Mengapa Jarum Jam Bergerak Ke Kanan? - David Feldman


Mengapa Jarum Jam Bergerak Ke Kanan? Dan mengapa-mengapa lainnya
David Feldman
Alih Bahasa: Alex Tri Kantjono
PT Gramedia Pustaka Utama
Non fiksi
Jakarta 2006
Xx+216 halaman



Jawabnya, Henry Fried, salah seorang horologis terkemuka di amrik sono menjelaskan bahwa sebelum jam ditemukan, kita menggunakan jam matahari. Di belahan bumi utara, bayangan berputar ke arah yang kini kita sebut "searah jarum jam". Jarum jam dibuat bergerak menirukan gerakan bayangan matahari. Apabila jam ditemukan di belahan selatan, kemungkinan yang disebut dengan searah jarum jam adalah arah kebalikan yang sekarang.

Pertanyaan dalam judul buku ini oleh penulis disebut sebagai imponderable. Imponderable adalah misteri-misteri dalam hidup sehari-hari yang dianggap tidak terlalu penting, sampai kita bersilang jalan dengan salah satu misteri hidup tersebut dan kemudian mempertanyakannya, selanjutnya misteri tersebut mengganggu pikiran, bahkan menggerogoti pikiran seperti rayap. Dan imponderable yang sulit dijawab, penulis menamakannya Frustating Imponderables atau Frustables.

Sesuai dengan judul aslinya," Why Do Clocks Run Clockwise and Other Imponderables" buku ini berisi berbagai macam imponderabel yang dikumpulkan dan dijawab oleh penulis. Sebenarnya buku ini mirip dengan buku tulisan Billy Goldberg, M.D & Mark Leyner berjudul Why Do Men Have Nipples? Hundreds of Questions You'd Only Ask a Doctor After Your Third Martini yang pernah saya baca sebelumnya. Bahkan dialih bahasakan oleh penerjemah yang sama. Setelah saya baca dan hitung terdapat 149 imponderabel dan 10 frustable. Beberapa imponderable yang menurut saya menarik adalah,


"mengapa papan-angka telepon susunannya berbeda dari susunan papan angka-kalkulator?

"mengapa listrik didistribusikan sebagai arus bolak-balik, bukan searah?

"Ketika lubang di jalan terbentuk, mengapa kita tidak melihat rontokan semen atau aspalnya?

"mengapa semua hukuman mati di Amerika Serikat dilaksanakan antara tengah malam dan pukul tujuh pagi?

"Mengapa semua tempat prkatik dokter gigi baunya sama?

"Siapakah Emmy sampai-sampai ada penghargaan yang disebut Emmy Award?

"Mengapa anjing tidak menderita laringitis, nyeri tenggorokan, perubahan suara, atau serak sesudah menggonggong terus-terusan?

"Apakah sentakan-sentakan yang kadang-kadang membangunkan kita tepat ketika hampir terlelap?

" mengapa pelaut mengenakan celana yang pipanya melebar ke bawah?

"mengapa keluarga kerajaan sering disebut berdarah biru?

"Mengapa orang kebal terhadap bau badan sendiri?

"mengapa teriris kertas lebih sakit daripada teriris pisau?

"mengapa lampu lalu lintas menggunakan warna merah, kuning, dan hijau? Mengapa lampu merah paling atas, hijau paling bawah, dan kuning di tengah?

"apakah fungsi gigi bungsu?

"mengapa kota kuno terkubur berlapis-lapis?dan darimana asal tanah untuk menguburnya?


Dan imponderabel yang paling menarik ,menurut saya adalah


"mengapa pemadam kebakaran AS memiliki anjing dalmatian?


Jawabnya? Hmm…baca saja sendiri bukunya, =D


Sebetulnya, imponderabel yang ada kebanyakan diambil dari kehidupan sehari-hari di AS, jadi kadang kurang mengerti maksudnya. Tapi buat saya pribadi, tidak ada bacaan yang tidak bermanfaat apalagi buku ini.


Image hosted by Photobucket.com
lintasberita

Lanjut Baca

Shopaholic & Baby - Sophie Kinsella


Shopaholic & Baby, Si Gila Belanja Punya Bayi
Sophie Kinsella
Fiksi - Chicklit
Alih Bahasa: Monica Dwi C
PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta, April 2007
Bahasa
536 halaman, 18 cm


Setelah selesai bertualang mencari saudaranya Jess-yang memiliki sifat yang sangat bertolak belakang dengannya- Rebecca Brandon (d. h. Blommwood) atau Becky atau Bex atau si gadis dengan syal Denny and George atau yang pasti sang maestro shopaholic kembali beraksi, kali ini dengan kehamilannya lagi-lagi Bex membuat keributan dan selalu dengan tanpa sengaja semuanya selesai dengan brilliant, catat: tanpa sengaja, lho!

Tentu saja, untuk calon bayinya Bex menginginkan semuanya yang terbaik bagi anaknya nanti. Tentu saja untuk calon bayinya Bex sekali lagi melanggar janjinya untuk berhenti belanja gila-gilaan, bahkan kali ini Jess tidak mampu menghalanginya lagi. Kehamilannya tentu saja merupakan sebuah pasport untuk belanja baginya. Mulai dari tempat tidur bayi dengan harga selangit, kereta bayi sebanyak lima buah untuk setiap acara berbeda dan salah satunya harus berwarna pink, sampai baju pesta bayi yang bermerk pun diborongnya. Tapi bukan Bex namanya kalau dia tidak menginginkan segalanya harus yang paling nomor satu atau harus yang paling populer atau harus yang paling terkenal, glamour, dan segalanya yang berbau ter-, karena itu dia pun memaksa Luke Brandon suaminya, untuk pindah dokter kandungan, yang asalnya ditangani oleh dokter kandungan senior yang yang menurut Bex biasa saja, kemudian pindah ke Venetia Carter, seorang dokter kandungan para selebritis dunia dan supermodel top.

Seperti biasa, kemudian masalah satu demi satu muncul, dokter kandungan yang cantik sempurna yang ternyata mantan pacar Luke dan memiliki hidden agenda terhadap Luke, depstor tempat Bex bekerja yang sepi pembeli, dan masalah pekerjaan Luke yang memiliki klien yang bermasalah, sehingga masalah mencari rumah baru yang wajib ada kamar sepatunya.

Tapi hei! Bex sudah berubah! Kalau dulu belanja dan belanja adalah pengalih pikiran dari permasalahan hidup, sekarang rupanya dia sudah belajar dari kesalahan...

tidak ada yang lebih bisa mengalihkan pikiran dari persoalan hidup selain membicarakan orang yang kita benci (halaman 271)


Seperti biasa juga, kisah si Bex shopaholic ini mengalir begitu saja, mudah diikuti alurnya sekaligus menghibur. Walaupun plot ceritanya masih menggunakan racikan yang sama tapi saya tidak (atau belum) bosan bosannya membaca kisahnya. Tanpa ba-bi-bu saya lahap habis novel ini hanya dalam waktu 5 jam saja, termasuk kilat untuk ukuran saya yang lamban dalam membaca. Dan sekali lagi Kinsella berhasil membuat saya semakin jatuh cinta pada Becky.

Shopaholic & Baby memang bukan bacaan berat atau bacaan yang bisa membuat kita tampak semakin cerdas, smart atau apalah, tapi saya percaya, seseorang yang bisa menulis cerita seringan dan serenyah ini hanyalah orang-orang yang cerdas.. Bravo Kinsella, you're the best!!

Image hosted by Photobucket.com
lintasberita

Lanjut Baca

Buku Balada Ching-Ching (Maggie Tiojakin) - ulasan

No. 240
Judul : Balada Ching-Ching dan Balada Lainnya
Penulis : Maggie Tiojakin
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Juni 2010
Tebal : 175 hlm

Balada Ching-Ching adalah sebuah kumpulan 13 cerita pendek karya cerpenis muda Maggie Tiojakin. Maggie adalah cerpenis yang biasa menulis cerpen-cerpennya dalam bahasa Inggris dan banyak dimuat di media-media berbahasa Inggris seperti The Jakarta Post, Writers Journal, La Petite Zine, Voice, dll. Sebelum meluncurkan kumpulan cerpen ini, Maggie yang pernah mereguk ilmu kepenulisan keratifnya di Boston AS ini pada 2006 yg lalu telah menerbitkan kumpulan cerpen berbahasa Inggris yang berjudul Homecoming (And Other Stories).

Karena terbiasa menulis cerpen dalam bahasa Inggris, otomatis ia tak memiliki stok cerpen berbahasa Indonesia yang cukup untuk dijadikan buku, karenanya untuk kepentingan penerbitan buku ini Maggie harus menerjemahkan sembilan cerpennya kedalam bahasa Indonesia.

Dikemas dalam balutan cover bergaya minimalis dalam sapuan warna merah marun dengan ilustrasi sebuah sebuah jendela yang terbuka, cover ini seolah mengajak pembacanya untuk memasuki kisah balada Ching-Ching dan balada lainnya. Merajuk pada judul buku yang mencantumkan kata ‘balada’ maka setidaknya pembaca sudah diberi petunjuk kira-kira kisah seperti apa yang hendak ditawarkan dalam buku ini.

