Terapi Penyakit Fisik dan Psikis

Dimuat di Seputar Indonesia, 07 November 2010

Judul: The Miracle of Touch: Panduan Menerapkan Keajaiban EFT
Penulis: Eddy Iskandar
Penerbit: Qanita
Cetakan: I, September 2010
Tebal: 193 halaman
==================

DIMENSI sumber daya manusia (SDM) adalah bagian yang paling rumit untuk diubah secara cepat karena menyangkut persoalan kebiasaan (habit)manusia. Hal ini berhubungan erat dengan pola pikir (mind set) sistem otak yang lebih dikenal dengan pikiran bawah sadar (subconsious mind-SCM).

Begitulah yang dikatakan Prof Dr Rushami Zien Yusoff dalam pengantar buku ini. Banyak sekali para pakar membuat teknik yang digunakan untuk mengondisikan SCM ini.Di antaranya adalah melalui terapi emotional freedom techniques (EFT).Emotional freedom techniques atau teknik kebebasan emosi yang biasa disingkat menjadi EFT ini adalah alat terapi psikologi yang diterapkan berdasarkan teori yang menyatakan bahwa emosi yang berlebihan pada dasarnya bersifat negatif.

Begitulah Eddy Iskandar,penulis buku ini,mendefinisikan EFT. Ketika kita merasa kesal,marah,sedih,atau stres,tubuh kita sering kali turut terganggu.Hal itu disebabkan adanya gangguan sistem energi di dalam tubuh kita.
Nah,melaluiEFT,kataEddy,akan memperlancar jalur yang menghambat kemampuan otak dan tenaga kita saat kita melakukan kegiatan.Hal ini disebabkan EFT mengusung pendekatan sistemik antara pikiran dan tubuh. EFT adalah perangkat yang paling mudah dipelajari dan sangat efektif serta cepat hasilnya.

Holistic Life
Pendekatan holistik memberikan makna bahwa tubuh terdiri dari tiga bagian utama,yaitu pikiran,badan, dan jiwa.Ketiganya telah menjadi suatu sistem. Berdasarkan pengertian ini, apabila ada persoalan pada tubuh atau diri kita, maka tidak cukup meninjaunya dari subsistemnya semata,umpamanya persoalan fisik saja, atau persoalan emosi atau pikiran saja, dan mengabaikan persoalan jiwa.

Pendekatan holistik dapat diwujudkan dalam kehidupan seharihari dengan pola atau gaya hidup yang sering diistilahkan sebagai holistic life.Ukuran penting dalam menjalankan holistic lifebukan saja pencapaian kuantitatif,melainkan juga keselarasan (tawazun), yang artinya selaras antara aspek kuantitatif (sukses, sehat) dan kualitatif (bahagia,sejahtera secara lahir dan batin). Semua itu dapat terjadi sebagai dampak dari pola makan, pola hidup, dan pola pikir yang dikelola dengan baik.

Buku tentang EFT ini dapat membantu kira dalam mengelola kehidupan holistik. Secara khusus, teknik-teknik EFT bisa membantu kita dengan cepat melepaskan semua emosi serta gejala penyakit atau sinyal-sinyal ketidakmampuan tubuh dan pikiran dalam menerima kelebihan tekanan hidup. EFT merupakan perangkat yang dapat digunakan untuk membersihkan virus-virus (emosi negatif) dalam tubuh kita dengan relatif singkat dan mudah. Anda pun dapat memprogram SCM Anda dengan program positif yang Anda inginkan.

Melakukan terapi penyakitpenyakit emosi yang berhubungan dengan perilaku, EFT sungguh dapat diandalkan. Buku ini adalah panduan untuk mempelajari EFT secara konkret. Melalui buku ini Anda akan diajak bagaimana cara melakukan penyembuhan baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain dengan metode EFT. Penulis buku ini,Dr Eddy Iskandar, adalah seorang International EFT Trainer & Advanced Practitioner (AAMET) yang mendalami EFT di Malaysia dan Hong Kong,sampai London, Inggris. Ketua Asosiasi Praktisi EFT Indonesia (APEI) ini adalah Managing Partner CPM Consulting dan Founder Pusratu Wellness Center Indonesia.

