Dan tiba-tiba satu persatu jawaban atas berbagai misteri yang sudah ditumpuk oleh Clive dan Dirk Cussler semenjak awal akan terkuak. Dan semua misteri itu ternyata mengerucut pada satu sosok: Borjin! Siapakah ia sebenarnya?

Petunjuk:
Ingat-ingatlah detail yang ada di bagian atau masa pertama kisah ini. Karena detail kecil penampilan seseorang yang misterius itu akan menjadi kunci jawaban salah satu misteri di akhir kisah. Penulisnya tidak terang-terangan mengungkapnya, namun kalau anda jeli, maka jawabannya ada di sana...

Membaca buku ini benar-benar mengasyikkan. Rasanya tak habis-habis misteri, ketegangan serta kejutan, sambil sesekali diselingi dengan komedi yang disuguhkan oleh Clive & Dirk Cussler bagi para pembacanya, dari halaman pertama hingga akhir.

Catatan untuk penerbit:
Sayang, proses penerjemahan buku ini mengalami banyak typo di sana-sini, juga ada beberapa ungkapan yang mengganggu. Misalnya kata "bersalin" yang harusnya "berpakaian". Istilah "bersalin" seingatku memang dipakai kakek-nenekku untuk mengatakan "berganti pakaian" (mis: Opa mau salin dulu ya). Kata itu jelas bukan bahasa Indonesia yang benar, dan generasi sekarang kemungkinan tak ada yang tahu istilah ini. Belum lagi, karena kata "bersalin" memiliki makna lain yaitu melahirkan.

Judul: Treasure of Genghis Khan
Terjemahan: Misteri Khan Sang Penakluk
Pengarang: Clive Cussler & Dirk Cussler
Penerbit: Dastan

lintasberita

Lanjut Baca

Buku Hidup Sehat & Seimbang dengan Yoga - ulasan


Sehat adalah kekayaan, kedamaian pikiran adalah kebahagiaan, Yoga menunjukkan jalannya.
(Swami Wishnu Devananda)

Living in Jakarta coret aka pelosok, I had never imagined I could experience yoga practice. It never crossed my mind. But as my yoga instructor, mbak Endang said, there's a line in yoga that said, "yoga will take you.'' I guess it's just true. One day I saw a street banner mentioning a yoga studio was just open nearby my home. I registered myself. Joining the yoga practice. Just realize that this January is going to be my second anniversary of yoga practice. As simple as that.

Not many yoga books written by Indonesian authors. This book is one of the best books of yoga. Written by Pujiastuti Sindhu from Yoga Leaf Centre, a professional certified yoga teacher. The book explains about yoga poses, movement and all the benefits of yoga in a practical, simple and very clear way. Completed with pictures of the poses and movement and also DVD to get clearer understanding of every pose and movement.

The book divides the daily practice of yoga into Balancing Practice, Strengthening Practice, Flexibility Practice and the last one is Calming and Relaxing Practice.

A very complete, informative and suitable book for everybody who wants to do yoga practice, even for a beginner. Highly recommended. Let's do yoga daily practice, everyone. Namaste.

lintasberita

Lanjut Baca

Buku Remember Me? - ulasan

goodreads.com
“Where would we be now baby.. if we found each other first..
Where would you do know darling, if I said these simple words,
I’ll wait, I’ll wait, as long as you want..
Where would we be now baby…”
Where Would we be Now – Good Charlotte


Bayangkan ketika kamu memejamkan mata, dan saat bangun kamu menemukan bahwa kamu telah melewati dan melupakan segala hal yang pengen kamu lupakan. Wow, semua orang pasti pengen ya? Apalagi kalau saat bangun kamu udah bisa dapet rumah mewah, suami ganteng dan superkaya, dengan berbagai mobil mewah dan berlian yang bisa dibeli setiap saat?