Jika kita membuka kamus besar Bahasa Indonesia, maka kita akan mendapatkan definisi dari kata balada yaitu: sajak sederhana yg mengisahkan cerita rakyat yg mengharukan. Jika merajuk pada definisi seperti dalam kamus sepertinya agak kurang tepat karena keseluruhan kisah dalam buku ini bukanlah cerita rakyat, hanya saja memang semuanya berisi kisah manusia-manusia biasa dengan problemanya yang umunya terkesan suram walau tak sampai membuat pembacanya tertekan.

Cerpen Balada Ching Ching yang dijadikan judul untuk buku ini menceritakan tentang seorang gadis Tionghoa yang selalu menjadi bulan-bulanan disekolahnya. Ia bukanlah anak orang kaya karena ayahnya hanyalah seorang pedagang kwetiaw pinggiran. Keberadaannya sebagai etnis minoritas di sekolahnya yang menyebabkan dirinya senantiasa diejek dan kehidupan sederhananya dengan seorang ayah yang keras inilah yang dikisahkan dalam cerpen ini

Saya tak akan membahas satu persatu seluruh cerpen dalam buku ini, namun ada beberpa cerpen yang bagi saya tampak kuat dan menonjol dalam buku ini. Salah satu cerpen favorit saya adalah “Liana, liana” dimana menceritakan tokoh Liana yang sedang menunggu ibunya pulang dari supermarket. Tidak seperti biasanya dimana ibunya selalu tiba tepat waktu, kali ini ibunya tak kunjung pulang.

Hal ini menyebabkan Liana merasa khawatiran sehingga ia mencoba menyusun skenario dalam pikirannya kira-kira apa penyebab keterlambatan ibunya. Kekhawatirannya memuncak ketika ia membaca headline di surat kabar mengenai kematian seorang wanita yang ditabrak truk pengangkut bahan bakar. Kisah yang menarik karena di cerpen ini pembaca bukan diajak membaca sebuah kisah real melainkan diajak menyelami khayalan-khayalan apa yang ada dalam benak Liana ketika menunggu ibunya pulang.

Cerpen berjudul “Kawin Lari” juga tak kalah menariknya. Ini adalah kisah paling pendek dari semua cerpen yang ada. Dikisahkan dua remaja yang memutuskan untuk kawin lari. Mereka lantas pergi ke Las Vegas naik bus umum. Separuh jalan mereka sadar bahwa tak ada jalan kembali karenanya si gadis berusaha untuk terus meyakinkan dirinya bahwa pilihannya tidaklah salah. Walau kisahnya pendek saja namun melalui dialog-dialog singkat antara dua tokohnya ini penulis mampu memberikan gambaran pada pembacanya bagaimana khawatirnya si gadis akan masa depannya kelak.

Jika kawin lari adalah cerpen terpendek dalam buku ini, maka cerpen “Dua Sisi” merupakan cerpen terpanjang, dibutuhkan 52 halaman untuk mengisahkan tokoh bernama Andari, pemuda Indonesia yang berkerja di New Yrok. Ia menyaksikan secara langsung bagaimana runtuhnya menara kembar WTC. Kejadian ini mempertemukan dirinya dengan seroang gadis asal Beirut bernama Aysah. Pertemuannya ini melahirkan sebuah persahabatan bahkan berujung pada rasa saling mencintai.

Melalui dialog dan berbagai peristiwa yang dialami Andari dan Aysah pembaca akan diajak memahami peristiwa WTC dari dua sisi yang berbeda. Andari yang tadinya bersikukuh bahwa apapun alasannya peristiwa yang membuat korban berjatuhan adalah hal yang tidak dapat ditorelir dari sisi kemanusiaan akhirnya gamang ketika ia disadarkan bahwa ada sisi lain dimana ia perlu melihat dari kacamata yang berbeda dibalik peristiwa penyerangan gedung tersebut. Yang jadi acungan jempol adalah di cerpen ini penulis tidak terjebak untuk menggiring pembacanya untuk memihak pihak tertentu melainkan hanya membuka pengertian dan mengajak pembacanya untuk melihat sisi lain dari peristiwa yang menggedor sisi kemanusiannnya ini. Dan satu lagi yang membuat cerpen ini istimewa adalah kejutan di bagian akhirnya yang membuat pembacanya terhenyak.

Jika mencermati keseluruhan cerpen yang ada maka yang menjadi keistimewaan cerpen-cerpen dalam buku ini adalah kisah-kisahnya yang diangkat dari peristiwa keseharian. Hanya cerpen “dua sisi” yang agak istimewa karena mengisahkan peristiwa yang luar biasa. Selebihnya hanyalah kisah-kisah biasa yang mungkin juga kita alami seperti saat menunggu di ruang tunggu dokter, kisah seorang terapis, keseharian suami istri, persahabatan, seorang perawat yang berharap adanya muzizat atas pasiennya, dll.

Penuturan penulis dalam cerpen-cerpennya juga sederhana, tidak ada kalimat-kalimat yang rumit, tidak ada kalimat-kalimat bersayap dengan metafor-metafor yang ajaib yang akan membuai pembacanya. Tidak, tampaknya penulis tak menekankan pada keindahan dan kerumitan dalam menyajikan cerpen-ceprennya. Kekuatan cerpen ini justru terletak pada kesederhanannya, keefektifan merangkai kalimat, maupun realitas ceritanya yang membuat seluruh kisahnya menjadi tak berjarak dengan kehidupan pembacanya.

Ada yang mengatakan bahwa gaya penulisan Maggie dalam buku ini kental dengan warna penceritaan penulisan dalam bahasa inggris. Lalu seorang pembaca dalam reviewnya di Goodreads mengungkapkan keistimewaan cerpen- cerpen Maggie yang tidak menghadirkan cerita-cerita yang biasa kita temukan di cerpen-cerpen lokal walaupun settingnya di Jakarta. Karenanya tak heran Duncan Graham dari The Jakarta Post menyebut Maggie sebagai penulis global. Sisi ini yang saya rasa bisa dipertajam oleh Maggie sehingga jika terus ditekuni dan setia pada cara penulisannya seperti ini maka bukan tak mungkin karya-karya Meggie akan lebih dikenal dan disukai baik di dalam maupun di luar negeri

Dari segi penokohan, karakter-karakter tokoh yang dibangunpun tak berlebihan dan semua menggambarkan apa yang mungkin sedang kita alami seperti kesedihan, kegelisahan, kegagalan, obsesi, penantian dll. Semua itu seolah mewakili apa yang dialami oleh setiap manusia dalam perjalanan hidupnnya. Jika dicermati, ending dari setiap cerpen-cerpen dalam buku ini dibiarkan menggantung, bagi saya pribadi hal ini sangat menarik karena memberi ruang bagi pembacanya untuk melanjutkan imajinasinya dan mengembangkan sendiri karakter tokoh dan situasi dan akhir dari cerita yang dibacanya.

Satu-satunya kritik untuk buku ini adalah mengenai judulnya. Setelah membaca semua cerpen yang ada, sepertinya judul ‘Balada Ching Ching dan balada lainnya’ kurang merepresentasikan seluruh cerpen yang ada. Dan saya rasa cerpen Balada Ching-ching juga bukanlah cerpen yang terkuat dari ketiga belas cerpen yang ada. Mungkin ini strategi pemasaran karena judulnya memang menarik, mudah diingat, dan membuat penasaran, namun saya rasa masih ada cerpen-cerpen lain dalam buku ini yang lebih kuat dan bisa lebih mewakili ke-13 cerpen yang ada.

@htanzil

lintasberita

Lanjut Baca

Buku Shinjū - ulasan

Shinjū
Laura Joh Rowland @ 1994
Reni Indardini (Terj.)
Hikmah - Cet. I, Januari 2010
532 Hal.

Sano Ichiro, diangkat sebagai seorang yoriki karena unsur balas budi. Seseorang yang sudah ditolong oleh ayah Ichiro di masa lalu ingin segera ‘menuntaskan’ rasa utang budinya kepada ayah Ichiro. Padahal, Ichiro tidak punya latar sebagai seorang ‘penegak hukum’, ia hanyalah seorang pengajar bela diri.

Dengan kedudukan barunya, orang mulai memandang segan padanya. Tapi tidak demikian dengan rekan-rekan sejawatnya yang tahu bagaimana latar belakang Ichiro sebenarnya. Rasa idealisme yang tinggi juga membuatnya dijauhkan dari lingkungan pergaulan sesama yoriki.

Munculah kasus kematian dua orang muda yang berbeda ‘derajat’. Niu Yukiko, seorang gadis dari keluarga ningrat dan Noriyoshi, seorang pemuda, seniman miskin. Mereka diyakini melakukan Shinjū, atau bunuh diri karena cinta terlarang. Atasan Ichiro, Hakim Ogyu, meminta Ichiro menulis laporan seperti yang sudah ‘diperintahkan’. Tapi, naluri Ichiro yang masih ‘polos’ berkata lain. Ia yakin ada sesuatu yang salah di balik kematian Yukiko dan Noriyoshi.

Ichiro pun mulai melakukan penyelidikan. Ia pergi ke kediaman keluarga Niu dan mendapat sambutan yang dingin dari Nyonya Besar Niu yang enggan kematian anak (tirinya) diungkit-ungkit. Lalu Ichiro pergi ke tempat di mana biasa Noriyoshi bekerja dan bertemu dengan orang-orang yang dianggap berpotensi mengingikan kematian seorang Noriyoshi.

Penyelidikan ini membuat pihak-pihak tertentu gerah, yang tidak ingin apa yang sebenarnya terjadi terungkap. Hakim Ogyu mulai ‘menekan’ Ichiro, beberapa orang jadi celaka. Tapi, Ichiro tetap maju, ia ingin keadilan ditegakkan.