Metode EFT
EFT memberikan metode penyembuhan yang disebut tapping (ketukan ringan),yaitu dengan cara mengetuk-ngetuk titik-titik energi meridian tubuh. Energi meridian adalah jalur lalu lintas energi di dalam tubuh. Seperti halnya lalu lintas, pada meridian pun ada jalur, hambatan,persimpangan,titik awal, titik akhir,dan sebagainya.Jika jalan energi pada meridian lancar, akan tercipta keharmonisan dalam tubuh dan tubuh kita mampu melawan penyakit.

Sebaliknya, jika terjadi hambatan pada meridian,akan muncul gangguan pada kesehatan. EFT diciptakan dengan dasar dua metode tapping, yakni urutan pendek dan urutan lengkap.Kedua rangkaian itu sama-sama berfungsi meringankan berbagai masalah emosi dan penyakit. Teknik EFT hanya mengetuk-ngetuk ringan dengan dua atau tiga jari pada titiktitik yang telah ditentukan.

Ketika Anda melakukan tapping, hanya ada 10–18 titik kunci yang harus Anda ketuk di sepanjang 12 energi meridian,yang meliputi: jantung, usus kecil, kandung kemih, ginjal, sirkulasi seks, triple warmer, empedu, hati, paru-paru, usus besar,lambung,dan limpa. Dalam bab empat anda akan diberi contoh konkret bagaimana mempraktikkan metode EFT tersebut. Dalam bab ini juga diberi pelbagai gambar posisi jari dan bagianbagian yang harus diketuk.

Dan untuk mempermudah lagi,buku ini disertai CD yang berisikan video (audio visual) sehingga diharapkan Anda bisa mempraktikkannya dengan benar dan cepat. Ada hal yang harus diperhatikan dalam proses EFT ini,yaitu afirmasi. Ketika Anda melakukan tapping, Anda harus pasrah dan ikhlas sembari memberikan sugesti positif. Dengan begitu, proses penyembuhan akan berlangsung cepat. Tanpa afirmasi akan sulit mendapatkan hasil yang maksimal.

Menurut Eddy, melalui metode EFT ini, banyak orang telah merasakan manfaatnya. Misalnya,orang yang terkena penyakit diare, posisi bayi sungsang, pecandu rokok, insomnia, fobia, krisis percaya diri, stres,stroke,dan sebagainya. Oleh karena itu, buku ini patut dibaca oleh siapa pun.Metode EFT ini sendiri bisa diterapkan kepada siapa pun, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa.(*)

M Iqbal Dawami,
pecinta alam,aktif di Kere Hore Jungle
Tracker Community (KHJTC) Yogyakarta

lintasberita

Lanjut Baca

Kisah Pendiri Muhammadiyah


Judul: Sang Pencerah; Novelisasi Kehidupan K.H. Ahmad Dahlan dan Perjuangannya Mendirikan Muhammadiyah
Penulis: Akmal Nasery Basral
Penerbit: Mizan
Cetakan: I, Juni 2010
Tebal: 461 hlm.

Sang Pencerah merupakan sebuah novel yang mengangkat kisah Pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan. Sebuah novel yang akan mengenalkan kita pada sosok yang sudah berkontribusi besar bagi pendidikan di Indonesia. KH Ahmad Dahlan adalah orang yang memberikan pendidikan pada rakyat kelas bawah melalui pesantren dan sekolah dasarnya.
 

Novel ini menggunakan sudut pandang ‘aku’ yang bernama Muhammad Darwis. Ia adalah anak dari seorang khatib Mesjid Gedhe Kauman, Yogyakarta, Kiai Haji Abu Bakar, yang silsilahnya sampai pada Maulana Malik Ibrahim, salah seorang Wali Songo.
 

Darwis sudah pandai membaca Al-Quran sejak usia 10 tahun. Selain itu, ia dikaruniai otak yang cerdas, melebihi anak-anak seusia yang berada di lingkungannya. Seringkali ia menanyakan sesuatu yang tak lazim ditanyakan oleh khalayak umum, baik tingkat anak-anak maupun dewasa.

Misalnya, pada waktu ikut tahlilan di rumah seorang kawan yang bapaknya meninggal, dalam perjalanan pulang ia bertanya-tanya: mengapa untuk mengadakan yasinan 40 hari seorang anggota keluarga yang sudah wafat, anggota keluarga yang masih hidup harus meminjam uang kepada orang lain? Apakah hal ini memang diajarkan Kanjeng Nabi Muhammad panutan umat manusia?
 