Nah, ternyata semua itu ngga seindah Cinderella pergi ke pesta, seperti yang dialami Alexia Smart. Setelah mengalami kecelakaan mobil, dirinya mengalami amnesia sehingga ia kehilangan ingatan 3 tahun ke belakang. Tiga tahun yang seperti neraka, yang telah mengubah seluruh hidupnya. Ia menyangka menjadi seorang direktur dan bos itu enak, bisa melakukan apa saja, Tapi dia salah. Dia malah mendapat julukan si Kobra dan Withces from Hell. Seakan itu tidak cukup, suaminya yang romantis dan superganteng plus milyuner, ternyata orang yang tak pernah punya perasaan, polisi makanan yang superdisiplin dan sangat perhitungan terhadap uang.

Buku ini adalah karya Sophie Kinsella pertamaku. Kata sebagian orang, buku ini lucu. Hanya aku malah belum tahu dimana letak lucunya, karena sepanjang buku ini aku malah merasa miris, sedih, tersentuh, dan segala macam emosi campur aduk lainnya. Ya, Sophie Kinsella berhasil membuat seorang tokoh utama yang lovable sekaligus helpless dalam menghadapi hidupnya. Sebagai seorang amnesia, Lexi membuat pembaca menjadi bersimpati pada hidupnya yang tiba-tiba berantakan. Karakter tokoh yang kuat serta penggambaran emosi yang cukup jelas membuat Lexi semakin mendapat tempat di hati pembaca, ikut sedih dan marah ketika ia marah, ikut emosi karena nasibnya tak kunjung membaik.

Kelemahan sastra chicklit adalah endingnya yang mudah ditebak: happy ending (meskipun ada beberapa yang tidak), in many ways. Tentu saja kisah romantis tak dapat dipisahkan dari sastra chicklit (apakah ada yang protes ketika aku menyebutnya sastra?). Si tokoh utama kita ini mengaku sepanjang hidupnya tak pernah selingkuh, namun di bagian hidupnya yang hilang ternyata tak dapat di sangka dia berselingkuh dengan Jon, plus dengan segala detail-detail yang menurutku lumayan vulgar.

Ending buku inilah yang paling mengena buatku. Meskipun terkesan tergesa-gesa, namun cukup menyentuh untuk melihat bagaimana Lexi kemudian mantap melangkah pada jalur karier dan pria pilihannya. Dan Lagu Where Would We be Now nya Good charlotte mengalun pelan,

“Dimana kita sekarang, andai dulu kita bertemu terlebih dahulu?
Apa yang akan kamu lakukan, saying, jika aku mengatakan satu kata untukmu,
Aku akan menunggu, selama yang kamu inginkan…”

lintasberita

Lanjut Baca

Buku EMBROIDERIES - ulasan


My rating: 4 of 5 stars


Mungkin aku terlalu berkespektasi tinggi. Sewaktu mendengar nama Marjane Satrapi, aku dulu membayangkan bahwa karyanya akan seberat Ernest, atau bahkan seperti Orhan Pamuk yang ketebalan bukunya mampu membuatku minder duluan. But, I was wrong again.

Setelah menerima pinjaman dari kakak baik hati yang berkenalan di dunia maya yang ternyata terhubung secara mengejutkan di dunia nyata, aku mendapatkan buku Marjane Satrapi ini dengan mulut melongo. Loh? Ini beneran Marjane Satrapi? Kok Novel Grafis? Yah, salahku sendiri sih aku ngga berusaha googling dulu atau Tanya dulu. Intinya aku sok tahu sih.

Finally, she got me. Ya, aku kayaknya bakal jadi penggemar Satrapi. Walaupun baru baca satu buah bukunya doang. But well, she impressed me. Dengan gambra-gambarnya yang hitam putih namun sangat atraktif menurutku, dan kalimat-kalimat langsung yang bernada satir dan menggelikan. Kritik-kritik masyarakatnya kena banget, dan aku bahkan ngga tahu apakah yang ia tulis—atau gambar—di novelnya ini kisah nyata atau engga.

Embroideries, atau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia pada judulnya adalah Bordir, berisi sebuah sesi percakapan yang biasa dilakukan oleh wanita-wanita Iran setelah menyesap teh, yang mereka sebut Samovar. Kegiatan rutin ini kerap mereka sebut berdiskusi, dan tujuannya adalah (mengutip salah satu kata-kata nenek Marji)
Membicarakan orang di belakang punggung mereka berguna untuk melepaskan unek-unek.