Rumit sistem pemerintahan, peradilan di Jepang jaman dahulu kala. Di mana yang berkuasa senantiasa menekan anak buahnya dan jika tidak dipatuhi, kematian akan jadi akhir. Yang kaya selalu berusaha disembunyikan semua aibnya, sementara jika warga miskin, harus diungkap apa pun kejelekannya.

Yang membuat cerita ini menarik mungkin karena latar belakang cerita. Gue terlalu sering membaca cerita detektif dalam versi modern, jadinya buat gue apa yang ada dalam buku ini ‘menimbulkan rasa baru’. Meskipun nihhhh… gak terlalu membuat gue penasaran. Ending cerita juga gak terlalu dramatis. Tentu saja, Ichiro jadi pahlawan dan dapat kedudukan yang lebih tinggi dibanding jadi seorang yoriki.

Masih ada seri-seri Sano Ichiro selanjutnya, yang rasanya gak akan jauh-jauh dari misteri pembunuhan.

lintasberita

Lanjut Baca

Buku Sang Pencari - ulasan


Judul Buku :  Muhammad SAW. Lelaki Penggenggam Hujan
Penulis        : Tasaro GK
Penerbit     :  Bentang
Cetakan      :  Pertama, Maret 2010
Tebal           : xxvi+546 halaman
Harga           : Rp. 79.000.


Tidak mudah membuat novel, terlebih novel bagus. Namun jauh lebih sulit lagi adalah membuat sebuah novel dengan tokoh utamanya manusia paling berpengaruh sepanjang masa, yang hingga kini menjadi panutan milyaran manusia di dunia.




Muhammad SAW. Tokoh yang saya maksud tersebut. Tingkat kesulitan tersebut bukan ketika menceritakan kembali sejarah hidupnya yang sudah ditulis ribuan jilid buku, namun dalam mendeskripsikan dan membuatnya dalam sebuah novel sungguh tantangan tersendiri.

Mengingat segala sabda dan perilaku sosok mulia tersebut, merupakan hukum agama (Islam) yang bukan sekedar wilayah profan tetapi juga memiliki implikasi sakralitas dan religiusitas pada wilayah transendental, dan kita tahu, tidak ada yang lebih sensitif melebihi isu agama. Demikian juga dengan fanatisme pemeluknya.

Imbasnya ketika menuliskan sosok agung ini ke dalam novel rumusannya jelas: tidak boleh ditambahi maupun dikurangi, sedikitpun, sedikitpun!. karena melakukan keduanya berarti telah melanggar batas-batas agama atau yang biasa disebut bid’ah.


Hal tersebut pasti diketahui secara gamblang oleh Tasaro, penulis muda penuh bakat yang menulis novel Muhammad ini. Dengan ketelitian yang luar biasa dan melibatkan berbagai kalangan yang dianggap mumpuni dalam menelaah hikayat sang Nabi, lahirlah novel ini meski melalui proses “kecelakaan” yang indah sebagaimana dijelaskannya di “Jejaring Muhammad”, bagian akhir buku ini.

Tetapi kesulitan lain dalam membuat novel mengenai Muhammad adalah hampir seluruh sejarah hidupnya-jika bukan seluruhnya- dikenal secara luas di kalangan umatnya, sehingga nyaris tidak ada misteri atau hal lain yang membuat penasaran pada ending ceritanya. Pada titik inilah kemudian tokoh fiktif bernama Kashva dimunculkan.

Sang Pemindai Syurga
Kashva merupakan agamawan sekaligus sastrawan kekaisaran Persia pada masa pemerintahan Khosrou, dan dipercaya oleh raja untuk mengelola kuil Sistan. Sebuah prestasi yang luar biasa mengingat usianya yang belum begitu tua, akhir dua puluh tahunan. Sedikit orang, jika bukan satu-satunya, pengikut setia ajaran nabi Zardusht pendiri agama Zoroaster yang menyembah Tuhan, bukan api abadi.

Ia mendapat gelar kehormatan dengan sebutan sang pemindai syurga dari para cendekiawan karena kemampuannya membaca bintang, membaca kabar dari surga. Namanya dikenal di pelosok Persia karena kemampuannya dalam menuliskan sebuah kisah yang seolah-olah memindahkan surga ke lembaran-lembaran kitab.

Hingga pada suatu peristiwa bersejarah di bangsal Apadana, Persepolis, ibu kota kekaisaran Persia saat Naeruza, perayaan musim bunga, membuat Kashva menerima hukuman isolasi di kuil sistan oleh Khosrou.

Pemicunya adalah nubuat yang disampaikannya mengenai telah hadirnya Astvat Ereta, nabi yang dijanjikan, yang akan menumpas iblis, meruntuhkan berhala, dan membersihkan pengikut  Zardusht dari penyimpangan. Sebuah nubuat yang telah sebelumnya telah disampaikan Zardusht.

Tidak berhenti disitu, Kashva juga meramalkan bahwa sang Nabi dan para pengikutnya akan menaklukan Persia, Madyan, Tus, Bakh, tempat-tempat suci kaum Zardusht dan wilayah sekelilingnya.        

Memang, kehadiran Nabi akhir jaman ini telah diramalkan oleh berbagai kitab suci tradisi kuno.  Astvat Ereta dalam Zarathustra, Buddha Maitreya dalam tradisi Budha, dalam naskah kuno peninggalan Nabi Daniel di sebut Bar Nasha, dalam kitab Bhavissya Puran yang ditulis Maharishi Vyasa disebut Malechha Dharma, dalam tradisi Kristen disebut Himada berarti Yang Terpuji makna yang sama dengan Muhammad.

Kashva kemudian memilih melarikan diri dan melakukan pencarian atas bukti-bukti kebenaran Nabi baru tersebut, dengan tujuan akhir Madinah kota tinggal sang Nabi.

Pelarian Kashva dari pengejaran tentara Persia bersama shabatnya dan pencariannya atas tradisi-tradisi suci kuno lainnya yang meramalkan kedatangan nabi terakhir inilah yang ikut mewarnai kisah dalam buku ini. Ia berkenalan dengan berbagai tradisi agama dan peradaban suku perbatasan India maupun pegunungan Himalaya Tibet.

Bukan Novel Biasa

Sungguh, tidak akan menjadi sederhana dan biasa-biasa saja segala sesuatu yang berhubungan dengan Muhammad al-Amin, bukan hanya karena ia merupakan manusia paling dicintai sepanjang masa. Tetapi juga sebagai panutan, segala dimensi kehidupannya tak henti melahirkan berbagai tafsiran dan karya.

Kecintaan serupa yang dapat ditangkap dari penulis buku ini. Dengan gaya bahasa yang indah, Tasaro berhasil menyulam cerita layaknya ia berhadapan langsung dengan Rasulullah. Dengan menggunakan kata “engkau” yang lebih personal, seolah-olah penulis merupakan orang kedua yang ikut menyaksikan setiap peristiwa yang dialami Nabi.

Dahsyatnya kerinduan dan cinta yang dialami penulisnya dapat kita baca dalam “jejaring Muhammad”, bagian diluar kisah buku ini, tetapi menceritakan proses lahirnya novel ini. “cerita cinta” yang hendak ditularkan penulisnya kepada pembaca.

Selain itu, kekuatan novel yang luar biasa ini juga terletak pada riset yang dilakukan penulis didukung timnya. Hasilnya, buku ini tidak hanya berhasil menyuguhkan kisah Nabi, tetapi juga dunia luar Arab pada masa itu, terutama Persia beserta berbagai kitab suci yang meramalkan kedatangannya.

Namun bagi yang belum mengenal sosok Muhammad, ada baiknya membaca buku-buku sejarah yang lebih komprehensip terlebih dahulu, mengingat novel ini tidak menampilkan secara utuh sosok luar biasa tersebut.

Akan tetapi ketidaklengkapan tersebut tidak mengurangi substansi dari sosok yang ingin di deskripsikan dalam novel ini; seorang teladan, hal yang langka di “zaman edan” ini.     

lintasberita

Lanjut Baca

Cinta Dalam Sujudku


Hidayah memang berada di luar kendali manusia. Jika Allah berkehendak, maka siapapun pasti akan tercerahkan. Jika sebaliknya, maka apapun upaya yang dilakukan tidak akan membuahkan hasil. Namun bukan berarti seorang hamba hanya bisa duduk diam menunggu hidayah, karena Allah akan mengubah suatu kaum, jika mereka mau berusaha.

Ibarat sinar matahari, hidayah Allah swt selalu menyinari alam semesta ini, tinggal bagaimana kita saja. Terbukanya hati dan kejernihannya akan sangat memudahkan seorang hamba untuk menerima cahaya, sedangkan jika hati cenderung tertutup dan dikotori oleh penyakit hati, maka hidayah pun tidak akan pernah singgah.

Buku berjudul Cinta Dalam Sujudku, yang merupakan penyatuan dari trilogi Kalbu-Nurani-Cahaya yang diterbitkan oleh DAR! Mizan ini, membuktikan bahwa hidayah adalah cahaya yang memberikan rahmat dalam kehidupan penerimanya. Hampir sebagian besar tokoh dalam buku ini mendapatkan cahaya-Nya yang indah tersebut. Saking banyaknya yang mendapat hidayah, fokus cerita dalam buku ini menjadi tidak jelas.