Bagaimana kalau keluarga itu setelah berusaha tetap tidak punya uang untuk membuat acara 40 hari atau 100 hari bagi yang sudah mati? Mengapa pula keluarga yang sedang berduka itu harus membuat makanan yang mewah seperti ayam rebus, padahal dalam keadaan sehari-hari ayam bukanlah makanan yang biasa mereka makan. Mengapa tidak jamaah yang justru membawakan makanan untuk mengurangi penderitaan mereka?
Ia merasa kasihan pada Ibu Pono, kawan Darwis, harus meminjam uang ke rentenir untuk kebutuhan yasinan 40 hari, 100 hari, dan 1.000 hari.
 

Semakin beranjak dewasa, Darwis semakin kritis terhadap tradisi yang mengatasnamakan agama. Seperti pada tradisi ruwatan, padusan, nyadran yang biasa dilakukan menjelang bulan Ramadhan, Darwis mempertanyakan hal itu semua.
 

Darwis kemudian berhaji ke Makkah sembari belajar agama Islam kepada ulama-ulama yang ada di sana, salah satunya kepada Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Dari Syaikh ini lah Muhammad Darwis diganti namanya menjadi Ahmad Dahlan. Mulai dari sinilah namanya berubah. Saat itu ada kebiasaan bahwa setiap nama santri berasal dari daerah non-arab, akan diarabkan supaya terdengar lebih afdol.
 

Setelah lima tahun di Makkah, Dahlan kemudian pulang ke Yogyakarta. Semenjak kepulangan inilah, kehidupan Dahlan mulai bergolak. Terutama setelah ia diangkat menjadi Khatib Mesjid Gedhe, menggantikan ayahnya yang telah wafat. Ia berani menentang tradisi-tradisi yang dianggap melenceng dari ajaran Islam.
 

“Aku tidak anti-tradisi, Mas Noor. Aku hanya keberatan terhadap tradisi yang memberatkan rakyat tapi harus dilakukan atas nama agama. Karena kalau begitu caranya, bagaimana akal kita bisa menerima sebuah agama yang memberatkan penganutnya sendiri?” jawab Dahlan pada saat banyak yang protes atas perilakunya yang menentang tradisi-tradisi yang telah turun-temurun.
 

Adapun klimaks novel ini mulai di halaman 199, yaitu pada saat ia hendak mengubah arah kiblat. Dari pengamatannya, mesjid Gedhe Kauman mengarah lurus ke barat, padahal kiblatnya tidak persis ke barat tapi agak serong ke kanan (barat laut). Soal kiblat inilah Dahlan mendapat perlawanan dari Kia Siraj Pakualaman, dan Kiai-Kiai lainnya, terutama Kiai Penghulu Kamaludiningrat, selaku Kiai yang paling tinggi status sosialnya.
 

Pada malam Ramadhan banyak warga yang memilih ikut shalat tarawih di Langgar Kidul pimpinan Dahlan. 
Hal ini membuat jamaah di Mesjid Gedhe menurun. Lantaran shalat tarawihnya versi 11 rakaat, bukan 23 rakaat. Novel ini terus bergulir, hingga mengerucut pada pertemuan Dahlan dengan organisasi Budi Utomo.
 

Dan dari situlah, Dahlan terinspirasi untuk membuat sekolah ibtidaiyah diniyah di rumahnya, yang muridnya pada waktu itu kebanyakan dari kalangan rakyat kecil. Setelah itu Dahlan membuat persyarikatan/perkumpulan. Sangidu, adik tirinya, mengusulkan nama perkumpulannya Muhammadiyah. Artinya, pengikut kanjeng Nabi.
 

Kehadiran novel biografi ini patut diapresiasi, mengingat masyarakat kita butuh bacaan yang menunjukkan nilai perjuangan bangsa dan nilai-nilai ke-Indonesia-an. Sungguh, menulis novel yang diangkat dari kisah dan sejarah tokoh bangsa Indonesia patut dicontoh oleh para penulis lainnya, agar kita dan generasi yang akan datang tidak kehilangan akar sejarah bangsanya. Melalui novel lah nilai-nilai tersebut dapat dengan mudah terserap oleh semua kalangan.Semoga.
 