Well, bisa dibayangkan, para wanita dewasa menjelang tua, berkumpul bersama, dan bergosip. Duh, apapun bisa masuk di diskusi itu. Mulai dari cinta, seks, gossip antar wanita, dan bagaimana pandangan-pandangan kasar mereka terhadap pria. Seru banget mengikuti obrolan ibu-ibu kita ini. Serasa ikut menjadi salah satu pendengar di ruang keluarga Satrapi juga.

Untuk ukuran Indonesia, buku ini sangat terbuka, dalam arti tertentu. Mereka tak segan-segan membicarakan hal yang paling intim dan tabu untuk dibicarakan. Bahkan, mereka tak segan-segan untuk menceritakan hal-hal buruk mengenai mereka sendiri, kemalangan-kemalangan, aib-aib yang semestinya tak diketahui orang, fakta-fakta negatif, mereka tuangkan dalam percakapan itu. Menurutku ini patut diberi perhatian khusus, mengingat orang biasanya enggan untuk menunjukkan kelemahan mereka sendiri.

Salah satu hal yang aku suka lagi dalam proses membaca buku ini adalah, karena tak butuh waktu lama untuk menyelesaikan buku ini. Meskipun rasanya seperti habis membaca komik –karena hanya butuh waktu yang singkat—namun kualitas yang terbawa hingga buku telah lama ditutup tak juga menghilang.

Ah, jadi pengen baca buku pinjaman yang kedua, Chicken with Plums.;)



lintasberita

Lanjut Baca

Buku Candide - ulasan

CANDIDE “OPTIMISME DALAM HIDUP”CANDIDE “OPTIMISME DALAM HIDUP” by Voltaire

My rating: 4 of 5 stars

Paperback, Cetakan Pertama, 244 pages
Published January 2010 by LIRIS PUBLISHING (first published 1758)
ISBN139786029597806


"Semua hal tidak bisa menjadi lain daripada sebagaimana adanya mereka. Itu karena semuanya dibuat untuk suatu tujuan tertentu, maka semua haruslah dimaksudkan untuk tujuan terbaik." Pangloss(Hlm 3-4)

"tidak ada akibat tanpa suatu sebab." Pangloss (Hlm 3)

Buku ini berjudul asli Candide, ou L’optimisme yang diterbitkan pada tahun 1759. Berarti sudah lebih 250 tahun usia karya ini. Ada 30 Bab dalam buku ini. Sebenarnya dengan membaca judul-judul bab ini, kita dapat mengetahui isinya secara umum. Sebab judul babnya sudah menjelaskan apa dan bagaimana tokoh-tokoh tersebut berkisah. Saya lebih suka dalam Bahasa Inggris, karena untuk terjemahannya, pemaknaannya jadi berbeda. Lebih lengkap judul bab tersebut dalam bahasa inggris adalah sebagai berikut.