Awalnya saat membaca sinopsis dan melihat desain sampul, saya menyangka cerita akan berisi tentang perjuangan dan upaya para tokoh yang bejibun ini dalam menegakkan kembali panti asuhan Az-Zahra. Sayangnya, hampir separuh buku malah berisikan “profil” tokoh, dimana bagian tersebut menceritakan perjalanan, latar belakang, dan lika-liku kehidupan tokoh-tokoh yang berhidayah ini. Sehingga kemudian sempat membuat cerita tentang Az-Zahra dan Syifa, sang pewaris panti, seperti hilang dan terlupakan. Baru kemudian ketika jelang akhir buku, muncullah kembali sosok Syifa bersama anak-anak panti asuhan.

Panjangnya cerita tentang “profil” tokoh ini menurut saya membuat cerita memiliki cabang terlalu banyak, hingga membuat batangnya sendiri tidak tampak. Selain itu, kesan bertele-tele tertangkap dalam kisah Maria dan Fathur. Bermunculannya tokoh yang memiliki cerita cinta masing-masing yang menurut saya tidak terlalu perlu, seperti cerita Hikmal dan Zakiah atau kisah Henry Zamora dan Dahlia.

Fokus cerita, inilah masalah yang menurut saya membuat novel, yang diterbitkan ulang oleh Luxima ini, tidak terlalu nyaman untuk dibaca. Selain itu, alur cerita dan waktu seringkali melompat tiba-tiba. Sempat beberapa kali saya dibuat bingung, dengan tempat atau kondisi tokoh yang tiba-tiba sudah jauh berbeda.

Saya sendiri jadi berkesimpulan bahwa buku ini sebenarnya bisa lebih menarik jika dipecah-pecah menjadi beberapa novel.

Judul : Cinta Dalam Sujudku
Penulis : Pipiet Senja
Penerbit : Luxima
Tebal : 386 hlm


lintasberita

Lanjut Baca

Buku Nayla - ulasan


Membaca Nayla seperti membaca Djenar dengan jelas. Setipe dengan cerpen-cerpennya nya yang lain, aku perhatikan Djenar selalu konsen dengan tema yang sama : sakit jiwa dan perempuan. Entah perempuan muda, entah perempuan yang telah menajdi ibu, entah perempuan yang berumur 13 tahun seumur Nayla.

Diceritakan dengan alur maju-mundur (tidak kronologis) , kita akan dibawa untuk menyusuri kisah Nayla yang memiliki masalah dengan ibunya, hingga ia menjadi "sakit", lesbian, suka mabuk, dan hidup terlunta-lunta karena mencari cinta. Pengalaman masa kecil dengan perpisahan dua orang tuanya, yang menyebabkan ia masih ngompol hingga umur 13 tahun, dan akibat perbuatannya ini ia sering disiksa oleh ibunya dengan menusukka peniti ke selangkangannya.

Penyiksaan, yang diakui oleh ibunya sebagai salah satu bentuk kasih sayang itu, membuat Nayla kebal terhadap kerasnya kehidupan. Nayla menjadi lebih dewasa dari umurnya. Dia kabur dari Rehabilitasi Narkoba untuk Anak-anak, dan menjadi juru lampu di sebuah diskotik, hingga hidup bersama dengan Juli, perempuan lesbian.

Dalam pikiran Nayla yang mungkin secara meraba-raba kita pahami, bahwa dia menolak untuk merasa bahagia. Nayla menolak untuk merasa bahagia, bahkan ketika ia memiliki seorang pacar (laki-laki) bernama Ben yang dengan setia mencintainya bahkan membelikannya rumah, Nayla tetap bergeming. Tak peduli dengan rasa cinta orang lain, karena bagi Nayla rasa cinta adalah sebuah bentuk egoisitas. Bahwa ketika kita mencinta, sebenarnya kita tidak sedang mencinta orang lain, namun diri sendiri. Mencintai orang lain agar orang lain mencintai kita. Tidak ada rasa cinta yang tulus.

Sama ketika Nayla kabur dari rumah untuk menemui ayahnya, hanya dalam waktu 2 bulan sejak ia bahagia tinggal bersama, ayahnya meninggal dunia. Dia menuduh Tuhan sedang bercanda padanya. Oleh karena itu ia hanya tertawa. Dan orang menganggapnya gila.

Kisah yang dalam, tapi tak sedalam Djenar biasanya. Bagi yang sudah membaca Mereka Bilang Saya Monyet, novel ini hampir sama. Nayla yang akhirnya menjadi penulis dan secara implisit menuliskan semua kisah masa kecilnya, kisah tentang ibunya dan pacar-pacarnya, kisah tentang dirinya yang diperkosa pacar ibunya, dan sebagainya. Sulit untuk tidak menghubungkan Nayla dengan Djenar, meskipun di akhir cerita Djenar mengaku bahwa apa yang ditulisnya dan yang dialaminya adalah dua hal yang berbeda.

"Ketika sebuah kenyataan telah menjadi fiksi, maka dia hanya hidup dalam alam fiksi"

lintasberita

Lanjut Baca

Buku the boy in the striped pyjamas - ulasan


Awalnya aku ngga pernah punya pikiran cerita apa yang akan dibawa oleh buku ini, aku hanya pernah lihat dari mba icha di daftar bacaannya, bahwa ini salah satu buku favoritnya. Sewaktu akhirnya buku ini ada di tangan, aku juga belum dapat pencerahan tentang apa sebenernya buku ini, bahkan di cover belakang nya pun hanya tertulis seperti ini,


    Kisah tentang Anak Lelaki Berpiama Garis-Garis ini sulit sekali digambarkan. Biasanya kami memberikan ringkasan cerita di sampul belakang buku, tapi untuk kisah yang satu ini sengaja tidak diberikan ringkasan cerita, supaya tidak merusak keseluruhannya. Lebih baik Anda langsung saja membaca, tanpa mengetahui tentang apa kisah ini sebenarnya.


Yah, begitulah. Di Halaman awal, kita akan diperkenalkan dengan Bruno, tokoh utama cerita ini. Seorang anak laki-laki berumur 9 tahun yang senang menjelajah dan bercita-cita sebagai petualang. Garis nasibnya membawanya untuk pindah rumah jauh dari Berlin, tempat kelahirannya. Di tempat barunya dia tinggal dalam sebuah rumah yang anehnya tidak memiliki tetangga, hanya dia satu-satunya keluarga di sana. Dan di kejauhan dia dapat melihat sebuah pagar kawat menjulang tinggi dan membentang sangat panjang.


Pagar kawat itulah yang menjadi inti dari cerita ini. Rasa penasaran yang besar dengan pikiran anak-anak yang selalu memandang segala sesuatu secara postif lah yang membuat Bruno tiba di tepi pagar ini. Dia tak pernah tahu, bahwa pagar di depannya adalah pemisah antara dirinya orang Jerman dengan orang-orang berpiyama garis-garis, orang Yahudi. Ia tak pernah tahu bahwa ayahnya yang ia hormati dan ia anggap sangat baik itu adalah pelaksana pembantaian massal orang-orang Yahudi di Auscwith (Bruno menyebutnya Out-With dengan lidah anak kecilnnya)


Dengan sudut pandang anak kecil, kita akan dibawa untuk melihat betapa mirisnya peristiwa (yang katanya) pernah terjadi tersebut. Terlepas dari perdebatan bahwa pembantaian orang-orang yahudi di bawah kepemimpinan Hitler di masa lalu ini benar atau engga, buku ini mampu mengaduk-aduk emosi pembacanya. Penyebabnya adalah karena pembaca berada di posisi yang lebih tahu dari si pelaku (Bruno) dan kadang keinginan untuk berteriak "jangan" pada sang tokoh utama kadang tak dapat dibendung,


Kisah Bruno mungkin akan terus terngiang, bahkan lama setelah selesai membaca buku ini. Akhir kisahnya yang terbantai di bawah tangan ayahnya sendiri menjadi catatan tersendiri di ingatan. Seperti yang ditulis di cover belakang buku ini,


    Pagar seperti ini ada di seluruh dunia. Semoga Anda tidak pernah terpaksa dihadapkan pada pagar ini dalam hidup Anda.


Ya, pagar seperti ini adalah perlambang, bahwa di dunia ini masih banyak terdapat perbedaan-perbedaan yang kadang ngga bisa dikompromikan. Dan pagar karena perbedaan ini biasanya hanya akan mendatangkan sebuah sesal yang tak pernah di duga-duga. Just like Bruno story  :(

lintasberita

Lanjut Baca

Buku Menuju Kritik Sastra yang Bermartabat - ulasan



Judul: Dari Zaman Citra ke Metafiksi, Bunga rampai Telaah sastra DKJ
Penulis:Bramantio, dkk
Penerbit:Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Tahun: Januari 2010
Halaman: 528 halaman

Perdebatan mengenai kritik sastra tampaknya tidak lagi berkutat seputar validitas metodologi, kemutlakan kaidah sebuah kajian, ataupun jenis pendekatan kritik yang dilakukan, melainkan telah bergeser ke persoalan penciptaan kritik sastra yang bermartabat sehingga mampu memberikan kontribusi yang signifikan dalam perkembangan sastra maupun kritik sastra itu sendiri.

Persoalannya adalah, bagaimana kritik sastra yang bermartabat diciptakan sehingga kritik tersebut benar-benar kreatif sehingga sanggup melakukan sebuah interpretasi maupun usaha eksegesis yang lebih kaya dari sebuah karya sastra? Siapa yang seharusnya melakukan kritik sastra? Kemudian, apakah kritik yang ditulis dapat dikomunikasikan sehingga dapat “berbunyi” dan dapat menyusuri lorong referensi pembaca awam?