Aduhai, novel ini sangat nikmat sekali dibaca, terutama dilakukan sembari minum teh dan makan gogodoh, baik di pagi hari maupun sore hari.Selamat membaca.[]

M. Iqbal Dawami, penulis lepas, tinggal di Yogyakarta


lintasberita

Lanjut Baca

Inovasi dan Aset Nirwujud Sumber Kekuatan

Judul: Knowledge and Innovation ; Kekuatan Daya Saing
Penulis: Zuhal
Penerbit: Gramedia
Cetakan: I, 2010
Tebal: 485 halaman

Zuhal, Menteri Negara Riset dan Teknologi (Meneg Ristek) pada kabinet Reformasi menjelaskan dalam buku ini bahwa saat ini kita sedang berada pada era baru kemunculan berbagai bentuk kompetisi global yang mengalir ke segala arah. Perusahaan-perusahaan multinasional (MNC) terbang ke seluruh dunia, keluar dari pusat-pusat korporasi induknya, mencari tempat bertengger baru yang lebih kompetitif. Mereka membidik pusat-pusat pertumbuhan yang lebih menjanjikan low-cost manufacturing dan low-end markets. Realitas global baru yang berbeda itu dikenal dengan globality.

Globality, lanjut Zuhal, didasarkan pada dunia yang menyatu tanpa batas. Sebuah dunia baru yang direkat oleh jaringan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) antarkontinen. Jaringan TIK inilah yang kelak meniupkan karakter baru dalam persaingan ekonomi di era globality: jaringan TIK dengan cepat mampu menyediakan informasi tentang bagaimana berkompetisi secara sempurna atau informasi tentang siapa yang terbaik, kreatif, dan efektif di muka Bumi. Tatkala informasi telah begitu “telanjang”, maka kompetisi di era globality pun menemukan wajahnya yang lain: persaingan menjadi jauh lebih ketat, di arena yang menyerupai “bidang datar” (global arena).

Tak pelak lagi, inovasi menjadi hal yang sangat penting dalam kompetisi global. Inovasi adalah ciptaan-ciptaan baru (dalam bentuk materi ataupun intangible) yang memiliki nilai ekonomi yang berarti (signifikan), yang umumnya dilakukan oleh perusahaan atau kadang-kadang oleh para individu (Edquist, 200). Inovasi juga dapat diartikan sebagai transformasi pengetahuan kepada produk, proses dan jasa baru; tindakan menggunakan sesuatu yang baru (Rosenfeld, 2002).

Kita bisa mengaca pada perusahaan Coca-Cola Indonesia, misalnya. Inovasi adalah salah satu kunci keberhasilannya. Melalui riset dan pengembangan (Research & Development), Coca-Cola terus berinovasi untuk menciptakan produk, kemasan, strategi pemasaran, serta perlengkapan penjualan baru yang lebih berkualitas, kreatif, serta mempunyai ciri khas tersendiri.

Dengan memahami kebutuhan dan perilaku konsumen, serta potensi kekayaan alam Indonesia, Coca-Cola berinovasi dengan menciptakan produk-produk baru yang menjadikan produk minuman cepat saji Coca-Cola mempunyai rasa dan pilihan yang beragam. Untuk memenuhi kebutuhan konsumen secara lebih spesifik, pada tahun 2002 Coca-Cola meluncurkan AQUARIUS, minuman isotonik yang diperuntukkan bagi mereka yang aktif dan gemar berolahraga.

Pada tahun yang sama, Coca-Cola Indonesia meluncurkan Frestea, teh dalam kemasan botol dengan aroma bunga melati yang khas. Pada tahun 2003, Fanta menghadirkan campuran dua rasa buah, orange dan mango, yang disebut "Fanta Oranggo", setelah pada tahun sebelumnya sukses meluncurkan Fanta Nanas. Pada tahun berikutnya, Coca-Cola Indonesia meluncurkan Sunfill - produk minuman Sirup dan Serbuk instan rasa buah.

Dengan inovasi, Coca-Cola yakin bahwa produk-produk yang ditawarkan akan mampu memenuhi kebutuhan pasar di Indonesia.

Aset Nirwujud
Mengapa daya saing bangsa Indonesia tidak kunjung meningkat, padahal sejumlah indikator ekonomi cukup menunjukkan perbaikan? Faktor nirwujud ternyata berperan besar. Zuhal memberikan nasihatnya bahwa perusahaan, misalnya, tidak sepatutnya hanya terbuai melihat aspek-aspek yang berhubungan dengan pangsa pasar dan tujuan-tujuan keuntungan finansial semata. Perusahaan mesti mengalihkan perhatiannya—dalam porsi lebih besar—pada aset-aset tersembunyi seperti sumber daya manusia (SDM), budaya korporat, serta aset intelektual lainnya. Ada pergeseran yang cukup fundamental yang bergerak ke arah human capital oriented.

