Buku The Last Emperor - ulasan | Buku Bagus

Buku The Last Emperor - ulasan

  • Kamis, 12 April 2012
  • Katagori : , , , , , ,
  • Kaisar Pu Yi mungkin kaisar yang paling tak lazim perjalanan kekaisarannya selama masa pemerintahan monarki di China. Bayangkan, di usianya yang baru 11 tahun, ia telah mengalami berturut-turut: penobatan sebagai kaisar, digulingkan oleh pemerintahan republik, direstorasi kembali menjadi kaisar, hingga penurunan takhta kembali dalam kurun waktu teramat singkat. Memang, saat-saat itu salah satu negara terbesar di dunia ini sedang bergerak dari bentuk negara monarki menuju ke republik. Banyak pergolakan yang tercatat dalam sejarah, dan salah satu pelakunya yang punya peranan penting menuturkan kembali sejarah itu dari sudut pandangnya sendiri. Inilah kisah autobiografi Henry Pu-Yi, kaisar terakhir Dinasti Qing, sekaligus kaisar terakhir di China, yang telah disempurnakan oleh Paul Kramer. Membaca The Last Emperor bukan saja membaca sejarah, namun juga memahami sejarah itu dari sudut pandang yang lebih manusiawi dan personal. Kita akan diajak menyelami seluk beluk kekaisaran China dan bagaimana perjuangan tak kenal lelah Pu-Yi menemukan jati dirinya sebagai manusia.

    Membaca penuturan Pu-Yi tentang masa kecilnya, aku membayangkan seorang bocah cilik yang jahil, cerdas, dan manja. Kondisi mau tak mau membuatnya seperti itu. Bayangkan saja, dari lahir ia telah dibesarkan sebagai Putra Langit, yang tertinggi dari semua orang. Bahkan ayahnya sendiri, saudara-saudaranya, guru-gurunya harus berlutut menghormat dia. Pu-Yi sudah terbiasa dilayani, dihormati, dituruti bahkan nyaris seperti disembah. Semua orang ingin menyenangkan dia. Berperilaku semena-mena dan seenak gue tentu saja merupakan hasil dari kondisi itu. Misalnya, menolak belajar karena ia ingin memperhatikan semut-semut merayap di pohon, membuat gurunya tak mampu berbuat apa-apa.

    Sementara itu Pu-Yi kecil terus bertumbuh sebagai bocah manja, sambil memperhatikan politik bergolak di sekitar kekuasaannya maupun di negaranya, tanpa ia terlalu memahaminya. Inilah yang membuat asyiknya membaca buku ini, yaitu ketika sejarah dituturkan lewat pandangan Pu-Yi kecil. Aku sempat ternganga membaca penuturan Pu-Yi tentang banyaknya biaya yang dihabiskan oleh kerajaan pada masa itu. Bagaimana makanan yang berlimpah dihidangkan seringkali hampir tanpa disentuh, bagaimana prosesi perarakan ketika seorang kaisar hendak berpindah tempat (yang membuatku mau tak mau tersenyum sendiri), berapa banyak bahan pakaian yang dibutuhkan, juga berapa banyak tenaga kerja yang direkrut di istana. Benar-benar pemborosan kolosal!

    Cerita mulai bergerak seru setelah Pu-Yi menanjak remaja, karena di sini ia mulai mengambil peran dalam beberapa keputusan kerajaan. Di sini juga ia jadi memahami betapa licik dan kejamnya politik di sekitar dirinya. Kondisi berubah dengan amat cepat kemana angin politik berhembus. Kawan menjadi lawan, namun kadang lawan bisa juga menjadi lawan. Mulai agak membingungkan membaca intrik-intrik di sini, antara kaum revolusioner republik dan mereka yang mengagungkan monarki. Kubayangkan, rakyat pada waktu itupun bak terpecah-belah. Antara menganggap pemerintah republik lebih baik, namun di sisi lain tetap menjadikan kaisar Putra Langit junjungan mereka yang harus disembah (mungkin mirip kesultanan di Yogya ya!). Mungkin karena itulah, pemerintah tetap memberlakukan: Perjanjian Perlakuan Baik terhadap kaisar dan kerajaan, dengan menjamin keberadaan mereka, istana, juga dana khusus untuk melanjutkan hidup ala kerajaan di Kota Terlarang seperti biasa.

