Buku Utsukushisa To Kanashimi To (Keindahan dan Kesedihan) - ulasan | Buku Bagus

Buku Utsukushisa To Kanashimi To (Keindahan dan Kesedihan) - ulasan

Keindahan dan Kesedihan (Beauty and Sadness)
Judul Asli: 美しさと哀しみと Utsukushisa to Kanashimi to
Pengarang: Yasunari Kawabata
Tebal: 253 halaman
Penerbit: Jalasutra, September 2003
ISBN 9793684097

Novel ini pertama kali diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Asrul Sani pada Tahun 1980. Utsukushisa To Kanashimi To merupakan novel terakhir karya Yasunari Kawabata sebelum ia ditemukan tewas karena bunuh diri pada Tahun 1972. Novel ini juga telah diangkat ke layar lebar dengan judul With Beauty and Sadness (1965).

Novel ini berpusat pada tokoh utama Oki Toshio yang memiliki kenangan cinta masa lalu pada seorang perempuan, Ueno Otoko. Namun, dari cinta masa lalu tersebut, seorang perempuan muda, Keiko, menjadi saksi hidup betapa cinta dan kebencian hanya beda setipis.

Kawabata terkenal dalam membuat karya yang sedih. Selain itu, ia dianggap berkontribusi terhadap pengenalan budaya klasik Jepang yang disampaikannya lewat novel-novelnya. Seperti pada kisah di novel ini, menceritakan sebuah kisah cinta yang teramat sedih. Novel ini terdiri dari 9 bab, Tokoh-tokoh novel yaitu sebagai berikut.



1. Oki Toshio, seorang pria berumur 54 tahun. Ia seorang novelis. Ia memiliki istri dan dua orang anak. Tinggal di Tokyo. Pada umur 30 tahun, ia menjalin asmara dengan seorang perempuan berusia 15 tahun. Ia menulis kisah cintanya dalam sebuah novel "Gadis Enam Belas Tahun". Novel itu meledak di pasaran, ia menjadi terkenal. Hidupnya berubah dari yang tadinya miskin menjadi kaya. Sebuah tradisi Tahun Baru Jepang membuat ia ingin kembali pada cinta masa lalunya.

2. Ueno Otoko, dialah perempuan itu. Sejak perpisahannya dengan Oki, ibunya membawa ia pindah ke Kyoto. Saat ia bertemu dengan Oki, usianya baru 15 tahun. Ia sempat mengandung seorang bayi dari hasil hubungannya dengan Oki, namun bayi itu meninggal karena prematur. Ia pindah ke Kyoto, dan beralih profesi menjadi seorang pelukis. Lukisan yang ia dalami adalah lukisan abstrak, seorang perempuan muda tertarik pada lukisannya, terlebih pada wajah Otoko yang cantik, dan perempuan itu kemudian menjadi muridnya.

3. Keiko, seorang perempuan yang sudah yatim piatu sejak kecil. Pada suatu kali ia melihat di sebuah Majalah, seorang pelukis yang wajahnya cantik. Ia mengajukan diri untuk diterima sebagai murid. Kemudian ia diterima oleh Ueno Otoko, dan mereka, guru dan murid, tinggal bersama, pada sebuah kuil.

4. Fumiko, istri Oki. Ia bekerja sebagai pengetik. Ia tahu bahwa suaminya memiliki selingkuhan. Ia cemburu karena suaminya pernah bersama perempuan lain. Ia sangat benci dengan Otoko. Ia pernah meninggalkan rumah bersama anak pertamanya.

Tanpa mengurangi harga tomat rasa hormat saya pada laki-laki, dalam cerita ini, orang yang bertanggungjawab paling besar adalah Oki. Dialah penyebab teraduk-aduknya perasaan setiap orang. Baik itu Otoko, Fumiko, Keiko, dan Oki sendiri. Apa saja yang dilakukan Oki?