Kemunduran indikator nirwujud daya saing—pendidikan, kesehatan, dan riset—sejatinya memicu efek domino yang merembet ke pelbagai lini. Merosotnya kualitas pendidikan pendidikan, kesehatan, dan riset berimplikasi terhadap menurunnya kemampuan SDM, yang pada gilrannya menyumbang saham kepada rendahnya efisiensi pemerintahan dan merosotnya efisiensi bisnis. Semua itu mengakibatkan terus menurunnya daya saing Indonesia secara keseluruhan. Dan, sulit dipungkiri, indikator merosotnya daya saing bangsa ini secara gamblang tercermin pada tren menurunnya peringkat Human Development Index (HDI), indeks teknologi, atau posisi peringkat daya saing umumnya, terutama sejak 1996.

Isu nasional ini memang bersifat nirwujud (intangible). Pemerintah masih lebih suka mencari solusi-solusi jangka pendek, seperti memfokuskan diri hanya pada indikator-indikatior sistem ekonomi klasik yang tangible, alih-alih memberi arah dan panduan strategis terkait gejala menurunnya aset nirwujud. Mind-set lama ini mesti diubah.

Secara keseluruhan buku ini berbicara tentang “platform daya saing” yang berkaitan dengan aspek penguasaan knowledge, kreativitas, dan inovasi yang diperlukan menjawab tantangan sistem ekonomi baru. Selain itu, terkait pentingnya soal inovasi, Zuhal juga memberikan konsep Sistem Inovasi Nasional (Sinas) Indonesia yang berbasis keunggulan komperatif benua maritime. Juga dipaparkan kajian pelbagai bentuk institusi, organisasi, dan aspek knowledge management yang menunjang Sistem Inovasi.[]

M Iqbal Dawami,
Staf pengajar STIS Magelang

lintasberita

Lanjut Baca

Dosen Indonesia Harum di Jepang

Judul: Soetanto Effect; Ubah Orang Buangan Jadi Rebutan
Penulis: Ken Kawan Soetanto
Penerbit: Bentang
Cetakan: I, Agustus 2010
Tebal: 179 hlm.

Di Jepang, pada saat penerimaan karyawan, banyak perusahaan berkeliling ke semua perguruan tinggi dan selalu tidak puas dengan para lulusannya. Namun ketika mereka datang ke perguruan tinggi tempat Soetanto mengajar, yang kebanyakan mahasiswanya dikatakan tidak mempunyai semangat untuk belajar, mereka malah meminta para mahasiswanya itu untuk bekerja di perusahaan mereka.

Apa sesungguhnya yang menjadi ketertarikan perusahaan untuk merekrut dari para mahasiswa Soetanto? Usut punya usut ternyata mereka—para mahasiswa yang di bawah bimbingan Soetanto—bekerja dengan cerdas dan penuh semangat.

Nah, lewat buku inilah dikisahkan bagaimana para mahasiswa itu dididik. Awal mula Soetanto mengajar di perguruan tinggi Universitas Tuin Yokohama, Jepang, 80 persen mahasiswanya tidak punya semangat untuk belajar. Dari situ dia mencari tahu sebab-musababnya dan dicari solusinya. Tidak lama kemudian, dengan perasaan puas, dia akhirnya mencapai pemahaman bahwa jika diberikan stimulus yang tepat, semangat belajar ke 80 persen mahasiswa itu akan muncul.

Usaha yang dia lakukan pertama kali adalah memberikan metode terapi kejut (shock therapy). Misalnya dengan pertanyaan, “Apakah kalian ingin 20 orang di antara kalian keluar dari kelas ini?” Lewat pertanyaan yang tak disangka-sangka itu, membuat mata mereka terbelalak. Atau Soetanto juga memakai kata-kata, “Jika kalian mengambil mata kuliah ini dengan setengah hati, maka saat ini juga kalian lebih baik meninggalkan kelas dan berhenti!”

Dengan terapi kejut semacam di atas para mahasiswa secara spontan akan terpacu untuk serius dalam belajarnya. Mereka lebih perhatian atas apa yang dipelajarinya. Itu adalah langkah pertama yang dilakukan Soetanto dalam usaha “penyadaran” mahasiswanya atas pentingnya pengetahuan yang mereka pelajari.

Seiring berjalannya waktu, keseriusan mereka dalam belajar menjadi sebuah kebiasaan yang barangkali berawal dari rasa tertekan dan terbebani, namun berakhir dengan rasa senang dan bahagia, karena hasilnya terasa. Proses perkuliahan ala Soetanto itu tidak lagi dianggap sebuah keterpaksaan maupun tekanan, tapi sebuah hal yang menyenangkan, karena dalam perjalanannya Soetanto ternyata sangat mengesankan dan mengasyikkan, jauh dari kesan “killer”.