    Di usia remaja, Pu-Yi mendapat seorang tutor berkebangsaan Eropa bernama Johnston, selain tutor berkebangsaan China yang sangat dipercayainya: Chen Pao-Shen. Kelak setelah pernikahannya, Pu-Yi yang merasa lebih dewasa banyak dipengaruhi Johnston dalam keterbukaan cara berpikirnya. Ia mulai merasa terkekang dan tertindas sebagai Kaisar dan ingin sekali meninggalkan Kota Terlarang untuk melanglang dunia. Meski notabene ia orang paling berkuasa, namun di bawahnya ada begitu banyak birokrasi yang rumit, dengan orang-orang yang sudah merasa nyaman melakukan korupsi selama puluhan generasi. Pu-Yi sudah berinisiatif melakukan perubahan radikal di Departmen Rumah Tangga yang disinyalir menjadi pusat korupsi paling basah di Kota Terlarang itu, namun beberapa orang yang direkrutnya selalu mengalami jalan buntu. Sama halnya di negara kita, akar korupsi itu sudah terlanjur membelit demikian dalam sehingga sangat kokoh dan tak mungkin ditembus.

    Tak lama setelahnya, keadaan politik makin memanas dan memaksa Pu-Yi untuk keluar dari istana, bahkan keluar dari rumah ayahnya, lalu mencari bantuan di Kedutaan Jepang di Tientsin yang menerimanya dengan tangan terbuka karena merekapun bermusuhan dengan China. Di pengungsian ini obsesi Pu-Yi untuk merestorasi dinasti Qing semakin membara, terutama setelah makam kaisar Chien Lung dan permaisuri Tzu His dirampok oleh pengikut Chiang Kai-Shek. Saking terobsesinya dengan restorasi, hingga Pu-Yi tak sempat merasakan dan berbagi cinta dengan istri dan selirnya.

    Setelah itu alur cerita pun bergerak cepat, sesuai dengan keadaan perang pada saat itu yang amat cepat berubah. Jepang yang menduduki Cina, lalu Jepang yang dikalahkan Sekutu. Semua itu membuat nasib Pu-Yi dan sanak keluarganya menjadi terombang-ambing. Jangankan memikirkan restorasi, nasib mereka sebenarnya saja tak mereka ketahui, dan kekhawatiran akan hukuman mati beberapa kali menghantui mereka. Pada awal penangkapan dan pengasingan ini, para keponakan dan orang-orang terdekat Pu-Yi masih setia. Mereka melayani sang mantan Kaisar seperti layaknya dulu, meski dalam kondisi berbeda. Namun begitu Jepang masuk ke dalam cengkeraman penjajahan Sovyet, kondisi menjadi berubah amat drastis. Semua orang diperlakukan sama, tanpa kecuali Pu-Yi. Ia tak lagi dilayani, ia tiba-tiba harus hidup mandiri. Sesuatu yang mungkin biasa bagi kita, namun pasti amat sangat sulit bagi seseorang yang sedari kecil terbiasa dilayani dan tak pernah diberi kesempatan untuk melakukannya sendiri, bahkan hal sesederhana menutup kembali kran air saat sudah selesai menggunakan atau mengambil odol pada waktu akan menggosok gigi.