Pertama, ia digambarkan adalah seorang pria yang suka perempuan muda. Sewaktu ia berkenalan dengan Otoko, istrinya, Fumiko sedang mengandung anak laki-laki pertama mereka. Sebagai suami, seharusnya Oki mendampingi istrinya yang sedang butuh perhatian, bukannya dengan wanita lain.

Kedua, Sebagai laki-laki dewasa, seharusnya Oki sadar konsekwensi yang ia hadapi bila ia "menceburkan" diri dengan cinta yang lain. Apakah itu pembenaran akan pernikahannya yang tidak bahagia? Apakah ia berpikir tentang perasaan orang-orang yang dilukainya?

Ketiga, sewaktu Otoko mengandung bayi dari Oki, terkesan bahwa Oki tidak serius membawa Otoko ke rumah sakit yang bagus. Kelihatan, bahwa sebenarnya ia lebih memilih Otoko, dibanding bayi itu. Sedangkan Otoko sebaliknya, ia sampai hampir bunuh diri ketika tahu bahwa bayinya mati.

Keempat, mengapa Oki membiarkan Otoko sedemikian lama? mengapa ia tidak mencarinya dalam kurun waktu 20 tahun lebih? yang dilakukannya malah melukai hati Otoko dan Fumiko. Ia menulis novel yang berjudul Gadis Berusia Enam Belas Tahun. Hal itu akhirnya membuat ia memperoleh royalti dari novelnya yang laris. Namun, isi novel itu sendiri mengoyak perasaan Fumiko, yang juga mengetik sendiri novel itu. Fumiko tahu perihal perselingkuhan suaminya. Istrinya sebenarnya pemaaf, namun ia cemburu. Mengapa tak satupun perasaan istrinya tidak diungkapkan Oki lewat novel itu?

Kelima, Oki adalah pribadi yang lemah. Begitu gampangnya ia terbujuk untuk jatuh ke pelukan perempuan muda. Keiko, murid Otoko, menjebaknya dengan membawa Oki ke hotel. Keiko ingin membalas dendam pada laki-laki yang membuat gurunya menderita. Oki sekali lagi mengkhianati cinta Otoko, maupun Fumiko.

Hal inilah yang menjadi puncak konflik novel ini. Antara cinta yang tak pernah padam, dengan suatu keadaan dimana cinta tak mungkin lagi bersatu. Cinta ada sebagai bayang-bayang masa lalu. Otoko sendiri mengalami konflik dengan ibunya, sebab ibunya sendiri menyarankan agar ia melupakan Oki dan menikah dengan pria lain. Otoko menolak. Baginya, Oki adalah pria yang tidak terganti dalam hidupnya.
"Kamu tahu jika kamu mati aku tidak sanggup untuk hidup lagi. Aku benar-benar tidak sanggup!" Titik airmata berkilau di sudut mata Otoko. Titik airmata itu bukanlah airmata kesedihan tapi airmata penyerahan diri. (h.200)

Ia sendiri akhirnya berprofesi sebagai pelukis. Kesepiannya akan cinta tersalur lewat karya-karya lukisannya. Ia masih terobsesi menyelesaikan karya yang menggambarkan bayinya yang meninggal. Otoko cenderung narsis, pada sebuah karya lukisnya, ia melukis ibunya yang muda dan cantik. Namun ia sendiri menyadari, bahwa yang dilukisnya adalah dirinya sendiri.
Mungkin sudah dapat diperkirakan bahwa seorang wanita yang hidup sendirian selama dua dekade tanpa cinta atau pernikahan harus menyerah pada hasrat dirinya dalam kenangan cinta yang sedih, dan penyerahan hasrat itu harus meliputi warna cinta untuk dirinya.(h.208)

Selain itu, ia sedang menyelesaikan sebuah lukisan anak. Anak yang dahulu dikandungnya.
Ia tahu benar bahwa sosok anak dalam Mi'rajnya Sang Bayi yang sedang digarapnya tidak mirip dengan bayinya yang telah mati dan iatak ingin melukis sebuah foto yang nyata. Yang ia inginkan adalah mengekspresikan rasa kehilangannya, kedukaan dan kasih sayangnya untuk seseorang yang belum pernah ia lihat. Ia berharap dan sangat ingin agar lukisan bayinya yang telah mati menjadi simbol kerinduannya (h.205).