Pengajuan pertanyaan-pertanyan inilah yang membuat kritik sastra menjadi sesuatu yang tidak gampang untuk ditulis. Pertama-tama karena seorang penulis kritik harus memiliki kapasitas yang mumpuni, baik dari sisi teori maupun “kelengkapan subyektivitas” lain untuk menganalisa sebuah karya. Kedua, ia harus sanggup mengomunikasikan “temuan” dari sebuah karya kepada pembaca. Apabila pembaca tidak dapat memahami apa yang dicoba disampaikan oleh penulis kritik, maka si kritikus telah gagal melakukan kritik.

Hadirnya buku Dari Zaman Citra ke Metafiksi, tampaknya ingin menjawab persoalan di atas. Buku yang merupakan antologi tulisan pemenang lomba kritik sastra yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 2007 dan 2009 ini terutama dilakukan untuk membasahi “keringnya” kritik sastra di wilayah kesusatraan Indonesia mutakhir.

Lalu seperti apakah kritik sastra yang diharapakan? Apakah kritik sastra seperti yang termuat dalam buku ini adalah model kritik yang diharapkan? Bagiamana kecenderungan kritik sastra yang disampaikan dalam buku ini? Mari kita lihat.

Dari Zaman Citra ke Metafiksi terdiri dari dua bagian. Bagian pertama adalah kritik sastra yang diitulis dengan tema Kepengrajinan (craftmanship) dalam Sastra Indonesia Mutakhir, sedangkan pada bagian kedua, kritik sastra ditulis dengan tema Sastra Indonesia Memasuki Abad 21.

Pada tema pertama, kritik ditulis dengan melihat atau menelaah epistemologi sastrawan dalam membentuk karyanya, demikian ditulis oleh tim juri dalam pengantar bagian pertama buku ini. Jadi, dalam telaah ini dicoba ditemukan hal paling mendasar dari pembentukan sebuah karya sastra berdasarkan evidensi-evidensi objektif yang dapat ditemukan dalam karya sastra itu sendiri.

Di sini, telaah dimulai dari analisa teks menuju kompleksitas sastrawannya. Teks tidak ditelaah untuk melihat konstruksi ataupun seluk-beluk pemikiran yang seorang sastrawan, namun lebih mendasar lagi yakni craftmanship itu sendiri. Tidak mengherankan apabila telaah yang dilakukan begitu kental dengan “pemecahan teks”, yakni membagi teks menjadi pecahan-pecahan kecil yang kemudian, dan dimaknai untuk kemudian menerjemahkannya sebagai satu kesatuan.

Hal ini tampak pada telaah berjudul Metafiksionalitas Cala Ibi: Novel yang Bercerita dan Menulis tentang Dirinya Sendiri yang ditulis oleh Bramantio. Dalam telaah ini Bramantio dengan cermat dan detil menelaah novel Cala Ibi yang ditulis oleh Nukila Amal. Dalam telaahnya, Bramantio bahkan menawarkan cara atau strategi pembacaan novel Cala Ibi agar kerumitan dalam “membaca” simbol di dalamnya dapat lebih mudah dilakukan.
Kritik yang yang menduduki tempat teratas pada sayembara kritik sastra tahun 2009 ini tampak mencoba untuk melepaskan teks sastra dari teks-teks lain di luar karya sastra tersebut, yang dalam istilah Afrizal Malna disebut sebagai “pembersihan”, agar teks tersebut lebih steril sehiingga lebih mudah untuk diidentifikasi.

Dalam hal ini, kritikus menyadari bahwa Cala Ibi adalah novel yang kaya dengan metafora, kerumitan sudut pandang cerita, penokohan, dan tanda-tanda yang sulit dipahami begitu saja oleh pembaca, sehingga tawaran pendekatan yang dilakukan pun memang tidak dapat dilakukan secara biasa.

Beberapa kritik sastra dalam antologi lainnya pun mencoba untuk “memeriksa” teks-teks sastra untuk menelaah kerumitan “relasi” antara dunia seorang sastrawan dengan dunia yang melingkupinya. Sebut saja telaah atas sajak-sajak Afrizal Mana yang ditulis oleh Tia Setiadi. Tia secara jelas dapat memperlihatkan bagaimana “relasi” atau ketegangan antara Afrizal dengan “teks-teks” dunia yang dihadapinya.

Bagian kedua dari buku ini adalah telaah sastra dengan tema Sastra Indonesia Memasuki Abad Ke-21. Dalam telaah ini diharapkan ada jawaban atas sejumlah pertanyan, seperti adakah kebaruan dalam sastra Indonesia setelah tahun 2000? Apakah konteks kekinian memengaruhi proses penciptaan sastra Indonesia mutakhir? (hal.299).

Dalam telaah yang dilakukan, tampaknya pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijawab. Sebut saja telaah berjudul Memandang Bangsa dari Kota: Telaah atas Cala Ibi (Nukila Amal dan Jangan Main-main dengan kelaminmu (Djenar Maesa Ayu). Penulisnya, Manneke Budiman, tampaknya berhasil membongkar teks-teks kota dalam kedua karya sastra tersebut.
Dari telaah yang dilakukan tersebut, tampak bagaimana sikap para sastrawan terhadap penanda dunia kontemporer, termasuk menemukan makna dirinya dalam persoalan-persoalan khas kota besar. Mereka tidak hanya mengkritik sekaligus berdamai dengan tawaran kenikmatan kota, tetapi juga melihatnya sebagai simtom keterbelahan bangsa. Kota hanya sesuatu yang terus mempercantik diri tanpa pernah dapat memberikan arti pada bangsa. Di sini Manneke berusaha memperlihatkan bahwa karya sastra Indonesia mutakhir memang masih mempersoalkan hiruk pikuk kota yang dianggap selalu berkecederungan memiliki persoalan dengan masalah moral.
Tidak hanya itu, pada bagian kedua ini seperti ingin diperlihatkan bahwa sastra mutakhir pun masih berbicara soal spiritualitas Tulisan yang menyebutkan hal ini adalah Religiusitas dan Erotika dalam sajak-sajak acep Zamzam Noor yang ditulis oleh Tia Setiadi. Dalam tulisan ini Tia Setiadi berhasil mengidentifikasi bahwa sajak-sajak Acep Zamzam Noor banyak berbicara soal Tuhan dan relasinya dengan aku-lirik. Namun di saat yang bersamaan Acep juga bicara soal erotika dan kekagumannya kepadaperempuan.

Sepintas hal ini tampak bertentangan. Namun dengan argumentasinya, Tia ingin mengatakan bahwa reiljiusitas dan erotika adalah dua hal yang memiliki keterkaitan dan pararelisme yang erat (hal.478). Dengan mendasarkan gagasannya pada pemikiran George Bataille--seorang penulis Prancis--,Tia setiadi melihat bahwa pengalaman erotika memiliki kesamaan dengan penyatuan dengan sesuatu yang bersifat ilahi ataupun mistik. Perbedaannya adalah, dalam erotika kedua insan harus berubah dan sama-sama bertindak untuk saling meluruhkan diri menjadi satu, sedangkan dalam momen mistik hanya mengisyaratkan subjek hanya dalam keadaan hening-bening dan sunyi (hal. 479). Apa yang disampaikan oleh Tia Setiadi ini dapat dikatakan, merupakan pemakanaan baru dari saja-sajak Acep Zamzam Noor.

Pendek kata, telaah atau kritik yang ada pada buku ini memang menawarkan kebaruan dalam pemaknaan karya sastra. Hal ini menunjukkan bahwa para kritikusnya memiliki kapsitas yang memadai untuk melakukan sebuah kritik. Namun tentu saja kritik yang dilakukan tidak bersifat final, sebab karya sastra adalah teks terbuka yang masih dapat dimaknai secara terus menerus sesuai konteksnya.

Meskipun begitu, terbitnya buku ini patut dihargai karena dengan cara ini dunia kritik sastra Indonesia akan lebih kaya. Terlebih dari itu, usaha penerbitan kritik sastra dengan melewati mekanisme penjurian seperti yang dilakukan oleh Dewan Kesenian Jakarta akan membuat kritik sastra yang dilakukan akan lebih bermartabat. ***

lintasberita

Lanjut Baca

Buku Doa Sang Katak 1: Meditasi Dengan Cerita - ulasan

Doa Sang Katak 1: Meditasi Dengan CeritaDoa Sang Katak 1: Meditasi Dengan Cerita by Anthony de Mello

My rating: 4 of 5 stars

Paperback, 298 pages
Published 1990 by Kanisius (first published 1988)
ISBN 9794132640 (ISBN13: 9789794132647)


Walau katanya buku ini adalah buku lama (yang diterbitkan sejak lama), saya baru tahu setelah dipinjamkan oleh Mbak Ninik. Tadinya saya beranggapan juga kalau De Mello adalah nama fam dari Timor timur, rupanya anggapan saya keliru, ketika saya membaca kata pengantar buku ini yang dibawa oleh Parmananda R Divarkar, SJ.

Buku ini berisi cerita dari berbagai negeri, yang intinya membuat kita menemukan hal-hal baru dalam menjalani hidup dengan Tuhan dan sesama. Buku ini terdiri dari delapan bagian besar, yaitu DOA, SADAR, AGAMA, RAHMAT, PARA KUDUS, DIRIKU, CINTA, dan KEBENARAN. Doa Sang Katak sendiri adalah cerita pertama buku ini, berikut petikannya.