    Bisa dibayangkan betapa menderitanya Pu-Yi mendapati dirinya tak mampu melakukan apapun dalam hidupnya, belum lagi ejekan dan hinaan orang-orang di sekitarnya termasuk mereka yang dekat dengannya. Di saat-saat ini Pu-Yi merasa begitu kesepian, sendirian, tak berdaya. Belum lagi, mereka yang dulu dengan setia menutup mulut rapat-rapat menyimpan rahasia demi keselamatan Pu-Yi, sekarang secara terbuka membeberkan semuanya gara-gara program “pengakuan dosa” yang diadakan Sovyet dalam rangka “pencucian otak” para tahanan perang demi mereformasi pemikiran mereka menjadi lebih komunis. Namun, justru cara menyakitkan “from hero to zero” ini, Pu-Yi mampu melihat kembali diri dan hidupnya sendiri pada masa lalu dari kaca mata yang berbeda. Betapa egoisnya ia, bukan karena ia ingin begitu, tapi karena tak ada seorang pun yang membukakan matanya pada hal-hal lain. Sepuluh tahun lamanya Pu-Yi mendekam dalam kamp penahanan sebagai tahanan perang, hingga suatu hari terbitlah grasi khusus baginya untuk bebas. Maka mulailah Pu-Yi menapaki hidup baru sebagai orang biasa sekaligus manusia baru di usia ke 54.

    Banyak cerita lucu tentang Pu-Yi yang tak terbiasa dengan kehidupan masyarakat. Anda pasti akan tertawa saat membaca tentang Pu-Yi yang tersasar gara-gara menyapu, atau ditinggal bus, atau saat pergi ke tukang cukur. Namun yang jauh lebih bernilai adalah manisnya sebuah persahabatan, tulusnya saling menolong, dan indahnya perasaan menjadi bagian dari sesuatu, dan semua itu justru muncul dari hal-hal sepele. Dan Pu-Yi telah menyegarkan kembali ingatan kita akan arti kebersamaan yang sejati, yang akan muncul jika semua orang mau menghargai perbedaan dan bersikap rendah hati.

    Henry Pu-Yi, setelah bekerja keras mengejar semua ketinggalannya, berhasil menjadi bagian dari sebuah masyarakat, di mana karya-karyanya dihargai. Ia yang dulu dianggap bodoh dan tak berarti, kini sama berharganya dengan manusia lain. Semua manusia diberikan suatu kemampuan oleh Tuhan ketika ia lahir. Tinggal bagaimana orang tua mendidiknya dan bagaimana lingkungannya menerimanya. Pu-Yi memang “tak beruntung” dilahirkan dan dibesarkan sebagai seorang calon kaisar, namun untunglah Direktur Pusat Pengendalian tempat Pu-Yi ditahan dapat menerima dan membimbing Pu-Yi sehingga mengalami pencerahan dan akhirnya…menemukan hidup baru yang membahagiakan.
    "Saat seseorang dilahirkan (Jen chih chu)
    Sifatnya pada dasarnya baik (hsing peng shan)
    Sifat manusia sama (hsing hsiang chin)
    Hanya lingkungan yang membuatnya berbeda-beda (his hsiang yuan)"

    Catatan: Autobiografi ini juga disertai foto-foto eksklusif milik Pu-Yi. Dari sejak ia masih kecil berbaju kaisar (imut-imut banget!), hingga saat ia menjadi rakyat biasa, bahkan foto saat ia sedang menjahit baju di tahanan. Juga ada foto di depan dan di dalam istananya. Meski hitam-putih, namun foto-foto ini merupakan jejak-jejak abadi sebuah bentuk kerajaan yang telah punah…

    Judul: The Last Emperor: Kisah Tragis Kaisar Terakhir China
    Penulis: Henry Pu-Yi
    Direvisi oleh: Paul Kramer
    Penerbit: Serambi
    Cetakan: Februari 2010
    Tebal: 453 + halaman foto-foto

    lintasberita

    0 komentar:

    Posting Komentar

     
    Copyright (c) 2010 Buku Bagus by Dunia Belajar