Novel ini sarat dengan simbol. Kawabata menggunakan simbol tradisi Jepang dengan kondisi tokoh-tokoh novel yang ditulisnya. Dari sebuah tesis, saya sarikan simbol-simbol tersebut.

Perayaan Lonceng Malam Tahun Baru
Orang Jepang pada malam tahun baru memiliki kebiasaan memukul lonceng yang ada di Kuil. Lonceng dalam budaya Jepang merupakan simbol usia, simbol kehidupan, dan juga perasaan hati manusia. Pertemuan Oki dan Otoko dalam usia yang sudah tua menyiratkan perasaan cinta yang terus bergema, meski jarak sudah memisahkan mereka.

Teratai Dalam Nyala Api
Merupakan salah satu filsafat dalam ajaran Budha yang mengandung makna sesuatu yang tidak akan pernah mungkin terjadi walaupun manusia berusaha untuk memperolehnya. Teratai Dalam Api sebagai simbol dualisme perasaan cinta Otoko yang tidak mungkin bisa menyatu meskipun Otoko berusaha menyatukannya. Nyala Api menyimbolkan cinta Otoko pada Oki seperi api yang membakar. Meski dilarang oleh ibunya, ia nekad melanjutkan hubungan cinta terlarangnya dengan Oki. Akibatnya, Otoko mengalami penderitaan hidup.

Pisau Cukur
Dalam budaya Jepang, pisau cukur merupakan simbol aib, bencana, kematian dan perkosaan terhadap perempuan. Pisau cukur untuk menyimbolkan naluri kematian Otoko. Naluri kematian itu disebabkan oleh kejadian di masa lalu yang membuat hidupnya menderita. Penderitaan itu membuat Otoko terobsesi pada kematian.

Lukisan Kebun Teh
Dalam budaya Jepang, perkebunan teh merupakan simbol ketenangan, simbol kedamaian hati serta simbol kemakmuran. Lukisan Otoko yang bertema Kebun Teh erat kaitannya dengan perpisahan dengan Oki. Keputusan ibu Otoko untuk pindah dari Tokyo ke Kyoto bertujuan agar Otoko melupakan Oki. Perjalanan dari Tokyo ke Kyoto menggunakan kereta api yang melewati Daerah Shizuoka yang terkenal dengan perkebunan teh. Otoko memandang ke perkebunan teh dan merasakan kepiluan atas perpisahannya.

Novel ini merupakan karya terakhir Kawabata, sebelum ia ditemukan tewas bunuh diri karena menghirup gas beracun (16 April 1972). Hidup Kawabata juga amat sedih, ia sedari kecil sudah yatim piatu. Tidak diketahui apa penyebab ia bunuh diri. Biasanya, jika orang Jepang bunuh diri, mereka meninggalkan catatan, tetapi Kawabata tidak. Padahal, dalam sebuah pidatonya ketika ia menerima Nobel sastra, ia sangat menentang bunuh diri. Ia mengatakan "Betapa pun mengagumkannya, orang yang bunuh diri itu jauh dari wilayah suci. "Saya tidak mengagumi atau menaruh simpati kepada tindakan bunuh diri." Kawabata adalah sastrawan Asia yang kedua menerima Nobel setelah Tagore dari India. Namun Kawabata adalah sastrawan Asia pertama yang menerima Nobel dalam karya sastra bahasa asli negaranya (Jepang). Kawabata dianggap sastrawan pintar. Ia memasukkan unsur-unsur klasik budaya Jepang dalam karya-karya sastranya, sehingga kalau diterjemahkan akan kehilangan warna aslinya.

Sungguh layak mengoleksi karya pengarang peraih Nobel "for his narrative mastery, which with great sensibility expresses the essence of the Japanese mind." ini

@hws17052011


lintasberita

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright (c) 2010 Buku Bagus by Dunia Belajar