Chapter 1 - How Candide Was Brought Up in a Magnificent Castle and How He Was Driven Thence
Chapter 2 - What Befell Candide among the Bulgarians
Chapter 3 - How Candide Escaped from the Bulgarians and What Befell Him Afterward
Chapter 4 - How Candide Found His Old Master Pangloss Again and What Happened to Him
Chapter 5 - A Tempest, a Shipwreck, an Earthquake, and What Else Befell Dr. Pangloss, Candide, and James, the Anabaptist
Chapter 6 - How the Portuguese Made a Superb Auto-De-Fe to
Prevent Any Future Earthquakes, and How Candide
Underwent Public Flagellation
Chapter 7 - How the Old Woman Took Care Of Candide, and How He
Found the Object of His Love
Chapter 8 - Cunegund's Story
Chapter 9 - What Happened to Cunegund, Candide, the Grand
Inquisitor, and the Jew
Chapter 10 - In What Distress Candide, Cunegund, and the Old
Woman Arrive at Cadiz, and Of Their Embarkation
Chapter 11 - The History of the Old Woman
Chapter 12 - The Adventures of the Old Woman Continued
Chapter 13 - How Candide Was Obliged to Leave the Fair Cunegund and the Old Woman
Chapter 14 - The Reception Candide and Cacambo Met with among the Jesuits in Paraguay
Chapter 15 - How Candide Killed the Brother of His Dear Cunegund
Chapter 16 - What Happened to Our Two Travelers with Two Girls,Two Monkeys, and the Savages, Called Oreillons
Chapter 17 - Candide and His Valet Arrive in the Country of ElDorado-What They Saw There
Chapter 18 - What They Saw in the Country of El Dorado
Chapter 19 - What Happened to Them at Surinam, and How Candide Became Acquainted with Martin
Chapter 20 - What Befell Candide and Martin on Their Passage
Chapter 21 - Candide and Martin, While Thus Reasoning with Each Other, Draw Near to the Coast of France
Chapter 22 - What Happened to Candide and Martin in France
Chapter 23 - Candide and Martin Touch upon the English Coast-What They See There
Chapter 24 - Of Pacquette and Friar Giroflee
Chapter 25 - Candide and Martin Pay a Visit to Seignor Pococurante, a Noble Venetian
Chapter 26 - Candide and Martin Sup with Six Sharpers-Who They Were
Chapter 27 - Candide's Voyage to Constantinople
Chapter 28 - What Befell Candide, Cunegund, Pangloss, Martin, etc.
Chapter 29 - What Manner Candide Found Miss Cunegund and the Old Woman Again
Chapter 30 - Conclusion

Apa yang menarik dari novel ini adalah, Voltaire ingin menumbangkan suatu falsafah pada zamannya yang mengatakan bahwa
semua bencana dan penderitaan manusia adalah bagian dari rencana kosmis yang baik hati. Untuk itu, ia menggunakan tokoh Candide yang berkeliling ke seluruh dunia untuk membuktikan bahwa pandangan
itu tidaklah demikian.

Apa yang menjadi keyakinan masyarakat pada saat novel ini ditulis?
Pada saat itu berkembang suatu pemahaman bahwa "ini adalah bentuk terbaik dari semua kemungkinan yang ada di dunia." Voltaire ingin menunjukkan bahwa betapa banyak juga ketidakadilan dan kebodohan yang sebenarnya terjadi di dunia nyata. Ia memberi sasaran pada perbudakan, ketidaktoleransian beragama, dan kezaliman. Voltaire menyimpulkan bahwa setiap orang memiliki kecenderungan untuk melakukan hal itu di "kebun sendiri" dan meninggalkan (orang) lainnya untuk melakukan hal serupa.

Apa yang dimaksud dengan Filosofi Optimism?
Pada saat itu optimisme adalah sistem filsafat yang percaya segala sesuatu sudah merupakan yang terbaik, tidak peduli seberapa mengerikan tampaknya. optimist philosophy dipopulerkan oleh Gottfried Wilhelm von Leibniz. Voltaire mengkritik paham yang terkenal dengan optimisme tersebut dalam Candide.

Peristiwa gempa bumi di Lisbon, Portugal pada tahun 1755, menjadi bukti Voltaire untuk mengkritik "in the best of all possible worlds". Rumor yang berkembang di Eropa saat itu dinilai melebih-lebihkan keadaan yang sebenarnya. Enam menit gempa (dan disertai tsunami) itu menewaskan 30.000 jiwa. Pertanyaan mendasarnya: Bagaimana gempa yang menewaskan 30.000 orang untuk hal yang terbaik? Apakah tempat pembantaian pada perang Eropa 1756-1763 adalah yang terbaik dari kemungkinan dunia?



Gbr 1: Ilustrasi Gempa Bumi di Lisbon
description


Gbr 2: Ilustrasi Perang Tujuh Tahun Eropa.
A war in which Britain, Prussia and Hanover fought Austria, France, Russia, Saxony, Sweden and Spain. Britain became the main European power after this war. French Canada was captured by the British in this war.