Ketika Bruder Bruno pada suatu malam sedang berdoa ia diganggu oleh koak seekor katak raksasa. Semua usahanya untuk mengabaikan suara itu tidak berhasil, maka ia berteriak dari jendela, "Diam!Aku sedang berdoa."

Bruder Bruno itu seorang Santo, maka perintahnya dipatuhi. Setiap makhluk hidup menahan suaranya untuk menciptakan suasana diam yang menguntungkan bagi doa.

Tetapi kini suara lain mengganggu ibadat Sang Bruder suara dari dalam, yang berkata:"Mungkin Tuhan sama senangnya dengan koakan katak tadi daripada nyanyian mazmur-mazmur." "Apa yang dapat berkenan pada Tuhan dari teriakan katak?" Itu tanggapan Bruno menghina. Tetapi suara mendesak, tidak mau diam: " Mengapa kamu berpikir bahwa Tuhan menemukan suara?"

Bruno memutuskan mau menemukan apa sebabnya. Ia mengeluarkan tubuhnya dari jendela dan memerintahkan:"Nyanyi!" Katak raksasa mengoak berirama memenuhi alam, diiringi oleh suara main-main katak di sekitarnya. Dan ketika Bruno mendengarkan suara itu dengan penuh perhatian, koakan katak tidak lagi mengganggu, karena ia menemukan bahwa kalau ia berhenti menolak suara itu, nyatanya suara-suara itu memperkaya keheningan malam.

Dengan penemuan itu hati Bruno menjadi selaras dengan alam semesta; untuk pertama kali dalam hidupnya ia mengerti apa itu artinya berdoa.


Cerita-cerita lainnya dalam buku ini, ternyata sudah pernah saya baca dalam suatu artikel/renungan lewat milis. Antara lain cerita tentang sesorang yang karena kebanjiran, naik ke atap rumah, lalu sampai datang bantuan perahu kepadanya untuk menyelamatkan ia, hal itu sampai tiga kali. Kemudian ia mati karena menolak bantuan itu dan tenggelam. Ia protes pada Tuhan, kenapa Tuhan tidak menolongnya ketika ia berseru. Tuhan menjawab, Aku telah mengirimkan perahu tiga kali kepadamu, namun kau menolaknya.

walau banyak juga cerita lucu, intinya, Buku ini bukanlah buku untuk menghibur. Lebih tepat memang judul kecil buku ini, yaitu meditasi dengan cerita. Seperti yang dipesankan oleh De Mello, supaya setiap orang mempunyai pengenalan jati diri yang utuh, sehingga tiap orang akan memiliki keberanian untuk mengubah dunia.

~hws230210~

lintasberita

Lanjut Baca

Buku Berguru Pada Samurai - ulasan


Judul Buku    : The Last Samurai
Penulis           : Helen DeWitt
Penerjemah : Bima Sudiarto
Penerbit        : Edelweiss
Cetakan         : I, April 2010
Tebal              : 610 halaman

Siapa bilang memiliki anak yang cerdas -bahkan kelewat cerdas alias genius- selalu berimplikasi positif atau menyenangkan bagi orang tuanya? Tanyakan saja hal itu pada Sibylla, ibu si anak cerdas bernama Ludo, ia sering jengkel justru atas kecerdasan anak semata wayangnya tersebut yang di atas rata-rata ukuran standar otak manusia sebaya dengannya, bahkan mengalahkan kecerdasan manusia dewasa pada umumnya. Kejengkelan itu entah disebabkan pertanyaan-pertanyaan Ludo ketika belajar, maupun hujan pujian yang diterimanya dari orang-orang sekitar. 


Maklum, semua materi bacaan mulai dari Bahasa, Sejarah, Matematika, Fisika, Biologi hingga Filsafat dilahap Ludo secara cepat dalam usia lima tahun. Sedangkan bahasa Latin, dikuasainya ketika ia berusia empat tahun dan bahasa Prancis, Yunani, Arab, Ibrani ia kuasai tak lama setelah itu. Di sisi lain, kegeniusannya tersebut menjadi berkilau terang dengan hasrat belajar yang seperti lampu yang tak pernah kehabisan minyak, plus sosok Sibylla, tentor yang notabene ibunya sendiri.

Saking cerdasnya dan tentu saja ditopang oleh hasrat keingintahuannya yang tinggi tersebut, tak jarang Ludo merengek selalu bertanya dan minta diajari segala sesuatu yang baru didengarnya atau belum diketahuinya. Beruntung baginya, karena memiliki orang tua- meskipun hanya tunggal- yang penyabar dan tak kalah cerdas seperti Sibylla, hingga dapat dipastikan ia selalu memperoleh jawaban atas berbagai pertanyaannya, kecuali satu: identitas ayah kandungnya yang terus dirahasiakan ibunya.

Meski lahir dari rahimnya, namun entah demi pertimbangan apa Sibylla selalu merahasiakan identitas ayah biologis Ludo. Untuk mengalihkan perhatian Ludo akan hal tersebut ia kemudian berinisiatif untuk mengajari Ludo berbagai bahasa dunia sekaligus menjejalkan beragam buku bacaan ke benak Ludo kecil. Kecerdasan inilah yang seakan menjadi bumerang bagi Sibylla - namun disyukuri Ludo yang menganggap sekolah hanya pekerjaan sia-sia-  karena ternyata tidak ada satu sekolah pun yang mau menerimanya, dengan alasan pihak sekolah khawatir kehadiran Ludo dapat menghancurkan kepercayaan diri siswa lain!

Tidak berhenti disitu, Sibylla yang jago bermain musik dan biasa berlibur bersama Ludo naik kereta bawah tanah keliling London ini, kemudian menemukan solusi untuk menggantikan sosok ideal seorang ayah bagi anaknya dengan cara yang unik yaitu menanamkan karakter samurai pada jiwanya dengan cara menonton- sekaligus mendiskusikannya tentu saja- film The Seven Samurai, karya sineas Jepang Akira Kurosawa, beberapa kali dalam seminggu secara berulang-ulang.

Hasilnya, tokoh-tokoh seperti Kambei, Gorobei, Shichiroji, Katsushiro, Heihachi, Kyuzo dan Kikuchiyo mampu membuat Ludo terpesona dan untuk sementara menyelamatkan Sibylla dari derasnya pertanyaan Ludo ihwal ayah kadungnya. Namun, tanpa disadarinya kerinduan Ludo akan figur ayah justru semakin lama semakin menggebu.

Mengetahui bahwa sang ibu bersikeras tidak berkenan memberitahu identitas ayahnya, Ludo kemudian berinisiatif merubah strategi dari “menyerang” secara frontal menjadi pertanyaan-pertanyaan yang terselubung namun menuju ke satu titik, terkuaknya nama sang ayah. Usaha tersebut nampaknya membuahkan hasil meskipun masih samar dan spekulatif. Beruntung, Ludo kemudian menemukan sebuah amplop di kamar ibunya dengan tulisan "hanya dibuka setelah mati”. Dari situlah ia kemudian menemukan jawaban atas pertanyaannya selama bertahun-tahun.

Berdasarkan informasi yang didapatkannya, ia kemudian berkeluyuran mencari alamat sang ayah. Kecerdasan Ludo dalam memahami buku kemudian teruji ketika ia harus mempraktikkannya dalam kehidupan nyata ketika ia berhadapan dengan ayah kandung yang dicarinya selama ini.

Novel Cerdas

Tidaklah mudah membaca dan mencerna novel ini –anda boleh membuktikannya-, saya harus beberapa kali melakukan pengulangan mengingat posisi pencerita (“aku”) di dalamnya sering berubah-ubah, selain masalah teknis seperti bahasa atau nama-nama yang digunakan pengarang masih terdengar agak asing di telinga.

Meski begitu karya ini patut diacungi jempol karena tiga hal. Pertama, kecerdasan pengarangnya sangat kental terasa bukan hanya karena sukses menyuguhkan jalinan kisah yang menarik, namun juga pengetahuannya yang luas terdemonstrasikan secara apik melalui tokoh-tokoh di dalamnya, terutama Ludo dan Sibylla. Membaca novel ini, seolah-olah kita disuguhkan dengan sederet buku-buku yang lintas disiplin keilmuan juga beragam bahasa dunia, seperti Jepang dan Finlandia. Menarik untuk mengetahui apakah pengarangnya betul-betul pernah membaca buku-buku tersebut dan menguasai semua bahasa yang dikuasai keduanya atau tidak. Meski pada dasarnya buku ini hanyalah bergenre novel fiksi, namun novel fiksi yang cerdas.

Kedua, mampu mendeskripsikan jalinan cinta kasih dan ikatan batin antara seorang anak dengan orang tuanya yang ternyata pada dasarnya tidak pernah hilang dan tidak dapat dipadamkan. Sesempurna apapun peran seorang Sibylla (ibu), namun orang tua baru dapat dikatakan lengkap atau sempurna di mata anaknya jika terdapat figur ayah yang melengkapi, meskipun tidak harus berada dalam satu ikatan rumah tangga.