Memang, dengan sekuat tenaga Soetanto berusaha membuat proses belajar menjadi lebih mudah dimengerti dan menarik. Sebagai seorang dosen, dia menginginkan penampilannya yang terbaik di depan mahasiswa. Mengeluarkan semua yang dia punya.

Soetanto juga sering memotivasi mahasiswanya pada saat perkuliahan berlangsung, sehingga materi-materi yang diajarkannya terserap dengan baik, karena hati dan pikiran para mahasiswa dalam suasana menyenangkan. Soetanto sadar bahwa untuk membuat pelajaran yang bagus dan sukses, harus ada kerja sama antara kedua pihak, yaitu dosen dan mahasiswa. Oleh karena itu, dia menyadari begitu pentingnya menstimulus semangat belajar para mahasiswanya.

Untuk membangkitkan semangat mahasiswa, Soetanto menuruh mereka menulis “Pesan-Kesan Tiga Baris” atas materi dan karakter dia dalam mengajar. Kontan, semuanya berkonsentrasi dalam perkuliahan, mati-matian memutar otak, demi menuliskankan tiga baris pesan-kesan tersebut. Hal itu menjadi sebuah latihan untuk menyusun dan menuangkan pikiran sendiri. Menulis tiga baris pesan-kesan tersebut merupakan suatu kemajuan tersendiri.

Dengan hanya tiga baris pernyataan itu, mereka bisa membuat pengakuan dan berterus terang mengenai hal yang sebenarnya dari dalam lubuk hati mereka. Watarai-kun, salah satu mahasiswanya menulis, “Darah di seluruh tubuh saya mendidih dan bergejolak”.

Mahasiswa yang dulunya dikatakan tidak punya harapan dan terus-menerus berpikir bahwa dirinya tidak bisa melakukan apa-apa, sekarang sudah menyadari kekeliruannya. Ternyata metode pesan-kesan ini mewujudkan “jendela hati” mereka, dan dapat membesarkan hati mereka pula.

80 persen mahasiswa yang dulu dikatakan tidak punya harapan dan tidak punya semangat, berubah menjadi 80 persen mahasiswa yang mulai memupuk semangat dan menggali harapan masing-masing.

Melalui buku ini, Soetanto berhasil merumuskan hal-hal yang bisa dilakukan oleh para pengajar dalam membantu para anak didiknya. Rumusan tersebut tentu bisa dipraktikkan oleh siapa saja, termasuk para pendidik Indonesia yang diharapkan dapat memajukan kualitas pendidikan di Indonesia ini.

Metode mengajar ala Soetanto ini kemudian terkenal dengan istilah Soetanto Effect. Istilah ini dimaknai dengan suatu pengajaran yang menyentuh hati setiap peserta didik, yang mengumandangkan motivasi serta pemahaman tujuan yang ingin diraih. Metode ini berhasil diterapkan di sebagain besar perguruan tinggi Jepang.

Soetanto yang bernama lengkapnya Ken Kawan Soetanto adalah warga negara Indonesia yang hidup di Jepang yang meraih gelar profesor dan empat doktor sekaligus dari empat universitas berbeda di Jepang.

Dari pengembangan interdisipliner ilmu elektronika, kedokteran, dan farmasi, dia menghasilkan 29 paten di Jepang dan 2 paten di AS. Pencapaian riset dengan paten paling mutakhir diakui di Jepang, yakni The Nano-Micro Bubble Contrast Agent. Pemerintah Jepang melalui NEDO (The New Energy and Industrial Technology Development Organization) memberinya penghormatan sebagai penelitian puncak di Jepang dalam rentang 20 tahun, 1987-2007.

Buku ini patut dibaca oleh dosen, guru, ustadz, tentor, dan siapa saja yang menginginkan kemajuan pendidikan di Indonesia. Dari buku ini kita dapat belajar bagaimana cara mengajar para peserta didik yang baik, yang dapat membangkitkan semangat peserta didik dalam belajarnya, sehingga berhasil mencapai segala cita-cita yang diimpikannya.

M. Iqbal Dawami, staf pengajar STIS Magelang.

lintasberita

Lanjut Baca
 
Copyright (c) 2010 Buku Bagus by Dunia Belajar