Gbr 3: Ilustrasi Pangloss sedang mengajar Candide
description

Berbagai kemalangan yang bersifat ekstrim dialami oleh Tokoh Novel ini. Sebagai contoh: 1. Candide didepak dari kerajaan,
2. Cunegund diperkosa oleh tentara Bulgaria
3. Kakaknya Cunegund, Baron Yesuit disiksa
4. Pangloss digantung (namun tidak mati)
5. Candide ditipu oleh nelayan Belanda

Dengan menggunakan satire, Voltaire seolah mengejek paham optimisme, yang tidak hanya tidak masuk akal, tetapi juga sombong. Voltaire terjalin cinta dengan Emilie du Chatelet lasted dari 1733 sampai 1749. Masalahnya si kekasih adalah pengikut filosofi optism. Namanya cinta, ketika hidup dengan Emilie, kritiknya pada Optimisme lebih berkurang.

Kritikan di Bidang Agama
Voltaire sebenarnya berkonflik dengan gereja. Saat itu Gereja Katolik Roma adalah kekuatan terbesar kedua setelah kerajaan. Perselisihan Voltaire dengan gereja lebih besar gaungnya daripada perselisihan Voltaire dengan otoritas politik. Ia menganggap gereja adalah pendukung takhyul, konservatif dalam pengambilan keputusan yang rasional. Ia beranggapan bahwa gereja menjadi penyebab fanatisme dan intoleransi.

Pada waktu itu, agama terorganisir di Perancis (dan di tempat lain) gereja antara lain menyensor pers dan pidato, menentang toleransi beragama, mendukung doktrin hak ilahi dari raja untuk memerintah dan sering mendukung perbudakan. Voltaire mencerca terhadap Gereja Katolik bukan karena dia adalah orang jahat yang menginginkan kebebasan bagi dosa, tetapi karena ia melihat gereja sebagai mata air dan benteng kejahatan. Dia merasa bahwa tidak akan ada perubahan yang mungkin tanpa mengabaikan kekuatan Gereja; itulah sebabnya dia mencurahkan begitu banyak perhatian untuk mengejek dan mendiskreditkan itu.

Perjalanan Candide
Petualangan Candide mulai dari diusir dari Istana di Westphalia dan mencari kekasihnya Nona Cunegund hingga ke Venesia. Dalam perjalanannya, ia menemukan banyak kejadian yang menakjubkan sekaligus mengerikan. Setiap orang-orang yang ditemui Candide memiliki kiasan tersendiri yang diramu oleh Voltaire. Peta perjalanan Candide dapat dilihat sebagai berikut.

Gbr 4: Perjalanan Candide
description

Dari hasil penelusuran, buku ini adalah buku terlarang bagi kaum Yesuit. Paul LeClerc, President dan CEO The New York Public Library mengatakan dalam suatu wawancara, ia harus meminta izin melalui surat dari Bishop di Jesuit College, Holy Cross untuk membaca buku ini. Baginya, buku ini seperti buah terlarang di taman Eden. Ia menambahkan bahwa Masih adanya perang, kemiskinan, kelaparan, kehilangan hak hidup, dan sebagainya itu sejalan dengan kesimpulan Voltaire yang menyatakan bahwa dunia belum sempurna. Karena itu kita harus berjuang, berjuang akan keadilan, melawan intoleransi, melawan takhyul, berjuang pada hak asasi manusia hingga saat ini.

Kelebihan terjemahan novel ini menurut saya adalah adanya catatan kaki pada kata yang menyangkut nama orang, tempat, istilah-istilah. Catatan kaki tersebut cukup membantu walaupun ada istilah baru lagi dalam catatan kaki tersebut.

Kekurangan buku terjemahan ini adalah pada terjemahan judul babnya tidak sesuai dengan yang bahasa Inggris. Sebagai contoh pada Bab I
dalam bahasa Inggrisnya "How Candide Was Brought Up in a Magnificent Castle and How He Was Driven Thence", yang diterjemahkan dengan "Kastel Thunder-Ten-Tronkch." Hal ini menyulitkan pembaca jika ingin membandingkan isi novel ini dalam dua bahasa (Inggris-Indonesia). Padahal, sumber-sumber yang membahas novel ini cukup banyak di internet. Dan salah satu jembatannya adalah nomor bab dan judulnya. Salah satu web yang memberi perhatian pada novel ini adalah New York Public Library yang membuat tautan khusus mengenai Candide di http://candide.nypl.org/text/.