Ketiga, pendidikan formal yang terinstitusikan dalam sekolah, ternyata bukan satu-satunya sarana bagi seorang anak untuk mencercap pengetahuan. Sebaliknya, dalam novel ini, pendidikan non-formal namun dilakukan dengan sepenuh hati justru lebih berhasil dibanding sekolah formal yang terkadang menghitung laba rugi melulu. Toh  yang terpenting bukan lembaga pendidikannya, namun lebih kepada metode dan ketulusan si pengajar yang membuat anak didik lebih mudah mencercap materi pengajaran, tentu saja didukung dengan kesungguhan minat belajar dan bakat yang dimiliki.

Selamat berkelana dalam dunia Ludo.

lintasberita

Lanjut Baca

Buku An Affair To Forget - ulasan


An Affair to forget, adalah sebuah cerita tentang Anna, yang suaminya berselingkuh. Anna tidak melabrak selingkuhannya atau mengajak cerai suaminya. Alih-alih, dia mencari tahu segala informasi mengenai Dini, wanita selingkuhan itu dan kemudian bersahabat dengannya. Mengesampingkan segala sakit hati dan rasa kecewa, Anna berjuang untuk mempertahankan suaminya dan rumah tangganya kembali.

Sebuah brief yang cukup unik, tersirat dari sinopsis di cover belakang novel An Affair to Forget ini. Ide cerita yang jarang, dan membuat penasaran. Namun sayang, pengemasan cerita ini kurang bagus. Diceritakan dari sudut pandang sahabat Anna, seorang laki-laki normal yang merupakan teman Anna semenjak kuliah. Setiap beberapa waktu sekali Anna akan menelepon sahabat satu ini dan menceritakan detail kehidupan rumah tangganya, sampai ke urusan seks.

Yang membuat novel ini kurang dapat aku nikmati adalah karena banyak sekali percakapan di sana. Sekalipun ada deskripsi setting tempat atau waktu, itu malah membuat kabur, dan membuat cerita semakin tidak jelas. Entah kenapa, aku kurang merasa nyaman dengan kalimat-kalimat yang digunakan pengarang. Kurang familier, dan seakan kalimat-kalimat tersebut berjalan sesuai keinginan pengarang sendiri, tanpa memedulikan pembaca yang kebingungan mencerna isi cerita.

Selain kalimat yang kaku, novel ini kurang greget. Aku membayangkan akan mendapat sebuah cerita tentang keadaan sakit hatinya wanita yang ditinggal selingkuh, dan meresapi dalamnya tragedi yang terjadi, namun pengarang tidak memanfaatkan hal itu. Justru adegan saat Toni, suami Anna, dan Anna bertemu dengan selingkuhannya, yang menurutku adalah adegan sangat penting, hanya dijelaskan dalam 1 lembar deksripsi saja. Bukannya aku lantas mengharapkan sebuah kisah berdarah-darah dan emosional, namun ekspektasi pembaca yang kadung terbangun dari sinopsis cover belakang akan hancur lebur dengan kisah yang ternyata dibuat "biasa saja".

Meskipun demikian, aku dapat mengambil beberapa nasihat dan pesan moral di sini, bahwa seorang suami yang berselingkuh itu memang bukan berarti 100% salah sang suami. Bisa saja memang sang istri terlalu mandiri atau memiliki penghasilan yang lebih besar dibandingkan sang suami sehingga membuat suami merasa tak dibutuhkan lagi, seperti kasus Anna. Atau mungkin istrinya bertingkah terlalu mengatur dan membuat sang suami tak memiliki keputusannya sendiri.

"Laki-laki itu seperti mobil mogok yang sedang didorong. jika dia tiba di tepi sebuah jurang, di senggol sedikit pasti akan jatuh".

:)

Judul: An Affair To Forget
Penulis: Armaya Junior
Penerbit: Gagas Media, 2008
Tebal: 246 halaman
ISBN: 9797802175

lintasberita

Lanjut Baca

Buku Globucksisasi - Rahayu Kusali - ulasan

No. 239
Judul : Globucksisasi (Meracik Globalisasi melalui Secangkir Kopi)
Penulis : Rahayu Kusasi
Penerbit : Kepik Ungu
Cetakan : I, Juli 2010
Tebal : 148 hlm

Kata ‘Globalisasi’ yang beberapa tahun yang lampau masih menjadi hal yang asing kini tanpa disadari telah menjadi bagian dari hidup kita. Tanpa harus tahu apa arti kata Globalisasi sadar atau tidak sadar sebagian dari apa yang kita konsumsi merupakan hasil dari budaya global. Contohnya adalah MTV, Coca-cola, Mc Donalds, Pizza Hut, Kentucky Fried Chicken, Starbucks, dll yang Semuanya dengan mudah dapat kita temukan di hampir semua kota besar di Indonesia.

Buku ini mencoba mengungkap bagaimana Starbucks telah menjadi salah satu fenomena globalisasi yang terjadi di tengah kita. Mengapa Starbucks yang dipilih oleh penulisnya? Selain karena penulisnya yang adalah mantan barista (bar tender) Starbucks, keunikan gerai kopi asal Amerika ini juga menarik untuk dicermati karena dari beberapa komoditas asing lainnya hanya Starbucks yang paling mempertahankan ciri aslinya dibanding Mc Donald’s, Pizza Hut, Kentucky Fried Chicken, dsb yang telah menyesuaikan produknya dengan budaya lokal.

Buku ini pada awalnya adalah sebuah penelitian antropologi tentang kehidupan seorang barista yang adalah si penulisnya sendiri ketika ia bekerja di Starbucks Jakarta. Walau merupakan hasil penelitian akademis namun jangan keburu menduga kita akan mendapatkan bacaan yang berat dan membuat kening berkerut karena apa yang tersaji di buku ini sangat mudah dicerna dan dimaknai.

Di bab pertama penulis memulai tuturannya dengan mengajak pembacanya menelusuri perjalanan biji kopi yang bermula di Kaffa, Etiophia dimana seorang penggembala kambing bernama Kaldi menemukan tumbuhan asing. Tanpa disengaja ternaknya memakan buah dari tumbuhan tersebut sehingga berperilaku aneh, karena penasaran akhirnya Kaldi mencoba sendiri buah tersebut dan hal ini ternyata membuatnya tetap terjaga.

Dari legenda penemuan kopi ini pembaca akan terus diajak menyelusuri penyebaran kopi ke beberapa tempat di dunia termasuk di Indonesia. Ada juga kisah berdirinya kedai kopi pertama di dunia ‘Kiva Han’ di Konstatinopel, ditemukannya mesin Espresso pada 1882 di Italia yang mendorong terbentuknya kedai kopi modern yang kelak akan dibawa imigran Italia ke Amerika, sejarah berdirinya Starbucs Coffe Company di Seattle Amerika pada 1971 hingga dibukanya kafe Starbucks pertama di Indonesia pada 2002 di Plaza Indonesia Jakarta.

Setelah mendedah sejarah kopi dan Starbucks, di bab kedua pembaca akan disuguhkan akan arti globalisasi secara teoritis. Untungnya di bagian ini penulis tak berpanjang-panjang membahasnya karena di bab berikutnya pembaca akan diajak menemukan hal-hal yang menarik dari pengalaman penulis yang bekerja sebagai barista Starbucks. Bagian ini adalah bagian yang paling menarik dan dominan dari buku ini.

Di bagian ini, dengan gaya personal penulis mencoba menuangkan seluruh pengalamanya selama ia menjadi barista. Pembaca akan diajak masuk kedalam dapur Starbucks yang seluruh peralatan, cara kerja, dan penyajiannya harus dilakukan dengan standarisasi yang ketat untuk mempertahankan standart global dari produk yang dihasilkan Starbucks .

Disini kita akan melihat bagaimana ketat dan detailnya prosedur kerja dalam penyajian secangkir kopi. Proses mengucurnya Espresso ke cangkir dihitung dalam satuan detik dimana mengucurnya sari kopi ke cangkir harus terjadi antara 18-23 detik. Selain itu hampir seluruh peralatan yang digunakan di setiap gerai Starbucks termasuk bahan kimia pencuci cangkir, bahkan spidol untuk menandai cangkir kertaspun harus diimport dari Starbucks Amerika.

Skill para barista pun harus distandarisasi, selain diberi pengetahuan cara penyajian kopi dan cara menghadapi pelanggan, para barista juga diberi pengetahuan mengenai segala sesuatu tentang kopi dan bagaimana melakukan coffe tasting (mencicipi kopi) untuk dapat membedakan rasa kopi, dll. Dengan semua itu Starbucks berusaha agar kualitas produknya tetap sama di seluruh dunia. Jadi dimanapun orang membeli Starbucks mereka akan tetap menemukan produk dengan pelayanan dan rasa yang sama.

Ada banyak hal menarik di bagian ini, tanpa ragu-ragu penulis seakan menumpah ruahkan seluruh pengalamannya ketika menjadi barista, bahkan penulis juga menyertakan table taksonomi minuman Starbucks sehingga pembaca mengetahui secara lengkap apa saja jenis minuman yang tersedia disana. Dari semua pengalaman si penulis maka tanpa disadari pembaca akan diajak memaknai bagaimana fenomena globalisasi telah terjadi melalui secangkir kopi di kedai kopi Starbucks.

Di buku ini kita akan melihat bahwa masyarakat di Negara mana Starbucks membuka gerainya akan mengalami globalisasi dengan mempertemukan mereka dengan dirinya; toko kopi dan representasi Amerika. Starbucks dengan kekhasannya yang juga menjual biji dan minuman kopi dari berbagai negara telah mereteterorialisasi kebudayaan dunia melalui kantung-kantung kopi.