Bagi saya, dengan kekurangan buku ini, saya malah asyik sendiri menelusri tautan yang menceritakan karya besar ini. Itupun masih jauh dari cukup untuk memahami konteks dan kritik terhadap kehidupan sosial masyarakat pada saat itu. Saya menjadi kagum dengan para penulis yang menggunakan penanya untuk menyuarakan yang tidak bersuara. Seperti novel klasik Indonesia Max Havelaar oleh Multatuli (Douwes Dekker), Siti Nurbaya oleh Marah Roesli, dan selanjutnya

Pelajaran yang saya ambil, Selama masih di dunia, akan selalu berhadapan dengan masalah. Karena itu berjuanglah, selagi bisa. Berjuang atas rezeki, cita-cita, kebahagiaan, sesama, dan sebagainya. Semoga Tuhan menyertai. Amin.
_________________________________
Voltaire sendiri adalah nama pena. Nama aslinya adalah Francois Marie Arouet. Lahir di Paris, 21 November 1694. Ia menggunakan nama Voltaire pada usia 25 tahun. Ia sendiri bersekolah di Jesuit College. Ayahnya menginginkan dia untuk menjadi pengacara, tapi ia berkeinginan menjadi penulis. Ketika ayahnya, M. Arouet,meninggaldunia pada 1 Januari 1722, Voltaire mendapat warisan yang sangat besar. Sebab ayahnya memiliki kantor yang berpenghasilan 13.000 franc setahun. Ia meminjamkan uangnya 10 persen setahun pada adipati, pangeran, dan bangsawan besar. Ia hidup dengan baik dengan penghasilan seperti itu.

Ia dituduh menulis puisi satire Duke of Orleans, padahal bukan ia yang menulis. Ia dipenjara di penjara Bastille dan diasingkan ke Inggris. Di Inggris, justru kemampuan menulisnya meningkat seiring belajar menulis dan berbicara. Ia banyak belajar dengan Orang-orang besar Inggris, seperti Sir Isaac Newton (1642-1727), Shakespeare, Milton, Dryden, John Locke (1632-1704), Bacon, Jonathan Swift (1667-1745), Young, Thomson, Congreve, Alexander Pope (1688-1744), Addison. Secara khusus pada Newton dan Locke, mereka sangat mempengaruhi Voltairedalam hal pengembangan intelektual. Di samping itu, Voltaire mengalami kebebasan berbahasa dan menulis Bahasa Inggris, yang tidak didapatnya di negerinya sendiri.

Pada Tahun 1750, Frederick the Great, raja Prusia mengundang Voltaire tinggal di istananya dan membayarnya 20.000 franc setahun untuk menulis. Gempa bumi Lisbon pada Tahun 1755 yang menjadi inspirasinya membuat Candide. Sebelum Candide, ia menulis puisi panjang untuk Gempa Lisbon. Ia menunjukkan bahwa manusia tidak dapat menolak bencana alam, dan mempertanyakan justifikasi para penganut Optimism akan bencana alam tersebut, apakah bencana itu adalah dalam kerangka menemukan bentuk terbaiknya? Ia kembali ke Perancis pada 1778, untuk menyaksikan pertunjukannya yang terakhir, Irene, dan ia meninggal pada tahun yang sama. Karena keberadaannya ditolak oleh Gereja Katolik, temannya membawa jenazahnya keluar Perancis untuk dimakamkan, sebab Gereja menolak melakukan upacara pemakaman Voltaire. Pada 1791, barulah jenazahnya dibawa kembali ke Perancis untuk dimakamkan (kembali). Diperkirakan satu juta jiwa menghadiri prosesi ini.

@hws02022011

lintasberita

Lanjut Baca
 
Copyright (c) 2010 Buku Bagus by Dunia Belajar