Di Starbucks rasa kopi didramatisasi sedemikian rupa sehingga meninggalkan kesan mendalam untuk peminumnya. Pengalaman merasakan secangkir kopi yang berasal dari seluruh penjuru dunia yang digabungkan dengan suasana toko yang membuat tubuh menyesap suasana asing diharapkan akan menghasilkan sebuah “Starbucks Experice”. Pengalaman Starbucks ini akan membuat seseorang membandingkan, merefleksikan, mengkirtik, memahami, dan mencampurkan cara-cara hidup global. Ini adalah sebuah dialog antara dialog budaya lokal dan budaya asing yang diekspresikan dalam kehidupan sehari-hari melalu aktivitas meminum secangkir kopi.

Pada akhirnya melalui buku ini dalam skala yang lebih luas penulis mencoba mengungkapkan bahwa fenomena globalisasi terjadi di sekitar kita dan telah menjadi realitas yang hadir di sekililing kita. Buku ini memang bukan satu-satunya buku yang mengupas globalisasi. Berbagai macam buku sejenis telah lahir namun bukan berarti buku ini tak patut mendapat perhatian karena dengan semakin maraknya berbagai karya yang mengupas globalisasi dengan berbagai perspektif pada akhirnya akan memperkaya kita mengenai fenomena yang saat ini sedang terjadi dalam kehidupan kita.

Dan bagi para penikmat kopi Starbucks, rasanya buku ini terlalu sayang untuk dilewatkan karena berbagai informasi tentang panyajian, isi dapur, dan segala sesuatu tentang gerai kopi Starbucks di buku ini saya rasa akan membuat penikmat kopi Starbucks dapat lebih menikmati 'Starbucks Experiece'

@htanzil

lintasberita

Lanjut Baca

Buku Baby Proof - ulasan

Baby Proof
Emily Giffin @ 2006
St. Martin’s Griffin - 2007
348 hal.

Buat Claudia, menikah adalah karena ia ingin bersama orang yang ia cintai. Tujuannya menikah, bukan untuk memiliki anak atau keturunan. Beruntung ia bertemu Ben yang punya misi dan visi sama. Mereka pun akhirnya menikah.

Tapi, ketika di sekeliling mereka, teman-teman mereka mulai merencakan masa depan dengan ‘anak’, tak urung, Ben pun terpengaruh. Ia mulai meminta Claudia untuk memikirkan kembali pandangannya tentang ‘tidak mau punya anak’. Claudia keukeuh dengan pilihannya. Dan mereka akhirnya memilih untuk berpisah karena kecewa dengan pilihan pasangan mereka.

Wow… ternyata cinta gak bisa menyatukan pandangan mereka, sampai akhirnya mereka lebih memilih untuk berpisah.

Dan setelah perpisahan pun, Claudia tidak bisa benar-benar lepas dari isu seputar ‘anak’. Ada Daphne, adiknya yang sangat ingin punya anak setelah bertahun-tahun menikah, ada Maura, adik/kakak Claudia yang lain, yang punya tiga anak tapi suaminya berselingkuh. Lalu, ada Jess, yang menjalin hubungan dengan pria beristri (yang katanya nih janji mau ninggalin istrinya), yang nekat mau hamil dari pria itu.

Well, ternyata gak setiap orang ingin menikah karena pengen punya anak. Ide cerita yang ‘berat’, tapi jadi ringan di dalam buku ini. Meskipun gue agak kurang ‘merasakan’ chemistry Claudia dan Ben. Apalagi pas di ending cerita (ups… apakah ini sebuah spoiler?)

Ini buku Emily Giffin pertama yang gue baca. Satu lagi hasil bookmooch di tahun 2007 (!). Sebenernya ini yang ketiga kalinya gue baca buku ini. Bukan karena gue suka banget, tapi, di dua kali yang pertama, gue hanya baca sekitar sepertiga buku aja. Baru yang ketiga ini, gue berhasil membaca sampai selesai.

lintasberita

Lanjut Baca

Buku Misteri Dibalik Sebuah Kunci - ulasan


Judul Buku: Extremely Loud and Incredibly Close
Penulis: Jonathan Safran Foer
Penerjemah: Antie Nugrahani
Penerbit: Mahda Books
Cetakan: I, Maret 2010
Tebal: 400 halaman

Tragedi runtuhnya gedung World Trade Centre (WTC) yang diyakini akibat serangan teroris pada 11 September 2001, membuat ribuan nyawa melayang dan ratusan ribu orang kehilangan keluarga yang mereka cintai, belum termasuk ekses negatifnya yang seolah-olah menjadi pemicu gerakan terorisme internasional.

Diantara sekian banyak orang yang kehilangan keluarga yang sangat dicintai adalah seorang bocah berusia sembilan tahun bernama Oskar Schell. Thomas Schell, Ayahnya merupakan salah satu korban pada hari naas tersebut, hal ini diketahui dari panggilan telepon terakhirnya ke kediaman keluarga Schell, meski hingga beberapa hari kemudian jasadnya tidak dapat ditemukan dalam keadaan utuh.

Pepatah bahwa seseorang menjadi lebih berharga justru setelah tiada disisi kita nampaknya tidak sepenuhnya keliru. Hal ini pula yang dirasakan Oskar kecil. Pasca kematian ayahnya, ia justru semakin terobsesi dengan sosok yang dianggapnya jenius tersebut. Kejeniusan yang nampaknya menurun secara genital kepada Oskar karena meskipun usianya tergolong sangat muda, namun pemikiran dan sikapnya jauh di atas rata-rata anak yang sebaya dengannya.

Petualangan Oskar dimulai ketika ia menemukan sebuah kunci misterius di kamar almarhum ayahnya. Naluri “detektif”-nya, yang ditularkan oleh sang ayah kepada Oskar dalam kebiasaan sehari-hari, membuat ia berkesimpulan ada “sesuatu” yang perlu diselidiki ihwal asal-usul dan pasangan (lubang) kunci tersebut.


Pencarian  Oskar lakukan dimulai dari seluruh lubang kunci kamar hingga apartemen, namun hasilnya nihil. Ia pun mulai bergerilya ala detektif kawakan untuk memecahkan teka-teki misteri lubang kunci tersebut di seantero salah satu kota terbesar dunia, New York. Sebuah misi yang tidak mudah mengingat New York memiliki sekitar 161.999.999 lubang kunci yang menantinya. Namun berkat keyakinan dan rasa penasarannya yang besar, membuat ia terus melakukan upaya pencarian.


Titik terang mulai didapat. Berdasarkan sebuah amplop yang ditemukannya di tempat sampah belakang rumah, ia kemudian melakukan investigasi terhadap hal-hal yang memiliki hubungan dengan kata “Black”, tulisan tangan ayahnya yang terdapat dalam amplop tersebut.   


Selama berbulan-bulan, ia melakukan pencarian atas lubang kunci tersebut. Kerinduan dan kenangan indah atas ayahnya-lah yang membuat ia bersikukuh untuk melakukan hal itu. Demi menemukan jawaban atas rasa penasarannya, ia rela menghabiskan setiap akhir pekan untuk menelusuri tempat-tempat dan menemui orang-orang yang diharapkannya mampu memberi jawaban, minimal informasi seputar kunci tersebut.


Sebuah perjalanan yang tidak sia-sia, karena pada akhirnya penjelajahan tersebut menuntunnya pada sebuah pengalaman yang semakin mematangkan pribadi dan memerluas pengalaman penggemar ilmuwan Stephen Hawking tersebut. Terlebih, ia kemudian menjumpai keluarga dekat yang selama ini tidak pernah diketahuinya.    


Selain mengisahkan petualangan Oskar yang berusaha menguak misteri dibalik kunci yang ditemukannya, novel perdana Jonathan Safran Foer ini juga menceritakan kisah muda Anna Schell nenek Oscar dari pihak ayah, yang sangat menyayanginya. Di dalamnya kita akan menemukan sosok yang berbeda-beda menceritakan kisah hidupnya masing-masing dengan kata yang digunakan oleh pengarang menggunakan “aku”.


Setidaknya ada tiga hal yang perlu dicatat dari novel yang banyak mendapat pujian dari para kritikus media massa Amerika ini. Pertama, di dalamnya kita akan menemukan ikatan cinta kasih yang kuat dalam sebuah keluarga, dalam kasus ini seorang anak terhadap ayahnya yang telah tiada, hal ini juga menunjukkan betapa ikatan emosial antara orang tua dan anak begitu erat. Dengan demikian novel ini juga menunjukkan pentingnya arti sebuah keluarga.


Kedua, bagi pembaca pemula, membaca novel ini harus lebih “berhati-hati” mengingat gaya penulisan Foer yang melompat-lompat antara satu figur tokoh dengan tokoh lainnya, sering membuat kita sulit membedakan tokoh mana yang sedang diwakilinya dalam cerita tersebut mengingat yang digunakan semuanya menggunakan kata “aku”. Beruntung, terdapat petunjuk berupa tanggal dan tahun peristiwa tersebut berlangsung.  


Ketiga, nilia-nilai edukasi yang hendak ditampilkan melalui sosok ayah dan anak, membuat kita tersadar bahwa ternyata pendidikan dari orang tua, jauh lebih efektif dalam hal mempengaruhi perilaku maupun paradigma berfikir seseorang, dibanding pendidikan formal ala sekolahan.




lintasberita

Lanjut Baca
 
Copyright (c) 2010 Buku Bagus by Dunia Belajar